Anda di halaman 1dari 24

TUGAS BAHASA INDONESIA

MANAJEMEN KONFLIK

KELAS I B

Oleh:

Hanyfah Leonna Putri

Dosen Pembimbing:

Drs.Maswardi,M.Kes

POLTEKKES KEMENKES PADANG

PRODI D-III KESEHATAN LINGKUNGAN

2019/2020
A. Definisi Konflik

Konflik dalam pengertian yang sangat luas dapat dikatakan


sebagai segala macam bentuk antar hubungan antar manusia yang
bersifat berlawanan (antagonistik). Ia dapat terlihat secara jelas
dan dapat pula tersembunyi.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, konflik adalah
percekcokan, perselisihan atau pertentangan baik dari segi
pemikiran atau kebijakan.

Menurut sosiologis, konflik merupakan proses antara dua


orang atau lebih yang berusaha menyingkirkan dengan cara
menghancurkan atau membuat tidak berdaya.

Menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah proses memenuhi


tujuan dengan cara menentang pihak lawan disertai ancaman atau
kekerasan.

Menurut Lewis A.Coser, konflik adalah perjuangan nilai


kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud
menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.

Menurut Gillin dan Gillin, konflik merupakan proses interaksi


yang berlawanan .

Konflik adalah proses yang dimulai ketika satu pihak


menganggap pihak lain secara negatif mempengaruhi, atau akan
secara negatif mempengaruhi, sesuatu yang menjadi kepedulian
pihak pertama.
B. Macam – Macam Konflik

Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada


dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang
membagi konflik berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya,
ada yang membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada juga yang
membagi konflik dilihat dari posisi seseorang dalam suatu
organisasi.

1. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi


Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat
dari posisi seseorang dalam struktur organisasi, Winardi membagi
konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut
adalah sebagai berikut :

a. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan


yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi.
Misalnya, antara atasan dan bawahan.

b. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antara mereka


yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam
organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar
departemen yang setingkat.

c.  Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan


lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat
staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam
organisasi.

d. Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang


mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
2. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner
membagi konflik menjadi lima macam , yaitu:

a. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual) yaitu


konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang
saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang
melebihi batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik
individual ini, menurut Altman, adalah frustasi, konflik tujuan
dan konflik peranan .

b. Konflik antar-individu (conflict between individuals) yaitu


terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu yang
satu dengan individu yang lain.

c. Konflik antara individu dan kelompok (conflict between


individuals and groups) yaitu terjadi jika individu gagal
menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat ia
bekerja.

d. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict


among groups in the same organization) yaitu konflik ini
terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang
berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
Masalah ini terjadi karena pada saat kelompok-kelompok
makin terikat dengan tujuan atau norma mereka sendiri,
mereka makin kompetitif satu sama lain dan berusaha
mengacau aktivitas pesaing mereka, dan karenanya hal ini
mempengaruhi organisasi secara keseluruhan.

e.  Konflik antar organisasi (conflict among organizations) yaitu


konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi
menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya.
Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
3.  Konflik Dilihat dari Fungsi
Dilihat dari fungsi, Robbins membagi konflik menjadi dua macam,
yaitu:

a. Konflik fungsional (Functional Conflict)


Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian
tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.

b. konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict)


Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian
tujuan kelompok.

Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu


konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur).
Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak
fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat
fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu
yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut
terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik
tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang
memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan
fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok
maka konflik tersebut disfungsional.

C. Faktor Penyebab Timbulnya Konflik

Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi


yang melatar -belakanginya (antecedent conditions). Kondisi
tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik,
terdiri dari tiga kategori, yaitu :

a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi
sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan
gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang
terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk
terciptanya konflik.

b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja),
kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara
kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan
derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya
konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi
kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan  terjadinya
konflik.

c.  Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.

Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,


misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai
rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika
salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para
karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi
bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut
dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian
jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas,
tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya,
konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan
berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat
mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara
verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara,
pemogokan, dan sebagainya.
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor
dalam antecedent conditions, Schermerhorn merinci antecedent
conditions  menjadi lima faktor, yaitu :

1.      Ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role


ambiguities).
2.       Persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas.
3.      Rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication
barriers).
4.       Konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan.
5.      Perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan
kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.

D. Strategi dalam Manajemen Konflik

a.     Menghindar
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang
memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi
konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan
ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang
memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk
menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik
dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak
mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal
untuk melakukan diskusi”

b.      Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi
pemecahan masalah, khususnya  apabila isu tersebut penting bagi
orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan
memberi kesempatan  pada mereka untuk  membuat keputusan.
Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat
mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan
pihak lain di tempat yang pertama.
c.       Kompetisi
Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih
banyak informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya
atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai anda.
Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa jadi merupakan
metode yang penting untuk alasan-alasan keamanan.

d.      Kompromi atau Negosiasi


Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada
waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, serta
meminimalkan  kekurangan semua pihak yang dapat
menguntungkan semua pihak.

e.   Memecahkan Masalah atau Kolaborasi  

1. Pemecahan sama-sama menang  dimana individu yang terlibat


mempunyai tujuan kerja yang sama.

2. Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat


untuk saling mendukung dan  saling memperhatikan satu
sama lainnya.

f.       Pemecahan persoalan

Dalam strategi pemecahan persoalan, diambil asumsi dasar


semua pihak mempunyai keinginan menangualngi konflik yang
terjadi dan karenanya oerlu dicarikan ukuran-ukuran yang dapat
memuaskan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Atas dasar
asumsi tersebut maka dalam strategi pemecahan persoalan harus
selalu dilalui dua tahap penting, yaitu proses penemuan gagasan
dan proses pematangannya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan
Amerika membuktikan bahwa usaha pemecahan persoalan menjadi
lebih produktif bila semua gagasan dikumpulkan terlebih dahulu
sebelum dibahas.
Penelitian yang sama juga membuktikan bahwa mutu cara
pemecahan akan lebih baik bila pimpinan terlebih dahulu membahas
persoalannya sebelum membicarakan cara pemecahannya. Karena
maksud pemecahan persoalan ialah untuk membahas berbagai
macam kemungkinan, maka justru menciptakan kemungkinan
berbeda pendapat, bukan menghilangkannya.

g.      Musyawarah
Dalam strategi ini terlebih dahulu harus ditentukan secara jelas
apa sebenarnya yang menjadi persoalan. Berdasarkan jelasnya
persoalan itulah kemudian kedua belah pihak yang sedang dalam
pertikaian mengadakan pembahasan untuk mendapatkan titik
pertemuan.
Pada waktu perundingan atau musyawarah tersebut dilakukan
dapat pula dikembangkan suatu konsensus  bahwa setelah terjadi
kesepakatan, masing-masing pihak harus berusaha mencegah
timbulnya konflik lagi.

h.      Persuasi
Dalam strategi ini usaha penanggulangan konflik dilakukan
dengan menemukan kepentingan dan tujuan yang lebih tinggi dari
tujuan pihak-pihak yang sedang bertikai.

i.        Mencari lawan yang sama


Strategi ini pada prinsipnya hampir sama dengan strategi ketiga. 
Perbedaannya adalah bahwa pada strategi ini semua diajak untuk
lebih bersatu kaena harus menghadapi pihak ketiga sebagai pihak
yang dianggap merupakan lawan dari kedua belah pihak yang
bertikai.

j.        Meminta bantuan pihak ketiga


Hal yang penting adalah mengetahui dibidang apa pertikaian ,
dalam arti apakah terjadinya berkaitan dengan konflik politik,
konflik wewenang, konflik hukum, konflik teknis pekerjaan, dan
lainnya. Hal ini penting guna dapat  memilih pihak ketiga yang
kiranya dapat untuk menanggulangi akibat yang lebih negatif dari
suatu konflik.
k.      Peningkatan interaksi dan komunikasi
Alasan penggunaan strategi ini adalah bahwa bila pihak-pihak
yang berkonflik dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi
mereka, pada suatu saat mereka akan dapat lebih mengerti dan
menghargai dasar pemikiran dan prilaku pihak lain.  Pengertian dan
penghargaan ini penting, karena dapat mengurangi pandangan
buruk terhadap kelompok lain.

l.        Latihan kepekaan
Strategi ini bisa disebut “encounter session ” strategi ini
umumnya digunakan untuk menghadapi konflik yang terjadi  dalam
suatu kelompok ataupun antar kelompok. Pihak-pihak yang
berkonflik diajak masuk dalam satu kelompok. Dalam kelompok ini
masing-masing pihak diberi kesempatan menyatakan pendapatnya
termasuk pendapatnya yang negatif, mengenai pihak yang  lain.
Sementara itu, pihak yang dikritik diharapkan mendengarkannya
lebih dahulu kemudian dapat pula mengemukakan pendapatnya.
Dengan telah dikeluarkan, segala perasaan atau “ganjalan” yang
dikandung, diharapkan masing-masing pihak akan lega.

E. Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)

a. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai


(goal conflict) Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik
yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict),
yaitu:

1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk


melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih,
tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.

2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk


melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang
mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong
untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan
tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang
yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk
menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan
yang dicapai saling terpisah satu sama lain Dalam hal ini, approach-
approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko
paling kecil dan mudah diatasi .

b. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius Di dalam


organisasi

konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan


ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap,
nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu
organisasi.

Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan


kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat
melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel
pokok yaitu :

1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.


2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa
membuat tekanan-tekanan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi
konflik yang muncul dalam (Wijono, 1993, p.15).

Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari


munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:

1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada


penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan
perhatian utama.

2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi


dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah
yang sebenarnya. Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah
disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap
tidak puas.

3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang


diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer,
manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang
sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan
dalam kelompok.

4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap


bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan
gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan
melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.

5. Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak


misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak
dari jarak dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila
amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat. Orang-orang
saling berselisih.

6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak


sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini
adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang
logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada
penyelesaian.

7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit
diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-
terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa
diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa diselesaikan.

Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci


lagi antecedent conditions  itu menjadi 12 faktor sebagai berikut :

1.      Ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai.


2.       Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih.
3.      Persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas.
4.       Pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup
(inadequate (communication).
5.      Kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang
tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain).
6.      Kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat
bersamaan dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan
spesialisasi pekerjaan).
7.      Peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak
jelas atau tidak masuk akal.
8.      Batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal
sehingga sulit dipenuhi (unreasonable deadlines).
9.       Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak
orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin
potensial untuk konflik).
10.  Pengambilan keputusan melalui konsensus.
11.  Harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki
harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau
promosi, akan lebih mudah untuk konflik).
12.   Tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.

Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau pimpinan


organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan
kondisi - kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu
atau lebih dari kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil
tindakan, sebelum kondisi itu menjadi konflik terbuka atau konflik
yang nyata (manifest conflict). Dengan cara seperti ini, diharapkan
konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya
mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus
memiliki kemampuan untuk mengelola konflik, sehingga konflik
tidak menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan hidup
organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk
meningkatkan kinerja organisasi.
F. Pengelolaan Konflik Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:

1. Disiplin
Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan
mencegah konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan
memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika
belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.

2. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan


Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai
tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya;
Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk
mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi
perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk
menduduki jabatan yang lebih tinggi.

3. Komunikasi
Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang
terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer
untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi
yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan
sebagai satu cara hidup.

4. Mendengarkan secara aktif


Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola
konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer
perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat
merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda
bahwa mereka telah mendengarkan.

5. Teknik atau Keahlian untuk Mengelola Konflik


Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada: Konflik itu
sendiri, Karakteristik orang-orang yang terlibat di
dalamnya, Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian
konflik, Pentingnya isu yang menimbulkan konflik, dan Ketersediaan
waktu dan tenaga Tipe Pengelolaan Konflik Manajemen harus
mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang
melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang justru
merusak spirit sinergisme organisasi tanpa melupakan continous
re-empowerment.

Ada 6 tipe pengelolaan konflik yang dapat dipilih dalam menangani


konflik yang muncul (Dawn M. Baskerville, 1993:65), yaitu:

a. Avoiding: gaya seseorang atau organisasi yang cenderung


untuk menghindari terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan
potensial menimbulkan konflik sedapat mungkin dihindari sehingga
tidak menimbulkan konflik terbuka.
b. Accomodating: gaya ini mengumpulkan dan
mengakomodasikan pendapat-pendapat dan kepentingan pihak-
pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari jalan keluarnya
dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar
masukan-masukan yang diperoleh.

c. Compromising: merupakan gaya menyelesaikan konflik


dengan cara melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang
berkonflik, sehingga kemudian menghasilkan solusi (jalan tengah)
atas konflik yang sama-sama memuaskan (lose-lose solution).

d. Competing: artinya pihak-pihak yang berkonflik saling


bersaing untuk memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus ada
pihak yang dikorbankan (dikalahkan) kepentingannya demi
tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau yang lebih
berkuasa (win-lose solution).

e. Collaborating: dengan cara ini pihak-pihak yang saling


bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan,
karena mereka justru bekerja sama secara sinergis dalam
menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai kepentingan
pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai
(menghasilkan win-win solution).
f. Conglomeration (mixtured type): cara ini menggunakan kelima
style bersama-sama dalam penyelesaian konflik.

G. Metode Menangani Konflik

Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah


pertama dengan mengurangi konflik, dan kedua dengan
menyelesaikan konflik. Untuk metode pengurangan konflik salah
satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan
persoalan terlebih dahulu (cooling thing down).

Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh


persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat
“musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok
tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara
semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para
anggota kelompok yang sedang mengalami konflik

1. Metode Dominasi atau Supresi Metode dominasi dan supresi


biasanya memiliki dua macam persamaan, yaitu: 

a. Mereka menekan konflik, dan bahkan menyelesaikannya


dengan jalan memaksakan konflik tersebut menghilang “di
bawah tanah”

b. Mereka menimbulkan suatu situasi menang-kalah, di mana


pihak yang kalah terpaksa mengalah kaena otoritas lebih
tinggi, atau pihak yang lebih besar kekuasaanya, dan mereka
biasanya menjadi tidak puas, dan sikap bermusuhan muncul.
2. Tindakan metode supresi dan dominasi dalam menangani konflik
yaitu:

a. mencoba mengurangi luas dan pentingnya ketidaksetujuan


yang ada, dan ia mencoba secara sepihak membujuk phak lain,
untuk mengkuti keinginannya. Apabila sang manager memiliki lebih
banyak informasi dibandingkan dengan pihak lain tersebut, dan
sarannya cukup masuk akal, maka metode tersebut dapat bersifat
efektif. Tetapi andaikata terdapat perasaan bahwa sang menejer
menguntungkan pihak tertentu, atau tidak memahami persoalan
yang berlaku, maka pihak lain yang kalah akan menentangnya.

Memaksa (Forcing)

Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah,


jangan banyak bicara, saya berkuasa di sini, dan saudara harus
melaksanakan perintah saya”, maka semua argumen habis sudah.
Supresi otokratis demikian memang dapat menyebabkan timbulnya
ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung, tetapi destruktif
seperti misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan (Malicious
Obedience). Gejala tersebut merupakan salah satu di antara banyak
macam bentuk konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi
(peneanan) konflik terus-menerusa diterapkan.

Membujuk (Smoothing)

Dalam kasus membujuk, yang merupakan sebuah cara  untuk


menekan (mensupresi) konflik dengan cara yang lebih diplomatic,
sang manager

Menghindari (Avoidence)

Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar dating pada


seorang manajer untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata
bahwa sang manajer menolak untuk turut campur dalam persoalan
tersebut, maka setiap pihak akan mengalami perasaan tidak puas.
Memang perlu diakui bahwa sikap pura-pura bahwa tidak ada
konflik, merupakan seuah bentuk tindakan menghindari. Bentuk lain
adalah penolakan (refusal)  untuk menghadapi konflik, dengan jalan
mengulur-ulur waktu, dan berulangkali menangguhkan tindakan,
“sampai diperoleh lebih banyak informasi”.

Keinginan Mayoritas (Majority Rule)

Upaya untuk menyelesaikan konflik kelompok melalui pemungutan


suara, dimana suara terbanyak menang (majority vote)  dapat
merupakan sebuah cara efektif, apabla para angota menganggap
prosedur yang bersangkutan sebagai prosedur yang “fair” Tetapi,
apabila salah satu blok yang memberi suara terus-menerus
mencapai kemenangan, maka pihak yang kalah akan merasa diri
lemah dan mereka akan mengalami frustrasi.

3. Metode Kompromi

Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan


menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik.
Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya
permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik,
karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun
demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini
bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian
yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan
kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik. Yang
termasuk kompromi diantaranya adalah:

1. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan
cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak
lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses
tersebut adalah taktik perdamaian.

2. Sharing

Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi


kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain
menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak
lengkap, tetapi memuaskan. Melalui tindakan kompromi, para
manajer mencoba menyelesaikan konflik dengan jalan menghimbau
pihak yang berkonflik untuk mengorbankan sasaran-sasaran
tertentu, guna mencapai sasaran-sasaran lain. Keputusan-
keputusan yang dicapai melalui jalan kompromi, agaknya tidak akan
menyebabkan pihak-pihak yangberkonflik untuk merasa frustasi
atau mengambil sikap bermusuhan.

Tetapi dipandang dari sudut pandanga organisatoris, kompromis


merupakan cara penyelesaian konflik yang lemah, karena biasanya
tidak menyebabkan timbulnya suatu pemecahan, yang paling baik
membantu organisasi yang bersangkutan mencapai tujuan-
tujuannya. Justru, pemecahan yang dicapai adalah bahwa ke dua
belah pihak yang berkonflik dapat “hidup” dengannya Bentuk-
bentuk Kompromi:

1. Separasi (Separation), pihak yang berkonflik dipisahkan sampai


mereka mencapai suatu pemecahan

2. Aritrasi (Arbitration), pihak-pihak yang berkonflik tunduk terhadap


keputusan pihak keiga (yang biasanya tidak lain dari pihak manejer
mereka sendiri)

3. Settling by Chance (Mengambil keputusan berdasarkan factor


kebetulan), keputusan tergantung misalnya dari uang logam yang
dilempar ke atas, mentaati peratuan-peraturan yang berlaku (resort
to rules), dimana para pihak yang bersaingan setuju untuk
menyelesaikan konflik dengan berpedoman pada peraturan-
peraturan yang berlaku

4. Menyogok (Bribing), Salah satu pihak menerima imbalan tertentu


untuk mengakhiri konflik terjadi.
4. Metode Pemecahan Problem Integrative

Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar


kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama
yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan
masalah  (problem solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-
sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya
mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini
merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya
sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya
kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan
persoalan yang menimbulkan persoalan.

Ada tiga macam tipe metode penyelesaian konflik secara


integrative yaitu: 

a. Consensus (Concencus)
b. (Confrontation)
c. Penggunaan tujuan-tujuan superordinat (Superordinate goals)

5. Metode Kompetisi Penyelesaian konflik yang menggambarkan


satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain.
Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose
orientation. Win-Lose Orientation  Terdiri dari lima orientasi sebagai
berikut.

1. Win-Lose (Menang-Kalah)
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam
gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan,
mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa
yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan
paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang
dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang
lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya
kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena
ia menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain.
Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan
merasa diabaikan. Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk:
1. Menggunakan orang lain, baik secara emosional atau pun fisik,
untuk kepentingan diri.

2. Mencoba untuk berada di atas orang lain.

3. Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.

4. Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan


perasaan orang lain.

5. Iri dan dengki ketika orang lain berhasil

 Lose-Win (Kalah-Menang)

Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan


harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi
tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau
penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas
dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya
banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga
akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas,
saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan
perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.

Lose-Lose (Kalah-Kalah)

Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya


paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi
secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang ,
lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada
hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan
dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.

 Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain
kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan
mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya
maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian,
dan sulit kerja sama dalam tim.

 Win-Win (Menang-Menang)

Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus


menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi.
Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang
dan puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil.
Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama
bukan persaingan.

Pada level subkultur (subculture), shared values dapat


dipergunakan untuk memprediksi pilihan seseorang pada gaya
dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Subkultur
seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya sehingga
akan terbentuk perilaku yang sama dengan budayanya. (M. Kamil
Kozan, 2002:93-96)
Kesimpulan

Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah


manajer atau pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola
konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan
organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang
menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik.
Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik
serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga
diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola
pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh pengalaman
dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus
terjadi dalam organisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Garry Dessler. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid 2. Jakarta :


PT. Prehelinso. 1989.
Hani Handoko. Manajemen Personalia dan Sumber Daya
manusia. Yogyakarta : BPFE. 2001.
Wahyudi. Manajemen Konflik Dalam Organisasi, Edisi Kedua .
Bandung : Alfabeta. 2006.
Robbins S. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi .
Jakarta : PT Prenhalinddo.1996.
Indrawijaya, Adam I. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.2009.
http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-manajemen-konflik.html

Anda mungkin juga menyukai