Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM DAN RESOLUSI KONFLIK

Disusun Oleh :
NAMA : RISKA ZEVRI ADITYA
NIM : 11120020

SEKOLAH TINGGI AGAM ISLAM (SETIA WS)


WALI SEMBILAN SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Konflik dapat dilatarbelakangi oleh banyak hal. Konflik internal suatu


negara bisa disebabkan oleh banyak hal, baik konflik politik, ekonomi, perda-
gangan, etnis, perbatasan dan sebagainya. Tentulah kedua belah pihak maupun
pihak luar yang menyaksikan menginginkan konflik dapat diakhiri.
Konflik dalam kehidupan manusia merupakan hal yang manusiawi, alami
dan berpotensi terjadi setiap kali. Konflik terjadi bila ada ketidaksepahaman atau
pertentangan atas suatu obyek yang sama, ataupun memiliki sasaran-sasaran yang
berbeda atas suatu obyek yang sama. Yang terpenting dari suatu konflik adalah
ditemukannya keluaran atau solusi atas konflik tersebut.
Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian. Konflik terkadang
dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung.
Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menengahi dan
mencari jalan keluar baik oleh negara atau sebagai Organisasi Regional bahkan
Organisasi Internasional.
Konflik terjadi ketika dua atau lebih pihak menganggap bahwa kepenting-
an mereka tidak sesuai dengan kepentingan satu sama lain; mengungkapkan sikap
bermusuhan atau mengejar kepentingan-kepentingan mereka dengan mengambil
tindakan yang menyakiti pihak lain. Pihak-pihak ini dapat berupa individu,
kelompok kecil atau besar dan negara.
Konflik bisa mempunyai berbagai macam sebab, seperti atas sumber daya,
misalnya tanah, uang, energi, makanan dan distribusi sumber-sumber tersebut;
atas kekuasaan, misalnya kontrol dan partisipasi dalam kehidupan politik. Hal ini
sering terjadi antar partai-partai politik atau elit-elit politik; atas identitas,
misalnya budaya, identitas sosial (perbedaan kelas sosial) atau politik; dan atas
nilai-nilai, misalnya ideologi.
Konflik sangat susah untuk dipisahkan dari kehidupan masyarakat,
perselisihan yang seringkali terjadi adalah terdapatnya perbedaan kepentingan
yang saling berlawanan. Konflik dapat dilihat dalam dua dimensi, yaitu:
1. Suatu perspektif atau sudut pandang dimana konflik dianggap selalu ada dan
mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial.
2. Pertikaian terbuka, baik itu yang berbentuk peperangan, revolusi, pemogokan,
pergerakan, dan perlawanan.
Masalah konflik juga menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam
masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan kondisi Negara Indonesia yang serba
multi dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas. Indonesia
merupakan sebuah negara yang terdiri dari multi etnis dan multi budaya, bahkan
dewasa ini Indonesia telah menjadi negara yang multi partai dalam sistem
politiknya. Kondisi yang demikian itu tidak dapat menghindarkan masyarakatnya
dari timbulnya berbagai bentuk konflik.
Perspektif masyarakat model konflik adalah perspektif yang diturunkan
dari pendekatan konflik Michalowski, sebagai sebuah model dalam mempelajari
hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada sistem hukum yang
bersifat memaksa dan koersif. Adapun prinsip-prinsip pengaturan dalam
perspektif masyarakat model konflik adalah:
1. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
2. Terdapat defenisi yang berbeda mengenai benar dan salah.
3. Konflik antara kelompok sosial merupakan konflik kekuasaan politik.
4. Hukum dirancang untuk mempertahankan kepentingan penguasa.
5. Penguasa membuat dan menegakkan hukum dengan tujuan utama untuk
mempertahankan kekuasaan.
Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara dua individu atau
lebih dewasa ini seakan menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu
akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik,
sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Fenomena ini
tentunya menjadi tantangan dari sistem peradilan pidana Indonesia.
Seringkali konflik-konflik seperti ini menghindari proses pengorganisasian
masyarakat. Oleh karena itu, mediasi dan cara penyelesaian konflik yang lain
menjadi salah satu alat untuk memfasilitasi proses pengorganisasian. Mediasi
adalah salah satu cara untuk menyelesaikan atau mentransformasikan konflik.
Mediasi merupakan proses dimana pihak ketiga yang netral membantu
menyelesaikan konflik antar dua belah pihak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konflik
1. Pengertian Konflik
Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa
latinconfigere yang berarti saling memukul. Menurut Antonius, dkk,
konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat
menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini
dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar
pribadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Morton Deutsch, seorang pionir
pendidikan resolusi konflik yang menyatakan bahwa dalam konflik,
interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh
perbedaan daripada persamaan.
Sedangkan menurut Mary Scannell konflik adalah suatu hal alami
dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam
sekelompok individu.
Hunt and Metcalf membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intra-
personal conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal conflict
(konflik interpersonal). Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi
dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang
individu bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya
tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat
psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik dapat menggangu
bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu
yang bersang-kutan.
Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antar
individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam
keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara.
Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di
dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok
(intergroup conflict).

2. Jenis-Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar
yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik
atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins membagi konflik menjadi dua
macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik
disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah
konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan
memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional
adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik
mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi
kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang
membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional
adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan
pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja
kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik
tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja
kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner,
Freeman and Gilbert membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual).
Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu
yang satu dengan individu yang lain.
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals
and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan
norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict
among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena
masing - masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan
masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik
ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi
menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya,
dalam perebutan sumber daya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict
among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi
sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi
yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan
keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari
posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini
yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf
yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang
mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di
samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain yang
membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict,
constructive conflict, dan destructive conflict.

3. Faktor Penyebab Konflik


Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori,
yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat
menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan
dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi
dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian
yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan
antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan,
sistem imbalan dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok dan
makin khusus kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan 
terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah
faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi
dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka
muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini
disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian
jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang,
frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi
konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah
disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik
yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk
perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain,
serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.

B. Pengertian Resolusi Konflik


1. Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict
resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang
fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary
menurut Levine adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2)
pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.
Sedangkan Weitzman dalam Morton and Coleman, mendefinisikan
resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama
(solve a problem together). Lain halnya dengan Simon Fisher, dkk, yang
menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab
konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama
diantara kelompok-kelompok yang berseteru.
Menurut Mindes resolusi konflik merupakan kemampuan untuk
menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek
penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan
keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta
mengembang-kan rasa keadilan.
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu
cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan
individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan
penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk
menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan kepada pihak-
pihak yang berkonflik untuk meme-cahkan masalah mereka oleh mereka
sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil
untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.

2. Kemampuan Resolusi Konflik


Bodine and Crawford dalam Jones dan Kmitta, merumuskan
beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan
inisiatif resolusi konflik diantaranya :
a. Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi
pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti
kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
b. Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang
untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang
lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya
(empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian
sepihak.
c. Kemampuan emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup
kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di
dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif lainnya.
d. Kemampuan komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi
kemampuan mendengarkan orang lain: memahami lawan bicara;
berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami; dan meresume atau
menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam
pernyatan yang netral atau kurang emosional.
e. Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi
kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan
berbagi macam alternatif jalan keluar.
f. Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu
kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang
sedang dialami.
Tidak jauh berbeda, Scannell juga menyebutkan aspek-aspek
yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi
sebuah konflik meliputi a) keterampilan berkomunikasi, b)
kemampuan menghargai perbedaan, c) kepercayaan terhadap sesama,
dan d) kecerdasan emosi.
Dari pemaparan ahli tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa
dalam proses resolusi konflik diperlukan kemampuan-kemampuan
tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif. Kemampuan
tersebut di antaranya yaitu kemampuan orientasi, kemampuan persepsi
atau menghargai perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan emosi,
kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir kreatif, dan
kemampuan berfikir kritis.

3. Pelaksanaan Resolusi Konflik


Di dalam suatu kelompok, konflik adalah sesuatu yang tak
terhindarkan. Ketika anggota kelompok menyatakan masalah mereka dan
mencari solusinya, konflik menjadi sumberdaya yang berharga
dibandingkan sebuah masalah yang harus diselesaikan. Sebagaimana
pengertian di atas, resolusi konflik artinya adalah suatu metode dan proses
terkonsep yang digunakan untuk membantu menyelesaikan konflik dengan
damai.
Menurut Forsyth, ada beberapa metode untuk melakukan
pelaksanaan resolusi konflik, sehingga dapat mengubah anggota kelompok
yang berselisih menjadi sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Commitment => Negotiation
Konflik dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok
merasa yakin dengan posisinya dan tidak ada keinginan untuk
mengalah satu sama lain,  namun konflik dapat diredakan ketika
anggota kelompok memutuskan untuk bernegosiasi untuk mencapai
kesepakatan yang  dapat menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi
adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua
anggota atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih
spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan.
Negosiasi terkadang lebih dari sekedar tawar-menawar atau saling
berkompromi. Seperti negosiasi distributif, kedua belah pihak
menyembunyikan orientasi kompetitif mereka dan secara bergantian
sampai salah satu pihak mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari
pihak yang lainnya. Di lain pihak, seperti yang ditulis oleh Roger
Fisher and William Ury, negosiasi integratif bertujuan untuk
bekerjasama dengan anggota kelompok untuk meningkatkan kinerja
kooperatif dan hasil yang integratif yang menguntungkan kedua belah
pihak. Fisher dan Ury juga menyarankan anggota kelompok untuk
membuat sesi penyelesaian masalah dan bekerja sama untuk
menemukan solusi.
2. Misperception => Understanding
Konflik seringkali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-
orang  sering menganggap bahwa orang lain ingin berkompetisi
dengan mereka namun pada kenyataannya orang lain tersebut hanya
ingin bekerjasama dengan mereka. Mereka mengira ketika orang lain
mengkritik ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang mengkritik
mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain
tersebut adalah untuk menguntungkan pihak mereka.
Anggota kelompok harus menghilangkan pola fikir seperti itu
dengan cara berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan
mereka di dalam diskusi. Komunikasi tidak cukup untuk
menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman
serta tipu muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota
kelompok untuk saling percaya, namun itu juga dapat menjadi
“boomerang” bagi kelompok dengan adanya “curahan hati” dari
anggota kelompok yang menunjukkan kebencian maupun
ketidaksukaan pada anggota lain.
3. Strong Tactics => Cooperative Tactics
Ada berbagai cara anggota kelompok untuk mengatasi konflik
mereka. Beberapa dari mereka hanya melihat kepada masalah mereka
dan berharap masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Beberapa
anggota lainnya mendiskusikan masalah mereka, terkadang dengan
tenang dan rasional, namun terkadang dengan marah dan keras. Yang
lainnya mencari pihak yang netral untuk menjadi moderator dalam
konflik tersebut. Dan mirisnya, ada anggota yang menggunakan
kekerasan fisik. Taktik yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
pada dasarnya ada 4 (empat) kategori yaitu:
a. Avoiding
Pada dasarnya taktik ini adalah usaha untuk menghindari
konflik tersebut dan berharap konflik itu akan hilang dengan
sendirinya. Orang-orang yang mengadopsi taktik ini biasanya
menghindari meeting, mengubah bahan pembicaraan ataupun
keluar dari kelompok tersebut.
b. Yielding
Anggota kelompok dalam menyelesaikan masalah yang
besar maupun kecil dengan menyerahkan keputusan kepada orang
lain. Setelah melalui proses diskusi dan negosiasi, anggota
kelompok merasa gagasan mereka salah dan akhirnya menyetujui
gagasan anggota kelompok lainnya. Yielding biasa terjadi akibat
pola fikir anggota yang berubah dan setuju dengan pendapat
lainnya ataupun tekanan yang ada di dalam diri mereka.
c. Fighting
Pada sejumlah orang, mereka ingin menyelesaikan konflik
dengan memaksa anggota lainnya untuk menerima pandangan
mereka. Mereka melihat konflik sebagai situasi menang-kalah dan
menggunakan taktik yang kompetitif dan kuat untuk
mengintimidasi anggota yang lain.
d. Cooperating
Anggota yang mengandalkan kerjasama dalam mengatasi
konflik cenderung mencari solusi yang dapat diterima semua
pihak. Mereka tidak memaksakan kehendak dan kompetitif. Alih-
alih mereka menunjukkan akar dari permasalahan dan mencari
solusi yang tepat untuk masalah mereka. Orientasi ini disebut
sebagai win-win solution karena mengganggap hasil yang
menyangkut orang lain merupakan hasil mereka juga.
Metode avoiding dan fighting dianggap metode yang negatif
karena berpotensi melahirkan konflik yang baru dan membiarkan
konflik yang ada sehingga tidak terselesaikan. Di lain pihak metode
yielding dan cooperating merupakan metode yang baik dan
menghasilkan solusi yang dapat diterima semua pihak. Sedangkan
metode fighting dan cooperating merupakan metode yang aktif karena
adanya usaha nyata untuk menyelesaikan konflik sedangkan metode
avoiding dan yielding merupakan metode yang pasif.
4. Upward => Downward Conflict Spirals
Kerjasama yang konsisten diantara orang untuk jangka waktu
yang panjang dapat meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi ketika
anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling percaya
akan menjadi lebih sukar dipahami. Ketika seseorang tidak dapat
mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing untuk
mempertahankan hal yang menguntungkan dirinya atau hal yang dapat
menghilangkan persaingan adalah tit-for-tat atau TFT. Tit-for-
tatadalah strategi tawar menawar yang berawal dari kerjasama, tapi
kemudian meniru pilihan yang dibuat orang lain. Dengan kata lain,
orang akan bersaing jika orang lain bersaing dan orang akan
bekerjasama jika orang lain bekerjasama.
5. Many => One
Individu yang tidak terlibat dalam masalah tidak seharusnya
memihak salah satu pihak melainkan harus menjadi mediator dalam
konflik tersebut. Pihak ketiga (netral) dapat membantu meredakan
konflik dengan cara:
a. Meredakan frustasi dan kebencian dengan memberi kedua belah
pihak sebuah kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka;
b. Jika komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk
meluruskan masalah;
c. Pihak ketiga dapat menyelamatkan “muka” dari yang berkonflik
dengan membebankan kesalahan pada diri mereka sendiri;
d. Pihak ketiga dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat
diterima oleh kedua pihak;
e. Pihak ketiga dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti
lokasi, tempat duduk, formalitas komunikasi, batasan waktu,
hadirin dan agenda;
f. Pihak ketiga dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan
proses penyelesaian masalah secara integratif.
Namun, jika pihak-pihak ingin menyelesaikan konflik dengan
cara mereka sendiri, maka intervensi dari pihak ketiga akan dianggap
sebagai gangguan yang tidak diinginkan.
Keefektifan pihak ketiga tergantung dari kekuatan mereka di
dalam kelompok. Di dalam  prosedurinquisitorial, pihak ketiga akan
memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak dan memutuskan
hasil yang harus diterima semua pihak. Di dalam arbitration kedua
belah pihak memberikan argumen-argumen kepada pihak ketiga yang
akan membuat sebuah keputusan berdasarkan argumen yang diberikan.
Di dalam moot  kedua pihak dan pihak ketiga berdiskusi, di situasi
yang terbuka dan tidak formal tentang masalah dan solusi yang
memungkinkan.
6. Anger => Composure
Ketika keadaan “memanas”, anggota kelompok yang
bertentangan harus mampu mengontrol emosi mereka. Metode yang
efektif untuk mengontrol emosi adalah dengan berhitung 1 sampai 10
atau menyampaikan humor atau lelucon di kelompok. Humor dapat
memberikan emosi yang positif dan dapat meredam emosi yang
negatif seperti amarah. Kelompok juga dapat melestarikan budaya
seperti pelarangan penunjukan emosi negatif, salah satu contohnya
adalah amarah.
  
BAB III
KESIMPULAN

Resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat


eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi tejadinya
konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik. Dengan kata lain, resolusi
konflik dapat diartikan sebagai penyelesaian konflik atau upaya penanganan suatu
konflik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa resolusi konflik adalah usaha yang
dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara
pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita mengetahui bahwa konflik itu
ada dan diarahkan pada keterlibatan berbagai pihak dalam isu-isu mendasar
sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Selain itu, agar kita memahami gaya
dari resolusi konflik dan mendefinisikan kembali jalan pintas ke arah
pembaharuan penyelesaian konflik. Resolusi konflik difokuskan pada sumber
konflik antara dua pihak, agar mereka bersama-sama mengidentifikasikan isu- isu
yang lebih nyata. Selain itu, resolusi konflik dipahami pula sebagai upaya dalam
menyelesaikan dan mengakhiri konflik.
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau
pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam
organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-
hambatan yang menciptakan terjadinya konflik. Terdapat banyak cara dalam
penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis
sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga
diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang
baik maka akan diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik
yang akan selalu terus terjadi dalam organisasi.
Kehadiran konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan tetapi
hanya dapat dieliminir. Konflik dalam organisasi dapat terjadi antara individu
dengan individu, baik individu pimpinan maupun individu karyawan, konflik
individu dengan kelompok maupun konflik antara kelompok tertentu dengan
kelompok yang lain. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang
ditata dan dikendalikan dengan baik dapat berujung pada keuntungan organisasi
sebagai suatu kesatuan, sebaliknya apabila konflik tidak ditangani dengan baik
serta mengalami eskalasi secara terbuka dapat merugikan kepentingan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Fisher, Simon, dkk. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk


Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, Jakarta:
The British Counsil, Indonesia, 2001.

Fisher, Roger and Ury, William, Getting Yes, 2nd ed, (London: Random House
Business Books, 1983.

Forsyth, Donelson R., An Introduction To Group Dynamics (California:


Brooks/Cole Publishing Company, 1983.

Gea, Antonius Atosokhi, dkk, Relasi Dengan Sesama Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2002.

Hunt, M.P. and Metcalf, L., Ratio and Inquiry on Society’s Closed Areas, in
Educating The Democratic Mind (W. Parker) New York: State
University of New York Press, 1996.

Kuper, Adam and Kuper, Jesica, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta: Rajawali
Press, 2000.

Maftuh, Bunyamin, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda


yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai Bandung: Program
Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005.

Michalowski, Raymond J., “Perspectives and Paradigm: Structuring


Criminological Thought”, in Robert F. Meier, ed., Theory in
Criminology Beverly Hills, CA: Sage, 1977.

Robbins, Stephen P., Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi
Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Jakarta: Arcan, 1994.

Scanell, Mary, The Big Book of Conflict Resolution Games United States of
America: McGraw-Hill Companies, Inc, 2010.

Stoner, James A.F., Freeman, R. Edward, and Gilbert, Daniel R., Manajemen,
Jilid II, Alih Bahasa Alexander Sindoro, Jakarta: Prenhallindo,1996.

Suparlan, Parsudi, “Hubungan Antar Suku Bangsa” t.tp: KIK Press, 2004.

Winardi, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Cetakan


Pertama, Bandung: Mandar Maju, 1994.

Anda mungkin juga menyukai