Anda di halaman 1dari 5

ETIKA SYARIAH:DASAR NILAI ETIKA AKUNTANSI DAN BISNIS

Bab ini mencoba mencari system nilai etika yang sesuai dengan fitrah manusia, yang
secara terbuka (inklusivisme-kritis) memperkenalkan nilai-nilai akuntansi (yang sudah ada
sekarang) [Riahi-Belkaoui (1992) dan Francis (1990)], teori-teori etika (Norman, 1983,
Solomon, 1984, dan Chryssides dan Kaler; 1993) dan syariah sebagai dasar nilai etika. Secara
implicit, tulisan ini pada intinya merupakan refleksi dari perspektif Khalifatullah fil Ardh yang
berupaya secara bebas dan terbuka mencari Sunnatullah sebagai “bentuk” eksternal syariah dan
mengakui takwa sebagai “ruh” etika syariah.

1. Nilai-nilai Etika Akuntansi Menurut Ahmed Riahi-Belkaoui (1992)

Salah satu prinsip yang dimiliki perspektif Khalifatullah fil Ardh dalam pola piker adalah
“inklusivisme-kritis” yaitu, pola berpikir bebas dan terbuka namun tetap kritis berdiri di atas hati
nurani yang suci dan bertauhid. Konsekuensi dari pola berpikir semacam ini adalah menerima
semua pemikiran dan ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan sumbernya.

Dengan “inklusivisme-kritis” ini, perbendaharaan ilmu pengetahuan akan semakin


diperkaya. Dan ketika ilmu pengetahuan dimengerti sebagai temuan-temuan atau bentuk-bentuk
konkret dari Sunnatullah, maka diharapkan kesadaran manusia akan keberadaan Sunnatullah
(keberadaan Allah) akan semakin meningkat. Sehingga dengan kesadaran ini, realitas kehidupan
yang tercipta atau yang akan diciptakan oleh setiap individu akan selalu berada dalam garis
Sunnatullah.

Sehubungan dengan hal tersebut, kajian di bab ini akan diarahkan pada konsep nilai-nilai
etika akuntansi yang dikemukakan oleh dua orang penulis, yaitu Ahmed Riahi-Belkaoui (1992)
dan Jere R. Francis (1990). Riahi-Belkaoui (1992), dalam hal ini, mengajukan lima nilai etika,
yaitu:

1. Fairness, merupakan perwujudan sifat netral dari seorang akuntan dalam menyiapkan
laporan keuangan.
2. Ethics, menurut pandangan Riahi-Balkaoui, erat kaitannya dengan peran profesi akuntansi,
artinya bahwa dalam melaksanakan peranannya, seorang akuntan tidak hanya menghadapi
aturan-aturan perilaku formal, tetapi juga nilai-nilai moralitas yang diciptakan oleh
lingkungannya (Riahi-Belkaoui, 1992: 25).
3. Honesty, adalah unsure ketiga yang dapat menjamin terciptanya atau bertahannya
kepercayaan masyarakat umum terhadap profesi akuntansi. Hilangnya honesty umumnya
menyebabkan timbulnya fraud.
4. Social responsibility, adalah unsur yang keempat yang pada dasarnya erat kaitannya dengan
persepsi seseorang tentang perusahaan.
5. Truth, dalam hal ini dapat diartikan sebagai netralitas (neutrality) dan objektivitas
(objectivity) (Riahi-Belkaoui, 1992: 178-9). Truth dalam arti yang pertama, menurut (Riahi-
Belkaoui, 1992: 179) menunjukkan bahwa seorang akuntan [untuk menghindari bias dalam
pengetahuan (knowledge), deskripsi, dan komunikasi atas fakta], harus bersikap netral.

Unsur-unsur moralitas akuntansi yang dikemukakan oleh Riahi-Belkaoui (1992) di atas


merupakan bagian yang sangat penting dalam memberikan suatu persepsi bahwa sebenarnya
akuntansi tidak terlepas dari nilai-nilai etika yang menyangkut tidak saja kepribadian
(personality) dari akuntan sebagai orang yang menciptakan dan membentuk akuntansi, tetapi
juga akuntansi sebagai sebuah disiplin.

2. Nilai-nilai Etika Akuntansi Menurut Jere R. Francis (1990)

Sedikit berbeda dalam hal penekanan, nilai-nilai etika yang dikemukakan oleh Francis
(1990) lebih bersifat spesifik dan pragmatis disbanding dengan apa yang telah dikemukakan oleh
Riahi-Belkaoui (1992). Hal ini demikian, karena Francis (1990) memang menekankan, seperti
yang dikemukakan di atas, pada sisi tertentu memberikan arti bahwa akuntansi pada hakikatnya
adalah praktik moral. Oleh karena itu, Francis (1990, 9) lebih menekankan pada kualitas
kemanusiaan (human quality), yaitu kualitas yang kepemilikan dan aktualisasinya dapat
membantu kita untuk memperoleh suatu yang baik yang sebetulnya bersifat internal bagi praktik
akuntansi dan sebaliknya dengan ketiadaan kualitas tersebut akan menghambat kita untuk
memperoleh nilai kebijakan. Untuk itu Francis (1990, 9) mengemukakan lima “nilai etika” yang
dapat direalisasikan melalui praktik akuntansi, yaitu:

1. Kejujuran (honesty), merupakan kualitas utama yang harus dimiliki oleh baik akuntan
maupun auditor.
2. Perhatian terhadap status ekonomi orang lain (concern for the economic status of others).
3. Sensitivitas terhadap nilai kerja sama dan konflik.
4. Karakter komunikatif akuntansi.
5. Penyebaran informasi ekonomi.

Apa yang dikemukakan oleh Riahi-Belkaoui (1992) dan Francis (1990) diatas tidak lain
merupakan fenomena yang menunjukkan semakin meningkatnya perhatian akan pentingnya
penerapann etika dalam dunia akuntansi pada khususnya dan dunia bisnis pada umumnya.

3. Makna Etika dan Relevansinya dengan Dunia Bisnis

Etika (ethics) sebetulnya berasal dari kata ethos (bahasa yunani) yang berarti karakter
atau kebiasaan. Menurut Solomon (1984: 3), makna dari kata ethos ini tidak lain adalah karakter
dari suatu budaya. Sedangkan etika pada sisi lain, umumnya berkenaan dengan karakter individu
(termasuk apa yang kita sebut “menjadi orang yang baik”) dan juga berkenaan dengan usaha
memahami aturan-aturan social, khususnya aturan-aturan tentang hal yang “baik” dan yang
“buruk”, yang mengatur dan membatasi perilaku kita (Solomon 1984: 3).
Etika merupakan satu bagian yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita
sehari-hari, khususnya kehidupan dunia bisnis. Tentang hal ini, paling tidak ada beberapa alasan
untuk mendukung pernyataan tersebut (lihat Chryssides dan Kaler, 1993: 21-3).

4. Beberapa Teori Etika

Dalam masyarakat yang majemuk terdapat system nilai etika yang majemuk (banyak dan
berbeda antara yang satu dengan yang lain) pula. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan akan
terjadi konflik antara kelompok masyarakat tertentu dengan yang lain. Fenomena
(kemajemukan) ini memang sulit dihindarkan, karena kemajemukan itu sendiri merupakan
fenomena yang “alamiah”. Dengan kata lain , kemajemukan itu sebetulnya memang harus ada,
namun di samping kemajemukan tersebut harus ada sebuah nilai yang sifatnya universal dan
dapat diterima oleh semua pihak.

5. Teori Etika Utilitarianisme

Teori etika utilitarianisme pada awalnya berasal dari Inggris sebagai respon terhadap
Revolusi industry yang telah mengubah dunia Barat dari mnasyarakat agraris menjadi
masyarakat industri. Lokomotif utama dari teori ini tidak lain adalah Jeremy Bentham (1748-
1832), seorang filsuf yang lahir di London pada 5 Februari 1748. Dasar pemikiran yang
mengantarkan Bentham dalam pengembangan teori ini terletak pada utilitas (utility). Utilitas
dalam hal ini memiliki makna bahwa: “Suatu tindakan akan dinyatakan baik atau salah
tergantung pada kecenderungan untuk memberikan kebahagiaan yang besar bagi sejumlah besar
individu (Borcheart dan Steward 1986: 182-3)”.

6. Teori Etika Dentologis

Teori ini adalah teori yang dibangun oleh Immanuel kant (1724-1804). Seorang filosof
jerman yang mengklaim (sebagaimana juga Bentham yang menganggap bahwa “kebahagiaan”
sebagai klaim tunggal atas tujuan hidup manusia) bahwa “iktikad baik” (a good will) adalah
sebagai satu-satunya dasar moralitas sebuah tindakan. Dengan demikian, berbeda dengan
Bentham, Kant beranggapan bahwa sebuah tindakan dianggap baik bukan Karena hasil atau
konsekuensi yang dihasilkan oleh tindakan tersebut, tetapi sebaliknya tindakan tersebut
ditentukan oleh ”iktikad baik” dari pelaku tindakan.

7. Teori Etika yang Bersumber dari Agama

Agama dalam teori ini, merupakan sumber yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk
mengetahui atau membedakan yang baik dari yang buruk dan yang benar dari yang salah.

Yang membedakan teori ini dengan teori etika sekuler lainnya adalah bahwa ada keyakinan yang
kuat di antara para pemeluk agama tentang adanya “realitas supranatural” di samping realitas
dunia yang sedang dialami sekarang ini. Dengan dasar keyakinan ini, mereka, dalam hidup di
dunia ini, selalu berusaha melakukan tindakan yang sesuai dengan ajaran agama mereka. Dengan
cara ini mereka yakin bahwa apa yang mereka perbuat akan menghantarkan mereka kepada
“realitas supranatural” tadi.

8. Syariah: Sumber Nilai Etika

Sebagaimana telah kita ketahui diatas, Immanuel Kant dalam memberikan pengertian
terhadap “kewajiban” (duty) sebagai salah satu prinsip dalam membangun teori etikanya,
mengaitkan “kewajiban” tersebut dengan “ketentuan formal”, yaitu “hukum moral”. “hukum
moral” yangt dikemukakan Kant memiliki konotasi religious, karena latar belakang Kant
memang berasal dari lingkungan Kristen protestan. Jadi tidak heran jika “hukum moral” yang ia
gunakan mendapat inspirasi dari etika Protestan (Norman, 1983: 94).

Dengan logika yang sama, seorang Muslim juga mempunyai keyakinan bahwa Al-Qur’an
dan Hadis merupakan dua sumber utama dalam menentukan nilai baik dan benar. Dari nkedua
sumber tersebut kemudian diturunkan formulasi praktis dalam bentuk “hukum islam”, yang
akhirnya kita kenal dengan nama “syariah”. Untuk menghasilkan ketentuan hukum ini,
diperlukan alat yang lain, yaitu ijma’ dan qiyas. Syariah, yang menurut ketentuannya
menetapkan bahwa setiap tindakan dapat diklasifikasikan ke dalam lima kelas, yaitu wajib,
mandub, mubah, nakruh, haram.

9. Syariah: Upaya Pencarian Sunnatullah

Apa yang kita diskusikan di atas adalah persepsi tentang syariah sebagai ketentuan
hukum yang menganggap bahwa hukum-hukum syariat yang telah diformulasikan dan
ditetapkan oleh ulama-ulama sebelumnya berada dalam posisi yang sudah final. Tentu
pandangan semacam ini sulit diterima bagi mereka yang kontra terhadap pendapat tersebut.
Dalam hal ini ada tiga alasan mendasar mengapa pandangan yang kedua menolak yang pertama
yaitu:

1. Doktrin tentang “kepastian ijma” adalah mitos.


2. Peradaban manusia selalu berubah.
3. Sunnatullah yang tersebar luas.
10. Syariah: “Bentuk” Hukum Etika Islam

Syariah adalah produk atau hasil karya cipta manusia melalui proses yang rasional
dengan dasar nilai ilahiah yang universal, yaitu tauhid. Oleh karena itu syariah, dalam pengertian
“bentuk” aturan-aturan atau “hukum positif,” haruslah bersifat rasional dan praktis (dapat
diterapkan sesuai dengan konteks lingkungannya). Untuk sampai kearah ini, kita membutuhkan
transformasi pemikiran, yaitu menginterprestasikan kembali nilai-nilai Islam secara rasional dan
empiris.

11. Syariah: Nilai Internal Etika Islam


Kajian sebelum subbab ini pada dasarnya memberikan sebuah ilustrasi tentang syariah
dalam arti sebagi “bentuk’ ketentuan-ketentuan hukum yang tidak lain adalah bentuk luar dari
syariah. Dengan menggunakan metodologi dan pendekatan alternative, bentuk luar syariah ini
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan akan mampu memberikan justifikasi
tentang “baik” dan ‘benar” dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Bagi Majdid (1995b), konsep islam, iman, dan ihsan menyiratkan tingkat kematangan
dan kedewasaan kepribadian, yaitu berturut-turut dari tingkat yang paling rendah sampai pada
tingkat tertinggi. Arti islam itu sendiri bagi Majdid (1995b: 18) adalah “sikap pasrah atau
menyerahkan diri kepada Tuhan,” yaitu sekap keagamaan yang dianggap benar dan diterima oleh
Tuhan. Sikap semacam ini hanya mungkin dimiliki oleh orang yang mempunyai keyakinan
bahwa Tuhan itu ada, yaitu sikap iman kepada Allah (beserta rukn iman lainnya).

Ketika kita beada dalam suatu posisi kesadaran bahwa kita melakukan suatu perbuatan
(penyembahan atau ibadah) seolah-olah kita melihat Allah, atau sebaliknya Allah melihat kita,
maka pada posisi ini kita mencapai kesadaran puncak, yaitu “kesadaran ketuhanan”. Ini adalah
“kesadaran tentang adanya Tuhan yang Maha hadir dalam hidup kita” (Majdid, 1995b: 33).

Di samping takwa dapat berarti sebagai “kesadaran ketuhanan”, Majdid (1995b: 33) juga
member makna takwa sebagai “semangat ketuhanan” (rabbaniyah), yaitu “sikap-sikap pribadi
yang secara bersungguh-sungguh berusaha memahami Tuhan dan mentaati-Nya”. Jadi, takwa
dalam makna “semangat ketuhanan” ini memberikan pengertian kepada kita bahwa takwa tidak
saja menuntut seseorang memiliki ilmu yang tinggi tentang Allah (sunnatullah), tetapi juga
menaati segala hukum Allah yang telah ia temukan dan ketahui. ”semangat ketuhanan” ini bagi
Majdid (1995b, 34) mencakup kesadaran akhlaki (kesadaran etika atau moral, atau budi luhur)
manusia dalam usaha untuk hidup harmoni dengan , dan taat terhadap Sunnatullah.

Anda mungkin juga menyukai