Anda di halaman 1dari 7

Resume Teori Akuntansi Syari’ah

Nama Kelompok :
1. Anggi Dwi Kartika (16322001)
2. Evieta Mufadlillah (16322009)

BAB IV
ETIKA SYARIAH - DASAR NILAI ETIKA AKUNTANSI DAN BISNIS

Nilai-Nilai Etika Akuntansi Syariah Menurut Ahmad Riadhi – Belkaoui ( 1992 )

Salah satu pola prinsip yang dimiliki persepktif khalifatullah fil Ardh dalam pola berpikir
adalah “inklusivisme-kritis”. Yaitu, pola pikir yang bebas dan terbuka namun tetap kritis berdiri diatas
hati nurani yang suci dan bertauhid. Konsekuensi dari pola pikir semacam ini adalah menerimasemua
pemikiran dan ilmu pengetahuan tanpa memerhatikan sumbernya, seperti yang pernah disabdakan
oleh nabi Muhammad saw:
“pungutlah olehmu hikmah (ilmu pengtahuan atau wisdom), dan tidak akan membahayakanbagi
kamu dari bejana apa pun hikmah itu ke luar”
“hikmah adalah barang hilangnya orang beriman, karena itu hendaknya ia memungutnya diman pun
ditemukannya”.
Dengan “inklusivisme-kritis” ini, pembendaharaan ilmu pengetahuan akan semakin
diperkaya.Dan ketika ilmu pengetahuan dimengerti sebagai temuan-temuan atau bentuk-bentuk
konkret dari sunnatullah, maka diharapkan kesadaran manusia akan keberadaan sunnatullah (atau
keberadaaan Allah) akan semakin meningkat. Sehingga dengan kesadaran ini, realitas kehidupan yang
tercipta atau yang akan diciptakan oleh setiap individu akan selalu berada dalam garis sunnatullah.
Unsur pertama fairness merupakan perwujudan sifat netral dari seorang akuntan dalam
menyiapkan laporan keuangan. Ini adalah suatu indikasi bahwa prinsip, prosedur dan teknik-teknik
akuntansi harus fair, tidak bias, dan tidak parsial dalam arti bahwa akuntansebagai penyedia informasi
harus beriktikad baik dan menggunakan etika bisnis dan kebijakanakuntansi yang baik dalam
menyajikan, memproduksi, dan memeriksa (auditing) informasi akuntansi.
Unsur yang kedua, yaitu etika (ethics), menurut pandangan Riahi-Belkaoui, erat kaitannya
dengan peran profesi akuntansi, artinya bahwa dalam melaksanakan peranannya, seorangakuntan
tidak hanya menghadapi aturan-aturan perilaku formal, tetapi juga nilai-nilai moralitas yang
diciptakan oleh lingkungannya (Riahi-Belkaoui, 1992: 25).
Honesty adalah unsur ketiga yang dapat menjamin terciptanya atau bertahannya kepercayaan
masyarakat umum terhadap profesi akuntansi. Hilangnya honesty umumnya menyebabkan timbulnya
fraud. Sayangnya fraud dalam dunia akuntansi-yang umumnya dalam bentuk corporate fraud,
fraudulent financial reporting, white collar crime, atau audit failures makinmeningkat dan
meyebabkan timbulnya kerugian yang besar bagi perusahaan, individu danmasyarakat, serta
menimbulkan masalah moral dalam dunia praktik (Riahi-Belkaoui, 1992: 119).
Social Responsibility adalah unsur yang keempat yang pada dasarnya erat kaitannya dengan
persepsi seseorang tentang perusahaan. Menurut persepsi ini, perusahaan tidak lagi dipandang sebagai
sebuah entitas yang semata-mata mengejar laba profit untuk kepentingan pemilik perusahaan
(Shareholders) sebagaimana yang dianut oleh paham klasik pada abad ke-19 atau untuk kepentingan
yang lebih luas, yaitu stakeholders (pemegang saham, kreditor, investor, pemasok bahan-baku,
pemerintah, dan entitas lain yang mempunyai hak kepada perusahaan),namun juga secara lebih serius
memerhatikan lingkungan social. Pandangan yang terakhir ini, menganggap bahwa perusahaan
mempunyai kepentingan yang kuat terhadap lingkungan social sebagai bagian yang sangat penting
dan tak terpisahkan dalam melakukan bisnis di samping kepentingan pasar.
Unsur kelima dari moralitas dalam akuntansi adalah truth. Truth dalam hal ini dapat diartikan
sebagai netralitas (neutrality) dan objektivitas (objectivity) (Riahi-Belkaoui, 1992: 179-9). Truth
dalam arti yang pertama, menurut Riahi-Belkaoui (1992: 179), menunjukkan bahwa seorang akuntan
(untuk menghindari bias dalam pengetahuan (knowledge), deksripsi , dan komunikasiatas fakta),
harus bersikap netral. Netral disini artinya adalah bahwa akuntan melaporkan informasi seperti apa
adanya, tidak menyediakan informasi dengan cara tertentu yang cenderung menguntungkan suatu
pihak dan merugikan pihak lain. Sedangkan truth dalam arti yang kedua,menunjukkan empat
pengertian, yaitu :
• bahwa ukuran-ukuran yang digunakan dalam akuntansi bersifat impersonal atau beradadiluar
pemikiran seseorang yang membuat ukuran tersebut
• bahwa ukuran tersebut berdasarkan pada bukti-bukti yang dapat diverifikasi
• bahwa ukuran tersebut berdasarkan pada consensus para ahli yang dapat dipercaya dan
• Terdapat kerampingan (narrowness) disperse statistic dari ukuran-ukuran yang digunakan bila
ukuran tersebut dibuat oleh orang yang berbeda (Riahi – Belkaoui, 1992: 179)

Unsur-unsur moralitas akuntansi yang dikemukkan oleh Riahi-Belkaoui (1992) di atas


merupakan bagian yang sangat penting dalam memberikan suatu persepsi bahwa sebenarnya
akuntansi tidak terlepas dari nilai-nilai etika yang menyangkut tidak saja kepribadianpersonality dari
akuntansi sebagai orang yang menciptakan dan membentuk akuntansi, tetapi juga akuntansi sebagai
suatu disiplin. Hal tersebut memang wajar dan cukup rasional karena akuntansi-sebagaimana yang
didefinisikan oleh American institute of certified public accountants (AICPA) dalam statements of the
accounting principle board, No. 4, par 40, 1970-adalah “sebuah aktivitas jasa. fungsinya adalah
memberikan informasi kuantitatif, terutama informasi keuangan, tentang entitas bisnis yang di
maksudkan dapat berguna dalam membuatkeputusan-keputusan ekonomi-dalam membuat pilihan-
pilihan yang rasional di antara beberapa alternatif tindakan.
Nilai-Nilai Etika Akuntansi Menurut Jere R. Francis (1990)

Sedikit berbeda dalam hal penekanan, nilai-nilai etika yang dikemukakan oleh Francis (1990)
lebih bersifat spesifik dan pragmatis di banding dengan apa yang telah dikemukakan oleh Riahi-
Belkaoui (1992). Hal ini demikian, karena Francis (1990) memang menekankan, seperti yang
dikemukakan di atas, pada sisi tertentu yang memberikan arti bahwa akuntansi pada hakikatnya
adalah praktik moral. Oleh karena itu Francis (1990: 9) lebih menekankan pada kualitas kemanusiaan
(human quality), yaitu kualitas yang kepemilikan dan aktualisasinya dapat membantu kita untuk
memperoleh sesuatu yang baik yang sebetulnya bersifat internal bagi praktik akuntansi dan sebaliknya
dengan ketiadaan kualitas tersebut akan menghambat kita untuk memperoleh nilai kebijakan. Untuk
itu, Francis (1990,9) mengemukakan lima nilai etika yang dapat direalisasikan melalui praktik
akuntansi, yaitu :

• Kejujuran honesty
• Perhatian terhadap status ekonomi orang lain (concern of the economic status of other)
• Sensitivitas terhadap nilai kerja sama dan konflik (sensitivity to the value of cooperation and
conflict)
• Karakter komunikatif akuntansi (communicative character of accounting)
• Dan penyebaran informasi ekonomi (dissemination of economic information).
Makna Etika Dan Relevansinya Dengan Dunia Bisnis

Etika (ethics) sebetulnya berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter atau
kebiasaan (custom). Menurut solomon (1984: 3) makna dari kata ethos ini tidak lain adalah karakter
dari suatu budaya. Sedangkan etika, pada sisi yang lain, umumnya berkenaan dengan karakater
individu (termaksud apa yang kita sebut “menjadi orang yang baik”) dan juga berkenaan dengan
usaha memahami aturan-aturan sosial, khususnya aturan-aturan tentang hal yang “baik” dan yang
“buruk”, yang mengatur dan membatasi perilaku kita (Solomon 1984: 3). Namun, etika juga dapat
diartikan sebagai sebuah disiplin ilmu (yang mempelajari baik nilai maupun justifikasinya) dan nilai
serta aturan sesungguhnya dari perilaku dimana dengannya kita hidup (solomon, 1984: 2).
a. Teori Etika Utilitarianisme

Teori etika utilitarianisme pada awalnya berasal dari inggris sebagai respon terhadap revolusi
industry yang telah mengubah dunia barat dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industry.
Lokomotif utama dari teori ini tidak lain adalah Jeremy Bentham (1748-1832) seorang filsuf yang
lahir di London pada 9 februari 1748. Jasa pemikiran yang mengantarkan "entham dalam
pengembangan teori ini terletak pada prinsip utilitas (utility). Utilitas, dalam hal ini memiliki makna
bahwa suatu tindakan akan dinyatakan baik atau salah tergantung pada kecenderungannya untuk
memberikan kebahagiaan yang besar bagi sejumlah besar individu (Borchert dan Steward, 1985: 182-
3. Bentham memulai teorinya dengan mengambil Hedonisme psikologis (psychological hedonism)
sebagai sebuah fakta yang memandang bahwa: Semua manusia dalam kenyataannya selalu berusaha
mendapatkan kenikmatan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain) (Borchert dan Steward,1986:
183).
b. Teori Etika Deontologis

Teori ini adalah teori yang dibangun oleh Immanuel Kant (1724-1804), seorang filosof jerman
yang mengklaim (sebagaimana juga Bentham yang menggangap bahwa “kebahagiaan” sebagai klaim
tunggal atas tujuan hidup manusia) bahwa “iktikad baik” (a good will) adalah sebagai satu-satunya
dasar moralitas sebuah tindakan. Dengan demikian, berbeda dengan Bentham, Kant beranggapan
bahwa sebauh tindakan dianggap baik bukan karena hasil atau kosekuensi yangdihasilkan oleh
tindakan tersebut, tetapi sebaliknya tindakan tersebut ditentukan oleh “iktikad baik” dari pelaku
tindakan
c. Teori Etika yang Bersumber dari Agama

Agama, dalam teori etika ini, merupakan sumber yang dapat dijadikan sebagai pedoman
untuk mengetahui atau membedakan yang baik dan yang buruk dan yang benar dan yang salah.
Mengapa agama dijadikan sumber nilai? karena hanya tuhanlah yang memiliki otoritas tertinggi
dalam menetapkan nilai-nilai yang baik dan yang benar. Tentang hal ini, Chryssides and Kaler (1993:
84) berkomentar bahwa
Jika tuhan itu ada, lalu siapa yang lebih baik dari tuhan sendiri dalam memutuskan apa yang
benar dan apa yang salah. Jika tuhan itu maha mengetahui, maka pasti dialah pemegang otoritas yang
terpercaya atas para ahli etika
Yang membedakan teori ini dengan teori etika sekuler lainnya adalah bahwa ada keyakinan
yang kuat diantara para pemeluk agama tentang adanya “Realitas supranatural disamping realitas
dunia yang sedang dialami sekarang ini. Dengan dasar keyakinan ini, mereka, dalam hidup didunia
ini, selalu berusaha melakukan tindakan yang sesuai dengan ajaran agama mereka. Dengan cara ini
mereka yakin bahwa apa yang mereka perbuat akan menghantarkan mereka kepada “realitas
supranatural tadi”.
d. Syariah : Sumber Nilai Etika

Sebagaimana telah kita ketahui diatas, Immanuel Kant dalam memberikan pengertian
terhadap “kewajiban” (duty) sebagai salah satu prinsip dalam membangun teori etika, menggaitkan
“kewajiban” tersebut dengan “ketentuan formal” (formal recuirement), yaitu “hukum moral” (moral
law), “hukum moral” yang dikemukakan oleh Kant memiliki konotasi religius, karena latar belakang
kant memang berasal dari lingkungan kristen protestan. Jadi tidak mengherankan bila “hukum moral”
yang ia gunakan mendapat inspirasi dari etika protestan (Norman, 1983: 4)
Syariah : Upaya Pencarian Sunatullah
Apa yang kita diskusikan diatas adalah persepsi tentang syariah sebagai ketentuan hukum
yang menganggap bahwa hukum-hukum syariah yang telah diformulasikan dan ditetapkan oleh
ulama-ulama sebelumnya berada dalam posisi yang sudah final. Tentu pandangan semacam ini sulit
diterima bagi mereka yang kontra terhadap pendapat tersebut. Paling tidak, dalam hal ini,ada tiga
alasan mendasar mengapa pandangan yang kedua menolak, antara lain :
• Pertama, doktrin tentang “kepastian ijma” dalam mitos.
• Kedua, peradaban manusia selalu berubah.
• Ketiga, sunnatullah yang tersebar luas.

e. Syariah : “Bentuk” Hukum Etika Islam

Dari uraian diatas kita dapat menangkap suatu prinsip bahwa sebetulnya tidak dapat terlepas
dari konteks sosial yang terbungkus dalam dimensi waktu dan ruang dimana diakan diterapakan.
Dengan kata lain, syariah adalah produk atau hasil karya cipta manusia melalui proses yangrasional
dengan dasar nilai ilahi yang universal, yaitu Tauhid. Oleh karena itu, syariah, dalam pengertian
“bentuk” aturan-aturan atau “hukum positif”, haruslah bersifat rasional dan praktis (dapat diterapakan
sesuai dengan konteks lingkungannya).
Untuk sampai kearah ini, kita membutuhkan transformasi pemikiran, yaitu
menginterpretasikan kembali nilai-nilai islam secara rasional dan empiris. Untuk itu, lima program
reinterpretasi yang diusulkan oleh Kuntowijoyo (1991: 283-5) adalah sangat relevan untuk
diperhatikan. Program- programnya antara lain:
• Program pertama adalah “perlunya dikembangkan penafsiran sosial structural lebih dari pada
penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu dalam Al-Quran
(Kuntowijoyo, 1991: 283 ).
• Program yang kedua adalah mengubah “cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif”
(Kuntowijoyo, 1991: 284 ).
• Program yang ketiga adalah “mengubah islam normative menjadi teoretis” (Kuntowijoyo,
1991: 284 ).
• Program yang keempat adalah “mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis”
(Kuntowijoyo, 1991: 285).
• Program yang kelima (terakhir) adalah “merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang
bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi yang spesifik dan
empiris”(Kuntowijoyo, 1991: 285).

f. Syariah : Nilai Internal Etika Islam

Kajian sebelum sub bab ini pada dasarnya memberikan sebuah ilustrasi tentang syariah
dalam arti sebagai "Bentuk” ketentuan-ketentuan hukum yang tidak lain adalah bentuk luar dari
syariah ini. Dengan menggunakan metodologi dan pendekatan alternative, bentuk luar syariah ini
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan akan mampu memberikan justifikasi
tentang baik dan benar dalam praktik kehidupan sehari hari.
BAB V
CINTA DALAM RAHIM AKUNTANSI

Carut-Marut Kapitalisme
Kapitalisme adalah wujud pikiran manusia yang direfleksikan dalam kehidupan nyata.
Kehidupan dengan jaringan realitas dan karakter yang terkandung dalam diri kapitalisme.
Pada masyarakat industri, pembagian kerja menghendaki spesialisasi tinggi yang
mengakibatkan individu saling bergantung dan dapat mengembangkan bentuk-bentuk
patologis. Pada katinggian spesialisasi ini tugas-tugas semakin sulit dilakukan dan bahkan
pada titik tertentu dapat mengisolasi pekerja, sehingga mereka tidak mengerti proses produksi
secara keseluruhan. Kebersamaan anggota masyarakat semakin pudar, karena setiap individu
disibukkan oleh pekerjaannya masing-masing.
Kehidupan manusia menjadi sangat mekanis seperti mesin. Pemahaman pada manusia
hanya dilihat dari aspek rasionalitas efisiensi. Ketika manusia bekerja tidak produktif dan
efisien, maka yang bersangkutan akan diganti dengan manusia yang lebih produktif Dn
efisien sebagaimana layaknya mengganti mesin yang sudah tidak lagi produktif. Nilai
manusia dalam kondisi ini tidak berbeda dengan sebuah “benda” (Budiman, 1997:122).
Karakter Akuntansi
Hakikatnya adalah jelas; akuntansi laksana pedang bermata dua. Ia dapat dibentuk oleh
lingkungannya (socially constructed). Ini akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa
akuntansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas dari nilai (value-
free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktik yang sangat sarat dengan nilai.
Klaim ini adalah salah satu bentuk “logosentrisme,” yaitu sistem pola berpikir yang
mengklaim adanya legitimasi dengan referensi kebenaran universal dan eksternal.
Logosentrisme ini terutama dicirikan dengan: pertama, pola berpikir oposisi biner
(dualistik, dikhotomis) yang hiearkis, kedua ilmu pengetahuan positivistik yang mekanis,
linier, dan bebas-nilai. Dapat dimengerti bahwa logosentrisme sebagai produk modernisme
mempunyai ciri “penunggalan” melalui universitas. Konsekuensi dari penunggalan ini adalah
bahwa “sang lain” (the others) yang berada di luar dirinya akan selalu disubordinasikan,
dieliminasikan, dan jika mungkin harus “dibunuh”.
Ontologi
Secara ontologis akuntansi mainstream sangat dipengaruhi oleh physical realism yang
menganggap realitas objektif berada secara bebas dan terpisah diluar diri manusia.
Peran Cinta-Kasih
Destruksi yang ditimbulkan oleh akuntansi pada dasarnya dapat dieliminasi dengan
mamasukkan nilai cinta. Cinta adalah karakter Tuhan yang membawa kedamaian.
Cinta membutuhkan pengorbanan, yaitu meleburkan “aku” yang kecil dan menyatukan
dengan “Aku” Semesta.
Cinta kasih akan melenyapakn keangkuhan, keangkaramurkaan, kerusakan, kelaziman,
kenistaan, dan sebaliknya menciptakan surga atau nirwana bagi semua makhluk.
Akuntansi harus dapat memenggal kepala “ego”nya yang besar dan menumbuhkan
tanaman altruisme agar dapat menciptakan kedamaian dalam realitas kehidupan bisnis.
Akuntansi harus mengurangi “kejantanan”nya dan menumbuhkan “kebetinaan”nya dengan
menggunakan sudut pandang yang lain, yaitu holistic worldview.
Menurut tradisi Islam, realitas bersifat hierarkis yang terdiri dari : realitas materi,
realitas psikis, realitas spiritual, asma’ sifatiyyah (atribut Tuhan), Realitas Absolut (Tuhan),
berturut-turut dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Antara realitas yang satu dengan
yang lain tidak dapat dipisahkan atau interconnected.
Dekonstruksi Bentuk-Bentuk (Eksoteris) Akuntansi
1. Egoisme Akuntansi Mainstream
Akuntansi mainstream dengan kepala egonya direfleksikan dalam bentuk konsep
income. Dengan ego yang tertanam dalam dirinya, praktik akuntansi menekankan pada
terciptanya income bagi pemegang saham.
Perusahaan akan eksis bila ia mampu menciptakan profit/income. Dan income ini
semata-mata diperuntukkan pada pemegang saham (the concept of income for stockholders).
2. Internalities Akuntansi Mainstream
Implikasi lain dari sifat egoistik yang dimiliki oleh akuntansi mainstream adalah
terletak pada konsepnya yang hanya mengakui biaya-biaya pribadi (privat costs) yang kerap
disebut internalities sebagai lawan dari externalities (publicc costs) yang meliputi biaya-biaya
polusi tanah, air, udara, dan suara.
3. Angka-Agka Akuntansi
Akuntansi mainstream sangat identik dengan angka-angka. Angka-angka adalah
“pusat”. Mitologi angka-angka akuntansi yang juga ternyata merupakan sifat dari yang perlu
dikonstruksi, mengingat informasi kuantitatif tidak cukup memadai untuk memberikan
gambaran yang relatif lebih utuh tentang keadaan perusahaan. Dengan kata lain, informasi
kualitatif yang selama ini dimarginalkan perlu diangkat dan diposisikan sejajar dengan
informasi kuantitatif.
4. Positive Accounting
Wacana akuntansi sangat didominasi oleh diskusi yang menekankan pada praktik atau
fungsi akuntansi. Wacana yang dominan ini terbatas pada penjelasan dan prediksi atas
fenomena yang sedang menjadi perhatian. Kajian tersebut juga terbatas pada pola cause-
effect yang sequential (mekanis) dan linear.
Kajian akuntansi dari paradigma non-mainstream sangat berguna untuk
mengembangkan akuntansi baik dari segi konsep maupun arah praktik akuntansi itu sendiri.
5. Jaringan Kuasa Ontologi Tauhid
Akuntansi yang dikonstruk dengan dasar ideologi yang berbeda akan merefleksi realitas
(yang sama) dengan bentuk yang berbeda. Keadaan ini akan menjadi semakin kursial, ketika
hasil refleksi tersebut yaitu informasi akuntansi kemudian dikonsumsi oleh orang lain yang
pada akhirnya akan membentuk realitas-realitas baru.
Konsekuensi ontologis yang harus disadari oleh akuntan adalah bahwa ia secara kritis
harus mampu membebaskan manusia dari realitas-realitas semu beserta jaringan-jaringan
kuasanya, untuk kemudian memberikan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-
jaringan kuasa Ilahi yang menigkat manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai