Anda di halaman 1dari 9

PEMBAHASAN

A. Etika Syariah: Dasar Nilai Etika Akuntansi dan Bisnis


Etika pada dasarnya adalah sesuatu moral yang menyangkut benar atau salah,
baik atau buruk dalam berperilaku. Dalam konsep etika bisnis
terdapat pengertiannya yaitu perilaku etis atau tidak etisnya yang dilakukan oleh
pemimpin, manajer, dan karyawan dalam hal yang menyangkut hubungan sosial
antara perusahaan, karyawan dan lingkungannya. Etika Bisnis menjadi standar dan
pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen untuk menjadikannya sebagai
pedoman dalam melaksanakan pekerjaan yang dilandasi moral. Sama halnya dengan
etika profesi tidak jauh berbeda keduanya diperlukan dalam sebuah peusahaan, etika
profesi berkaitan dengan bidang pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang, sehingga
sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat ataupun konsumen.
Etika profesi adalah aturan-aturan yang dijadikan pedoman bagi seorang profesional
dalam melaksanakan pekerjaannya. Begitu pula dengan tujuan kedua etika tersebut
baik bisnis ataupun profesi adalah memberikan kesadaran akan moral serta
memberikan batasan kepada para pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya dengan
bersikap baik, sehingga tidak berperilaku yang dapat merugikan banyak pihak yang
berkaitan dengan bisnis tersebut.
Pengertian etika menurut Aristoteles dibagi kedalam dua pengertian
yakni: Terminius Technicus & Manner and Custom. Terminius Technicus ialah etika
dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau
perbuatan manusia. Sedangkan yang kedua yaitu, manner and custom ialah suatu
pembahasan etika yang terkait dengan tata cara & adat kebiasaan yang melekat
dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang sangat terikat dengan arti
“baik & buruk” suatu perilaku, tingkah laku atau perbuatan manusia.
Sepanjang sejarah dunia bisnis selalu terlibat dalam interaksi sosial yang tak
kunjung henti. Interaksi yang sangat kompleks yang melibatkan tidak saja teori-teori
ekonomi bisnis rasional dari yang bersifat sosial sampai yang bercorak liberal-
kapitalis, tetapi juga individu-individu manusia yang heterogen dan dinamis yang
terlibat baik secara langsung atau secara tidak langsung. Interaksi ini tidak lain
adalah gerak dinamis dari jaringan-jaringan sistem yang sedang diterapkan, dimana
baik interaksi maupun jaringan-jaringan sistem tersebut mengikat manusia dalam
gerak dan pola yang dimiliki oleh sistem yang bersangkutan.
Sistem beserta jaringan-jaringannya adalah produk manusia dan
masyarakatnya. Secara konkret ini memberikan pengertian kepada kita bahwa sistem
tersebut dibangun berdasarkan atas nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia yang
membangunnya. Ketika sebuah sistem dibangun berdasarkan pada nilai-nilai
sosialisme, maka sistem tersebut ketika dipraktikkan akan menjaring setiap individu
yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan kepada realitas sosialis; demikian
juga bila sistem tersebut dibangun dengan nilai-nilai yang lain. Yang menjadi
masalah adalah bila sistem nilai yang digunakan tadi menggiring manusia dari
hakikat dirinya yang fitrah kepada realitas yang justru menjauhkan dirinya dari
fitrah.
Dalam pembahasan ini mencoba mencari sistem nilai etika yang sesuai dengan
fitrah manusia, yang secara terbuka (inklusivisme-kritis) memperkenalkan nilai-nilai
akuntansi yang sudah ada sekarang (Riahi-Belkaoui (1992) dan Francis (1990)),
teori-teori etika (Norman, 1983, Solomon, 1984, dan Chryssides dan Koler, 1993)
dan syariah sebagai dasar nilai etika. Secara implisit, tulisan ini pada intinya
merupakan refleksi dari perspektif Khalifatullah fil Ardh yang berupaya secara
bebas dan terbuka mencari Sunnatullah sebagai "bentuk" eksternal syariah dan
mengakui takwa sebagai "ruh" etika syariah.
Nilai-nilai Etika Akuntansi Menurut Ahmed Riahi-Belkaoui (1992), salah satu
prinsip yang dimiliki perspektif Khalifatullah fil Ardh dalam pola berpikir adalah
“inklusivisme-kritis.”, yaitu pola berpikir bebas dan terbuka namun tetap kritis
berdiri di atas hati nurani yang suci dan bertauhid. Konsekuensi dari pola berpikir
semacam ini adalah menerima semua pemikiran dan ilmu pengetahuan tanpa
memperhatikan sumbernya, seperti yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad
SAW:
"Pungutlah olehmu hikmah (ilmu pengetahuan atau wisdom), dan tidak akan
membahayakan bagi kamu dari bejana apa pun hikmah itu ke luar"
"Hikmah adalah barang hilangnya orang beriman, karena memungutnya
dimanapun ditemukannya"
Dengan "inklusivisme-kritis" ini, perbendaharaan ilmu pengetahuan akan
semakin diperkaya. Dan ketika ilmu pengetahuan dimengerti sebagai temuan-temuan
atau bentuk-bentuk konkret dari Sunnatullah, maka diharapkan kesadaran manusia
akan keberadaan Sunnatullah (atau keberadaan Allah) akan semakin meningkat.
Sehingga dengan kesadaran ini, realitas kehidupan yang tercipta atau yang akan
diciptakan oleh setiap individu akan selalu berada dalam garis Sunnatullah.
Sehubungan dengan hal tersebut, kajian di pembahasan ini akan diarahkan pada
konsep nilai-nilai etika akuntansi yang dikemukakan oleh dua orang penulis, yaitu
Ahmed Riahi Belkaoui (1992) dan Jere R. Francis (1990).
Riahi Belkaoui (1992), dalam hal ini, mengajukan lima nilai etika sebagai
elemen-elemen yang paling penting dalam moralitas akuntansi, yaitu:
1. Fairnes
Fairness merupakan perwujudan sifat netral dari seorang akuntan dalam
menyiapkan laporan keuangan. Ini adalah suatu indikasi bahwa prinsip, prosedur,
dan teknik-teknik akuntansi harus fair, tidak bias dan tidak parsial dalam arti
bahwa akuntan sebagai penyedia informasi harus beriktikad baik dan
menggunakan etika bisnis dan kebijakan akuntansi yang baik dalam menyajikan,
memprodu ksi, dan memeriksa (auditing) informasi akuntansi.
2. Ethics
Etika (ethics) menurut pandangan Riahi Belkaoui, erat kaitannya dengan peran
profesi akuntansi, artinya bahwa dalam melaksanakan peranannya, seorang
akuntan tidak hanya menghadapi aturan aturan perilaku formal, tetapi juga nilai-
nilai moralitas yang diciptakan oleh lingkungannya (Riahi-Belkaoui, 1992: 25).
Dengan mengakui adanya suatu peran (role) dan kemudian secara aktif terlibat
dalam peran tersebut, akuntan mau tidak mau harus mengakui adanya kewajiban
dan tanggungjawab yang harus dipikulnya. Oleh karena itu, nilai-nilai etika
(ethics) yang membedakan antara yang baik dengan yang buruk dan yang benar
dengan yang salah merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan sebagai
dasar pijakan dalam pengambilan keputusan
3. Honesty
Honesty adalah unsur yang dapat menjamin terciptanya atau bertahannya
kepercayaan masyarakat umum terhadap profesi akuntansi. Hilangnya honesty
umumnya menyebabkan timbulnya fraud. Sayangnya, fraud dalam dunia
akuntansi umumnya dalam bentuk corporate fraud, fraudulent financial
reporting, white-collar crime, atau audit failures semakin meningkat dan
menyebabkan timbulnya kerugian yang besar bagi perusahaan, individu dan
masyarakat, serta menimbulkan masalah moral dalam dunia praktik (Riahi-
Belkaoui, 1992: 119). Fraud biasanya timbul karena adanya konsentrasi tunggal
pada satu tujuan/keinginan atau adanya kecenderungan untuk memenuhi
kepentingan pribadi /golongan.
4. Social responsibility
Social responsibility adalah unsur yang erat kaitannya dengan persepsi seseorang
tentang perusahaan. Menurut persepsi ini, perusahaan tidak lagi dipandang
sebagai sebuah entitas yang semata-mata mengejar laba (profit) untuk
kepentingan pemilik perusahaan (shareholders), sebagaimana yang dianut oleh
paham klasik pada abad ke-19, atau untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu
stakeholders (pemegang saham, kreditor, investor, pemasok bahan baku,
pemerintah, dan entitas lain yang mempunya hak terhadap perusahaan), namun
juga secara lebih serius memerhatikan lingkungan sosial.
Pandangan yang terakhir ini menganggap bahwa perusahaan mempunyai
kepentingan yang kuat terhadap lingkungan sosial sebaga bagian yang sangat
penting dan tak terpisahkan dalam melakukan bisnis di samping kepentingan
pasar. Ini secara eksplisit menunjukkan dan mengaku bahwa aktivitas perusahaan
memiliki dampak yang besar tidak saja terhadap kekuatan ekonomi, tetapi juga
terhadap kekuatan-ke kuatan sosial dan politik Konsekuensi dari pandangan ini
adalah bahwa perusahaan mempunyai minat dan perhatian yang besar terhadap
ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi dalam masyarakat (seperti tidak
meratanya pendidikan, ekonomi, dan kesempatan kerja), kesewenangan dalam
mengeksploitasi sumber daya alam dan dalam memperlakukan limbah industri,
fasilitas-fasilitas umum yang tidak memadai, dan lain sebagainya.
Pandangan ini begitu jauh telah meninggalkan pendahulunya yang memandang
tujuan perusahaan hanyalah memaksimalkan kesejahteraan untuk pemegang
saham (stockholder wealth maximization) atau maksimasi kesejahteraan
manajemen (management welfare maximization) menuju pada tujuan maksimasi
kesejahteraan masyarakat secara umum (social welfare maximization). Menurut
pandangan ini, demikian dikatakan oleh Riahi-Belkaoui (1992: 153), perusahaan
dapat melakukan semua proyek kegiatan (sebagai tambahan pada tujuan untuk
memperoleh laba) yang dapat meminimalkan biaya sosial (social costs) dan
memaksimalkan manfaat sosial (social benefits). Adanya kesadaran sosial ini
memberikan suatu indikasi bahwa ada suatu persepsi (tentang perusahaan) yang
berpijak pada nilai-nilai etika (moral) dan rasa tanggung-jawab sosial yang besar
terhadap masyarakat dan lingkungan.
5. Truth.
Unsur kelima dari moralitas dalam akuntansi adalah truth. Truth dalam hal ini
dapat diartikan sebagai netralitas (neutrality) dan objektivitas (objectivity) (Riahi-
Belkaoui, 1992: 178-9). Truth dalam arti yang pertama, menurut Riahi-Belkaoui
(1992: 179), menunjukkan bahwa seorang akuntan [untuk menghindari bias
dalam pengetahuan (knowledge), deskripsi, dan komunikasi atas fakta], harus
bersikap netral. Netral di sini artinya adalah bahwa akuntan melaporkan
informasi seperti apa adanya, tidak menyediakan informasi dengan cara tertentu
yang cenderung menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak lain.
Sedangkan tru th dalam arti yang kedua menunjukkan empat pengertian, yaitu:
a. bahwa ukuran-ukuran yang digunakan dalam akuntansi bersifat impersonal
atau berada di luar pemikiran seseorang yang membuat ukuran tersebut;
b. bahwa ukuran tersebut berdasarkan pada bukti-bukti yang dapat diverifikasi;
c. bahwa ukuran tersebut berdasarkan pada konsensus para ahli yang dapat
dipercaya; dan terdapat kerampingan (narrowness) dispersi statistik dari
ukuran-ukuran yang digunakan bila ukuran tersebut dibuat oleh orang yang
berbeda (Riahi- Belkaoui, 1992: 179)
Unsur-unsur moralitas akuntansi yang dikemukakan oleh Riahi-Belkaoui
(1992) di atas merupakan bagian yang sangat penting dalam memberikan suatu
persepsi bahwa sebenarnya akuntansi tidak terlepas dari nilai-nilai etika yang
menyangkut tidak saja kepribadian (personality) dari akuntan sebagai orang yang
menciptakan dan membentuk akuntansi, tetapi juga akuntansi sebagai sebuah
disiplin.
Hal tersebut memang wajar dan cukup rasional, karena akuntansi sebagaimana
yang didefinisikan oleh American Institute of Certified Public Accountants (A1CPA)
dalam Statements of the Accounting Principle Board, No. 4, par. 40, 1970 adalah:
“sebuah aktivitas jasa. Fungsinya adalah memberikan informasi
kuantitatif, terutama informasi keuangan, tentang entitas bisnis yang
dimaksudkan dapat berguna dalam membuat keputusan-keputusan
ekonomi dalam membuat pilihan-pilihan yang rasional di antara
beberapa alternatif tindakan.”

Informasi akuntansi dalam definisi di atas merupakan unsur utama dalam


pengambilan keputusan ekonomi. Dengan kata lain keputusan-keputusan ekonomi
yang diambil seseorang pada satu sisi, sangat dipengaruhi oleh informasi yang
digunakan dan pada sisi yang lain. Keputusan tersebut berimplikasi atau berpengaruh
terhadap terbentuknya suatu kondisi atau realitas tertentu. Misalnya, dengan
informasi akuntansi seorang investor mengambil keputusan untuk berinvestasi dalam
sebuah perusahaan yang sedang melakukan ekspansi bisnis. Keputusan untuk
melakukan investasi ini jelas menciptakan realitas baru seperti, semakin besarnya
kekayaan (asset) dan nilai perusahaan, semakin terbukanya kesempatan kerja,
semakin besarnya tingkat produksi, semakin besarnya kesejahteraan masyarakat dan
lain sebagainya; atau, terciptanya realitas yang negatif (karena informasi yang
digunakan tidak valid), seperti, bangkrutnya perusahaan, adanya pemutusan
hubungan kerja, meningkatnya angka pengangguran, menurunnya tingkat
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dari contoh tersebut kita dapat memahami bahwa informasi akuntansi
mempunyai pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan yang pada
gilirannya juga berpengaruh terhadap pembentukan realitas. Melihat hal ini
Morgan (1988: 482) secara eksplisit telah menegaskan bahwa hasil penafsiran
akuntan atau nonakuntan terhadap realitas (misalnya, laporan keuangan) akan
menjadi sumber informasi untuk pembentukan dan pembentukan kembali realitas
(reconstruction of reality), karena laporan keuangan dimana di dalamnya terdapat
informasi akuntansi dipakai oleh para pengguna untuk membentuk atau
merasionalisasikan keputusan-keputusan pada masa yang akan datang.
Begitu penting pengaruh informasi akuntansi terhadap pembentukan realitas,
sampai-sampai Francis (1990: 7) mengklaim bahwa akuntansi adalah sebuah praktik
moral. Hal ini demikian, karena akuntan dapat mengubah dunia dan memengaruhi
pengalaman hidup orang lain dengan cara yang menyebabkan pengalaman hidup
seseorang menjadi berbeda dengan tidak adanya (absence) akuntansi atau adanya
(presence) bentuk alternatif akuntansi.
Nilai-nilai Etika Akuntansi Menurut Jere R. Francis (1990) Sedikit berbeda
dalam hal penekanan, nilai-nilai etika yang dikemukakan oleh Francis (1990) lebih
bersifat spesifik dan pragmatis dibanding dengan apa yang telah dikemukakan oleh
Riahi-Belkaoui (1992). Hal ini karena Francis (1990) memang menekankan pada sisi
bahwa akuntansi pada hakikatnya adalah praktik moral. Oleh karena itu, Francis
(1990, 9) lebih menekankan pada kualitas kemanusiaan (human quality), yaitu
kualitas yang kepemilikan dan aktualisasinya dapat membantu kita untuk
memperoleh sesuatu yang baik yang sebetulnya bersifat internal bagi praktik
akuntansi dan sebaliknya dengan ketiadaan kualitas tersebut akan menghambat kita
untuk memperoleh nilai kebajikan.
Untuk itu, Francis (1990, 9) mengemukakan lima “nilai etika” yang dapat
direalisasikan melalui praktik akuntansi, yaitu:
1. Kejujuran (honesty)
Kejujuran (honesty) merupakan kualitas utama yang harus dimiliki oleh baik
akuntan maupun auditor. Tanpa kualitas ini, hakikat diri akuntan dan auditor
menjadi tidak sesuai dengan fitrah dirinya, dan akibatnya, dapat memberikan
efek negatif terhadap masyarakat secara luas dan realitas sosial yang
diciptakannya

2. Perhatian terhadap status ekonomi orang lain (concern for the economic status of
others)
Disini akuntan diminta untuk menyiapkan wacana khusus dalam beberapa
konteks khusus pula. Tidak ada cara menghindar yang berlawanan dengan
ligitimasi atau maksud dimana akuntansi digunakan. Menurut Francis (1990, 9),
kita tidak dapat bersembunyi dibalik retorika objektivitas dan rasionalitas alat-
tujuan. Jadi. sementara kita memerhatikan keadaan ekonomi orang lain sebagai
unsur kebajikan (virtue) akuntansi, seorang akuntan harus selalu merefleksikan
bagaimana akuntansi dapat digunakan untuk memengaruhi hubungan ekonomi
antar individu-individu yang membawa kepada kondisi ekonomi yang lebih baik.
Kita harus menjaga diri dari unreflective use akuntansi karena semata kita
menganggapnya sebagai alat yang efektif untuk pengendalian dan efisiensi.

3. Sensitivitas terhadap nilai kerja sama dan konflik (sensitivity to the value of
cooperation and conflict)
Sensitivitas terhadap nilai kerja sama dan konflik Beberapa praktik akuntansi,
seperti biaya standar (standard costing), anggaran (budgeting), harga transfer
(transfer pricing), akuntansi pertanggungjawaban (responsibility accounting),
pusat-pusat biaya (cost centres), pusat-pusat laba (profit centres) dan analisis
varian (variance analysis) beroperasi dalam tapal batas antara kerja sama dan
konflik. Akuntansi, dalam hal ini, dapat sedemikian rupa menangani konflik dan
pada saat yang sama mendorong adanya kerja sama untuk ke butuhan atau
kepentingan organisasi, bukan untuk kepentingan individu (Francis, 1990: 10).
Apa yang dimaksudkan oleh Francis (1990) di sini tidak lain adalah pengelolaan
kerja sama dan konflik yang baik dan seimbang, sehingga dengan cara demikian
kerja sama dan konflik menjadi unsur yang sangat dinamis dalam aktivitas
perusahaan.

4. Karakter komunikatif akuntansi (communicative character of accounting)


Tentang hal ini Francis (1990: 10) berargumentasi bahwa wacana akuntansi
(accounting discourse) mampu menciptakan suatu pengertian tentang
pengalaman ekonomi kita dan makna pengalaman tersebut bagi kehidupan kita.
Wacana akuntansi, dalam pandangan Francis (1990: 10), secara sederhana
mengakui bahwa kapasitas kita untuk mengerti kejadian-kejadian “nyata” dapat
dilakukan melalui wacana khusus yang diciptakan oleh akuntansi. Di sini kita
harus memilih tentang apa yang harus kita perhitungkan, kapan saat yang tepat
untuk memperhitungkannya, dan kapan kita harus memperhitung kannya.
Wacana khusus seperti, apa sebetulnya yang dimaksud dengan pendapatan
(revenue), kapan pendapatan tersebut dapat kita akui dan bagaimana kita
menghitung dan melaporkannya, merupakan wacana khusus luntansi atau
produk-produk tata bahasa (grammar), sintaks (syntax), dan penggunaan
konvensional dari bahasa akuntansi. Wacana tersebut diciptakan oleh kita yang
kegunaannya terletak pada kapasitas transformatif dan moralitas (Francis, 1990:
10)

5. Penyebaran informasi ekonomi (dissemination of economic information)


Fungsi umum dari akuntansi yang umumnya dikenal adalah fungsi jasa yang
menyediakan informasi ekonomi untuk pengambilan keputusan. Francis (1990:
10), dalam hal ini, berkeberatan bila fungsi penyebaran informasi ekonomi
tersebut didefinisikan secara sempit bahwa misalnya, penyedia modal (investor
dan kreditor) akan diberi pre-eminence.
Menurut Francis (1990: 11), dalam masyarakat yang majemuk, kebajikan
(virtue) akuntansi justru terletak pada kapasitasnya untuk menceritakan sejarah
informasi ekonomi yang luas, banyak dan majemuk tentang organisasi kepada
masyarakat luas dan beragam yang berminat pada wacana tersebut. Namun
sayangnya, wacana akuntansi yang ada sekarang telah mereduksi keberagaman tadi
pada satu “kesamaan” (sameness), yaitu pada interest of capital saja (Francis, 1990:
11) Apa yang dikemukakan oleh Riahi-Belkaoui (1992) dan Francis (1990) di atas
tidak lain merupakan suatu fenomena yang menunjukkan semakin meningkatnya
perhatian akan pentingnya penerapan etika dalam dunia akuntansi pada khususnya
dan dunia bisnis pada umumnya. Hal ini demikian, karena adanya sifat dasar dan
pola pikir sistem ekonomi yang mempunyai kecenderungan besar untuk selalu
mengakumulasi laba dan ekspansi modal mempengaruhi perilaku para pelaku bisnis
dan menggiring mereka pada perilaku negatif. Perilaku negatif ini dapat kita lihat
misalnya, pada bisnis yang bersifat monopoli, eksploitasi karyawan atau buruh oleh
manajemen dan pemilik modal, kesewenangan dalam eksploitasi sumber daya alam
tanpa memikirkan kelestariannya, dan lain sebagainya. Al-Faruqi (1992: 94),
sehubungan dengan pandangan tentang begitu pentingnya penerapan nilai-nilai etika
dalam masyarakat ini, secara tegas mengatakan bahwa tidak ada satu masyarakat pun
di dunia ini yang dapat eksis, atau bertahan hidup lama, tanpa moralitas. Jadi, tanpa
nilai-nilai etika, perilaku negatif tadi akan semakin kuat merusak baik tatanan sosial
ekonomi masyarakat maupun lingkungan hidup dan kelestarian sumber daya alam.

Anda mungkin juga menyukai