Anda di halaman 1dari 22

ARTIKEL AKUNTANSI SYARIAH

ETIKA SYARIAH
DASAR NILAI ETIKA AKUNTANSI DAN BISNIS
Etika Berbisnis Syariah.

Menurut bahasa (etimologi) istilah etika berasal dari bahasa Yunani‘Kuno’ yaitu

ethos yang berarti adat kebiasaan yang merupakan bagian dari filsafat. Menurut Webster

Dictionary etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip yang

disistematisir tentang tindakan moral yang betul. Sedangkan dalam penjelasan lain dari

bahasa Yunani, etika berarti ethikos, mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan,

kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti,

benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan

moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.

Pengertian atau definisi etika dari para filususf dan para ahli berbeda dalam pokok

perhatiannya, namun secara umum menurut istilah (terminologi) etika adalah cabang

filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya

dengan baik dan buruk. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu

perilaku manusia yang kemudian dijadikan standarisasi, baik-buruk, salah-benar, serta

sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Sedangkan dalam tradisi filsafat istilah

“etika” lazim dipahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan

mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia.Istilah

etika diartikan pula sebagai suatu perbuatan standar (standar of conduct) yang memimpin

individu dalam membuat keputusan.

Etika bisnis kadang-kadang disebut pula etika manajemen ialah penerapan standar

moral kedalam kegiatan bisnis. Selain itu, etika bisnis juga dapat berarti pemikiran atau
refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yaitu refleksi tentang perbuatan

baik, buruk, terpuji, tercelah, benar, salah, wajar, tidak wajar dari perilaku seseorang

dalam berbisnis atau bekerja.

Nilai-nilai Etika Akuntansi Menurut Ahmed Riahi-Belkaoui (1992)

Salah satu prinsip yang dimiliki perspektif Khalifatullah Fil Ardh dalam pola berpikir

adalah "inklusivisme-kritis." Yaitu, pola berpikir bebas dan terbuka namun tetap kritis

berdiri di atas hati nurani yang suci dan bertauhid. Konsekuensi dari pola berpikir

semacam ini adalah menerima semua pemikiran dan ilmu pengetahuan tanpa

memerhatikan sumbernya, seperti yang pemah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.:

"Pungutlah olehmu hikmah (ilmu pengetahuan atau wisdom), dan tidak akan

membahayakan bagi kamu dari bejana apa pun hikmah itu ke Iuar”.

“Hikmah adalah barang hilangnya orang beriman, karena itu hendaknya ia

memungutnya di mana pun ditemukannya”.

Dengan "inklusivisme-kritis" ini, perbendaharaan ilmu pengetahuan akan semakin

diperkaya. Dan ketika ilmu pengetahuan dimengerti sebagai temuantemuan atau bentuk-

bentuk konkret dan’ Sunnatullah, maka diharapkan kesadaran manusia akan keberadaan

Sunnatullah (atau keberadaan Allah) akan semakin meningkat. Sehingga dengan

kesadaran ini, realitas kehidupan yang tercipta atau yang akan diciptakan oleh setiap

individu akan selalu berada dalam garis Sunnatullah.

Sehubungan dengan hal tersebut nilai-nilai etika akuntansi yang dikemukakan oleh dua

orang penulis, yaitu Ahmed Riahi-Belkaoui (1992) dan Jere R. Francis (1990). Riahi-

Belkaoui (1992),dalam hal ini, mengajukan lima nilai etika,yaitu fairness, ethics,

honesty, social responsibility dan truth. sebagai elemen-elemen yang paling panting
dalam moralitas akuntansi. Unsur pertama, Fairness merupakan perwujudan sifat netral

dan seorang akuntan dalam menyiapkan laporan keuangan. Ini adalah suatu indikasi

bahwa prinsip, prosedur, dan teknik-teknik akuntansi harus fair, tidak bias dan tidak

parsial dalam arti bahwa akuntan sebagai penyedia informasi harus beriktikad baik dan

menggunakan etika bnsnis dan kebijakan akuntansi yang baik dalam menyajikan,

memproduksi. dan memeriksa (auditing) lnformasi akuntansi.

Unsur yang kedua yaitu etika (ethics). Menurut pandangan Riahi Belkaoui, erat

kaitannya dengan peran profesi akuntansi, artinya bahwa dala melaksanakan peranannya.

seorang akuntan tidak hanya menghadapi atura aturan perilaku formal. tetapi iuga nilai-

nilai moralitas yang diciptakan oleh lingkungannya (Riahi-Belkaoui, 1992: 25). Dengan

mengakui adanya peran (role) dan kemudian secara aktif terlibat dalam peran tersebut,

maka akuntan mau tidak mau harus mengakui adanya kewajiban dan tanggung jawab

yang harus dipikulnya. Oleh karena itu, nilai-nilai etika (ethics) yang membedakan antara

yang baik dengan yang buruk dan yang benar dengan yang salah merupakan salah satu

unsur yang perlu diperhatikan sebagai dasar pijakan dalam pengambilan keputusan.

Honesty adalah unsur ketiga yang dapat menjamin terciptanya atau bertahannya

kepercayaan masyarakat umum terhadap profesi akuntansi. Hilangnya honesty umumnya

menyebabkan timbulnya fraud. Sayangnya fraud dalam dunia akuntansi-yang umumnya

dalam bentuk corporate fraud, fraudulent financial reporting-, white-collar crime, atau

audit failures makin meningkat dan menyebabkan timbulnya kerugian yang besar bagi

perusahaan, individu dan masyarakat, serta menimbulkan masalah moral dalam dunia

praktik (Riahi-Belkaoui, 1992: 119). Fraud biasanya timbul karena adanya konsentrasi
tunggal pada satu tujuan (keinginan) atau ada kecenderungan untuk memenuhi

kepentingan pribadi/golongan.

Social responsibility adalah unsur yang keempat yang pada dasamya erat kaitannya

dengan persepsi seseorang tentang perusahaan. Menurut persepsi ini, perusahaan tidak

lagi dipandang sebagai sebuah entitas yang semata-mata mengejar laba (profit) untuk

kepentingan pemilik perusahaan (shareholders), sebagaimana yang dianut oleh paham

klasik pada abad ke-19, atau untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu stakeholders

(pemegang saham, kreditor, investor, pemasok bahan-baku, pemerintah, dan entitas lain

yang mempunyai hak terhadap perusahaan), namun juga secara lebih serius

memerhatikan lingkungan sosial. Pandangan yang terakhir ini menganggap bahwa

perusahaan mempunyai kepentingan yang kuat terhadap lingkungan sosial sebagai bagian

yang sangat panting dan tak terpisahkan dalam melakukan bisnis disamping kepentingan

pasar. lni secara eksplisit menunjukkan dan mengakui bahwa aktivitas perusahaan

memiliki dampak yang besar tidak saja terhadap kekuatan ekonomi, tetapi juga terhadap

kekuatan-kekuatan sosial dan politik. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa

perusahaan mempunyai minat dan perhatian yang bcsar terhadap ketimpangan-

ketimpangan sosial ekonomi dalam masyarakat (seperti tidak meratanya pendidikan,

ekonomi, dan kesempatan kerja), kesewenangan dalam mengeksploitasi sumber daya

alam dan dalam memperlakukan limbah industri, fasilitas-fasilitas umum yang tidak

memadai, dan lain sebagainya. Pandangan ini begitu jauh telah meninggalkan

pendahulunya-yang memandang tujuan perusahaan hanyalah maksimasl kesejahteraan

untuk pemegang saham (stockholder wealth maximization) atau maksimasi kesejahteraan

manajemen (management welfare maximization)-menuju pada tuiuan maksimasi


kesejahteraan masyarakat secara umum (social welfare maximization). Menurut

pandangan ini, demikian dikatakan oleh Riahi-Belkaoui (1992: 153), perusahaan dapat

melakukan semua proyek kegiatan (sebagai tambahan pada tujuan untuk memperoleh

laba) yang dapat meminimalkan biaya sosial (social costs) dan memaksimalkan manfaat

sosial (social benefits). Adanya kesadaran sosial ini memberikan suatu indikasi bahwa

ada suatu persepsi (tentang perusahaan) yang berpijak pada nilai-nilai etika (moral) dan

rasa tanggung-jawab sosial yang besar terhadap masyarakat dan lingkungan.

Unsur kelima dari moralitas dalam akuntansi adalah truth. Truth dalam hal ini

dapat diartikan sebagai netralitas (neutrality) dan objektivitas (objectivity) (Riahi-

Belkaoui, 1992: 178-9). Truth dalam arti yang pertama, menurut Riahi-Belkaoui (1992:

179), menunjukkan bahwa seorang akuntan [untuk menghindari bias dalam pengetahuan

(knowledge), deskripsi, dan komunikasi atas fakta], harus bersikap netral. Netral di sini

artinya adalah bahwa akuntan melaporkan informasi seperti apa adanya, tidak

menyediakan informasi dengan cara tertentu yang cenderung menguntungkan suatu pihak

dan merugikan pihak lain. Sedangkan truth dalam arti yang kedua menunjukkan empat

pengertian, yaitu:

a) bahwa ukuran-ukuran yang digunakan dalam akuntansi bersifat impersonal atau berada

di luar pemikiran seseorang yang membuat ukuran tersebut;

b) bahwa ukuran tersebut berdasarkan pada bukti-bukti yang dapat diverifikasi;

c) bahwa ukuran tersebut berdasarkan pada konsensus para ahli yang dapat dipercaya;

dan
d) terdapat kerampingan (narorwness) dispersi statistik dari ukuran-ukuran yang

digunakan bila ukuran tersebut dibuat oleh orang yang berbeda (Riahi Belkaoui,1992 :

179).

Unsur-unsur moralitas akuntansi yang dikemukakan oleh Riahi-Belkaoui (1992)

di atas merupakan bagian yang sangat penting dalam memberikan suatu persepsi bahwa

sebenarnya akuntansi tidak terlepas dari nilai-nila; etika yang menyangkut tidak saja

kepribadian (personality) dari akuntan sebagai orang yang menciptakan dan membentuk

akuntansi, tetapi juga akuntansi sebagai sebuah disiplin. Hal tersebut memang wajar dan

cukup rasional. karena akuntansi-sebagaimana yang didefinisikan oleh American

Institute of Certified Public Accountants (AICPA) dalam Statements of the Accounting

Principle Board, No. 4, par 40, 1970-adalah: "sebuah aktivitas Jasa. Fungsinya adalah

memberikan informasi kuantitatif, terutama informasi keuangan, tentang entitas bisnis

yang dimaksudkan dapat berguna dalam membuat keputusan-keputusan ekonomi-dalam

membuat pilihan-pilihan yang rasional di antara beberapa altematif tindakan."…

Begitu penting pengaruh infomasi akuntansi terhadap pembentukan realitas,

sampai-sampai Francis (1990: 7) mengklaim bahwa akuntansi adalah sebuah praktik

moral. Hal ini demikian, karena akuntan dapat mengubah dunia dan memengaruhi

pengalaman hidup orang Iain dcngan cara yang monyebabkan pcngalaman hidup

seseorang menjadi berheda dcngan tidak adanya (absence) akumansi atau adanya

(presence) bentuk alternatif akuntansi.

Nilai-nilai Etika Akuntansi Menurut Jere R. Francis (1990)


Scdikit berbeda dalam hal penekanan, nilai-nilai etika yang dikemukakan oleh

Francis (1990) lebih bersifat spesifik dan pragmatis dibanding dengan apa yang telah

dikemukakan oleh Riahi-Belkaoui (1992). Ha] ini demikian. karena Francis (1990)

memang menekankan, seperti yang dikemukakan di atas, pada sisi tertentu yang

memberikan arti bahwa akuntansi pada hakikatnya adalah praktik moral. Oleh karena itu,

Francis (1990, 9) lebih menekankan pada kualitas kemanusiaan (human quality), yaitu

kualitas yang kepemilikan dan aktualisasinya dapat membantu kita untuk memperoleh

sesuatu yang baik yang sebetulnya bersifat internal bagi praktik akuntansi dan sebaliknya

dengan ketiadaan kualitas tersebut akan menghambat kita untuk memperoleh nilai

kebajikan. Untuk itu, Francis (1990, 9) mengemukakan lima "nilai etika” yang dapat

direalisasikan melalui praktik akuntansi, yaitu: kejujuran (honesty), perhatian terhadap

status ekonomi orang lain (concern for the economic status of others), sensitivitas

terhadap nilai kerja sama dan konflik (sensitivity to the value of cooperation and

conflict), karakter komunikatif akuntansi (communicaacve character of accounting), dan

penyebaran informasi ekonomi (dissemination of economic information).

Kejujuran (honesty), yang pertama, merupakan kualitas utama yang harus dimiliki

oleh baik akuntan maupun auditor. Tanpa kualitas ini. hakikat diri akuntan dan auditor

menjadi tidak sesuai dengan fitrah dirinya, dan akibatnya, dapat memberikan efek negatif

terhadap masyarakat secara luas dan realitas sosial yang diciptakannya.

Yang kedua adalah perhatian tehadap status ekonomiorang lain. (concern for the

economic status of other) artinya seorang akuntan harus selalu merefleksikan bagaimana

akuntansi dapat digunakan untuk memengaruhi hubungan ekonomi antar individu-

individu yang membawa pada kondisi ekonomi yang lebih baik.


Yang ketiga adalah sensivitas terhadap nilai kerjasama dan konflik beberapa

praktik akuntansi, seperti biaya standar, anggaran, harga transfer, dimaksudkan agar

sedemikian rupa akuntansi berperan dalam menangani konflik pada saat yang sama

mendorong adanya kerja sama untuk kebutuhan atau kepentingan organisasi, bukan untuk

kepentingan individu.

Yang keempat adalah karakter komunikatif akuntansi. Artinya akuntan dengan

pengalaman ekonomi yang mumpuni di harapkan dapat memilih tentang apa yang harus

diperhitungkan, kapan saat yang tepat untuk memperhitungkannya, dan Wacana khusus

seperti, apa sebetulnya yang dimaksud dengan pendapatan, kapan pendapatan tersebut

dapat kita akui dan bagaimana kita menghitung, dan melaporkannya,merupakan wacana

khusus akuntansi. Wacana tersebut diciptakan oleh akuntan yang kegunaannya terletak

pada kapasitas transformatif dan moralitas (Francis, 1990: 10).

Terakhir adalah penyebaran informasi. Fungsi umum dari akuntansi yang

umumnya dikenal adalah fungsi jasa yang menyediakan informasi ekonomi untuk

pengambilan keputusan.

Makna Etika dan Relevansinya dengan Dunia Bisnis

Etika (ethics) sebetulnya berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti

karakter atau kebiasaan (custom). Menurut Solomon (1984: 3), makna dari kata ethos lni

tidak lain adalah karakter dari suatu budaya. Sedangkan etika, pada sisi yang lain,

umumnya berkenaan dengan karakter individu (termasuk apa yang kita sebut “menjadi

orang yang baik") dan juga berkenaan dengan usaha memahami aturan-aturan sosial,

khususnya aturan-aturan tentang hal yang ”baik" dan yang "buruk” yang mengatur dan

membatasi perilaku kita (Solomon 1984: 3). Namun. etika iuga dapat diartikan sebagai
sebuah disiplin ilmu (yang mempelajari baik nilai maupun justitikasinya) dan nilai serta

aturan sesungguhnya dari perilaku di mana dengannya kita hidup (Solomon, 1984: 2).

Bagian kedua yang disampaikan oleh Solomon (1984: 2) ini-nilai dan aturan etika

itu sendiri-tampaknya mirip dengan apa yang dimaksudkan oleh Norman (1983: 2)

sebagai substantive ethics (atau normative ethics). Sedangkan yang pertama-etika sebagal

disiplin ilmu-tidak lain adalah meta-ethics. lstilah-istilah tersebut umum dikenal dalam

wacana Filsafat moral (moral philosophy).

Substantive ethics, bagi Norman (1983: 2), merupakan tingkat pertama dalam

kajian etika yang mendiskusikan secara langsung pertanyaan-pertanyaan praktis tentang

perilaku manusia, misalnya pertanyaan tentang tindakan jenis apa yang dapat dikatakan

baik atau benar. Atau dengan kata lain, tindakan jenis apa yang secara etis dapat

dikatakan baik dan benar yang seharusnya dilakukan oleh seseorang. atau tindakan apa

yang secara etis tidak baik dan tidak benar yang seharusnya tidak perlu dilakukan.

Sedangkan pada tingkat yang kedua, yaitu meta-ethics, pengkaiian etika diarahkan pada

kaiian tentang apa sebetulnya yang dimaksud dengan baik dan benar itu.

Meta-ethics mempunyai perhatian terhadap pengujian logika wacana etika (the

logic ofethical discourse). dengan pertanyaan-pertanyaan seperti 'bagaimana kita bisa

mengetahui bahwa suatu tindakan adalah lebih baik dan benar? “dan” argumen apa yang

dapat mendukung klaim tersebut? (Norman,1983:2)

Beberapa Teori Etika

Dalam masyarakat yang majemuk terdapat sistem nilai etika yang majemuk

(banyak dan berbeda antara yang satu dengan yang lain) pula. Akibatnya, tidak menutup

kemungkinan akan terjadi konflik antara kelompok masyarakat tertentu dengan yang lain.
Fenomena (kemajemukan) ini memang sulit dihindarkan, karena kemajemukan itu sendiri

merupakan fenomena yang 'alamiah." Dengan kata lain, kemajemukan itu sebetulnya

memang harus ada, namun di samping kemajemukan tersebut harus ada sebuah nilai yang

sifatnya universal dan dapat diterima oleh semua pihak. Tentang hal ini, De George

mengungkapkan bahwa:

…..di samping perbedaan-perbedaan dalam kebiasaan [hidup sehari-hari] dan

praktik-praktik moral dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang Iain dan dari

masa ke masa, terdapat [pula] kesepakatan dasar dalam sejumlah besar isu-isu

sentral (1993: 38).

Kesepakatan dasar (basic agreement) tersebut tidak lain adalah nilai-nilai universal yang

secara fitrah diakui dan disetujui bersama oleh berbagai pihak tanpa ada batas dimensi

ruang dan waktu. Contoh dari nilai-nilai universal ini misalnya, adalah keadilan dan

kebenaran. Tidak ada seorang pun atau satu masyarakat pun yang akan menolak kedua

nilai tersebut. karena kedua nilai tersebut secara inheren ada dalam diri setiap manusia.

Namun, pencarian nilai keadilan dan kebenaran tersebut bukan merupakan sebuah

usaha yang mudah, karena persepsi seorang individu tentang nilai tersebut akan berbeda

antara individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan demikian, persepsi nilai

tersebut akhirnya juga akan beragam: dalam arti bahwa memang ada kemajemukan dalam

segi “bentuk.” tetapi hakikat keadilan dan kebenaran itu sendiri tetap sama.

Kemajemukan “bentuk” ini dapat kita lihat dari beberapa teori etika berikut ini ;

a.Teori Etika Utilitarianisme

Teori etika utilitarianisme pada awalnya berasal dari Inggris sebagai respon terhadap

Revolusi lndustri yang telah mengubah dunia Barat dari masyarakat agraris meniadi
masyarakat industri. Lokomotif utama dari teori ini tidak lain adalah Jeremy Bentham

(1748-1832), seorang fllsuf yang lahir di London pada 05 Februari 1748. Dasar

pemikiran yang mengantarkan Bentham dalam pengembangan teori ini terletak pada

prinsip utilitas (utility) Utilitas. dalam hal ini memiliki makna bahwa: suatu tindakan

akan dinyatakan baik atau salah tergantung pada kecenderungannya untuk memberikan

kebahagiaan yang besar bagi sejumlah besar individu Berdasarkan hedonisme

psikologis Bentham kemudian membangun teori etika utilitarianisme.

Dari pengertian utilitas dan hedonisme psikologis. kita dapat melihat bahwa yang

meniadi ukuran utama bagi teori etika utilitarianisme untuk menilai sebuah tindakan

(apakah tindakan“ tersebut dapat dikatakan benar atau salah) adalah hasil atau

konsekuensi dari tindakan tersebut. Sebuah tindakan, menurut teori ini, tidak memiliki

nilai baik atau buruk dalam dirinya sendiri, tapi nilai tersebut terletak pada hasil atau

konsekuensi tindakan tersebut. jadi, bila sebuah tindakan dapat memaksimalkan

“kebahagiaan” (pleasure) atau meminimalkan “penderitaan” (pain), maka tindakan

tersebut secara etis dapat dikatakan benar. Sebaliknya, bila tindakan tersebut ternyata

menurunkan kebahagiaan atau menaikkan penderitaan, maka tindakan tersebut tidak etis

(tidak benar).

b.Teori Etika Deontologis

Teori ini adalah teori yang dibangun oleh Immanuel Kant (1724-1804), seorang

Filosof Jerman yang mengklaim (sebagaimana juga Bentham yang menganggap bahwa

"kebahagiaan" sebagai klaim tunggal atas tujuan hidup manusia) bahwa "iktikad baik" (a

good will) adalah sebagai satu-satunya dasar moralitas sebuah tindakan. Dengan

demikian, berbeda dengan Bentham, Kant beranggapan bahwa sebuah tindakan dianggap
baik bukan karena hasil atau konsekuensi yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. tetapi

sebaliknya tindakan tersebut ditentukan oleh "iktikad baik"dari pelaku).

c. Teori Etika yang Bersumber dari Agama

Agama, dalam teori etika ini, merupakan sumber yang dapat dijadikan sebagai

pedoman untuk mengetahui atau membedakan yang baik dari yang buruk dan yang benar

dari yang salah. Mengapa agama dijadikan sumber nilai? Karena hanya Tuhanlah yang

memiliki otoritas tertinggi dalam menetapkan nilai-nilai yang baik dan yang benar.

Tentang ha} ini, Chryssides and Kaler (1993: 84) berkomenmr bahwa:

Jika Tuhan itu ada. lalu siapa yang lebih baik dari Tuhan sendiri dalam memutuskan apa

yang benar dan apa yang salah? Jika Tuhan itu Maha Mengetahui. maka pasti Dialah

pemegang otoritas yang terpercaya atas para ahlietika...

Oleh karena itu, masyarakat yang percaya akan adanya Tuhan akan Membangun nilai-

nilai etikanya berdasarkan pada ajaran agama masing-masing. Umat Islam, misalnya.

akan membangun nilai-nilai etikanya berdasarkan pada kitab sucinya, yaitu Al-Qur‘an,

orang Nasrani akan berdasarkan pada Bibel dan orang Yahudi akan menggunakan Taurat.

Menurut mereka nilaiyang baik dan yang benar hanya dapat diketahui melalui kitab suci

mereka, karena hanya Tuhanlah yang Maha Mengetahui dan Dialah pemegang otoritas

tertinggi dalam menetapkan nilai-nilai tersebut.

Syariah: Sumber Nilai Etika

Sebagaimana Immanuel Kant, dalam memberikan pengertian terhadap “kewaiiban”

(duty) sebagai salah satu prinsip dalam membangun teori etikanya, mengaitkan

"kewajiban" tersebut dengan “ketentuan formal” (formal requirement), yaitu ”hukum

moral" (moral law). ‘Hukum moral" yang dikemukakan Kant memiliki konotasi religius,
karena latar belakang Kant memang berasal dari lingkungan Kristen Protestan. Jadi tidak

mengherankan bila “hukum moral” yang ia gunakan mendapat inspirasi dari etika

Protestan (Norman, 1983: 94). Mengapa mengambil etika Protestan? Karena, jelas di sini,

agama Protestan dipercaya sebagai sumber yang mempunyai otoritas untuk mengetahui

yang baik dan benar.

Dengan logika yang sama, seorang Muslim juga mempunyai keyakinan bahwa Al-

Qur’an dan Hadist merupakan dua sumber utama dalam menentukan nilai baik dan

benar. Dari kedua sumber tersebut kemudian diturunkan formulasi praktis dalam bentuk

”hukum Islam," yang akhimya kita kenal dengan nama ”syariah.” Untuk

menghasilkan ketentuan hukum ini, diperlukan alat yang lain, yaitu ijma' dan qiyas.

Syariah, yang menurut ketentuannya menetapkan bahwa setiap tindakan dapat

diklasifikasikan ke dalam lima kelas, yaitu wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram,

menurut Safi (1990, 177) adalah

...sistem yang komprehensif melingkupi seluruh bidang hidup manusia. la

[syariah] bukan sekadar sebuah sistem hukum, tetapi sistem lengkap yang

mencakup hukum dan moralitas.

Pengertian syariah yang dikemukanan oleh Safi memberikan suatu indikasi bahwa

syariah bukan merupakan sistem hukum yang cenderung menekankan din’ pada sisi

sistem hukum positif belaka, namun juga lebih dari itu, ‘yaitu pada sisi moralitas (etika).

Di sini terlihat adanya keterkaitan antara syari'ah sebagai hukum positif, di satu sisi, dan

etika, di sisi yang lain, sebagai “ruh” yang memberikan nilai hidup bagi syariah itu

sendiri.
Syari‘ah, bagi kehidupan seorang Muslim dan umat Islam secara keseluruhan, adalah

sangat panting, karena syariah:

memberikan satu set kriteria agar yang benar (haq) dapat dibedakan dari yang salah

(batil).Dengan taat pada ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan dalam syariah

tersebut, umat Islam akan dapat mengembangkan [atau menciptakan] suatu masyarakat

yang mulia dari segi moral maupun segi kualitas material dibanding masyarakat lain

yang gagal mengikuti kehendak (hukum) Tuhan (Safi,1990: 179).

Syariah: Upaya Pencarian Sunnatullah

Sunnatullah yang tersebar luas. Tampaknya sudah menjadi pola pikir yang sudah umum

(mainstream) bagi pendukung teori syariah tradisional untuk memahami Sunnatullah

hanya sebagaimana termaktub dalam, atau hanya bersumber dari AI-Qur’an (dan yang

dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw.). Namun, bagi mereka yang tidak sependapat

dengan pandangan ini beranggapan bahwa sebetulnya Sunnatullah itu tidak terbatas

pada sumber yang disebutkan di atas (yang kemudian dikenal dengan sebutan ayat-ayat

qauliyah), tetapi juga hukum-hukum yang tersebar luas di permukaan bumi ini, yaitu

ayat-ayat kauliyah. Pandangan ini sebetulnya merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an

seperti yang tercantum di bawah ini:

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Menciptakan, telah menciptakan

manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah,

Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada

manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).


Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyn'kin) berapa banyaknya

Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-

bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat

tanda-tanda bagi orang yang berakal. (QS Thaha [20]: 128).

Maka apakah mereka tidak bajalan dl muka bumi lalu mereka mempunyai hati yang

dengan itu mereka dapat mermahami atau mempunyaii telinga yang dengan itu mereka

dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata ituyang buta, tetapi yang

buta, ialah hati yang di dalam dada (Q5 Al-Hajj [22]: 46).

Tidakkah kamu memerhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke

dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan

bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Luqman [31]:

29).

Ayat-ayat tersebut di atas memberikan suatu petunjuk. agar manusia mempelaiari

hukum-hukum sosial (sejarah) dan alam (Sunnatullah) yang tersebar luas di muka bumi

ini untuk kepentingan hidup mereka. Untuk itu, kapasitas akal dan hati sangat besar

peranannya dalam mencari dan mempelajari Sunnatullah, yang untuk kemudian,

manusia tunduk di dalamnya.

Pandangan ini menyiratkan tentang suatu pemahaman bahwa pintu ijtihad selalu

terbuka. Dan dengan terbukanya pintu ijtihad ini. maka terbuka pulalah kemungkinan

syariah untuk selalu berkembang. ljtihad merupakan sebuah jalan yang dapat
digunakannuntuk memahami dan mengakses Sunnatullah sebagaimana dikatakan oleh

Safi:

Karena wahyu telah terhenti sejak wafatnya Nabi Saw., umat lslam kehilangan aksesnya

terhadap hukum Tuhan. Lalu, timbul pertanyaan bagaimana hukum-hukum Allah dapat

diketahui. jawabnya adalah ijtihad, di mana para ahli hukum diminta untuk menggunakan akal

yang bebas untuk menemukan prinsip~ prinsip yang terkandung dalam wahyu dan

mengembangkannya pada situasi baru yang sebelumnya tidak pernah dinyatakan oleh wahyu

(1990: 190).

Dengan demikian. syariah akan terus berkembang baik dalam arti metodologi

maupun dalam bentuk aturan-aturan baru yang diformulasikan sebagai jawaban atas

peradaban masyarakat yang selalu berkembang. Atau, dengan menggunakan kata-kata

Asghar Ali Engineer (1994: 64), “hukum syariah [itu] berubah sesuai dengan

bermacam-macam tantangan dan persoalan dan memang harus dipahami seperti itu.

Dengan kata lain syariah adalah hukum situasional, bukan transendental dan harus

diterapkan secara kreatif sesuai dengan perubahan keadaan.”

Syariah: ”Bentuk” Hukum Etika Islam

Hukum syara’ atau hukum Islam menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh

ialah kitab syar’ yang bersangkutan dengan orang mukallaf, baik dalam bentuk

tuntutan, pilihan atau ketetapan. Dan menurut istilah ahli fiqh adalah: efek yang

dikehendaki efek yang dikehendaki ilmu syari’ pada perbuatan, seperti: kewajiban,

keharaman dan kebolehan. Jika dikaitkan dengan Islam, hukum Islam dapat diartikan

sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang

tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang

beragama Islam.
Secara etimologi, Islam berasal dari kata salam yang artinya selamat atau juga

bisa berarti menyerahkan diri. Sedangkan kata hukum secara etimologi berasal dari

akar kata bahasa Arab, yaitu hukm/alhukm yang mengandung makna mencegah atau

menolak, yaitu mencegah ketidakadilan, mencegah kezaliman, mencegah

penganiayaan, dan menolak bentuk kemafsadatan lainnya. Istilah hukum dalam Islam

mempunyai dua pengertian, yaitu syariah dan fikih. Syariat terdiri dari wahyu Allah

dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil

pemahaman tentang syariat. Adapun yang menjadi sumber syariat adalah al-Qur’an

dan Sunnah, sedangkan fikih bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan Ra’yu.

Adapun hukum, merupakan implementasi dari penerapan syariah dan fikih itu

sendiri, yang tidak lain akan melahirkan etika. Al-Qur’an merupakan pedoman bagi

umat Islam yang diturukna Allah melalui perantara malaikat Jibril kepada nabi

Muhammad saw.

Di dalamnya sangat benyak terkandung ajaran- ajaran, prinsip-prinsip serta

jawaban atas berbagai permasalahan kehidupan, tidak terkecuali mengenai masalah

ekonomi serta masalah etika yang tidak boleh lepas dari kegiatan bisnis atau usaha.

Kata bisnis dalam al-Qur’an biasannya yang digunakan al-Tijarah, al-Bai’, tadayantum

dan isyara. Term bisnis di dalam alQur’an dari tijarah pada hakikatnya tidak semata-

mata bersifat material tetapi juga immateri. Aktifitas bisnis tidak hanya dilakukan

semata manusia, tetapi antar manusia dengan Allah swt, melalui niat yang baik serta

menjauhi perilaku-perilaku yang dilarang oleh syariat.

Penerapan etika bisnis islam dalam Industri perbankan syariah


Perbankan syariah dikembangkan sebagai sebuah alternatif bagi praktik

perbankan konvensional. Kritik terhadap bank konvensional oleh konsep perbankan

syariah bukanlah menolak bank dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi

keuangan melainkan dalam karakteristik kegiatan bank konvensional masih terdapat

unsur riba, judi (maysir), ketidakpastian (gharar), dan bathil. Dengan dilarangnya riba,

maysir, gharar, dan bathil dalam transaksi perbankan maka sebagai gantinya dapat

menerapkan akad-akad yang sesuai dengan etika bisnis Islam. Setidaknya ada lima hal

yang membedakan perbankan syariah dengan perbankan konvensional yaitu (Haniffa,

Hudaib, 2007): (1) filosofi dan nilai dasar organisasi; (2) provisi produk dan jasa bebas

bunga; (3) pembatasan pada perjanjian yang diperbolehkan menurut syariat Islam; (4)

fokus pada pengembangan dan tujuan sosial; (5) adanya review tambahan dari dewan

pengawas syariah.

Filosofi yang mendasari pengembangan perbankan syariah adalah untuk

menyelamatkan jiwa, akal, agama, harta, dan keturunan umat Islam dari transaksi yang

diharamkan oleh syariat Islam, khususnya transaksi dalam bidang perbankan.

Keberadaan industri perbankan syariah yang menjunjung tinggi prinsip etika bisnis

Islam adalah mutlak diperlukan sebagai fasilitator transaksi yang halal menurut syariat

Islam. Menurut Noor dan Ahmad (2012), bank syariah modern pertama kali didirikan

di Mesir pada tahun 1963 dan sejak saat itu telah berdiri lebih dari 300 institusi di

lebih dari 75 negara. Industri perbankan syariah berkembang pesat dan semakin

populer di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Di Indonesia, industri perbankan syariah dipelopori oleh Bank Muamalat

Indonesia yang berdiri pada tahun 1991 yang diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), sekelompok

pengusaha Muslim, dan Pemerintah Indonesia. Bank Muamalat Indonesia mulai

melakukan operasi secara resmi pada bulan Mei 1992 setelah adanya Undang-Undang

Perbankan No. 7 Tahun 1992 yang mengatur tentang izin pengoperasian perbankan

dengan prinsip syariah. Untuk mempercepat perkembangan perbankan syariah di

Indonesia, maka pemerintah memutuskan menerapkan sistem perbankan ganda (dual

banking system) sehingga selain bank syariah murni, bank konvensional juga

diberikan kesempatan untuk memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic

window dengan membentuk Unit Usaha Syariah (Umam, 2009).

Angka pertumbuhan perbankan syariah menunjukkan hal yang menggembirakan

akan tetapi perkembangan dari sisi kelembagaan dan produk keuangan syariah tersebut

belum diimbangi dengan ketaatan terhadap etika bisnis syariah padahal penerapan

prinsip etika bisnis syariah dalam operasional perbankan syariah mutlak diperlukan

untuk mendukung kelangsungan usaha perbankan syariah di masa depan. Muhammad

Rizal Ismail, seorang Chairman Mudharabah Institute, menyatakan bahwa penerapan

prinsip etika bisnis Islam dalam bisnis keuangan dan perbankan syariah hanya sebesar

50% karena lebih berfokus pada produknya dan belum menjangkau perilaku sumber

daya manusianya (www.sebi.ac.id), sedangkan Saleh, Md. Abu, Quazi, Ali, Keating,

Byron, and Gaur, Sanjaya S. (2017) menemukan bahwa persepsi nasabah perbankan

syariah atas tingkat reliabilitas, tingkat respon, keamanan, dan reputasi perbankan

syariah lebih tinggi bila dibandingkan bank konvensional namun masih banyak

masalah etika yang terjadi dalam praktek perbankan syariah (Wilson, 2005).

Tantangan perbankan syariah secara umum adalah menjaga keseimbangan antara


ketentuan syariah dan hukum bisnis yang berlaku, yang mana kontrak keuangan bank

syariah harus sesuai dengan hukum nasional maupun pengadilan syariah (Ahmad dan

Hassan, 2007).

Bisnis Tanpa Etika Membawa Kehancuran

Masih segar dalam ingatan kita pertengahan 1997,Negara Indonesia dilanda krisis

moneter,penyebab utamanya dalah adanya liberalisasi ekonomi Indonesia,Bank boleh

berdiri bebas,dengan modal 10 milyar saja orang bisa mendirkan usaha bank.Ekonomi

Indonesia tumbuh pesat dengan modal pinjaman atau utang luar negeri. Kapitalis-

kapitalis baru bermunculan.

1. Ersatz capitalist atau kapitalis yang dikarbit, pengusaha yang menjadi besar

seketika,karena banyaknya fasilits dari lingkunganya.

2. Bereaucratic capitalist yaitu pengusaha yang menjadi besar karena adanya jalur

birokrat yang memberi berbagai kemudahan bagi seseorang untuk mendapat

proyekdan sumber dana murah.

3. Crony capitalist yaitu pengusaha yang cepat besar karena bantuan dari konco-

konco atau familinya.Ini bisa bersifat hubungan teman ipar- besan,bapak-anak-

keponakan dan sebagaian. Karena terlalu bebasnya pertumbuhan ekonomi

Indonesia,maka pihak swasta mengambil utang luar negeri luar biasa besarnya,tanpa

pengawasan oleh pemerintah disamping utang pemerintah sendiri.Para pengusaha

kita menggunakan pinjaman luar negeri ini,tanpa perhitungan,pinjaman jangka

pendek di gunakan dalam penanaman modal jangka panjang. Akibatnya pada saat

jatuh tempo pengusaha ini tidak bisa membayarnya


Fenomena aktivitas pengusaha karbitan Indonesia ialah besar pasak dari pada

tiang artinya banyak belanja dari penghasilan perusahaan banyak show kekayaan

tidak produktif demikian pula perusahaan bank meminjam modal luar negeri dengan

bunga rendah3-4 % setahun. Uang ini mereka pinjamkan lagi dengan tingkat bunga

18-20 % setahun, nampaknya ini memang sangat menguntungkan bagi bank. Tapi

dengan sedikit goyangan harga dolar, harga rupiah jatuh merosot, maka pengusaha

yang mendapat pinjaman luar negeri sangat kewalahan. Utang mereka dalam uang

rupiah menjadi berlipat ganda jumlahnya, mereka tidak mampu membayar.

Kekeliruan lain yang dibuat oleh bank, ialah merek meminjamkan sebagian besar

modal mereka kepada industri milik orang bank sendiri. Mereka melampaui Batas

Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang diberikan oleh Bank kepada grup

bisnisnya. Akhirnya lengkaplah sudah musibah menimpa mereka. Industri

mengalami kehancuran karena harga barang impor menjadi sangat tinggi, diukur

dalam rupiah, harga pokok barang industri menjadi tinggi, harga jual juga tinggi,

akhirnya hasil produksi tidak laku. Tambahan pula daya beli masyarakat makin

menurun, karena banyak karyawan di PHK (pemutusan hubungan kerja), sebagai

akibat ketidakmampuan perusahaan industri menggaji mereka. Semua debitur ini

mau ingkar janji (default) tidak mampu membayar utang luar negerinya. Akibatnya

negara Indonesia jatuh dimata internasional.


DAFTAR PUSTAKA

Triyuwono, Iwan. 2012. Akuntansi Syariah, Perspektif, Metodologi, dan Teori.


Jakarta : PT Raja Grafindo.

Mawaddah dan dkk,2016.Relevansi Nilai etika Bisnis dalam Ruang Lingkup


akuntansi Syariah.Jurnal.
Syamsu, Nur. 2017 Landasan Hukum islam: etika Bisnis syariah dan faktor
Pengembangannya. Jurnal.
Putritama, Afrida .2018 Penerapan etika Bisnis Islam dalam industri perbankan
syariah.Jurnal. Djunaeni, Endang. 2014 Etika Bisnis syariah. Jurnal.
Nuryadin, Bisman . 2015 Urgensi penerapan etika dalam bisnis. Jurnal
Juliyani, erly. 2016. Etika bisnis dalam Persepektif islam. Jurnal
Tabe, ridwan. Manifestasi akuntansi syariah dalam etika bisnis islam. Jurnal

Anda mungkin juga menyukai