ETIKA SYARIAH
DASAR NILAI ETIKA AKUNTANSI DAN BISNIS
Etika Berbisnis Syariah.
Menurut bahasa (etimologi) istilah etika berasal dari bahasa Yunani‘Kuno’ yaitu
ethos yang berarti adat kebiasaan yang merupakan bagian dari filsafat. Menurut Webster
Dictionary etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip yang
disistematisir tentang tindakan moral yang betul. Sedangkan dalam penjelasan lain dari
bahasa Yunani, etika berarti ethikos, mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan,
kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti,
Pengertian atau definisi etika dari para filususf dan para ahli berbeda dalam pokok
perhatiannya, namun secara umum menurut istilah (terminologi) etika adalah cabang
filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya
dengan baik dan buruk. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu
sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Sedangkan dalam tradisi filsafat istilah
“etika” lazim dipahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan
mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia.Istilah
etika diartikan pula sebagai suatu perbuatan standar (standar of conduct) yang memimpin
Etika bisnis kadang-kadang disebut pula etika manajemen ialah penerapan standar
moral kedalam kegiatan bisnis. Selain itu, etika bisnis juga dapat berarti pemikiran atau
refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yaitu refleksi tentang perbuatan
baik, buruk, terpuji, tercelah, benar, salah, wajar, tidak wajar dari perilaku seseorang
Salah satu prinsip yang dimiliki perspektif Khalifatullah Fil Ardh dalam pola berpikir
adalah "inklusivisme-kritis." Yaitu, pola berpikir bebas dan terbuka namun tetap kritis
berdiri di atas hati nurani yang suci dan bertauhid. Konsekuensi dari pola berpikir
semacam ini adalah menerima semua pemikiran dan ilmu pengetahuan tanpa
memerhatikan sumbernya, seperti yang pemah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.:
"Pungutlah olehmu hikmah (ilmu pengetahuan atau wisdom), dan tidak akan
membahayakan bagi kamu dari bejana apa pun hikmah itu ke Iuar”.
diperkaya. Dan ketika ilmu pengetahuan dimengerti sebagai temuantemuan atau bentuk-
bentuk konkret dan’ Sunnatullah, maka diharapkan kesadaran manusia akan keberadaan
kesadaran ini, realitas kehidupan yang tercipta atau yang akan diciptakan oleh setiap
Sehubungan dengan hal tersebut nilai-nilai etika akuntansi yang dikemukakan oleh dua
orang penulis, yaitu Ahmed Riahi-Belkaoui (1992) dan Jere R. Francis (1990). Riahi-
Belkaoui (1992),dalam hal ini, mengajukan lima nilai etika,yaitu fairness, ethics,
honesty, social responsibility dan truth. sebagai elemen-elemen yang paling panting
dalam moralitas akuntansi. Unsur pertama, Fairness merupakan perwujudan sifat netral
dan seorang akuntan dalam menyiapkan laporan keuangan. Ini adalah suatu indikasi
bahwa prinsip, prosedur, dan teknik-teknik akuntansi harus fair, tidak bias dan tidak
parsial dalam arti bahwa akuntan sebagai penyedia informasi harus beriktikad baik dan
menggunakan etika bnsnis dan kebijakan akuntansi yang baik dalam menyajikan,
Unsur yang kedua yaitu etika (ethics). Menurut pandangan Riahi Belkaoui, erat
kaitannya dengan peran profesi akuntansi, artinya bahwa dala melaksanakan peranannya.
seorang akuntan tidak hanya menghadapi atura aturan perilaku formal. tetapi iuga nilai-
nilai moralitas yang diciptakan oleh lingkungannya (Riahi-Belkaoui, 1992: 25). Dengan
mengakui adanya peran (role) dan kemudian secara aktif terlibat dalam peran tersebut,
maka akuntan mau tidak mau harus mengakui adanya kewajiban dan tanggung jawab
yang harus dipikulnya. Oleh karena itu, nilai-nilai etika (ethics) yang membedakan antara
yang baik dengan yang buruk dan yang benar dengan yang salah merupakan salah satu
unsur yang perlu diperhatikan sebagai dasar pijakan dalam pengambilan keputusan.
Honesty adalah unsur ketiga yang dapat menjamin terciptanya atau bertahannya
dalam bentuk corporate fraud, fraudulent financial reporting-, white-collar crime, atau
audit failures makin meningkat dan menyebabkan timbulnya kerugian yang besar bagi
perusahaan, individu dan masyarakat, serta menimbulkan masalah moral dalam dunia
praktik (Riahi-Belkaoui, 1992: 119). Fraud biasanya timbul karena adanya konsentrasi
tunggal pada satu tujuan (keinginan) atau ada kecenderungan untuk memenuhi
kepentingan pribadi/golongan.
Social responsibility adalah unsur yang keempat yang pada dasamya erat kaitannya
dengan persepsi seseorang tentang perusahaan. Menurut persepsi ini, perusahaan tidak
lagi dipandang sebagai sebuah entitas yang semata-mata mengejar laba (profit) untuk
klasik pada abad ke-19, atau untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu stakeholders
(pemegang saham, kreditor, investor, pemasok bahan-baku, pemerintah, dan entitas lain
yang mempunyai hak terhadap perusahaan), namun juga secara lebih serius
perusahaan mempunyai kepentingan yang kuat terhadap lingkungan sosial sebagai bagian
yang sangat panting dan tak terpisahkan dalam melakukan bisnis disamping kepentingan
pasar. lni secara eksplisit menunjukkan dan mengakui bahwa aktivitas perusahaan
memiliki dampak yang besar tidak saja terhadap kekuatan ekonomi, tetapi juga terhadap
kekuatan-kekuatan sosial dan politik. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa
alam dan dalam memperlakukan limbah industri, fasilitas-fasilitas umum yang tidak
memadai, dan lain sebagainya. Pandangan ini begitu jauh telah meninggalkan
pandangan ini, demikian dikatakan oleh Riahi-Belkaoui (1992: 153), perusahaan dapat
melakukan semua proyek kegiatan (sebagai tambahan pada tujuan untuk memperoleh
laba) yang dapat meminimalkan biaya sosial (social costs) dan memaksimalkan manfaat
sosial (social benefits). Adanya kesadaran sosial ini memberikan suatu indikasi bahwa
ada suatu persepsi (tentang perusahaan) yang berpijak pada nilai-nilai etika (moral) dan
Unsur kelima dari moralitas dalam akuntansi adalah truth. Truth dalam hal ini
Belkaoui, 1992: 178-9). Truth dalam arti yang pertama, menurut Riahi-Belkaoui (1992:
179), menunjukkan bahwa seorang akuntan [untuk menghindari bias dalam pengetahuan
(knowledge), deskripsi, dan komunikasi atas fakta], harus bersikap netral. Netral di sini
artinya adalah bahwa akuntan melaporkan informasi seperti apa adanya, tidak
menyediakan informasi dengan cara tertentu yang cenderung menguntungkan suatu pihak
dan merugikan pihak lain. Sedangkan truth dalam arti yang kedua menunjukkan empat
pengertian, yaitu:
a) bahwa ukuran-ukuran yang digunakan dalam akuntansi bersifat impersonal atau berada
c) bahwa ukuran tersebut berdasarkan pada konsensus para ahli yang dapat dipercaya;
dan
d) terdapat kerampingan (narorwness) dispersi statistik dari ukuran-ukuran yang
digunakan bila ukuran tersebut dibuat oleh orang yang berbeda (Riahi Belkaoui,1992 :
179).
di atas merupakan bagian yang sangat penting dalam memberikan suatu persepsi bahwa
sebenarnya akuntansi tidak terlepas dari nilai-nila; etika yang menyangkut tidak saja
kepribadian (personality) dari akuntan sebagai orang yang menciptakan dan membentuk
akuntansi, tetapi juga akuntansi sebagai sebuah disiplin. Hal tersebut memang wajar dan
Principle Board, No. 4, par 40, 1970-adalah: "sebuah aktivitas Jasa. Fungsinya adalah
moral. Hal ini demikian, karena akuntan dapat mengubah dunia dan memengaruhi
pengalaman hidup orang Iain dcngan cara yang monyebabkan pcngalaman hidup
seseorang menjadi berheda dcngan tidak adanya (absence) akumansi atau adanya
Francis (1990) lebih bersifat spesifik dan pragmatis dibanding dengan apa yang telah
dikemukakan oleh Riahi-Belkaoui (1992). Ha] ini demikian. karena Francis (1990)
memang menekankan, seperti yang dikemukakan di atas, pada sisi tertentu yang
memberikan arti bahwa akuntansi pada hakikatnya adalah praktik moral. Oleh karena itu,
Francis (1990, 9) lebih menekankan pada kualitas kemanusiaan (human quality), yaitu
kualitas yang kepemilikan dan aktualisasinya dapat membantu kita untuk memperoleh
sesuatu yang baik yang sebetulnya bersifat internal bagi praktik akuntansi dan sebaliknya
dengan ketiadaan kualitas tersebut akan menghambat kita untuk memperoleh nilai
kebajikan. Untuk itu, Francis (1990, 9) mengemukakan lima "nilai etika” yang dapat
status ekonomi orang lain (concern for the economic status of others), sensitivitas
terhadap nilai kerja sama dan konflik (sensitivity to the value of cooperation and
Kejujuran (honesty), yang pertama, merupakan kualitas utama yang harus dimiliki
oleh baik akuntan maupun auditor. Tanpa kualitas ini. hakikat diri akuntan dan auditor
menjadi tidak sesuai dengan fitrah dirinya, dan akibatnya, dapat memberikan efek negatif
Yang kedua adalah perhatian tehadap status ekonomiorang lain. (concern for the
economic status of other) artinya seorang akuntan harus selalu merefleksikan bagaimana
praktik akuntansi, seperti biaya standar, anggaran, harga transfer, dimaksudkan agar
sedemikian rupa akuntansi berperan dalam menangani konflik pada saat yang sama
mendorong adanya kerja sama untuk kebutuhan atau kepentingan organisasi, bukan untuk
kepentingan individu.
pengalaman ekonomi yang mumpuni di harapkan dapat memilih tentang apa yang harus
diperhitungkan, kapan saat yang tepat untuk memperhitungkannya, dan Wacana khusus
seperti, apa sebetulnya yang dimaksud dengan pendapatan, kapan pendapatan tersebut
dapat kita akui dan bagaimana kita menghitung, dan melaporkannya,merupakan wacana
khusus akuntansi. Wacana tersebut diciptakan oleh akuntan yang kegunaannya terletak
umumnya dikenal adalah fungsi jasa yang menyediakan informasi ekonomi untuk
pengambilan keputusan.
Etika (ethics) sebetulnya berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
karakter atau kebiasaan (custom). Menurut Solomon (1984: 3), makna dari kata ethos lni
tidak lain adalah karakter dari suatu budaya. Sedangkan etika, pada sisi yang lain,
umumnya berkenaan dengan karakter individu (termasuk apa yang kita sebut “menjadi
orang yang baik") dan juga berkenaan dengan usaha memahami aturan-aturan sosial,
khususnya aturan-aturan tentang hal yang ”baik" dan yang "buruk” yang mengatur dan
membatasi perilaku kita (Solomon 1984: 3). Namun. etika iuga dapat diartikan sebagai
sebuah disiplin ilmu (yang mempelajari baik nilai maupun justitikasinya) dan nilai serta
aturan sesungguhnya dari perilaku di mana dengannya kita hidup (Solomon, 1984: 2).
Bagian kedua yang disampaikan oleh Solomon (1984: 2) ini-nilai dan aturan etika
itu sendiri-tampaknya mirip dengan apa yang dimaksudkan oleh Norman (1983: 2)
sebagai substantive ethics (atau normative ethics). Sedangkan yang pertama-etika sebagal
disiplin ilmu-tidak lain adalah meta-ethics. lstilah-istilah tersebut umum dikenal dalam
Substantive ethics, bagi Norman (1983: 2), merupakan tingkat pertama dalam
perilaku manusia, misalnya pertanyaan tentang tindakan jenis apa yang dapat dikatakan
baik atau benar. Atau dengan kata lain, tindakan jenis apa yang secara etis dapat
dikatakan baik dan benar yang seharusnya dilakukan oleh seseorang. atau tindakan apa
yang secara etis tidak baik dan tidak benar yang seharusnya tidak perlu dilakukan.
Sedangkan pada tingkat yang kedua, yaitu meta-ethics, pengkaiian etika diarahkan pada
kaiian tentang apa sebetulnya yang dimaksud dengan baik dan benar itu.
mengetahui bahwa suatu tindakan adalah lebih baik dan benar? “dan” argumen apa yang
Dalam masyarakat yang majemuk terdapat sistem nilai etika yang majemuk
(banyak dan berbeda antara yang satu dengan yang lain) pula. Akibatnya, tidak menutup
kemungkinan akan terjadi konflik antara kelompok masyarakat tertentu dengan yang lain.
Fenomena (kemajemukan) ini memang sulit dihindarkan, karena kemajemukan itu sendiri
merupakan fenomena yang 'alamiah." Dengan kata lain, kemajemukan itu sebetulnya
memang harus ada, namun di samping kemajemukan tersebut harus ada sebuah nilai yang
sifatnya universal dan dapat diterima oleh semua pihak. Tentang hal ini, De George
mengungkapkan bahwa:
praktik-praktik moral dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang Iain dan dari
masa ke masa, terdapat [pula] kesepakatan dasar dalam sejumlah besar isu-isu
Kesepakatan dasar (basic agreement) tersebut tidak lain adalah nilai-nilai universal yang
secara fitrah diakui dan disetujui bersama oleh berbagai pihak tanpa ada batas dimensi
ruang dan waktu. Contoh dari nilai-nilai universal ini misalnya, adalah keadilan dan
kebenaran. Tidak ada seorang pun atau satu masyarakat pun yang akan menolak kedua
nilai tersebut. karena kedua nilai tersebut secara inheren ada dalam diri setiap manusia.
Namun, pencarian nilai keadilan dan kebenaran tersebut bukan merupakan sebuah
usaha yang mudah, karena persepsi seorang individu tentang nilai tersebut akan berbeda
antara individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan demikian, persepsi nilai
tersebut akhirnya juga akan beragam: dalam arti bahwa memang ada kemajemukan dalam
segi “bentuk.” tetapi hakikat keadilan dan kebenaran itu sendiri tetap sama.
Kemajemukan “bentuk” ini dapat kita lihat dari beberapa teori etika berikut ini ;
Teori etika utilitarianisme pada awalnya berasal dari Inggris sebagai respon terhadap
Revolusi lndustri yang telah mengubah dunia Barat dari masyarakat agraris meniadi
masyarakat industri. Lokomotif utama dari teori ini tidak lain adalah Jeremy Bentham
(1748-1832), seorang fllsuf yang lahir di London pada 05 Februari 1748. Dasar
pemikiran yang mengantarkan Bentham dalam pengembangan teori ini terletak pada
prinsip utilitas (utility) Utilitas. dalam hal ini memiliki makna bahwa: suatu tindakan
akan dinyatakan baik atau salah tergantung pada kecenderungannya untuk memberikan
Dari pengertian utilitas dan hedonisme psikologis. kita dapat melihat bahwa yang
meniadi ukuran utama bagi teori etika utilitarianisme untuk menilai sebuah tindakan
(apakah tindakan“ tersebut dapat dikatakan benar atau salah) adalah hasil atau
konsekuensi dari tindakan tersebut. Sebuah tindakan, menurut teori ini, tidak memiliki
nilai baik atau buruk dalam dirinya sendiri, tapi nilai tersebut terletak pada hasil atau
tersebut secara etis dapat dikatakan benar. Sebaliknya, bila tindakan tersebut ternyata
menurunkan kebahagiaan atau menaikkan penderitaan, maka tindakan tersebut tidak etis
(tidak benar).
Teori ini adalah teori yang dibangun oleh Immanuel Kant (1724-1804), seorang
Filosof Jerman yang mengklaim (sebagaimana juga Bentham yang menganggap bahwa
"kebahagiaan" sebagai klaim tunggal atas tujuan hidup manusia) bahwa "iktikad baik" (a
good will) adalah sebagai satu-satunya dasar moralitas sebuah tindakan. Dengan
demikian, berbeda dengan Bentham, Kant beranggapan bahwa sebuah tindakan dianggap
baik bukan karena hasil atau konsekuensi yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. tetapi
Agama, dalam teori etika ini, merupakan sumber yang dapat dijadikan sebagai
pedoman untuk mengetahui atau membedakan yang baik dari yang buruk dan yang benar
dari yang salah. Mengapa agama dijadikan sumber nilai? Karena hanya Tuhanlah yang
memiliki otoritas tertinggi dalam menetapkan nilai-nilai yang baik dan yang benar.
Tentang ha} ini, Chryssides and Kaler (1993: 84) berkomenmr bahwa:
Jika Tuhan itu ada. lalu siapa yang lebih baik dari Tuhan sendiri dalam memutuskan apa
yang benar dan apa yang salah? Jika Tuhan itu Maha Mengetahui. maka pasti Dialah
Oleh karena itu, masyarakat yang percaya akan adanya Tuhan akan Membangun nilai-
nilai etikanya berdasarkan pada ajaran agama masing-masing. Umat Islam, misalnya.
akan membangun nilai-nilai etikanya berdasarkan pada kitab sucinya, yaitu Al-Qur‘an,
orang Nasrani akan berdasarkan pada Bibel dan orang Yahudi akan menggunakan Taurat.
Menurut mereka nilaiyang baik dan yang benar hanya dapat diketahui melalui kitab suci
mereka, karena hanya Tuhanlah yang Maha Mengetahui dan Dialah pemegang otoritas
(duty) sebagai salah satu prinsip dalam membangun teori etikanya, mengaitkan
moral" (moral law). ‘Hukum moral" yang dikemukakan Kant memiliki konotasi religius,
karena latar belakang Kant memang berasal dari lingkungan Kristen Protestan. Jadi tidak
mengherankan bila “hukum moral” yang ia gunakan mendapat inspirasi dari etika
Protestan (Norman, 1983: 94). Mengapa mengambil etika Protestan? Karena, jelas di sini,
agama Protestan dipercaya sebagai sumber yang mempunyai otoritas untuk mengetahui
Dengan logika yang sama, seorang Muslim juga mempunyai keyakinan bahwa Al-
Qur’an dan Hadist merupakan dua sumber utama dalam menentukan nilai baik dan
benar. Dari kedua sumber tersebut kemudian diturunkan formulasi praktis dalam bentuk
”hukum Islam," yang akhimya kita kenal dengan nama ”syariah.” Untuk
menghasilkan ketentuan hukum ini, diperlukan alat yang lain, yaitu ijma' dan qiyas.
diklasifikasikan ke dalam lima kelas, yaitu wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram,
[syariah] bukan sekadar sebuah sistem hukum, tetapi sistem lengkap yang
Pengertian syariah yang dikemukanan oleh Safi memberikan suatu indikasi bahwa
syariah bukan merupakan sistem hukum yang cenderung menekankan din’ pada sisi
sistem hukum positif belaka, namun juga lebih dari itu, ‘yaitu pada sisi moralitas (etika).
Di sini terlihat adanya keterkaitan antara syari'ah sebagai hukum positif, di satu sisi, dan
etika, di sisi yang lain, sebagai “ruh” yang memberikan nilai hidup bagi syariah itu
sendiri.
Syari‘ah, bagi kehidupan seorang Muslim dan umat Islam secara keseluruhan, adalah
memberikan satu set kriteria agar yang benar (haq) dapat dibedakan dari yang salah
tersebut, umat Islam akan dapat mengembangkan [atau menciptakan] suatu masyarakat
yang mulia dari segi moral maupun segi kualitas material dibanding masyarakat lain
Sunnatullah yang tersebar luas. Tampaknya sudah menjadi pola pikir yang sudah umum
hanya sebagaimana termaktub dalam, atau hanya bersumber dari AI-Qur’an (dan yang
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw.). Namun, bagi mereka yang tidak sependapat
dengan pandangan ini beranggapan bahwa sebetulnya Sunnatullah itu tidak terbatas
pada sumber yang disebutkan di atas (yang kemudian dikenal dengan sebutan ayat-ayat
qauliyah), tetapi juga hukum-hukum yang tersebar luas di permukaan bumi ini, yaitu
ayat-ayat kauliyah. Pandangan ini sebetulnya merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an
manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah,
Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-
bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
Maka apakah mereka tidak bajalan dl muka bumi lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat mermahami atau mempunyaii telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata ituyang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada (Q5 Al-Hajj [22]: 46).
dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan
bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Luqman [31]:
29).
hukum-hukum sosial (sejarah) dan alam (Sunnatullah) yang tersebar luas di muka bumi
ini untuk kepentingan hidup mereka. Untuk itu, kapasitas akal dan hati sangat besar
Pandangan ini menyiratkan tentang suatu pemahaman bahwa pintu ijtihad selalu
terbuka. Dan dengan terbukanya pintu ijtihad ini. maka terbuka pulalah kemungkinan
syariah untuk selalu berkembang. ljtihad merupakan sebuah jalan yang dapat
digunakannuntuk memahami dan mengakses Sunnatullah sebagaimana dikatakan oleh
Safi:
Karena wahyu telah terhenti sejak wafatnya Nabi Saw., umat lslam kehilangan aksesnya
terhadap hukum Tuhan. Lalu, timbul pertanyaan bagaimana hukum-hukum Allah dapat
diketahui. jawabnya adalah ijtihad, di mana para ahli hukum diminta untuk menggunakan akal
yang bebas untuk menemukan prinsip~ prinsip yang terkandung dalam wahyu dan
mengembangkannya pada situasi baru yang sebelumnya tidak pernah dinyatakan oleh wahyu
(1990: 190).
Dengan demikian. syariah akan terus berkembang baik dalam arti metodologi
maupun dalam bentuk aturan-aturan baru yang diformulasikan sebagai jawaban atas
Asghar Ali Engineer (1994: 64), “hukum syariah [itu] berubah sesuai dengan
bermacam-macam tantangan dan persoalan dan memang harus dipahami seperti itu.
Dengan kata lain syariah adalah hukum situasional, bukan transendental dan harus
Hukum syara’ atau hukum Islam menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh
ialah kitab syar’ yang bersangkutan dengan orang mukallaf, baik dalam bentuk
tuntutan, pilihan atau ketetapan. Dan menurut istilah ahli fiqh adalah: efek yang
dikehendaki efek yang dikehendaki ilmu syari’ pada perbuatan, seperti: kewajiban,
keharaman dan kebolehan. Jika dikaitkan dengan Islam, hukum Islam dapat diartikan
sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang
beragama Islam.
Secara etimologi, Islam berasal dari kata salam yang artinya selamat atau juga
bisa berarti menyerahkan diri. Sedangkan kata hukum secara etimologi berasal dari
akar kata bahasa Arab, yaitu hukm/alhukm yang mengandung makna mencegah atau
penganiayaan, dan menolak bentuk kemafsadatan lainnya. Istilah hukum dalam Islam
mempunyai dua pengertian, yaitu syariah dan fikih. Syariat terdiri dari wahyu Allah
dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil
pemahaman tentang syariat. Adapun yang menjadi sumber syariat adalah al-Qur’an
dan Sunnah, sedangkan fikih bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan Ra’yu.
Adapun hukum, merupakan implementasi dari penerapan syariah dan fikih itu
sendiri, yang tidak lain akan melahirkan etika. Al-Qur’an merupakan pedoman bagi
umat Islam yang diturukna Allah melalui perantara malaikat Jibril kepada nabi
Muhammad saw.
ekonomi serta masalah etika yang tidak boleh lepas dari kegiatan bisnis atau usaha.
Kata bisnis dalam al-Qur’an biasannya yang digunakan al-Tijarah, al-Bai’, tadayantum
dan isyara. Term bisnis di dalam alQur’an dari tijarah pada hakikatnya tidak semata-
mata bersifat material tetapi juga immateri. Aktifitas bisnis tidak hanya dilakukan
semata manusia, tetapi antar manusia dengan Allah swt, melalui niat yang baik serta
unsur riba, judi (maysir), ketidakpastian (gharar), dan bathil. Dengan dilarangnya riba,
maysir, gharar, dan bathil dalam transaksi perbankan maka sebagai gantinya dapat
menerapkan akad-akad yang sesuai dengan etika bisnis Islam. Setidaknya ada lima hal
Hudaib, 2007): (1) filosofi dan nilai dasar organisasi; (2) provisi produk dan jasa bebas
bunga; (3) pembatasan pada perjanjian yang diperbolehkan menurut syariat Islam; (4)
fokus pada pengembangan dan tujuan sosial; (5) adanya review tambahan dari dewan
pengawas syariah.
menyelamatkan jiwa, akal, agama, harta, dan keturunan umat Islam dari transaksi yang
Keberadaan industri perbankan syariah yang menjunjung tinggi prinsip etika bisnis
Islam adalah mutlak diperlukan sebagai fasilitator transaksi yang halal menurut syariat
Islam. Menurut Noor dan Ahmad (2012), bank syariah modern pertama kali didirikan
di Mesir pada tahun 1963 dan sejak saat itu telah berdiri lebih dari 300 institusi di
lebih dari 75 negara. Industri perbankan syariah berkembang pesat dan semakin
Indonesia yang berdiri pada tahun 1991 yang diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), sekelompok
melakukan operasi secara resmi pada bulan Mei 1992 setelah adanya Undang-Undang
Perbankan No. 7 Tahun 1992 yang mengatur tentang izin pengoperasian perbankan
banking system) sehingga selain bank syariah murni, bank konvensional juga
akan tetapi perkembangan dari sisi kelembagaan dan produk keuangan syariah tersebut
belum diimbangi dengan ketaatan terhadap etika bisnis syariah padahal penerapan
prinsip etika bisnis syariah dalam operasional perbankan syariah mutlak diperlukan
prinsip etika bisnis Islam dalam bisnis keuangan dan perbankan syariah hanya sebesar
50% karena lebih berfokus pada produknya dan belum menjangkau perilaku sumber
daya manusianya (www.sebi.ac.id), sedangkan Saleh, Md. Abu, Quazi, Ali, Keating,
Byron, and Gaur, Sanjaya S. (2017) menemukan bahwa persepsi nasabah perbankan
syariah atas tingkat reliabilitas, tingkat respon, keamanan, dan reputasi perbankan
syariah lebih tinggi bila dibandingkan bank konvensional namun masih banyak
masalah etika yang terjadi dalam praktek perbankan syariah (Wilson, 2005).
syariah harus sesuai dengan hukum nasional maupun pengadilan syariah (Ahmad dan
Hassan, 2007).
Masih segar dalam ingatan kita pertengahan 1997,Negara Indonesia dilanda krisis
berdiri bebas,dengan modal 10 milyar saja orang bisa mendirkan usaha bank.Ekonomi
Indonesia tumbuh pesat dengan modal pinjaman atau utang luar negeri. Kapitalis-
1. Ersatz capitalist atau kapitalis yang dikarbit, pengusaha yang menjadi besar
2. Bereaucratic capitalist yaitu pengusaha yang menjadi besar karena adanya jalur
3. Crony capitalist yaitu pengusaha yang cepat besar karena bantuan dari konco-
Indonesia,maka pihak swasta mengambil utang luar negeri luar biasa besarnya,tanpa
pendek di gunakan dalam penanaman modal jangka panjang. Akibatnya pada saat
tiang artinya banyak belanja dari penghasilan perusahaan banyak show kekayaan
tidak produktif demikian pula perusahaan bank meminjam modal luar negeri dengan
bunga rendah3-4 % setahun. Uang ini mereka pinjamkan lagi dengan tingkat bunga
18-20 % setahun, nampaknya ini memang sangat menguntungkan bagi bank. Tapi
dengan sedikit goyangan harga dolar, harga rupiah jatuh merosot, maka pengusaha
yang mendapat pinjaman luar negeri sangat kewalahan. Utang mereka dalam uang
Kekeliruan lain yang dibuat oleh bank, ialah merek meminjamkan sebagian besar
modal mereka kepada industri milik orang bank sendiri. Mereka melampaui Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang diberikan oleh Bank kepada grup
mengalami kehancuran karena harga barang impor menjadi sangat tinggi, diukur
dalam rupiah, harga pokok barang industri menjadi tinggi, harga jual juga tinggi,
akhirnya hasil produksi tidak laku. Tambahan pula daya beli masyarakat makin
mau ingkar janji (default) tidak mampu membayar utang luar negerinya. Akibatnya