Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH BUDAYA ETIS ORGANISASI DAN MORALITAS APARAT

TERHADAP KECENDERUNGAN KECURANGAN (FRAUD) AKUNTANSI

Maraknya isu pada organisasi sektor pemerintahan khususnya di Indonesia yaitu


lembaga-lembaga publik dituntut untuk dapat menciptakan akuntabilitas publik.
Dimana akuntabilitas publik dapat didefinisikan sebagai suatu kewajiban
mempertanggungjawabkan keberhasilan ataupun kegagalan dalam pelaksanaan misi-
misi organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya
dengan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik.
Salah satu bentuk pertanggungjawaban dari pemerintah adalah mempublikasikan
laporan keuangan pemerintah, yang tujuannya untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas dari pengelolaan keuangan pemerintah sehingga masyarakat mengetahui
bagaimana pengelolaan keuangan pemerintah.

Ikatan Akuntansi Indonesia (2001: 316) menyatakan bahwa terdapat dua tipe salah
saji yang relevan dengan pertimbangan auditor terhadap kecurangan dalam audit atas
laporan keuangan, yaitu:

1. Salah saji yang timbul sebagai akibat dari kecurangan dalam pelaporan
keuangan
2. Kecurangan yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva.

Menurut Alison (2006), secara garis besar kecurangan dapat digolongkan menjadi
dua jenis, yaitu:

1. Manajemen untuk kepentingan perusahaan, dimana salah saji yang timbul


karena kecurangan pelaporan keuangan. Kecurangan pelaporan keuangan
biasanya dilakukan karena adanya dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi
kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan
keuangan lebih dikenal dengan istilah irregulatities (ketidakberesan). Bentuk
kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen
(management fraud), misalnya berupa manipulasi, pemalsuan, atau
pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang

1
merupakan sumber penyajian laporan keuangan, kesengajaan dalam salah
menyajikan atau sengaja menghilangkan suatu transaksi, kejadian, atau
informasi penting dari laporan keuangan
2. Pegawai untuk kepentingan individu dimana salah saji yang berupa
penyalahgunaan aktiva organisasi. Kecurangan jenis ini biasanya disebut
kecurangan karyawan (employee fraud). Salah saji yang berasal dari
penyalahgunaan aktiva meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang
mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum (PABU). Penggelapan aktiva umumya dilakukan
oleh karyawan yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan karena
melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal perusahaan
serta pembenaran terhadap tindakan tersebut.

Kecurangan (fraud) dapat dipicu oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Dari faktor eksternal (organisasi), fraud dapat dipicu karena buruknya budaya
organisasi yang diterapkan oleh organisasi tempat individu tersebut bekerja. Menurut
Schein (1992: 12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi
untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.
Menurut Cushway dan Lodge (2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai
organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan
berperilaku. Budaya organisasi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:

1. Pengaruh eksternal yang luas (Broad external influences)


2. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat (societal values)
3. Faktor-faktor spesifik dari organisasi
4. Nilai-nilai dari kondisi dominan.

Fungsi budaya organisasi menurut Robbins (2006) adalah sebagai berikut:

1. Budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi

2
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan diri individual seseorang
4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi
itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh
karyawan
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Moralitas diartikan sebagai sopan santun dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan etika atau sopan santun. Moralitas merupakan pedoman yang dimiliki individu
atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral.
Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau
gabungan dari beberapa sumber. Sedangkan standar moral adalah standar yang
berkaitan dengan persoalan yang dianggap mempunyai konsekuensiserius, didasarkan
pada penalaran yang baik bukan otoritas kekuasaan, melebihi kepentingan sendiri,
tidak memihak dan pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah, malu,
menyesal, dan lain-lain. Moralitas dalam pengertian terbatas juga sering diartikan
sebagai sekumpulan nilai dan norma (baik-buruk) yang dipegang oleh individu atau
sekumpulan individu (masyarakat).

Kohlberg (1995) menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral


merupakan sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah
struktur yang lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang
dibandingkan dengan struktur sebelumnya. Moral dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:

1. Moral murni, dimana moral murni terdapat pada setiap manusia. Moral murni
disebut juga hati nurani.
2. Moral terapan, yaitu moral yang didapat dari berbagai ajaran filosofis, agama,
adat yang menguasai pemutaran manusia.

3
Budaya etis dalam suatu organisasi sangat mempengaruhi pola pikir, cara bertindak
dan cara berperilaku orang-orang/aparatur yang berada didalam organisasi tersebut.
Dimana budaya organisasi memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku
seseorang baik untuk berperilaku etis ataupun untuk berperilaku tidak etis. Budaya
organisasi yang buruk akan sangat memicu orang- orang yang berada didalam
organisasi tersebut untuk melakukan hal-hal yang menyimpang ataupun melakukan
kecurangan karena hal tersebut dianggap lumrah atau layak untuk dilakukan bagi
anggota organisasi. Sedangkan jika budaya organisasi yang ditanamkan baik, maka hal
tersebut akan memberikan dampak yang baik bagi anggota organisasi. Budaya
organisasi yang etis akan menuntut orang-orang yang berada di dalam organisasi untuk
senantiasa mematuhi aturan atau norma-norma organisasi sehingga jika ada anggota
organisasi yang menyimpang dari aturan atau norma-norma yang ada dalam organisasi,
maka anggota yang melakukan pelanggaran tersebut diberikan sanksi yang sesuai.
Dimana, budaya organisasi dapat diartikan sebagai suatu sistem yang dipercayai oleh
seluruh anggota dalam suatu organisasi dan nilai-nilai yang dikembangkan oleh
organisasi sehingga menuntut anggota organisasi agar senantiasa bertindak dan
berperilaku sesuai dengan budaya organisasi yang ditanamkan pada tempatnya bekerja.

Isu dan kekuatan suatu budaya mempengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan
perilaku etis para anggotanya. Budaya sebuah organisasi yang memiliki kemungkinan
paling besar untuk membentuk standar dan etika tinggi adalah budaya yang tinggi
toleransinya terhadap risiko tinggi, sedang, sampai rendah dalam hal keagresifan, dan
fokus pada sara selain itu juga hasil. Manajemen dapat melakukan beberapa hal dalam
menciptakan budaya yang lebih etis, yaitu:

1. Model peran yang visibel, dimana karyawan akan melihat sikap dan perilaku
manajemen puncak (Top Management) sebagai acuan/landasan standar untuk
menentukan perilaku dan tindakan-tindakan yang semestinya dilakukan
2. Komunikasi harapan etis, dimana ambiguitas etika dapat diminimalisir dengan
menciptakan dan mengkomunikasikan kode etik organisasi

4
3. Pelatihan Etis, yaitu pelatihan etis digunakan untuk memperkuat standar,
tuntunan organisasi, menjelaskan praktik yang diperbolehkan dan yang tidak,
serta menangani dilema etika yang mungkin muncul.

Moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat
peran lain, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar,
salah, baik, atau buruk. Jika pengertian etika dan moral dihubungkan dapat dikatakan
bahawa etika dan moral memiliki objek yang sama yaitu sama-sama membahas tentang
perbuatan manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya baik atau buruk. Namun
demikian, dalam hal etika dan moral memiliki perbedaan, maka dari itu tolak ukur yang
digunakan untuk moral yaitu untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat
istiadat, kebiasaan, dan lain-lain yang berlaku dimasyarakat. Istilah moral digunakan
untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk sistem nilai
yang ada. Teori moral mencoba memformulasikan suatu prosedur dan mekanisme
untuk pemecahan masalah-masalah yang etik.

5
PENGARUH BUDAYA ETIS ORGANISASI, ORIENTASI ETIKA, DAN
GENDER TERHADAP SENSITIVITAS ETIKA AUDITOR
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu
memberikan informasi keuangan terhadap publik, DPRD, dan pihak-pihak yang
menjadi stakeholder pemerintah daerah. Di era dengan tingkat kritisme masyarakat
yang kian meningkat, menuntut organisasi-organisasi sektor publik untuk lebih
meningkatkan akuntabilitasnya. Kewenangan setiap Daerah untuk mengatur
pemerintahannya sendiri menjadi tugas yang cukup sulit bagi Pemerintah Daerah
dalam mempertanggung jawabkan setiap kegiatan agar tercipta Pemerintahan yang
baik (Good Governance).

Hurt et al (2008) menyatakan, budaya etis organisasi merupakan pandangan luas


tentang persepsi karyawan pada tindakan etis pemimpin akan pentingnya etika di
perusahaan dan memberikan penghargaan ataupun sanksi atas tindakan tidak bermoral.
Budaya etis organisasi merupakan salah satu variabel penting bagi seorang pemimpin,
karena mencerminkan nilai-nilai yang diakui dan menjadi pedoman bagi pelaku
anggota organisasi tersebut.

Budaya etis organisasi merupakan sistem nilai, norma dan kepercayaan yang
bersama-sama dimiliki oleh masing-masing anggota organisasi yang kemudian
mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi agar
terciptanya perilaku yang baik dan beretika serta menghindari tindakan-tindakan yang
dapat merugikan organisasi.

Orientasi etika dikendalikan oleh dua karakteristik yaitu idealisme dan relativisme.
Idealisme berhubungan dengan tingkat dimana individu percaya bahwa konsekuensi
yang diinginkan (konsekuensi positif) tanpa melanggar kaidah moral. Orientasi etika
menunjukan pandangan yang diadopsi oleh masing-masing individu ketika
menghadapi masalah yang membutuhkan penyelesaian etika atau dilema etika
(Martina, 2015). Falah (2006) mengatakan orientasi setiap individu pertama-tama
ditentukan oleh kebutuhannya. Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan pengalaman
pribadi dan sistem nilai individu yang akan menentukan harapan-harapan atau tujuan

6
dalam setiap perlakuannya sehingga pada akhirnya individu tersebut menemukan
tindakan apa yang akan diambilnya. Jadi dengan orientasi etika yang dimiliki oleh
seorang auditor itu membuatnya memiliki sensitivitas etika yang diperlukan untuk
menentukan harapan-harapan atau tujuan yang ingin dicapainya.

Gender adalah suatu konsep analisi yang digunakan untuk mengidentifikasi


perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari sudut non-biologis, yaitu dari aspek
sosial, budaya maupun psikologis. Menurut Chung and Monroe (2001), dari literatur
cognitive psychology dan literatur marketing dinyatakan bahwa gender sebagai faktor
level individual dapat berpengaruh terhadap kinerja yang memerlukan pertimbangan
dalam berbagai kompleksitas tugas. Perempuan dapat lebih efesien dan efektif dalam
memproses informasi dalam tugas yang kompleks dibanding laki-laki dikarenakan
perempuan lebih memiliki kemampuan untuk membedakan dan mengintegrasikan
kunci keputusan. Namun pengaruh gender terhadap pemrosesan informasi dan
pertimbangan belum banyak teruji dalam konteks penugasan audit atau penugasan
sebagai auditor, oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian dengan
menggunakan variabel gender.

Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat
kebiasaan, nilai-nilai dan norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak
baik Agoes (2012). Sebagaimana dikatakan oleh Peschke (2003), sebagai teori etika
muncul antara lain karena adanya perbedaan perspektif dan penafsiran tentang apa
yang menjadi tujuan akhir hidup manusia. Etika menjadi salah satu panduan bagi
profesi auditor dalam mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya (Januarti, 2011).
Kemampuan seorang auditor untuk mengidentifikasi perilaku etis dan perilaku tidak
etis dapat dikatakan memiliki tingkat sensitivitas etika yang tinggi.

Budaya etis organisasi akan cenderung membentuk budaya yang kuat, sebaliknya
budaya organisasi yang inetis akan cenderung membentuk budaya yang lemah. Budaya
yang kuat akan berpengaruh lebih besar terhadap pegawai dibandingkan dengan
budaya yang lemah. Budaya etis organisasi merupakan acuan yang terdapat dalam
suatu organisasi yang harus ditaati oleh auditor. Seorang auditor yang taat pada nilai-

7
nilai dan norma organisasinya akan cenderung semakin memiliki kedisiplinan dan
tanggungjawab dalam melakukan penugasan audit. Sebaliknya jika seorang auditor
tidak memiliki budaya etis yang baik maka akan mengabaikan nilai etika yang ada dan
cenderung berani melakukan pelanggaran yang berakibat pada turunnya tingkat
sensitivitas etika auditor tersebut.

Selain itu pula dengan diterapkannya suatu budaya etis di dalam organisasi maka
akan dapat mendorong seseorang untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang
beretika sehingga kecenderungan kecurangan akuntansi dapat diminimalisir. Karena
jika budaya etis dalam suatu organisasi baik maka akan memicu individu dalam
organisasi tersebut untuk berperilaku etis, sedangkan jika budaya etis dalam suatu
organisasi buruk maka hal tersebut akan memicu individu didalamnya untuk
melakukan tindakan yang menyimpang dari perilaku etis. Dalam suatu lingkungan
yang etis, seorang karyawan akan lebih cenderung melakukan atau menjalankan
peraturan-peraturan organisasi dan menghindari perbuatan kecuranga di dalam
instansi, lingkungan etis ini dapat dinilai dengan adanya budaya etis organisasi.

Membentuk budaya etis yang kuat dapat dilakukan dengan cara menjadi model
peran yang nyata, maksudnya yaitu pegawai akan melihat model perilaku eksekutif
puncak sebagai tolok ukur merancang perilaku yang tepat. Jika pimpinan memberikan
contoh perilaku etis, pemimpin akan menebar pesan kuat dan positif kepada
pegawainya. Berikutnya mengadakan pelatihan etika seperti seminar, pelatihan
program atau lokakarya tentang etika dalam dunia kerja. Gunakan sesi ini untuk
mendorong standar perilaku organisasi, untuk mengklarifikasikan apa yang boleh dan
tidak boleh dan membahas kasus dilema etis yang sering mucul dalam keseharian.

Semakin seringnya seorang pemimpin organisasi menyalurkan budaya etis


organisasi maka pegawai seperti auditor akan melakukan aktivitas etis sehingga akan
meningkatkan konsistensi perilaku pada standar nilai dalam pengambilan keputusan
karena auditor tersebut memiliki kedisiplinan dan tanggungjawab yang tinggi serta
tidak mementingkan diri sendiri. Dengan adanya budaya etis organisasi atau perilaku
yang beretika oleh seorang auditor, maka tentunya hal tersebut akan mempengaruhi

8
tingkat sensitivitas etika profesi auditor untuk bertindak profesional, mampu
memberikan laporan secara tranparansi dan jujur.

Sesuai dengan teori keprilakuan yang menyatakan bahwa perilaku etis merupakan
perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial yang diterima secara umum,
berhubungan dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat dan membahayakan.
Karakteristik tersebut meliputi sifat, kemampuan, nilai, ketrampilan, sikap, dan
intelegensi yang muncul dalam pola perilaku seseorang.

Orientasi etika menunjukan pandangan yang diadopsi oleh masing-masing


individu ketika menghadapi masalah yang membutuhkan penyelesaian etika atau
dilema etika (Martina, 2015). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa auditor dengan
orientasi etika yang baik harus dipertahankan agar dapat digunakan dalam mengambil
keputusan yang tepat ketika menghadapi dilema etika.

Falah (2006) mengatakan orientasi setiap individu pertama-tama ditentukan oleh


kebutuhannya. Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem
nilai individu yang akan menentukan harapan-harapan atau tujuan dalam setiap
perlakuannya sehingga pada akhirnya individu tersebut menemukan tindakan apa yang
akan diambilnya. Seorang akuntan yang tidak bersikap idealisme hanya mementingkan
dirinya sendiri agar mendapat fee yang tinggi dengan meninggalkan sikap
independensi (Putri, 2016).

Selanjutnya menurut Putri (2016) relativisme adalah pandangan bahwa tidak ada
standar etis yang secara absolute benar. Dalam penalaran moral seorang individu, ia
harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat dimanapun ia
berada. Seorang auditor yang mampu bertindak profesional dan independen akan
menghasilkan laporan yang jujur dimanapun ia menjalankan tugasnya sebagai lembaga
yang mengawasi unit kerja di pemerintah daerah.

Dalam penelitian Purnami (2016) menyatakan bahwa dalam memecahkan suatu


masalah, laki-laki pada umumnya tidak menggunakan semua informasi yang tersedia
dan mereka juga tidak memperoses informasi secara menyeluruh sehingga dapat

9
dikatakan bahwa laki-laki cenderung melakukan pemrosesan informasi secara terbatas.
Sedangkan perempuan dipandang sebagai pemroses informasi lebih detail yang
melakukan proses informasi pada sebagian inti informasi untuk pengambilan suatu
keputusan.

Dalam penelitian Putri (2016) menyatakan laki-laki dan perempuan memiliki


karakteristik yang sangat berbeda. Perempuan memiliki karakteristik lebih realistis,
teguh pendirian, mudah dipercaya, memiliki kecurigaan yang tinggi, penuh perhatian
dan teliti, kurang percaya diri dan cenderung mematuhi peraturan, Sedangkan laki-laki
memiliki kepribadian yang tidak berpihak, kurang dapat bekerja sama, cenderung
praktis dan tidak realistis, lebih percaya diri dan cenderung sembarangan dalam
menjalankan tugas. Perbedaan ini disebabkan karena laki-laki dan perempuan
mengembangkan bidang peminatan, keputusan dan praktik yang berbeda yang
berhubungan dengan pekerjaannya. Laki-laki dan perempuan merespon secara berbeda
tentang reward dan cost.

Budaya etis organisasi tercermin dalam praktek-praktek organisasi. Kondisi-


kondisi yang dialami anggota organisasi seperti penghargaan, dukungan, dan perilaku
yang diharapkan dalam organisasi menjadikan anggapan tentang budaya etis organisasi
itu sendiri dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri
seseorang. Semakin sering sorang pemimpin menyalurkan dan menerapkan budaya etis
organisasi maka akan semakin meningkatkan sensitivitas etika pegawai khususnya
auditor. Demikian halnya dengan penelitian-penelitian lain yang menggunakan
variabel budaya etis organisasi, sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Dewi
(2015) yang menyatakan bahwa variabel budaya etis organisasi berpengaruh langsung
terhadap sensitivitas etika auditor. Orientasi etika menunjukan pandangan yang
diadopsi oleh masing-masing individu ketika menghadapi masalah yang membutuhkan
penyelesaian etika atau dilema etika (Martina, 2015). Seorang auditor dengan orientasi
etika yang baik harus dipertahankan agar dapat digunakan dalam mengambil keputusan
yang tepat ketika menghadapi dilema etika. Faktor gender seorang auditor juga dapat
berkaitan dengan sensitivitas etika, seorang perempuan dapat lebih efisien dan efektif

10
dalam memproses informasi yang kompleks dibanding laki-laki dikarenakan
perempuan lebih memiliki kemampuan untuk membedakan dan mengintegrasikan
kunci keputusan.

11

Anda mungkin juga menyukai