Anda di halaman 1dari 11

1

Etika berasal dari bahasa Yunani: etos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal
dari bahasa Latin: mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari isyilah ini muncul
pula istilah morale atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya.Moril bisa
berarti semangat atau doronganbatin. Disamping itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa
Latin. (norma: penyiku atau pengukur), dalam bahasa inggris norma berarti aturan atau kaidah.
Dalam kaitannya dalam prilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi
perilaku yang seharusnya dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan.

Moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati,
kebesaran jiwa, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum, sedangkan
moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari etika. Moralitas berfokus pada
hukum-hukum dan prinsip abstrak dan bebas. Orang yang telah mengingkari janji yang diucapkannya
dapat dianggap sebagai orang yang tidak dipercaya atau tidak etis, tetapi bukan berarti tidak
bermoral, namun menyiksa anak disebut tindakan tidak bermoral.

Secara Epistimologis etika dan moral memiliki kemiripan, namun sejalan dengan perkembangan
ilmu dan kebiasaan dikalangan cendekiawan ada pergeseran arti. Etika cenderung dipandang sebagai
suatu cabang ilmu dalam filsapat yang mempelajari nilai baik dan buruk manusia. Sedangkan moral
adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban
atau norma.

Etika administrasi Negara yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang
baik bagi para administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan melakukan
tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini diharapkan memberikan berbagai asas etis, ukuran
baku, pedoman perilaku, dan kebijakan moral yang dapat diterapkan oleh setiap petugas guna
terselenggaranya pemerintahan yang baik bagi kepentingan rakyat.

Sebagai suatu bidang studi, kedudukan etika administrasi negara untuk sebagian termasuk dalam
ilmu administrasi Negara dan sebagian yang lain tercakup dalam lingkungan studi filsafat. Dengan
demikian etika admistrasi Negara sifatnya tidak lagi sepenuhnya empiris seperti halnya ilmu
administrasi, melainkan bersifat normatif. Artinya etika administrasi Negara berusaha menentukan
norma mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap petugas dalam melaksanakan fungsinya
da memegang jabatannya.

Etika administrasi Negara karena menyangkut kehidupan masyarakat, kesejahteraan rakyat, dan
kemajuan bangsa yang demikian penting harus berlandaskan suatu ide pokok yang luhur. Dengan
demikian, etika itu dapat melahirkan asas, standar, pedoman, dan kebajikan moral yang luhur pula.
Sebuah ide agung dalam peradaban manusia sejak dahulu sampai sekarang yang sangat tepat untuk
menjadi landasan ideal bagi etika administrasi Negara adalah Keadilan, dan memang inilah yang
menjadi pangkal pengkajian Etika Admnistrasi Negara, untuk mewujudkan keadilan.

Adapun secara substantif Bidang Studi Etika Administrasi Negara diadakan untuk mengetahui
beberapa hal berikut :

Tujuan ideal administrasi

Ciri-ciri administrasi yang baik


2

Penyalahgunaan wewenang yang terjadi pada administrator

Perbandingan bentuk-bentuk administrasi yang baik dan buruk

Ada 3 prinsip yang harus dipegang agar sebuah Administrasi dapat dikatakan baik yakni:

1.Prinsip Pelayanan kepada Masyarakat

Prinsip utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat
mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara,
dari sini dapat dipahami bahwa pemerintah ada memang untuk memberi pelayanan kepada
masyarakat.

2.Prinsip Keadilan Sosial dan Pemerataan

Prinsip ini berhubungan dengan distribusi pelayanan yang harus sesuai, tidak “pilih kasih” dan relatif
merata di seluruh wilayah sebuah negara/ pemerintahan.

3.Mengusahakan Kesejahteraan Umum

Maksudnya adalah setiap pejabat pemerintah harus memiliki komitmen dan untuk peningkatan
kesejahteraan dan bukan semata mata karena diberi amanat atau dibayar oleh negara melainkan
karena mempunyai perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan warga negara pada umumnya.

2. Lingkup Etika Administrasi Negara

Persoalan-persoalan etis yang dibahas dalam etika Administrasi yang sekaligus menjadi ruang
lingkup dari Etika Administrasi itu sendiri menurut J. Alder antara lain :

Apakah ukuran-ukuran dari administrasi yang baik ?

Apakah sifat dasar dari administrasi yang jelek ?

Apakah ada bentuk/model Administrasi yang baik atau jelek?

Apakah keberhasilan administrasi ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai, yaitu efisiensinya dalam
melaksanakan tugas?

Dari sini dapat diketahui bahwa lingkup Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai
dalam proses administrasiPembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam
tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri.
Mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika
administrasi negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas administrasi
negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak
bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama perlu diingat ialah bahwa kkode etik tidak
membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa
sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk
mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dalam kode etik bukan dari sanksi fisik
melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga
merupakan hasil kesepakatan atau konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan
3

bersama, yang timbul dari diri anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka,
sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian kode etik tidak terbatas
pada organisasi-organisasi yang personilnya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak
terbatas padakaum profesi karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang
keputusan mengandung konsekuensi moral.

Kode etik bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi karena
bagaimanapun juga organisasi hanya akan dapat meraih sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap
pegawai yang bekerja didalamnya memiliki aktivitas dan perilaku yang baik.

Mengenai rumusan eksplisit kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah,
ada banyak sumber formal. Salah satunya yang sering disebut ketentuan mengenai Sapta Prasetya
KORPRI. Keputusan Musyawarah Nasional KORPRI yang ketiga, No. Kep-05/MUNAS/1998 tanggal 1
Juni 1998 tentang penyempurnaan kode etik Korps Pegawai Republik Indonesia.

Seorang pegawai atau pejabat akan mengucapkan atau menghapal sumpah jabatan dengan mudah.
Namun, perenungan, pengkhayatan, serta pengalaman dari apa yang mereka ucapkan itu yan lebih
penting. Unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat
dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
Pegawai Negeri Sipil. Ada delapan unsur penilaian pegawai yaittu: Kesetiaan, prestasi kerja,
tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa, kepemimpinan.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Etika Administrasi Dalam Praktiknya

Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun apa yang
harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk
menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik
atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian
bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk.

Pemikiran tentang etika berlangsung pada tiga aras: (1) filosofik, (2) sejarah, dan (3) kategorial. Pada
aras filosofik, etika dibahas sebagai bagian integral Filsafat, disamping metafisika, Epistemologi,
Estetika, dan sebangsanya. Pada aras sejarah, etika dipelajari sebagai etika masyarakat tertentu pada
zaman tertentu, misalnya Greek and Graeco-Roman Ethics, Mediaeval Ethics, sedangkan etika pada
aras kategorial dibahas sebagai etika profesi, etika jabatan, dan etika kerja. Sebagai bagian etika,
Etika pemerintahan terletak pada aras kategorial, sedangkan sebagai bagian Ilmu Pemerintahan,
pada aras philosophical.

Etika menurut Bertens (1977) “seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.Sedangkan Darwin
(1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan
masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat.
Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai
seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi.
4

Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai
pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku,
dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam
etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam
menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik
kantor, impersonal, merytal system,r esponsible, accountable, dan responsiveness.

Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik
(Agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam
dan dari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari akuntabilitas
administrasi publik tadi akan melibatkan dua faktor kritis, yaitu bagaimana kemampuan
mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen
pemerintahan. Kedua derajat kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah
didefiniskan para birokrat tadi.

Begitu pula dengan etos kerja dan etika administrasi negara. Etos kerja merupakan masalah penting
karena masalah ini agaknya masih menjadi titik kelemahan dalam upaya mencapai produktivitas
pejabat publik yang tinggi. Dan Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol
terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan
kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya
dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus
menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan
sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk
menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.

Akhirnya, persoalan kode etik menjadi pelengkap yang penting dalam kajian etika administrasi.
Unsur-unsur administrasi negara bukan hanya pejabat-pejabat yang memiliki otoritas tinggi untuk
membuat keputusan strategis tetapi juga aparat-aparat teknis yang langsung berhadapan dengan
tugas-tugas yang sangat teknis. Oleh karena itu, kode etik atau kode-kode etik administrasi juga
berlaku bagi pejabat-pejabat yang membidangi pekerjaan-pekerjaan operasional, ketatausahaan,
atau administrasi dalam arti sempit.

Karena masalah etika negara merupakan standar penilaian etika administrasi negara mengenai
tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan
faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya. Law enforcement
sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan ma ajemen pemerintahan sehingga
penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan
jelas sehingga akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam
upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada
prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi.

Banyak fakta yang menunjukan bahwa hasil-hasil pembangunan itu belum dirasakan secara merata
oleh seluruh rakyat. Disamping hak-hak asasi, partisipasi rakyat, dan keterbukaan sekarang juga
menjadi isu yang dipersoalkan banyak pihak. Tampaklah bahwa perkembangan situasi politik,sosial
dan budaya serta dinamika masyarakat tentang sistem administrasi pemerintahan yang ideal. Akan
tetapi, di atas semua itu sesungguhnya masih dapat ditemukan dasar-dasar bagi sistem
5

pemerintahan yang secara umum dianggap sebagai sistem pemerintahan yang baik. Walaupun
interpretasi dan pendapat individual mempengaruhi wujud pemerintahan yang didambakan oleh
masyarakat, namun landasan pemikiran yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat akan dapat
dipakai sebagai pedoman.

Pada kepemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait dengan Law enforcement dalam
menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal administration) yang akan
mengabaikan Law Enforcement pada penataan ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada
tujuan Law Enforcement terdapat :

1. Birokrat–birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber daya
aparaturnya.

2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus diberlakukan.

3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat-birokrat pemerintahan untuk mengaktualisasikan


kinerjanya.

4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berahlak, berwawasan (visionary), demokratis dan
responsif terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (Reinventing government).

Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi
negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri. Mengingat bahwa kode
etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika administrasi negara berada
diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas administrasi negara tetap memerlukan
perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik.
Hal yang pertama-tama perlu diingat ialah bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau
paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari
pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali
untuk menjauhi larangan dalam kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan,
harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan atau
konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri
anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal
yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi
yang personilnya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas padakaum profesi
karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi
moral.Dari sini dapat diketahui bahwa lingkup Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan
nilai dalam proses administrasi.

Etika administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa. Administrasi
negara/publik tidak hanya terbatas pada kumpulan sketsa yang digunakan untuk membenarkan
kebijakan pemerintah atau hanya terbatas pada suatu disiplin ilmu saja - putting the ideas (Peter
Senge, 1990) tetapi lebih jauh dari itu, administrasi negara dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu
upaya untuk menaruh perhatian – concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang upaya
membuatnya. Jadi sangat jelas bahwa dalam administrasi negara dikenal etika administrasi negara
yang tujuannya adalah untuk menyelengarakan kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan
6

memperhatikan kepentingan masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara digunakan
dengan baik oleh para penyelenggara negara (administrator) maka etika kehidupan berbangsa pun
dapat berlangsung dengan baik, sebaliknya, apabila etika administrasi negara tidak secara benar
melandasi setiap pergerakan dalam administrasi negara maka dapat diindikasikan begitu banyaknya
masalah yang berdampak pada kehidupan berbangsa.

Etika sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan berbangsa. Khususnya Etika
Politik dan Pemerintah. Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien,
dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa
tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan;
ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang
ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan
mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan
kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun
dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Sebaliknya, saat etika administrasi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka tercipta suatu
ketidakseimbangan yang berujung pada masalah-masalah kompleks yang sulit diselesaikan di
Indonesia. Karena pada saat ini, dimana seharusnya Indonesia yang menganut sistem demokrasi
dapat lebih baik dengan perspektif dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat ternyata harus terpuruk
karena pada kenyataannya, hampir semua pejabat politik dan pemerintah hanya memikirkan
kepentingan diri pribadi dan kelompoknya. Adanya ‘budaya’ korupsi yang telah sejak lama menodai
penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia menunjukkan bahwa etika administrasi negara
telah sangat dilanggar oleh para penyelenggara negara. Ketika etika untuk mengambil tindakan yang
berhubungan langsung dengan kegiatan negara dilanggar inilah maka dapat dipastikan etika politik
dan pemerintah sama sekali tidak diperhatikan. Dengan melihat semua fakta itulah, perlu adanya
kesadaran bagi seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya etika administrasi negara yang mendasari
baik buruknya suatu penyelenggaraan negara, dan kemudian etika administrasi negara tersebut
sangat menentukan bagaimana etika kehidupan berbangsa, khususnya etika politik dan pemerintah.

Analisis etika administrasi negara sebagai sistem sensor, praktek organisasi, praktek manajemen,
praktek kepegawaian (berkaitan dengan 8 unsur administrasi negara).

Dalam etika publik, setidaknya ada tiga perhatian (concern), antara lain;

1. Pelayan publik yang berkualitas dan relevan.

2. Dimensi normatif dan dimensi reflektif (bagaimana bertindak) menciptakan suatu institusi yang
adil.

3. Modalitas etika, menjembatani agar norma moral bisa menjadi tindakan nyata (sistem, prosedur,
sarana yang memudahkan tindakan etika).

Berdasarkan concern etika publik tersebut, dapat dilihat adanya suatu sistem sensor yang menandai
keberadaan etika administrasi negara. Untuk melihat apakah pelayan publik berkualitas dan relevan,
apakah dimensi normatif dan reflektif sudah berjalan baik dan meciptakan suatu institusi yang adil
dan apakah modalitas etika sudah menjadi tindakan nyata membuat adanya suatu sistem sensor
yang menjadi penilai bagi perhatian publik yang ada.
7

8 unsur administrasi negara, yaitu; organisasi, manajemen, komunikasi, kepegawaian, perbekalan,


keuangan, ketatausahaan, dan hubungan masyarakat merupakan unsur-unsur yang tak dapat
terlepas dari etika administrasi negara. Sistem sensor, praktek organisasi, praktek manajemen,
praktek kepegawaian apabila dijalankan sesuai etika administrasi negara maka akann berlangsung
dengan baik dan akan jauh lebih mudah dalam mencapai tujuan bersama. Dalam suatu organisasi
yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan kerjasama yang biasanya dilakukan dengan adanya
kelompok-kelompok kerja yang kemudian juga berhubungan dengan proses manajemen
memperlihatkan bahwa etika administrasi negara lah yang paling berperan. Karena sekalipun suatu
organisasi telah menetapkan peraturan beserta sistem manajemennya akan menjadi tidak berguna
ketika ternyata etika administrasi negara tidak diperhatikan. Banyak sudah contoh kasus yang ada di
Indonesia berkaitan dengan hal tersebut. mulai dari hal terkecil saat pembuatan KTP, karena
organisasi pemerintah tidak melangsungkan hidupnya dengan etika, maka dengan mudah terjadi
praktek pungutan liar yang merugikan masyarakat. Hal itu juga yang kemudian membuat penilaian
tentang buruknya manajemen yang ada. Seharusnya, dalam keberlangsungan negara, adanya
komunikasi sesuai etika dapat berlangsung dengan benar baik antara pejabat pemerintah sebagai
penyelenggara negara maupun antara rakyat dan pemerintah agar tercipta suatu koordinasi yang
kontekstual dan berdampak positif bagi rakyat dan pemerintah. Dalam etika administrasi negara
yang dapat dikatakan harus melingkupi semua proses penyelenggaraan negara, maka etika
administrasi negara tersebut juga terkait dengan kepegawaian, perbekalan, keuangan,
ketatausahaan, dan hubungan masyarakat. Pada prakteknya, kepegawaian di Indonesia seringkali
berjalan tidak sesuai dengan etika yang ada. Dapat dilihat dari awal, proses seleksi saja sudah
mengindikasikan adanya kecurangan misalnya dengan adanya kasus penyuapan untuk diterima
sebagai PNS. Kecurangan ini kemudian berdampak pada perbekalan, karena dengan sumber daya
manusia yang kurang berkualitas maka selanjutnya akan dinilai tentang cukup atau tidaknya
perbekalan yang telah diberikan. Sama halnya dengan ketatausahaan, tanpa etika administrasi
negara, ketatausahaan akan berlangsung tidak transparan dan merugikan masyarakat. Keuangan
negara pun rusak karena penyelenggaraan anggaran yang tidak berlandaskan etika administrasi
negara, praktek korupsi ada dimana-mana, akuntabilitas publik pun menjadi sesuatu yang sangat
dipertanyakan keberadaannya, kalau sudah begitu maka hubungan masyarakat pun tidak akan
berjalan dengan baik. Masyarakat sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Penyelenggaraan negara terlihat berlangsung dengan kacau, itu semua disebabkan karena
pengabaian terhadap etika administasi negara.

Dengan melihat kenyataan tersebut, perlu adanya kesadaran baik dari pemerintah yang
menyelenggarakan kegiatan negara, maupun dari masyarakat yang semestinya dilayani dengan baik
oleh negara, keberadaan sistem sensor, praktek organisasi, praktek manajemen, praktek
kepegawaian tidak dapat terlepas dari keberadaan etika administrasi negara. Ketika eksistensi etika
tersebut dipertanyakan, maka semua komponen negara pun akan menjadi tak jelas berhaluan
kemana atau kemana arah dan tujuannya.

3.2 Karakteristik Good Governance dalam Menata Ulang Manajemen Pemerintahan

OECD dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik
maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework
8

bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP mendefinisikan good governance


sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat
(society). Berdasarkan definisi tersebut UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance
yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut :

1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi
seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berassosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.

2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak
asasi manusia.

3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan
informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat
dipahami dan dapat dipantau.

4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani stakeholders.

5. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk
memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun
prosedur.

6. Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah
digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.

7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat
(civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini
tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk
kepentingan internal atau eksternal organisasi.

8. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan
pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk
pembangunan semacam ini.

Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif,
dengan menjaga kesinergisan ineraksi yang konstruktif diantara ketiga domain; negara, sektor
swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara,
maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada
sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.

Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya domain state menjadi domain yang
paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance, karena fungsi pengaturan
yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan masyarakat (society) serta fungsi
administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. peran pemerintah melalui
kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar yang benar
sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya
9

perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi
penyelenggaraan negara dan dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga
dapat terwujud good governance.

Antara karakteristik itu dengan perilaku terdapat hubungan yang sedikit banyak bersifat kausal.
Misalnya pada variabel organisasi, hierarki menimbulkan sifat taat bawahan terhadap atasan. Pada
variabel manusia, kepentingan atau kebutuhan hidup menuntut imbalan yang memadai dari
organisasi. Tetapi kadar (tingkat) ketaatan itu variabel, bergantung pada sejauh mana imbalan yang
diharapkan dipenuhi oleh organisasi. Demikian pula sebaliknya. Seperti diketahui, informasi tentang
karakteristik terdapat di dalam Psikologi, Psikologi Industri, Perilaku Keorganisasian, Budaya
Perusahaan, dan Ilmu Perilaku lainnya. Variabilitas perilaku aktor bergantung pada lingkungan atau
struktur internal. Walaupun ia bisa dipengaruhi oleh struktur eksternal (masyarakat), variabel
internal itulah yang dominan karena ia mengandung kekuasaan dan kesempatan. Aktor yang mampu
mengendalikan struktur, lebih-lebih jika aktor itu yang membentuk struktur, biasanya sanggup
bertahan lama. Sebaliknya bisa terjadi, sekuat apapun aktor yang memasuki struktur yang telah
mapan, ia ”pasti” luluh dan tidak berdaya, atau terpental keluar. Lingkungan yang mengandung
pilihan dibandingkan dengan lingkungan tanpa pilihan membawa pengaruh dan konsekuensi yang
berbeda terhadap perilaku manusia (aktor) dan pada gilirannya terhadap perilaku birokrasi yang
bersangkutan. Perilaku birokrasi yang berkisar antara soft (perilaku yang penuh amic dan ethic;
ketaatan dan keikhlasan) dengan hard (command, force, coercion, violance; pembangkangan,
perlawanan, permusuhan) merupakan redultant interaksi antara kedua variabel.

Etika dan Sejumlah Pengandaian Normatif

Di dalam setiap pembahasan mengenai etika atau moralitas dalam konteks negara, pemikian
Rosseau agaknya masih akan relevan. Persoalan-persoalan hati nurani yang termuat dalam moralitas
itulah yang akan menentukan kualitas peradaban manusia. Demikian pentingnya kedudukan
moralitas atau hukum moral bagi manusia sehingga dalam banyak hal kemajuan peradaban suatu
bangsa dapat diukur dari sejauh mana individu-individu dalam bangsa tersebut dapat menjunjung
tinggi nilai-nilai moralitas. Untuk kelestarian peradaban manusia, kesadaran akan moral mutlak
diperlukan. Moral menyangkut harkat manusia, sehingga ia akan selalu memiliki ciri rasional dan
objektif sesuai dengan kecenderungan manusia untuk berpikir. Universalitas moral terletak pada
kenyataan bahwa prinsip moral berlaku bagi siapa saja, kapan saja dan dimana saja, tanpa terbatas
oleh ruang dan waktu.

Etika berasal dari bahasa Yunani: ethos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal
dari bahasa Latin: mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul
pula istilah morale atau moril, yang berarti semangat atau dorongan batin. Juga terdapat istilah
norma yang berasal dari bahasa Latin (norma: penyiku atau pengukur), dalam bahasa Inggris norma
berarti aturan atau kaidah. Secara epistemologis, pengertian etika dan moral memiliki kemiripan.
Namun, sejalan dengan perkembangan ilmu dan kebiasaan di kalangan cendekiawan, ada beberapa
pergeseran arti yang kemudian membedakannya. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang
ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk bagi manusia. Sedangkan moral
adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai
10

“kewajiban” atau “norma”. Moralitas dimaksudkan untuk menentukan sampai seberapa jauh
seseorang memeliki dorongan untuk melaksanakan tindakan-tindakannya sesuai dengan prinsip-
prinsip etika dan moral. Dorongan untuk mencari kebenaran atau kebaikan senantiasa ada pada diri
manusia, yang membedakan tingkat moralitas adalah kadar atau kuat tidaknya dorongan tersebut.

Moral merupakan daya dorong internal dalam hati nurani manusia untuk mengarah kepada
perbuatan-perbuatan baik dan menghindari perbuatan-perbuatan buruk. Secara sederhana, nilai
dapat dirumuskan sebagai objek dari keinginan manusia. Nilai menjadi pendorong utama bagi
tindakan manusia dari berbagai macam nilai yang memengaruhi kompleksitas tindakan manusia.
Setiap perilaku manusia ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut serta prinsip-prinsip moral yang
dipegangnya. Dengan demikian, moral itu sendiri merupakan suatu sistem nilai yang menjadi dasar
bagi dorongan atau kecenderungan bertindak.

Dari aspek susunannya manusia dapat dibedakan menjadi dua komponen yaitu jiwa dan raga.
Menurut Aristoteles, jiwa manusia terdiri dari cipta, rasa dan karsa, sedangkan raga terdiri dari zat
mati, zat tumbuhan dan zat hewani. Dari kedudukannya, manusia dapat berdiri sendiri sebagai
pribadi yang mandiri dan juga dapat berdiri sebagai makhluk Tuhan. Kemudian dari aspek sifatnya
manusia dapat dibedakan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Individu-individu yang hidup
di tengah masyarakat tidak bisa lepas dari kepentingan sosial dan sebaliknya suatu sistem sosial
tidak dapat dipahami tanpa mempelajari karakter individu-individu yang terdapat di dalamnya.
Moralitas hanya akan berlaku sempurna dalam situasi dimana manusia berhubungan dan
berkomunikasi dengan manusia yang lain. Tujuan etika adalah memberitahukan bagaimana kita
dapat menolong manusia di dalam kebutuhannya yang riil yang secara susila dapat
dipertanggungjawabkan. Etika sosial lebih banyak mengundang perdebatan karena masalah-masalah
yang ada di dalamnya lebih mudah menimbulkan beragam pandangan dibandingkan dengan etika
individual. Persoalan etika sosial menyeruak karena semakin kompleksnya kehidupan masyarakat
modern berbarengan dengan globalisasi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Jangkauan telaah etika sosial semakin luas, bukan saja melibatkan hubungan antar kelompok
masyarakat namun juga antar etnis atau negara. Kemajuan dari teknologipun telah memungkinkan
pertukaran informasi dalam sekejap yang dapat nerpengaruh pula terhadap situasi moral kita.
Berbeda dengan etika individual, etika sosial memang memiliki keterkaitan antar aspek yang sangat
luas. Etika sosial di samping menyangkut kedudukan individu di tengah suatu sistem sosial juga akan
memerlukan lebih banyak konseptualisasi maupun aplikasi yang bersifat multi-facet. Etika sosial juga
mempersoalkan hak setiap pranata, semisal rumah tangga, sekolah, negara dan agama untuk
memberi perintah yang harus ditaati.

Etika merupakan salah satu cabang dari filsafat, jadi untuk memperoleh pemahaman tentang etika
secara menyeluruh kita hendaknya mengkaji kembali perkembangan ilmu sejak awal. Berikut adalah
berbagai macam aliran yang menjadi landasan dari etika : (1) Naturalisme, paham ini berpendapat
bahwa sistem etika dalam kesusilaan mempunyai dasar alami, yaitu pembenaran hanya dapat
dilakukan melalui pengkajian atas fakta dan bukan atas teori yang sangat metafisis, (2)
Individualisme, setiap individu berhak menentukan hidupnya sendiri, dan memiliki hak untuk
bertindak sesuai dengan pilihan batinnya dan tidak boleh dihalangi oleh siapapun juga, (3)
Hedonisme, yaitu bahwa bila kebutuhan kodrati terpenuhi, orang akan memperoleh kenikmatan
sepuas-puasnya, (4) Eudaemonisme, paham ini mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan
kebaikan tertinggi, (5) Utilitarianisme, suatu perbuatan dikatakan baik jika membawa manfaat atau
11

kegunaan, yang berarti memberikan kita sesuatu yang baik dan tidak menghasilkan sesuatu yang
buruk, (6) Idealisme, timbul dari kesadaran akan adanya lingkungan normativitas bahwa terdapat
kenyataan yang bersifat normatif yang memberi dorongan kepada manusia untuk berbuat.

Dalam hidup bermasyarakat, faktor-faktor yang mendorong perilaku seseorang itu berpengaruh
secara interaktif. Pilihan tindakan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan usia, pengalaman yang
diperoleh dari orang lain, kondisi sosial ekonomis, dan pendidikan akhlak yang pernah dikenyam
seseorang. Namun, tahap-tahap pertimbangan moral yang mewujudkan perilaku seseorang masih
bisa kita lacak secara teoritis yang meliputi penilaian sunderesis (pemeliharaan), penilaian tentang
ilmu moral, penilaian khusus non-personal, penilaian khusus pribadi, dan penilaian atas pilihan
tindakan. Nilai-nilai moral suatu masyarakat bukan sekedar keyakinan masing-masing anggotanya,
melainkan merupakan bagian dari harta benda rohani masyarakat itu. Nilai-nilai tersebut ikut
menentukan identitas dan pola tindakan dalam masyarakat yang bersangkutan. Di berbagai aspek
masalah sosial dan masalah kesejahteraan umum, hampir semua keputusan akan mempunyai
akibat-akibat etis yang dalam jangka panjang akan terasa begitu penting. Jadi, kesediaan seluruh
komponen masyarakat untuk senantiasa memperkokoh kemampuan dalam melakukan
pertimbangan-pertimbangan moral pada gilirannya merupakan landasan yang paling kuat bagi setiap
dimensi pembangunan. Diskusi dan kritik etis adalah unsur penting dalam mencari orientasi normatif
di tengah perubahan sosial yang sangat cepat

_______________________________________________________________________________

Anda mungkin juga menyukai