Anda di halaman 1dari 11

Etika dan Profesionalisme PNS

NANA PERMANA (042328807), dalam Tugas.3 IPEM4429.32 – November 2022

PENDAHULUAN

Dalam setiap hubungan sosial antarmanusia, etika merupakan sesuatu yang penting
karena ia merupakan kesepakatan yang tidak tertulis untuk mengatur agar pihak-pihak yang
terlibat dalam interaksi tersebut berkomunikasi dengan efektif dan merasa nyaman. Begitupun
dalam konteks birokrasi pemerintahan, etika Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam memberikan
pelayanan publik menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan agar memungkinkan
terjadinya hubungan yang serasi dan harmonis di antara penyedia layanan dan pengguna
layanan. Oleh karena itu, etika PNS merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
kepuasan pelanggan pelayanan publik sekaligus menentukan keberhasilan tujuan organisasi
pelayan publik itu sendiri. Pada akhirnya, etika dapat menjadi standar profesionalitas aparatur
negara dalam melayani masyarakat.

Namun persoalannya, penerapan etika PNS tidak semudah yang dibayangkan. Ada
berbagai macam masalah yang menghambat penerapan etika PNS. Masalah-masalah tersebut
pada akhirnya mengurangi atau bahkan menghilangkan profesionalisme PNS. Dari latar
belakang permasalahan inilah maka tulisan ini disusun dengan tujuan untuk menjawab
pertanyaan apa saja masalah-masalah yang menghambat penerapan etika PNS serta bagaimana
strategi penerapan etika dalam pelayanan publik guna meningkatkan profesionalisme para
pegawai birokrasi pemerintahan.

PEMBAHASAN

A. Etika

Menurut Wawan Suharmawan (2008), secara etimologis etika berasal dari bahasa
Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan secara istilah, etika
adalah ilmu yang membicarakan tentang tingkah laku manusia atau sebagai teori tentang
laku perbuatan manusia dipandang dari segi nilai baik dan buruk sejauh yang dapat
ditentukan akal. Menurutnya, ada empat sudut pandang untuk memahami etika, yakni
sebagai berikut.
1. Sudut pandang objek, etika membahas perbuatan yang dilakukan manusia. Perbuatan
manusia ini dapat dibagi menjadi dua, yakni (1) perbuatan-perbuatan yang timbul dari
seseorang yang melakukannya dengan sengaja dan dengan kesadaran, dan (2) perbuatan-
perbuatan yang timbul dari seseorang yang tidak berkehendak untuk melakukan itu dan
tidak dengan kesadaran, tetapi ketika ia sadar ia dapat memilih apakah masih tetap
melakukan perbuatan itu atau tidak.
2. Sudut pandang sumber, etika bersumber pada akal pikiran atau falsafat. Oleh karena
itu, etika merupakan hasil dari usaha akal dalam upaya memahami perbuatan manusia
berdasarkan nilai-nilai seperti nilai baik, buruk, benar, salah, layak, dan tidak layak
sesuai dengan kemampuan penelitian akal.
3. Sudut pandang fungsi, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang tolak ukurnya adalah nilai-nilai
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian, etika tampak berperan
sebagai wasit atau hakim daripada sebagai pemain.
4. Sudut pandang sifat, etika bersifat relatif. Maksudnya, etika bukanlah sebuah
kebenaran yang mutlak karena ia dihasilkan oleh akal manusia sedangkan akal manusia
tidak sama karena dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya meskipun ada nilai-
nilai etika yang mengandung nilai moral yang berlaku umum seperti dilarang mencuri,
membunuh, atau sebagainya yang harus dipatuhi.

Dari pengertian-pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa etika adalah sebagai
pengarah atau petunjuk agar seseorang mengetahui mana perbuatan yang baik dan mana
perbuatan yang buruk berdasarkan rasio atau akal manusia. Dengan adanya etika, manusia
diharapkan senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang baik agar tercipta sebuah
masyarakat dengan warganya yang baik dan sopan. Dengan kata lain, etika adalah sebuah
sistem norma atau kriteria boleh atau tidak boleh suatu tindakan dilakukan. Itulah sebabnya
ada etika pengusaha, etika kedokteran, dan tentu saja etika PNS, serta lain-lainnya.

B. Etika PNS
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah unsur aparatur negara dan abdi masyarakat. Oleh
karena itu, sebagai kelompok yang diberikan tugas strategis dan didanai dari uang rakyat,
mereka diharapkan dapat menegakkan etika. Secara yuridis formil, penegakkan etika PNS
ini telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Kode etik
tersebut dibuat sebagai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil
di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari. Di dalam peraturan
tersebut, salah satunya mengatur mengenai etika bagi PNS yang meliputi etika dalam
bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, serta etika terhadap diri sendiri dan sesama
pegawai.
Menurut Magnis Soeseno (dalam Ratnia Solihah, 2019), paling tidak terdapat empat
alasan mendasar mengapa etika pemerintahan (yang juga berlaku bagi PNS karena ia
bagian dari pemerintahan) menjadi perlu. Keempat alasan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kehidupan masyarakat yang semakin pluralistic. Kita dihadapakan pada berbagai
tatanan normative dan banyaknya pandangan hidup yang saling bertentangan dan
masing-masing mengklaim sebagai yang paling benar. Oleh karena itu, kritisasi etika
diperlukan untuk mencapai atau mempertahankan pendirian dalam pergolakan
pandangan-padangan hidup ini.
2. Gelombang modernisasi segala segi kehidupan. Dalam situasi seperti ini, etika dengan
pemikiran kritisnya membantu kita untuk tidak kehilangan orientasi dan sanggup untuk
membedakan mana yang hakiki dan apa yang dapat berubah.
3. Ideologi-ideologi yang berseliweran. Etika dapat membuat kita sanggup untuk
membuat penilaian sendiri yang kritis dan obyektif sehingga kita tidak mudah
terpancing. Selain itu, etika juga membantu kita untuk tidak berpikir sempit dan
ekstrem.
4. Etika juga diperlukan oleh umat beragama yang di satu sisi memiliki dasar kemantapan
dalam keimanan mereka dan di lain sisi sekaligus mau berpartisipasi dan tidak menutup
diri dalam semua dimensi kehidupan bermasyarakat/bernegara. Dengan kata lain, saya
menyimpulkan bahwa etika berperan sebagai jembatan penghubung antara agama dan
pemerintahan.

Adapun mengenai nilai-nilai etika pemerintahan (PNS), Budi Setiono (2020)


mengungkapkan bahwa secara umum, inti dari etika pelayanan setidaknya meliputi lima
hal, yakni sebagai berikut.

1. Integritas, adalah prinsip untuk menempatkan kewajiban pelayanan publik di atas


kepentingan pribadi. PNS harus menyadari bahwa posisi mereka adalah amanat rakyat
untuk melayani, bukan semata-mata untuk berkuasa dan menerima gaji dan keuntungan
materi lainnya. Dalam standar perilaku integritas, PNS biasanya memiliki batasan-
batasan tertentu untuk bertindak yang diperbolehkan dan yang dilarang.
2. Kejujuran, adalah prinsip yang mewajibkan PNS berlaku jujur dan terbuka. PNS harus
menyadari bahwa jabatan, pekerjaan, kewenangan, dan fasilitas kedinasan mereka
bukanlah milik pribadi yang dapat dikelola secara rahasia dan tertutup, melainkan milik
publik yang pelaksanaannya boleh diketahui dan dimonitor oleh masyarakat.
3. Objektivitas, adalah prinsip untuk mendasarkan saran dan keputusan pada analisis
yang didukung bukti dan data yang akurat, bukan karena keinginan pribadi dan
kelompok tertentu saja.
4. Keadilan, adalah prinsip tindakan sesuai dengan persyaratan hukum. Artinya, keadilan
terdiri dari aturan umum untuk semua warga negara yang muncul dari semacam
konsensus.
5. Ketidakberpihakan, adalah prinsip netralitas untuk bertindak semata-mata sesuai
dengan hal yang sedang dihadiapi (bukan untuk kepentingan politik) serta melayani
rakyat dan pemerintah secara setara dan sama baiknya meskipun berbeda keyakinan
atau partai politiknya.

Sedangkan Djohermansyah Djohan dan Milwan (2015) menyatakan bahwa norma etika
yang wajib dijalankan dan melekat pada para penyelenggara negara/pemerintahan (PNS)
di antarnya sebagai berikut.

1. Berakhlak mulia, adalah norma yang menuntut untuk memiliki sifat-sifat terpuji,
rendah hati, menghargai sesama, dan tidak semena-mena, serta bertakwa kepada Tuhan.
2. Tepat janji, adalah norma yang menuntut untuk menepati janji, sumpah, dan ikrar.
3. Kejujuran dan keikhlasan, adalah norma yang menuntut untuk menyatakan yang
sebenarnya, tidak berbohong, tidak menipu, tidak curang, tidak manipulatif, bertindak
secara konsisten, serta memiliki kelurusan hati dan keikhlasan dalam melaksanakan
tugas dengan mengutamakan hati nurani.
4. Keadilan, adalah norma yang menuntut agar setiap tindakan dan ucapan tidak
memihak, seimbang, dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan menghormati hak asasi manusia.
5. Arif, adalah norma yang menuntut agar setiap tindakan dan ucapan bersikap bijak.
Artinya, setiap tindakan dan ucapan didasari akal dan pikiran sehat (dengan
mempertimbangan pengalaman dan pengetahuan), cermat, dan teliti dengan senantiasa
mempertimbangkan akibat dari sikap, tindakan, maupun ucapan yang akan diambil atau
dikatakannya.
6. Disiplin, adalah norma yang menuntut untuk patuh dan taat pada aturan, tata tertib, dan
prosedur dalam melaksanakan tugas, kewenangan, dan kewajiban secara profesional.
7. Taat hukum dan aturan, adalah norma yang menuntut untuk mematuhi hukum dan
peraturan perundang-undangan.
8. Tanggung jawab dan akuntabel, adalah norma yang menuntut kesediaan moral untuk
menumbuhkan niat dan tekad melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajibannya
secara profesional dan meningkatkan mutu profesionalitasnya; memikul akibat risiko
dan tanggung jawab yang terpaut pada kedudukan, kewenangan, dan tugas yang harus
dilaksanakannya; dan kewajiban untuk mengakui kesalahannya, kesediaan untuk
memperbaiki kesalahannya secepat mungkin, serta memikul akibat dari perilaku,
tindakan, keputusan, dan ucapannya yang salah.
9. Sopan santun, adalah norma yang menuntut agar dalam bersikap, berperilaku,
bertindak, dan berucap secara etis, menjaga tata karma, saling menghormati,
memperhatikan protokol kedinasan, beradab, serta berbudi pekerti dalam berhubungan
dengan masyarakat yang perlu dilayani, antarsesama manusia, ataupun dalam
hubungan kerja dan tugas.
10. Kecermatan dan kehati-hatian, adalah norma yang menuntut sikap, perilaku,
tindakan, dan ucapan untuk cermat, tertib, dan teliti dalam menjalankan tugas, tidak
asal jadi dalam pekerjaan, maupun dalam membuat kebijakan atau keputusan.
11. Kesetaraan, adalah norma yang menuntut agar dalam bersikap, berperilaku, bertindak,
dan berucap selalu berorientasi pada prinsip kesamaan dan persamaan manusia.
12. Kewajaran dan kepatutan, adalah norma yang menuntut sikap, perilaku, tindakan,
dan ucapan untuk memperhatikan suatu keadaan sebagaimana mestinya yang sesuai
dengan nilai, tata karma, norma, aturan, atau kebiasaan baik yang berlaku dalam
menjaga citra, integritas pekerjaan, atau jabatannya.

Semua nilai-nilai etika pemerintahan (PNS) di atas mendekati kriteria tata


pemerintahan yang baik menurut konsep Good Governance. Selain itu, penerapan nilai-
nilai etika tersebut juga dapat disimpulkan menjadi 3 prinsip yang harus dipegang oleh PNS
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ngadisah (2015), yakni:

1. Ada itikad baik. Artinya, mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan, tidak mengambil
jalan pintas.
2. Altruistik. Artinya, mengutamakan kemanfaatan bagi orang banyak (tidak egois) dan
berdiri di atas semua golongan.
3. Profesional. Artinya, mampu bekerja secara cepat, tepat, dan akurat, serta didukung
dengan perilaku yang sopan, dan siap melayani secara adil.

C. Etika dan Profesionalisme PNS


Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa etika PNS pada akhirnya melahirkan
atau mengharuskan profesionalitas PNS. Profesionalitas artinya bahwa setiap PNS dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya didasarkan pada kompetensi, keahlian, dan
keterampilan di bidangnya, serta berakhlak, bermoral, dan beretika yang baik dan konsisten
dengan kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Istilah profesionalitas
sendiri berasal dari kata profesi yang merupakan serapan dari bahasa Inggris “profess”,
yang dalam bahasa Yunani adalah “επαγγέλλομαι”, yang bermakna “janji untuk memenuhi
kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap”. Mereka yang memenuhi janji untuk
melaksanakan kewajiban tersebut disebut sebagai “profesional”. Crebert, et all (2011)
menyatakan bahwa untuk dapat menjadi profesional, seseorang harus memiliki setidaknya
3 hal pokok dalam dirinya, yakni: (1) Skill. Artinya, seseorang harus benar-benar ahli di
bidangnya. Ia harus memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk bekerja;
(2) Knowledge. Selain ahli di bidangnya, ia juga harus menguasai, minimal tahu, dan
mempunyai wawasan tentang ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan bidangnya; (3)
Attitude. Ia juga harus memiliki etika yang diterapkan dalam bidangnya. Dari kata
profesional inilah kemudian muncul istilah profesionalisme yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) artinya mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri
suatu profesi atau orang yang profesional. Dengan demikian, profesionalisme PNS dapat
dimaknai sebagai hasil dari tindakan, pemikiran, dan perilaku yang mencermikan tujuan
negara atau cita-cita bangsa.
Oleh karena itu, etika dan profesionalisme PNS memiliki hubungan yang erat. Standar
atau nilai-nilai etika dipakai sebagai acuan untuk membentuk karakter PNS dalam
menjalankan profesinya.

D. Masalah-Masalah yang Menghambat Penerapan Etika PNS


Tindakan tidak etis yang dilakukan oleh PNS karena disebabkan berbagai macam
masalah atau alasan. Djohermansyah Djohan dan Milwan (2015) menyebutkan alasan-
alasan besar yang melatarbelakangi atau memotivasi pejabat dan pegawai pemerintahan
melakukan perbuatan tidak etis. Alasan-alasan atau masalah-masalah tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Itikad baik. Maksudnya, para pegawai pemerintah sering merasa kesal karena
lambatnya proses pekerjaan di instansi mereka. Oleh karena itu, mereka ingin
mempercepat proses pekerjaan atau administrasi mereka demi kepentingan masyarakat
dengan mengabaikan sedikit proses birokrasi. Dengan kata lain, mereka melanggar
sedikit aturan untuk kepentingan masyarakat. Perbuatan semacam ini dilakukan karena
ada itikad baik dari PNS untuk membantu masyarakat. Namun demikian, perbuatan
semacam ini adalah tidak etis karena mengandung nilai kekurangcermatan,
ketidaktelitian, dan ketidakwajaran dalam menjalankan tugasnya
2. Ketidaktahuan akan hukum, kode etik, dan kebijakan prosedur. Dalih ini sering
digunakan oleh para PNS apabila mereka dihadapkan pada pelanggaran hukum, kode
etik, atau kebijakan prosedur instansi. Misalnya, pertemuan tertutup dengan relasi-
relasi kontrak atau penyelidikan dengan alasan undangan makan atau hiburan gratis
padahal di dalamnya ada indikasi pembocoran kerahasiaan instansi yang mungkin atau
memang untuk mempengaruhi suatu keputusan dari instansi tersebut.
3. Egoisme. Masalah ini menerangkan bahwa kekuasaan tidak lagi berakar pada
kepentingan rakyat. Menurut para PNS yang menganut pandangan egoisme, kekuasaan
atau jabatannya hanya untuk dinikmati, dimanfaatkan, dan dapat disalahgunakan. Edi
Sudradjat (2003) menyebutkan bahwa persoalan-persoalan bangsa yang strategis,
serius, dan luas sekalipun tidak lagi dipersepsikan sebagai kepentingan nasional karena
semakin terbiasa mementingkan kelompok, partai, daerah, dan hal-hal lain yang sangat
parsial.
4. Keserakahan. Menurut Lopa (1998), salah satu hal yang mendorong terjadinya
pelanggaran hukum atau perbuatan tidak etis oleh para pegawai/pejabat negara adalah
tabiat mereka yang serakah.
5. Kewenangan dan kekuasaan. Kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh para
pejabat dan pegawai negara dalam penyelenggaraan pemerintahan sering
disalahgunakan. Mereka tidak sadar bahwa kewenangan dan kekuasaan yang mereka
miliki adalah amanah dari rakyat. Karena kewenangan dan kekuasaan yang mereka
miliki itu merupakan sesuatu yang legal, maka penanganan tindakan penyalahgunaan
kewenangan dan keuasaan harus dilakukan secara legal pula. Namun sayangnya,
instansi yang bertugas untuk itu juga ada kecenderungan menyalahgunakan
kewenangan dan kekuasaannya. Dengan kata lain, masalah ini bagaikan sebuah mata
rantai yang sulit ditemukan ujungnya sehingga istilah “tahu sama tahu” sering
diucapkan oleh mereka.
6. Persahabatan. Misalnya, seorang pegawai negeri meminjamkan kendaraan dinasnya
atau alat-alat kantornya kepada seorang temannya untuk kepentingan pribadi teman itu.
Mereka berdalih bahwa itu tidak ada salahnya, mereka hanya menolong seorang teman
dan ia tidak mendapatkan keuntungan pribadi. Ungkapan seperti ini biasa dijadikan
alasan untuk melakukan pembelaan diri ketika ia melakukan perbuatan tidak etis
tersebut.
7. Keuntungan pribadi dan keluarga. Untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan
keluarga, seorang PNS mungkin dapat melakukan perbuatan tidak etis, seperti KKN.
Misalnya, “menggolkan” proyek dimana vendornya adalah keluarganya atau karena
dijanjikan akan mendapat fee jika meloloskan suatu tender.
8. Kebodohan. Semua PNS tidaklah mesti dianggap memiliki pengertian yang jelas
mengenai perbedaan antara perilaku etis dan tidak etis. Namun apabila kita
beranggapan bahwa perbedaan tersebut sangat jelas, kita berkesimpulan bahwa
tindakan tidak etis tertentu yang dilakukan oleh seorang PNS disebabkan oleh
kebodohannya.
9. Ikut arus. Lemahnya perlindungan atau jaminan hukum terhadap abdi-abdi negara
(pelapor) yang mencoba memprotes perilaku tidak etis atau membeberkan
penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara lainnya menyebabkan ia
sering menghadapi ancaman-ancaman. Oleh karena itu, daripada harus menanggung
risiko tersebut lebih baik ia mengambil sikap ikut arus saja atau melindungi diri sendiri
secara mental.
10. Mengikuti perintah atasan. Masalah ini biasanya disandarkan pada alasan bahwa
setiap bawahan berkewajiban untuk patuh dan taat pada perintah atasan. Misalnya,
seorang Camat memerintahkan kepada bawahannya yang mengurusi pembuatan KTP
untuk mendahulukan penyiapan KTP milik seorang kenalan Camat tersebut. Keadaan
semacam ini memaksa pegawai melakukan perbuatan tidak etis karena bertindak
diskriminatif dalam memberikan pelayanan.
Masalah-masalah seperti tersebut di ataslah yang menghalangi seorang PNS untuk
bertindak secara etis dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat yang pada
akhirnya mengurangi atau bahkan menghilangkan profesionalisme PNS tersebut.

E. Strategi Penerapan Etika guna Meningkatkan Profesionalisme PNS


Masalah-masalah penerapan etika PNS sebagaimana yang telah disebut di atas harus
dikelola dengan baik agar profesionalisme PNS dapat meningkat. Berkaitan dengan itu,
Djohermansyah Djohan dan Milwan (2015) mengungkapkan beberapa hal yang mungkin
dapat membantu mengatasi masalah-masalah dalam penerapan etika pemerintahan, yakni
sebagai berikut.
1. Transparansi. Penyelenggaraan transparansi dan kebebasan memperoleh informasi
harus dikembangkan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat. Dengan adanya
transparansi, masyarakat dapat mengawasi etika penyelenggara pelayanan publik
dalam menjalankan tugasnya.
2. Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN). LKPN adalah salah satu
langkah permulaan penting yang harus dilakukan dalam mencegah, mengurangi, dan
memerangki perbuatan tidak etis seperti KKN. Oleh karena itu, seorang calon PNS
harus bersedia mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya baik sebelum,
selama, maupun setelah pensiun.
3. Pengawasan. Pengawasan dilakukan dalam rangka agar pelaksanaan kegiatan sesuai
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan. Pengawasan ini
dapat berbentuk pengawasan melekat oleh atasan langsung terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh unit kerja yang berada di bawahnya, pengawasan masyarakat, maupun
pengawasan fungsional yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan
independen.
4. Peniup peluit. Maksudnya, ada jaminan perlindungan terhadap pengadu masalah atau
saksi pelapor baik dari kalangan masyarakat maupun khususnya dari kalangan PNS
sendiri yang melaporkan perbuatan tidak etis yang dilakukan oleh PNS lainnya.
5. Aturan etika PNS. Aturan semacam ini sebenarnya sudah ada, seperti PP No. 42/2004.
Namun demikian, masih banyak PNS yang berperilaku tidak etis. Oleh karena itu, harus
ada upaya peningkatan kualitas aturan etika PNS misalnya dengan membuat peraturan
perundang-undangan yang di dalamnya mengandung: ketepatan bahasa sehingga isi
aturan tersebut dapat dipahami secara jelas; keringkasan dan kemampuan aturan
tersebut mendorong perilaku etis; dan kepastian hukum dan penegakkan hukum yang
dapat menimbulkan kepatuhan dan kemauan PNS untuk menaati aturan tersebut.

Adapun strategi yang dapat diterapkan dalam rangka penerapan etika guna
meningkatkan profesionalisme PNS adalah sebagai berikut.

1. Menumbuhkan niat kuat dari atasan atau pemegang kekuasaan untuk menerapkan etika
PNS;
2. Memberi sanksi yang tegas kepada para PNS yang melakukan perbuatan tidak etis;
3. Memperhatikan gaji PNS atau meningkatkannya minimal cukup untuk hidup layak
sehingga mereka tidak perlu mencari “tambahan”;
4. Menyederhanakan prosedur administrasi pemerintahan;
5. Membatasi campur tangan pemerintah dalam setiap segi kehidupan karena dengan
banyaknya peraturan akan banyak pelanggaran yang dilakukan masyarakat sehingga
mereka memilih “jalan pintas” seperti dengan memberi suap kepada PNS;
6. Meningkatkan skill, knowledge, dan attitude PNS dengan program-program pendidikan
dan pelatihan.

KESIMPULAN

Masalah-masalah yang menghambat penerapan etika PNS di antaranya adalah itikad


baik yang keliru dalam penerapannya; ketidaktahuan akan hukum, kode etik, dan kebijakan
prosedur; egoisme; keserakahan; kewenangan dan kekuasaan; persahabatan; keuntungan
pribadi; kebodohan; ikut arus; dan mengikuti perintah atasan.

Sedangkan strategi yang dapat dilakukan untuk penerapan etika PNS guna
meningkatakan profesionalisme PNS di antaranya: meningkatkan kepemimpinan; menegakkan
aturan hukum; meningkatkan gaji PNS; menyederhanakan prosedur administrasi
pemerintahan; membatasi campur tangan pemerintah dalam setiap segi kehidupan masyarakat;
meningkatkan profesionalitas PNS.

REFERENSI

Djohan, Djohermansyah. dan Milwan. (2015). Etika Pemerintahan – Edisi Ketiga. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka.
Ngadisah., dan Darmanto. (2015). Birokrasi Indonesia – Edisi Ketiga. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.

Nurdin, Ali., Syaiful Mikdar., dan Wawan Suharmawan. (2008). Pendidikan Agama Islam.
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Setiyono, Budi. (2020). Manajemen Pelayanan Umum – Edisi Ketiga. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.

Solihah, Ratnia. (2019). Pengantar Ilmu Pemerintahan – Edisi Ketiga. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai