PELAYANAN PUBLIK
PENDAHULUAN
TINJAUAN TEORITIK
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat ini, maka pelayanan publik yang
diberikan harus pelayanan yang prima (paripurna). Budi Setiyono (2020) mengartikan
pelayanan prima adalah sebuah konsep yang menggambarkan adanya komitmen penyedia jasa
untuk mempersembahkan kualitas pelayanan yang terbaik yang sesuai (atau bahkan lebih dari)
harapan pengguna jasa. Artinya, pelayanan prima (excellent service) adalah pelayanan yang
sangat baik atau pelayanan yang sangat memuaskan bagi konsumen. Secara umum, kriteria
pelayanan prima adalah baik (better), cepat (faster), diperbaharui (newer), murah (cheaper),
dan sederhana (simpler).
Untuk menciptakan sebuah pelayanan yang prima tentunya tidak semudah mebalikan
telapak tangan. Ada berbagai tantangan atau kondisi yang tidak mendukung untuk
menghasilkan pelayanan publik prima tersebut. Sorensen (1993) mengemukakan bahwa ada 6
(enam) faktor penyebab birokrasi tidak mampu memberikan pelayanan publik yang efisien,
yakni:
1. tiadanya iklim kompetisi dalam model bekerjanya birokrasi (lack of producer competition);
2. sumber pendapatan yang tidak dari usaha organisasi sendiri (lack of a firm budget
constrain);
3. tiadanya ukuran kinerja (lack of performance measurement);
4. tiadanya insentif (lack of incentives);
5. tiadanya tantangan administratif kepada pejabat birokrasi secara personal (lack of
administrative constraint); dan
6. tiadanya kepemimpinan yang aktif (lack of active leadership).
PEMBAHASAN
Menurut Riko Riyanda (2017), tugas pokok dan fungsi Disdukcapil mencakup 2 (dua)
elemen utama, yakni formulasi kebijakan dan pelayanan. Dari tupoksi tersebut, kita
mengetahui otoritas yang cukup besar yang dimiliki Disdukcapil. Ini merupakan dampak dari
era otonomi daerah di masa reformasi yang tujuan mulianya adalah agar pelayanan publik yang
diberikan benar-benar sesuai dengan apa yang masyarakat butuhkan. Namun demikian, dalam
pelaksanaannya, pelayanan yang diberikan oleh Disdukcapil Kota Batam masih dirasa belum
maksimal. Permasalahan ini terjadi tentunya karena adanya tantangan-tantangan yang dihadapi
oleh para birokrat di lingkungan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam dalam
memberikan pelayanan publik yang optimal.
Hasil observasi yang dilakukan oleh Riko Riyanda (2017) menunjukan beberapa
kendala yang ditemukan dalam pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil Kota Batam
sebagai berikut.
Dari beberapa hasil temuan Riyanda tersebut, dan dikaitkan dengan faktor penyebab
ketidakefisienan dalam melaksanakan pelayanan publik yang dikemukakan oleh Sorensen di
atas maka dapat mengerti bahwa tantangan yang dihadapi oleh para birokrat di lingkungan
Disdukcapil Kota Batam adalah sebagai berikut.
KESIMPULAN
Dari beberapa hasil temuan Riyanda tersebut, dan dikaitkan dengan faktor penyebab
ketidakefisienan dalam melaksanakan pelayanan publik yang dikemukakan oleh Sorensen di
atas maka dapat mengerti bahwa tantangan yang dihadapi oleh para birokrat di lingkungan
Disdukcapil Kota Batam adalah sebagai berikut.
1. Lingkungan monopolistik. Maksudnya, tidak ada competitor yang menyaingi produk yang
dihasilkan oleh Disdukcapil, seperti pembuatan e-KTP dan KK, yang berdampak pada
kekurangpekaan para birokrat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Mereka merasa bahwa masyarakat memiliki ketergantungan kepada produk mereka
sehingga meskipun layanan yang diberikan tidak memuaskan masyarakat tidak dapat
beralih kepada produsen lain.
2. Pendapatan yang tidak terkait dengan produk yang dihasilkan. Walaupun mereka bekerja
malas-malasan, mereka tetap mendapatkan gaji setiap bulannya yang tidak terkait dengan
hasil kerja mereka. Sistem penggajian semacam ini mengakibatkan mereka tidak
berkomitmen pada tanggung jawab mereka.
3. Indikator kinerja yang tidak jelas. Tidak ada ukuran kinerja terhadap pelayanan yang
diberikan secara pasti. Misalnya, dalam pelayanan pembuatan e-KTP, tidak ada patokan
berapa banyak e-KTP yang harus disiapkan oleh seorang petugas. Keadaan semacam ini
membuat para birokrat bekerja sesuka hati.
4. Tidak adanya insentif. Meskipun seorang petugas bekerja memberikan pelayanan dengan
sangat baik, tidak ada insentif yang dia dapatkan. Keadaan semacam inilah yang
mengakibatkan beberapa oknum petugas mencari uang lebih dari pungutan-pungutan liar.
5. Tidak ada sanksi bagi para birokrat yang tidak menghasilkan kinerja. Meskipun mereka
‘tidak menghasilkan sesuatu’, asalkan mereka mengisi daftar hadir, tidak ada sanksi yang
tegas bagi mereka. Keadaan semacam ini membuat mereka bekerja malas-malasan.
6. Pemimpin yang tidak aktif. Tantangan ini dapat dilihat salah satunya dengan kurangnya
sarana dan prasarana bagi pemberian layanan publik. Seorang pemimpin yang aktif, mereka
dapat mengerti kebutuhan bawahannya maupun ‘konsumen’ yang dilayani tanpa harus
mengajukannya kepada sang pemimpin.
Dari uraian-uraian tersebut, saya menyimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh
birokrasi dalam memberikan pelayanan publik terdiri dari 2 (dua) kategori, yakni tantangan
dari sudut sistem dan tantangan dari sudut individu para birokrat sendiri. Dari sisi sistem,
misalnya tiadanya iklim kompetisi, sistem penggajian atau pengupahan, standar kinerja, serta
sanksi. Sedangkan dari sisi individu para birokrat, tantangan berkaitan dengan itikad baik dari
para birokrat itu sendiri yang meliputi moral, etika, dan perbuatan. Oleh karena itu, untuk dapat
menghadapi dan menghilangkan tantangan-tantangan tersebut agar pelayanan publik yang
diberikan sesuai dengan, bahkan melebihi, harapan masyarakat harus ada reformasi sistem
birokrasi dan reformasi akhlak para birokrat pemerintahan.
REFERENSI