Anda di halaman 1dari 9

PERAN ETIKA DALAM MEMBENTUK

PRILAKU ORGANISASI
Oleh : ……………………….

A. Pendahuluan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa
Korps dan Kode Etik PNS, di atur bagaimana seorang PNS berperilaku/beretika dalam
bernegara, etika dalam berorganisasi, etika dalam bermasyarakat, etika terhadap diri
sendiri, dan etika terhadap sesama PNS. Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini
dijelaskan bahwa:
1) “Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil adalah rasa Kesatuan dan persatuan,
kebersamaan, kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, kreativitas,
kebanggaan dan rasa memiliki organisasi Pegawai Negeri Sipil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
2) “Kode Etik Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan
perbuatan Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan
hidup sehari hari.”
Untuk menjamin agar setiap Pegawai Negeri Sipil selalu berupaya terus
meningkatkan kesetiaan ketaatan, dan pengabdiannya tersebut, ditetapkan ketentuan
perundang-undangan yang mengatur sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai
Negeri Sipil, baik di dalam maupun di luar dinas. Untuk memperoleh Pegawai Negeri
Sipil yang kuat, kompak dan bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki
kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan tanggung jawabnya sebagai
unsur aparatur negara dan abdi masyarakat diperlukan pembinaan jiwa korps dan kode
etik Pegawai Negeri Sipil. Pembinaan jiwa korps dimaksudkan untuk meningkatkan
semangat juang, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan Pegawai Negeri Sipil kepada
Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional, diperlukan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang netral, mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,
profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas, serta penuh kesetiaan dan
ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah
Republik Indonesia. Agar PNS mampu melaksanakan tugasnya sebagaimana tersebut di
atas secara berdaya guna dan berhasil guna, diperlukan pembinaan secara terus menerus
dan berkesinambungan. Pembinaan jiwa korps akan berhasil dengan baik apabila diikuti
dengan pelaksanaan dan penerapan kode etik dalam kehidupan sehari-hari PNS, Salah
satunya Program Peningkatan Kapasitas sumberdaya Aparatur dengan Pengiriman
Pegawai Pada Diklat Tehknis/ Fungsional dan Program peningkatan Disiplin Aparatur
dengan pengadaan pakaian seragam. Dengan adanya kode etik bagi PNS dimaksudkan
sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas PNS dalam melaksanakan tugas-
tugasnya.
Untuk mewujudkan pembinaan jiwa korps PNS dan menjunjung tinggi
kehormatan serta keteladanan sikap, tingkah laku dan perbuatan PNS dalam
melaksanakan tugas kedinasan dan pergaulan hidup sehari-hari, Kode Etik dipandang
merupakan landasan yang dapat mewujudkan hal tersebut. Nilai-nilai dasar yang
tercantum dalam dalam PP No. 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil merupakan pedoman sikap, tingkah laku dan
perbuatan yang berlaku bagi seluruh PNS tanpa membedakan di mana yang
bersangkutan bekerja. Nilai-nilai dasar ini wajib dijunjung tinggi karena nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang
dalam kehidupan masyarakat, bangsa, negara dan Pemerintah.
Sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dibahas, difokuskan terhadap
sistem politik yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, atau
dibingkai produk hukum. Pembatasan ini dimaksudkan karena aspek penyebab
yang menjadikan perilaku aparatur seperti yang terjadi saat ini, dapat dilihat dari
berbagai sisi, seperti sosiologi.
Sistem sebagaimana dimaksudkan adalah sistem yang secara langsung
atau kebijakan politik yang menginternalisasi perilaku birokrasi, karena
keberadaannya tidak dapat dipisahkan, dan birokrasi tidak mempunyai pilihan
lain bertindak di luar sistem tersebut. Secara garis besar, dikelompokkan dalam 2
(dua) bagian yaitu (a). Sistem yang menjadi anutan bekerja birokrasi; dan (b) sistem
yang mampu menentukan hak-hak kepegawaian seorang aparatur. Kedua sistem ini
secara sah berlaku, karena diletakkan dalam undang-undang sebagai keputusan
politik yang wajib dilaksanakan birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Persoalan yang akan mengemuka adalah, menjawab pertanyaan mengapa
sistem yang diwadahi dalam produk hukum tersebut, mempunyai peran yang
menghasilkan mental model aparatur. Bilamana dikemudian hari, hal tersebut
diakui kebenarannya, mungkin yang dapat dilakukan adalah mencarikan solusi
perbaikan mental model aparatur, melalui penggantian sistem. Demikian
seterusnya, yang pula harus diganti adalah bingkai hukumnya. Hukum, bukan satu-
satunya yang dapat dijadikan acuan, karena aspek lain, tentu mempunyai peran.

B. Pembahasan
Sebelum membahas tentang “Peran Etika Dalam Membentuk Prilaku Organisasi”
terlebih dahulu penulis akan membahas beberapa konsep yang terkait dengan Peran Etika
Dalam Membentuk Prilaku Organisasi, diantaranya adalah :
1. Konsep Etika Pelayanan Publik
Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah
satudiantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak.
Filsufbesar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
menggambarkanfilsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral
dan norma-norma moral yangmenjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya, ataudisebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai
kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenaldengan “kode etik”; dan (3) sebagai
ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut“filsafat moral”. Pendapat
seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam TheEncyclopedia of Philosophy
yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral codeatau rules of conduct; dan
(3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihatDenhardt, 1988: 28).
Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu
tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka
tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui
kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan
masyarakat,kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana
pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan
publik inidapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan,
pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan
pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat.
Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah
yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan
sebagaifilsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules of
conduct (aturanberperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi
pelayanan publik atauadministrator publik (lihat Denhardt, 1988).
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang
dimaksudkandengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan
atau pemberianpelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian
tuntunan perilaku (rulesof conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik”
yang harus dilakukan atausebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.
2. Konsep Umum Etika Organisasi
Etika diartikan sebagai nilai-nilai normatif atau pola perilaku seseorang atau
badan/lembaga/organisasi sebagai suatu kelaziman yang dapat diterima umum dalam
interaksi dengan lingkungannya.etika dalam organisasi tidak mungkin lagi dapat dibesar-
besarkan. Organisasi tidak mungkin berfungsi secara bertanggung jawab tanpa memiliki
etika ketika menjalankan urusan kesehariannya setiap organisasi,baik publik maupun
swasta, Etika berkaitan dengan baik dan buruk, benar dan salah, betul dan tidak, bohong
dan jujur. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya orang-orang dapat menunjukkan
perilaku yang dinilai baik atau buruk, benar atau salah ketika melakukan suatu tindakan.
Hal tersebut sangat bergantung kepada nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan di mana
orang-orang berfungsi. Tidak jarang terdapat penilaian yang berbeda terhadap suatu
perilaku dalam lingkungan yang berbeda.
3. Hakikat etika dan moralitas
Etika menggambarkan suatu kode perilaku yang berkaitan dengan nilai tentang
mana yang benar dan mana yang salah yang berlaku secara obyektif dalam masyarakat.
Dengan demikian, etika dapat diartikan sebagai perilaku individu dalam berinteraksi
dengan lingkungannya.sedangkan diartikan sebagai dorongan dalam diri seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan etika. Moralitas
dilandasi oleh nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh seseorang atau organisasi tertentu
sebagai sesuatu yang baik atau buruk, sehingga bisa membedakan mana yang patut
dilakukan dan mana yang tidak sepatutnya dilakukan.
4. Peran Etika Dalam Membentuk Prilaku Organisasi.
Alasan yang melandasi mengapa Pembinaan Mental Pegawai Negeri Sipil (PNS)
penting adalah, karena ada tuntutan nasional dan tantangan global agar meningkatkan
kualitas kinerja aparatur pemerintah sebagai pelayan publik yang sampai saat ini
masyarakat masih belum merasakan tugas dan fungsi pelayanan sebagaimana yang
diharapkan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pada aspek mental Pegawai Negeri Sipil
(PNS) sering menuai kritik dari masyarakat dikarenakan oleh perilaku menyimpang, baik
pada tataran perundang-undangan, agama maupun budaya.
Pembinaan jiwa korps PNS mutlak diperlukan untuk meningkatkan perjuangan,
pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada NKRI serta Pemerintah Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Karena PNS yang
kuat, kompak, dan bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap, dan memilki
kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan tanggung jawabnya sebagai
unsur aparatur negara dan abdi masyarakat hanya akan terwujud apabila kepada PNS
tersebut terus-menerus diberikan pembinaan mengenai penting membangun jiwa korpS,
termasuk kode etiknya.
Oleh karena itu menurut pasal 3 PP No. 42 Tahun 2004, ada tiga tujuan
pembinaan jiwa korps PNS, yaitu untuk : a). Membina watak, memelihara rasa persatuan
dan kesatuan secara kekeluargaan guna mewujudkan kerja sama, semangat pengabdian
kepada masyarakat, meningkatkan kemampuan, dan keteladanan PNS. b). Mendorong
etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang bermutu tinggi dan sadar akan
tanggungjawabnya sebagai unsur Aparatur negara, dan abdi masyarakat. c).
Menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan kebangsaan
sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI.
Di dalam pasal 8-12 PP No. 42/2004 disebutkan bahwa Kode Etik PNS meliputi 5
(lima) Kode Etik.
a) Etika Bernegara. Hal ini mengandung arti bahwa seorang PNS harus:
Melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan UUD 1945; Mengangkat harkat dan
martabat bangsa dan negara; Menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam
NKRI; Menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa; Tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu
dalam melaksanakan setiap kebijan dan program pemerintah; Menggunakan
atau memanfaatkan semua sumber daya negara secara efisien dan efektif;
Tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.
b) Etika Berorganisasi. Maksudnya adalah bahwa seorang PNS harus:
Melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku; Menjaga
informasi yang sifat rahasia; Melaksanakan setiap kebijakan yang ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang; Membangun etos kerja untuk meningkatkan
kinerja organisasi; Menjalin kerjasama secara kooperatif dengan unit kerja
lain yang terkait; Memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas; Patuh dan
taat terhadap standar operasional dan tata kerja; Mengembangkan pemikiran
secara kreatif dan inovatif; Berorientasi pada upaya peningkatan kualitas
kerja.
c) Etika Bermasyarakat. Pengertiannya adalah bahwa setiap PNS harus :
Mewujudkan pola hidup sederhana; Memberikan pelayanan dengan empati,
hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan; Memberika
pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil, serta tidak diskriminatif;
Tanggap terhadap kedaan lingkungan masyarakat; Berorientasi kepada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.
d) Etika terhadap Diri Sendiri, yang meliputi arti sebagai berikut: Jujur dan
terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar; Bertindak dengan
penuh kesungguhan dan ketulusan; Menghindari konflik kepentingan pribadi,
kelompok, maupun golongan; Berinisiatif untuk meningkatkan kualitas
pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, dan sikap; Memiliki daya juang yang
tinggi; Memelihara kesehatan jasmani dan rohani; Menjaga keutuhan dan
keharmonisan keluarga; Berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.
e) Etika Terhadap Sesama PNS. Maksudnya adalah, bahwa seorang PNS harus:
Saling menghormati sesama warga negara yang memeluk agama/kepercayaan
yang berlainan; Memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama PNS; Saling
menghormati antara teman sejawat baik secara vertikal maupun horizontal
dalam unit kerja, instansi maupun antar instansi; Menghargai perbedaan
pendapat; Menjunjung tinggi harkat dan martabat PNS; Menjaga dan menjalin
kerja sama yang kooperatif sesama PNS; Berhimpun dalam satu wadah
KORPRI yang menjamin terwujud solidaritas dan soliditas semua PNS dalam
memperjuangkan hak-haknya.
Untuk menegakkan kode etik PNS tersebut, maka di setiap instansi dibentuk
Majelis Kode Etik yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian yang
bersangkutan.Keanggotan Majelis Kode Etik jumlahnya harus ganjil dan sekurang-
kurangnya terdiri dari 5 orang, meliputi: 1 ( satu orang Ketua merangkap Anggota; 1
(satu) orang Sekretaris merangkap Anggota; dan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
Anggota. Mereka yang menjadi Anggota Majelis Kode Etik harus memiliki jabatan dan
pangkat yang lebih tinggi dari jabatan dan pangkat PNS yang diperiksa karena disangka
melanggar kode etik.
Dalam pasal 19 PP No. 42/2004 disebutkan: kepada PNS yang diperiksa diberi
kesempatan untuk membela diri sebelum Majelis mengambil keputusan. Adapun
keputusan yang diambil sedapat mungkin dilakukan secara musyawarah mufakat, dan
keputusannya bersifat final.
Secara riil PP No 42/2004 juga mengatur mengenai wahana pembinaan jiwa
korps. Di dalam pasal 12 huruf “g” secara tegas disebutkan bahwa: (PNS) “berhimpun
dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang menjamin
terwujudnya solidaritas dan soliditas semua PNS dalam memperjuangkan hak-haknya”.
Dengan demikian KORPRI adalah wahana pembinaan jiwa korps yang diakui
oleh pemerintah dalam rangka membangun sikap, tingkah laku, etos kerja, dan perbuatan
terpuji yang harus dilakukan oleh setiap PNS dalam kedinasan dan kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu KORPRI ditetapkan dengan PP. No. 42 Tahun 2004 sebagai
wadah pembinaan jiwa korps dan organisasi dalam kedinasan maupun dalam kehidupan
sehari-hari, maka kode etik anggota KORPRI juga merupakan kode etik bagi setiap PNS.
Kode Etik anggota KORPRI terdapat dalam Panca Prasetya KORPRI serta Deklarasi
Hasta Dharma KORPRI.

C. Kesimpulan
Etika diartikan sebagai nilai-nilai normatif atau pola perilaku seseorang atau
badan/lembaga/organisasi sebagai suatu kelaziman yang dapat diterima umum dalam
interaksi dengan lingkungannya.sedangkan Moral dalam bahasa Inggris dapat diartikan
sebagai dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang berkaitan dengan etika.
Maka dari uraian di atas dapat dibedakan antara etika dan moralitas sebagai suatu
sistem nilai dalam diri seseorang atau organisasi. Moralitas merujuk kepada nilai-nilai
yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri seseorang atau suatu organisasi untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan etika merupakan nilai-nilai perilaku
yang ditunjukkan oleh seseorang atau organisasi ketika berinteraksi dengan
lingkungannya.

Referensi :

Atmo Soeprapto, Kisdarto, (1999), Menuju SDM Berdaya, Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuar Inner
Journey Melalui Al-Ihsan, Penerbit Arga Jakarta, 2003.
Bachtiar Effendy, 2001. Politisasi Birokrasi Sesuatu yang Tak Terelakkan, Seri Kertas
Kerja 05/2001, Pusat penelitian Pengembangan Kepegawaian Negara, Jakarta.
Chaplin, James P., (2000), Dictionary of Psychology, New York: Dell Publising Co.,Inc.
Dadi J. Iskandar, 11996. Birokrasi Indonesia Kontemporer”, Algaprint, Jatinangor,.
Departemen Agama RI., (2003), KMA No. 1 Tahun 2003 tentang Pedoman Pendidikan
dan
Danah Zohar dan Ian Marshal, 2007. SQ : Kecerdasan Spritual, Mizan, Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., (1988), Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Perum Balai Pustaka.
Eko Sutrisno, 2001. Upaya Reformasi Sumber Daya Aparatur , Sebuah Dilema Antara
Peran Politis dan Profesionalisme, Seri Kertas Kerja 05/2001, Pusat penelitian
Pengembangan Badan kepegawaian. Negara, Jakarta, 2001
Goleman, Daniel,(1995), Emotional Intelligence, New York: Scientific American, Inc.
Mahfud, M.D. Moh. 1999 Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama Media.
Yogyakarta.
Manihuruk A.E., 2001, Pegawai Negeri Sipil Di awal Kemerdekaan dan Era Reformasi,
Seri kertas Kerja, Edisi Khusus, Ulang Tahun ke 53, badan kepegawaian Nasional,
Jakarta, Puslitbang BKN.
Makhya, Syarief ”Problem Kepemimpinan Kepala Daerah,”
http://fisippemerintahan.unila.ac.id/ index.php? (diunduh, Tanggal, 19 Agustus
2013)

Anda mungkin juga menyukai