Anda di halaman 1dari 20

TUGAS I

ETIKA ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH

DI SUSUN OLEH :

PUTRI RAMADHONA SRI UTAMI

031152585

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TERBUKA

TAHUN 2022
Bab 1

Pendahuluan

A. Latar belakang

Masalah etika dalam proses administrasi negara memiliki posisi yang sangat penting
dalam proses administrasi negara. Pertimbangan-pertimbangan etika sama sekali bukan
merupakan langkah mundur tetapi justru merupakan upaya untuk menemukan pranata-pranata
pembangunan yang berwatak dan bermoral serta untuk mendapatkan bentuk interaksi yang ideal
antara aparat negara dengan setiap negara. Sejak digulirkannya reformasi pda tanggal 21 Mei
1998 maka sistem politik dan pemerintahan di Indonesia berubah paradigmanya dari monolitik
sentralistik ke demokrasi terutama demokrasi lokal atau desentralisasi atau otonomi. Selama
lebih kurang 53 tahun didalam lingkungan sentralistik yang otoritarian, kebebasan dirasakan
sangat kurang, baik dalam kalangan masyarakat maupun daerah-daerah. Dengan bergulirnya
demokratisasi, kebebasan menjadi dimiliki oleh daerah dam masyarakat, meskipun euphoria
yang terlalu berlebihan. Dampknya adalah sering terjadi aktivitas-aktivitas, baik yang dilakukan
masyarakat maupun daerah yang keluar dari tatanan, kesepakatan, hukum peraturan, pranata,
maupun kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat dan daerah.

Masyarakat Indonesia dewasa ini boleh dikatakan merupakan sebuah masyarakat yang
sedang menderita penyakit keburukan, penyakit itu banyak sekali macamnya, tetapi untuk
sederhananya dapat dikelompokkan menjadi 5 ragam yaitu kejahatan, kekejaman, kebohongan,
perusakan dan penyelewengan. Kalau diharapkan adanya sebuah masyarakat yang aman, damai
dan tentram maka penyakit keburukan itu harus diupayakan penyembuhannya. Dengan
demikian, etika sebagai studi tentang moralitas harus dikembangkan secara sungguh-sungguh
dan disebarkan secara luas dalam masyarakat. Setiap anggota masyarakat harus disadarkan dan
dibina agar benar-banar memiliki asas moral, nilai moral dan perilaku moral. Hanya cabang
pengetahuan etika yang membahas tentang kelakuan orang yang baik dan buruk serta perbuatan
orang benar dan salah yang dapat menjadi obat penyembuhan dalam masyarakat.
Cabang pengetahuan etika perlu sekali diterapkan dalam kegiatan pemerintahan pada
umumnya dan pada penyelenggaraan administrasi pemerintahan khususnya. Dengan demikian
dapat terwujud sebuah pemerintahan yang bersih dan berwibawa berikut segenap petugasnya
yang memiliki moralitas dalam melaksanakan tugas dan kewajiban dalam melayani kepentingan
umum. Merujuk pada pasal 4 dan 5 uu no 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara diantaranya
menyebutkan bahwa para aparatur sipil negara harus menjunjung tinggi standar etika yang luhur.
Selanjutnya dalam uu tersebut juga dinyatakan bahwa para pehabat publik harus mematuhi kode
etik dan kode perilaku pegawai, diantaranya adalah : melaksanakan tugasnya dengan cermat dan
disiplin, melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan, menjaga kerahasiaan yang
menyangkut kebijakan negara.

Masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan (concern) yang sangat besar, karena
perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Di samping itu
birokrasi bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang administrator pemerintahan bekerja
untuk negara dan berarti juga untuk rakyat. Jadi wajar jika rakyat mengharap adanya jaminan
bahwa para administrator pemerintahan yang dibiayai oleh negara harus mengabdi kepada
kepentingan umum menurut standar etika yang selaras dengan kedudukannya.
Bab II

Landasan teori

A. Etika

Etika sebagai suatu studi yang bersifat umum adalah salah satu cabang dari rincian
filsafat sistematis. Untuk menegaskan kedudukannya sebagai cabang filsafat, etika dapat juga
disbut filsafat moral dan fiksafat etis. Dari 2 penyebutan nama yang merupakan sinomin itu kata
moral dan kata etis dianggap mempunyai pengertian yang sama. Dalam bahasa Inggris istilah
ethics (etika) dan morality (moralitas) merupakan 2 kata sepadan yang sama artinya. Istilah
ethics berasal dari kata Yunani ethikos dan istilah morality berasal dari kata latin moralis.
Berdasarkan asal mula katanya, kedua istilah itu mempunyai kadar arti yang sama.

Robert C. Solomon (1987) mengatakan bahwa etika merujuk pada 2 hal. Pertama etika
berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta
pembenarannya dan dalam hal ini etika merupakan salah satu cabang filsafat. Kedua, etika
merupakan pokok permasalahan didalam disipin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan
hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Pendapat lain dari seorang ahli bidang itu
Dennis Thompson dalam karangannya berjudul the possibility of administrative ethics (1985)
menegaskan lebih lanjut pengertian kedua istilah itu demikian : ‘’dapat kiranya dianggap bahwa
tidak ada perbedaan filsafati yang penting diantara ‘’etika’’ dan ‘’moralitas’’. Kedua istilah itu
menunjuk pada asas-asas benar dan salah dalam kelakuan (atau studi tentang asas-asas demikian
itu). Bilamana kita mengacu pada asas-asas dari bidang-bidang kerja khusus (misalnya, etika
hukum atau etika politik), ‘’etika’’ merupakan istilah yang lebih wajar, dan bilamana kita
mengacu pada kelakuan perorangan (misalnya, moralitas seksual), dan ‘’moralitas’’ tampaknya
lebih tepat. Tetapi, dalam maknanya yang umum istilah-istilah itu pada dasarnya sepadan’’.

Konsep yang paling pokok dalam etika ialah moralitas. Maksud dari moralitas ialah suatu
himpunan norma dari ide-ide tentang apa yang merupakan perilaku yang benar dan salah yang
mengatur kelakuan orang dalam kehidupan sosial. Konsep ini melahirkan serangkaian gagasan
lain yang sejenis, seperti ide-ide tentang benar atau salah dan baik atau buruk, nilai moral, asas
moral, aturan moral, pertimbangan moral, patokan moral, keharusan moral, tanggung jawab
moral, dan summum bonum (kebaikan tertinggi). Berbagai konsep terebut diatas, khususnya
tentang benar atau salah dan baik atau buruk berlaku dalam kehidupan manusia sehari-hari
dimasyarakat umum. Oleh karena itu, studi etika itu biasanya dikenal sebagai etika umum.
Semua warga masyarakat dalam kehidupannya pada umumnya diharapkan melakukan perbuatan
yang benar atau menghindarkan perbuatan yang salah dan sebagai pribadi menunjukkan sikap
yang baik atau menniadakan sikap yang buruk. Dengan demikian, dapatlah tercipta suatu
kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan tentram.

Etika umum berusaha memberikan brrbagai pedoman mengenai konsep benar atau salah
bagi perbuatan manusia dan konsep baik atau buruk dalam sikap pribadi manusia. Setiap warga
masyarakat perlu sekali mempelajari berbagai pedoman itu, memahaminya secara baik, dan
terakhir menerapkannya dalam semua perbuatannya dan sikapnya dalam hidup bermasyarakat.

B. Etika administrasi publik.


1. Definisi etika administrasi publik.
Dalam lingkup pelayanan publik, etika administrasi publik (Pasolong, 2007 :
193) diartikan sebagai filsafat dan professional standar (kode etik) atau right rules of
conduct (aturan berperilaku yang benar) seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan
publik atau administrasi publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika
administrasi publik adalah aturan atau standar pengelolaan, arahan moral bagi
anggota organisasi atau pekerjaan manajemen, aturan atau standar pengelolaan yang
merupakan arahan moral bagi administrator public dalam melaksanakan tugasnya
melayani masyarakat. Aturan atau standar dalam etika administrasi negara tersebut
terkait dengan kepegawaian, perbekalan, keuangan, ketata usahaan, dan hubungan
masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas dpat disimpulkan bahwa etika bertalian erat dengan
administrasi publik. Etika mempelajari tentang filsafat, nilai, dan moral sedangkan
administrasi publik mempelajari tentang pembuatan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan pengimplementasian kebijakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan
dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan administrasi bersifat konkrik dan harus
mewujudkan apa yang telah dirumuskan dan disepakati dalam kebijakan publik.
Pembicaraan tentang etika dalam administrasi publik adalah bagaimana mengaitkan
keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi seperti efektivitas, efisiensi,
akuntabilitas, kemanfaatan, produktivitas dapat menjelaskan etika dalam prakteknya,
dan bagaimana gagasan-gagasan dasar etika, seperti mewujudkan yang baik dan
menghindari yang buruk, dapat menjelaskan hakikat administrasi publik. Sehingga
diharapkan seorang administrator publik selalu menggunakan pertimbangan etika
dalam melakukan segala aktivitas yamg menyangkut kepentingan publik.

2. Arti penting etika administrasi publik.

Arti penting etika administrasi publik digambarkan oleh Ginandjar Kartasasmita (1996 : 26-7)
secara lebih konkrit. Masalah etika dalam birokrasi menjadi kepribadian (concern) yang sangat
besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak.
Di samping itu birokrasi bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk
negara dan berarti juga untuk rakyat. Jadi wajar jika rakyat mengharap adanya jaminan bahwa
para birokrat yang dibiayai oleh negara harus mengabdi kepada kepentingan umum menurut
standar etika yang selaras dengan kedudukannya. Disamping itu tumbuh keprihatinan bukan saja
terhadap individu-individu para birokrat tetapi juga terhadap organisasi sebagai suatu sistem
yang cenderung bertambah besar dan bertambah luas kewenangannya yang cenderung
mengesampingkan nilai-nilai.

Nicholas Henry (1980) dalam Wahyudi Kumoro (1996 : 102-3) menguraikan adanya 5
paradigma dalam administrasi publik dan sebagian besar perbedaan paradigma aitu berkisar
perlu tidaknya pemisahan antara ilmu politik dan administrasi. Menurut Henry, paradigma
terakhir dari administrasi publik adalah bahwa lokus administrasi publik mengenai kepentingan
(public interest) dan urusan publik (public affairs), sedangkan fokusnya adalah teori organisasi
dan ilmu manajemen. Dalam paradigma ini dihindari dikotomi politik administrasi, sebab dalam
kenyataannya seorang birokrat atau administrator tidak bisa menghindar dari tindakan politis.
Aktivitas politik dari birokrat tampak dari adanya keleluasaan bertindak (diskresi) administratif
yang dimilikinya. Sementara aktivitas administrasi tampak dari segala perilakunya untuk
merencanakan, memilih alternatif, mengorganisasi, mengelola, memantau, mengevaluasi,
melaksanakan, serta melakukan implementasi atas program-program didalam lingkup birokrasi.
Untuk itu dia perlu membekali diri dengan ilmu manajemen serta landasan pemahaman
menganai teori organisasi yang kuat. Dengan demkian proses administrasi negara merupakan
proses yang rumit. Bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas teknis berlandaskan ilmu
manajemen untuk mencapai efisiensi yang tinggi melainkan juga aktivitas-aktivitas politis yang
berusaha menafsirkan kehendak publik dan menterjemahkannya dalam kebijakan nyata.
Kebijakan sebagai keseluruhan gagasan mengenai tujuan dan arah Tindakan manusia dalam
organisasi. Kebijakan menentukan norma dan mengatur administrasi publik pada tingkat
strategis.

Dari segi materi atau isi, administrasi publik berarti melakukan kebijakan publik yakni
menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat
umum. Dari segi formal atau bentuk, administrasi publik adalah pengambilan keputusan-
keputusan yang mengikat orang banyak. Sedangkan dari sisi sosiologis, administrasi publik
merupakan bentuk tindakan sosial tertentu yang diorganisir atau tepatnya serangkaian proses
tindakan sosial yang berlangsung dan dibekukan dalam periode tertentu.

Dengan demikian, dalam praktek administrasi negara merupakan rangkaian pengambilan


kebijakan yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan serta keharusan-keharusan
bagi tindakan sosial. Proses itu tentunya akan menunjang tertib sosial hanya apabila ia merujuk
pada rasa kebenaran dan keadilan dari warga masyarakatnya. Dengan demikian setiap aktivitas
administrasi publik akan selalu punya konsekuensi nilai. Sebagai kesimpulan yang dapat ditarik
adalah bahwa proses administrasi publik senantiasa menuntut tanggung jawab etis.
Bab III

Pembahasan

A. Etika administrator pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik.

Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi, yaitu : pertama, sebagai pedoman,
acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela.
Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi
publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Leys berpendapat bahwa : “seseorang administrator
dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam
pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan
tradisi yang sudah ada”. Selanjutnya, Anderson menambahkan suatu poin baru bahwa : “standar-
standar yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-
nilai dasar dari masyarakat yang dilayani”. Berikutnya, Golembiewski mengingatkan dan
menambah elemen baru yakni : “standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu-kewaktu dan
karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan standar-standar perilaku
tersebut dan bertindak sesuai dengan standar tersebut”.

Setiap birokrasi pelayanan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang
mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan asas etis. Ia wajib mengembangkan diri
sehingga sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan menerapkan berbagai asas etis yang
bersumber pada kebajikan-kebajikan moral khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya.
Secara umum nilai-nilai moral terlihat dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six great
ideas” 5 yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan
(liberty), kesamaan (equality), dan keadilan (justice). Dalam kehidupan bermasyarakat,
seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya sejalan dengan nilai-nilai
tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap dan perilaku
para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut
dijadikan ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar tersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain yang
dianggap penting untuk mensukseskan pemberian pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus
dinilai, dikembangkan dan dipromosikan.
Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai, dan
disebut dengan “profesional standars” (kode etik) atau “right rules of conduct” (aturan perilaku
yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik. Sebuah kode etik
merumuskan berbagai tindakan apa, kelakuan mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan
atau dihindari oleh para pemberi pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat
dari kode etik yang dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada
beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik tidak hanya sekedar bacaan,
tetapi juga diimplementasikan dalam melakukan pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya
melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan diupayakan perbaikan melalui
konsensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini perlu ditunjukkan, agar masyarakat semakin
yakin bahwa birokrasi publik sungguh-sungguh akuntabel dalam melaksanakan kegiatan
pelayanan publik. Untuk itu, kita barangkali perlu belajar dari negara lain yang sudah maju dan
memiliki kedewasaan beretika.

Untuk menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu
mempunyai dan mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka. Namun sayangnya, kata
Wahyudi tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional menjadi satu titik lemah yang
krusial dalam birokrasi pelayanan di Indonesia. Berkaitan dengan itu Harbani mengatakan bahwa
untuk menilai baik buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat
dilihat dari baik buruknya penerapan nilai-nilai sebagai berikut : pertama, efisiensi, yaitu para
birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Dalam
artian bahwa para birokrat secara berhati-hati agar memberikan hasil yang sebesar-besarnya
kepada publik. Dengan demikian nilai efisiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber daya
yang dimiliki secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik. Jadi dapat dikatakan baik (etis) jika birokrasi publik menjalankan tugas dan
kewenangannya secara efisien. Kedua, efektivitas, yaitu pada birokrat dalam melaksanakan
tugas- tugas pelayanan kepada publik harus baik (etis) apabila memenuhi target atau tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik dalam
mencapai tujuannya, bukan tujuan pemberi pelayanan (birokrasi publik). Ketiga, kualitas
layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh pada birokrat kepada publik harus
memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis) tidaknya pelayanan
yang diberikan birokrat kepada publik ditentukan oleh kualitas pelayanan. Keempat,
responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab birokrat dalam merespon kebutuhan publik
yang sangat mendesak. Birokrat dalam menjalankan tugasnya dinilai baik (etis) jika responsibel
dan memiliki profesional atau kompetensi yang sangat tinggi. Kelima, akuntabilitas, yaitu
berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas dan kewenangan pelayanan
publik. Birokrat yang baik (etis) adalah birokrat yang akuntabel dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya.

B. Masalah etika aparatur pelayanan publik.


Masalah utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan
publik itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu
bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang mendukung, dan kelembagaan.
Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain
sebagai berikut :

a. Sukar diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan masyarakat,
sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publik tersebut.
b. Belum informatif. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau
bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
c. Belum bersedia mendengar keluhan/ saran/ aspirasi masyarakat. Biasanya aparat pelayanan
publik belum bersedia mendengar keluhan/ saran/ aspirasi dari masyarakat. Sehingga, pelayanan
publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
d. Belum responsif. Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik, mulai
pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab
instansi. Tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali
lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
e. Belum saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu dengan lainnya belum
saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan
antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
f. Tidak efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan)
seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan yang diberikan.
g. Birokrasi yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya
dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga menyebabkan
penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.

Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan


(front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan
masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan
masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah
pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya
manusia, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan
etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan
adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan, kelemahan utama
terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan
kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit
(birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus,
fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah,
yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

Banyaknya korupsi dalam pelayanan publik seperti adanya pungutan liar, gratifikasi dan
lain sebagainya, sering kali terjadi karena pengaruh budaya organisasi negatif yang sudah
terbentuk secara masif, sistem matis dan terstruktur sehingga mau tidak mau aparatur larut dalam
penyimpangan tersebut, sungguh ironis ketika ada aparatur yang tidak mau mengikuti
penyimpangan tersebut justru dianggap beda dan dapat dipastikan akan dikucilkan dalam
lingkungan pergaulan birokrasi tersebut, oleh karena itu diperlukan penegakan aturan hukum
serta pembentukan karakter aparatur yang memiliki integritas tinggi ditunjukkan dengan sikap
berani menolak korupsi terlebih lagi berani melaporkan korupsi yang dijumpainya. Peran pelapor
atau penyingkap korupsi sangat membantu dalam menyingkap informasi kepada publik tentang
adanya penyimpangan, pelanggaran hukum dan etika, korupsi atau situasi berbahaya lainnya. Dia
menjadi mata pisau yang tepat untuk dapat meminimalisasi tindakan korupsi, dapat memberikan
tekanan-tekanan terhadap lembaga hukum yang sangat rentan dengan permasalahan korupsi,
namun sulit terjamah oleh hukum, dikarenakan pemahaman esprit de corps yang telah terbangun
secara turun-temurun. Realitanya seringkali esprit de corps dimaknai sebagai semangat untuk
menyelamatkan dan menutupi keburukan institusi dengan cara apapun, tentunya menjadi sulit
bagi hukum untuk mencoba masuk kedalam wilayah-wilayah kekuasaan yang tercipta
dilingkungan institusi tersebut. Di level inilah peran dari penyingkap korupsi menjadi penting.

Kebobrokan sebuah institusi dapat terdeteksi oleh mereka yang terdekat dengan
lingkungan tersebut. Budaya birokrasi masih memposisikan para pegawai untuk tidak
melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh atasannya atau merahasiakan sesuatu yang salah
didalam institusi tersebut. Budaya pegawai yang ada sering khawatir jika harus berhadapan
dengan konsekuensi logis berupa “pembalasan” seperti : kehilangan pekerjaan, kehilangan
kesempatan promosi jabatan, atau "dimusuhi" oleh rekan-rekan sekerjanya membuat mereka
lebih memilih untuk berdiam diri. Budaya birokrasi yang ada harus mengadopsi nilai-nilai
budaya yang melingkupinya.

C. Solusi masalah etika aparatur pelayanan publik.


Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin
menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya
mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan
pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara
lain adalah sebagai berikut :

1. Penetapan standar pelayanan.


Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan
merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan
suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan
kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui
proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan,
perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu
dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar
pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu
mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai
kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya
beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.

2. Pengembangan standard operating procedures (SOP).


Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya
standard operating procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan
secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga
dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal :

a. Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu,
misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka
petugas lain dapat menggantikannya. Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus ;
b. Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang
berlaku;
c. Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur
jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
d. Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam
prosedur pelayanan;
e. Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;
f. Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada
petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain,
bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan
tangungjawab yang jelas.
2. Dalam kehidupan manusia yang terbaik terdapat 3 asas luhur yang wajib dianut dan dilaksanakan
setiap orang, yaitu :
a. Keutuhan watak.
b. Keadilan, dan
c. Kesusilaan.

a. Keutuhan watak adalah kesempurnaan akhlak pribadi dari seseorang dalam menjalani
hidupnya dan melaksanakan pekerjaannya serta mencakup kejujuran, kesetiaan dan
pengabdian keutuhan watak pada dasarnya adalah ciri kualitas dari watak seseorang yang
bersifat utuh, lengkap atau sempurna. Menurut The Liang Gie (2003) keutuhan watak
adalah kesempurnaan akhlak pribadi dari seseorang dalam menjalani hidupnya dan
melaksanakan pekerjaannya Keutuhan watak mencakup 3 kebaikan utama dalam
kehidupan manusia, yaitu :

 Kejujuran berarti hasrat untuk bertindak lurus tanpa menyimpang dari norma kebenaran.
 Kesetiaan adalah kesadaran untuk setulusnya patuh pada tujuan bangsa, konstitusi negara,
peraturan perundangan, badan instansi, tugas jabatan, dan pihak atasan demi tercapainya
cita-cita bersama.
 Pengabdian adalah hasrat untuk menjalankan tugas dengan sepenuh tenaga, semangat,
dan perhatian tanpa pamrih pribadi. Wujudnya adalah bekerja keras, menjalankan tugas
pekerjaan dengan sepenuh tenaga, dan tanpa pamrih.

Perbedaan pokok antara pengertian kesetiaan dengan pengabdian ialah kesetiaan terutama tertuju
pada cita-cita yang diyakini kebenarannya atau cita-cita menjunjung tinggi suatu paham yang
luhur, sedangkan pengabdian terfokus pada jabatan, keahlian, dan bidang profesi seseorang.

Untuk tercapainya sebuah kehidupan yang aman, damai dan tentram para anggota masayarakat
harus sungguh-sungguh berusaha memiliki keutuhan watak :
10 ciri perilaku kerja yang mencerminkan keutuhan watak dan pengabdian :
 Kerajinan (diligence).
 Pengabdian (dedication).
 Keutuhan watak (integrity).
 Rasa tanggung jawab (responsibility).
 Kehati-hatian (carefullness).
 Keserbabisaan (versatility).
 Daya pembaruan (innovativeness).
 Semangat kerja sama (cooperativeness).
 Kemahiran (skillfulness).
 Hasrat besar untuk belajar (eagerness to learn).

Stanley Benn menghubungkan keutuhan watak dengan sifat adil pada seseorang yang adil.
Seorang yang adil adalah seseorang yang mempunyai keutuhan watak dan asas-asas hidup
konsisten yang tidak dikuasai oleh pertimbangan keuntungan, hasrat pribadi, dan perasaan
hati.

b. Asas keadilan.
Pengertian ide dan ide agung.
Menurut Plato pengertian ide adalah isi dari pikiran manusia yang bisa diperbincangkan dan
dialihkan diantara orang yang satu dengan orang yang lain. Suatu ide bercorak agung jika ide
tersebut bersifat pokok dan sangat perlu bagi pemahaman terhadap manusia itu sendiri,
masyarakatnya, dan dunianya. Suatu ide agung menjadi dasar bagi penelitan, pengetahuan
sampai pemahaman dari segenap hati yang berkisar pada diri manusia. Keadilan merupakan
salah satu dari ide agung.

Kaitan ide agung dengan etika administrasi pemerintahan


Etika administrasi pemerintahan dapat melahirkan asas, standar, pedoman, dan kebajikan moral
yang luhur karena etika itu menyangkut kehidupan masyarakat, kesejahteraan rakyat, dan
kemajuan bangsa yang demikian penting harus berlandaskan suatu ide agung yang luhur
sifatnya. Ide agung yang paling tepat untuk menjadi landasan ideal bagi etika administrasi
pemerintahan ialah keadilan.
Keadilan sebagai kebajikan moral.

Asas keadilan sebagai sebuah kebijakan moral dan suatu hal yang baik merupakan sebuah unsur
pokok dalam etika. Dari asas keadilan itu dapat diperkembangkan berbagai asas dan ajaran
tentang kelakuan yang baik bagi para administrator pemerintahan yang fungsinya mengabdi
kepada rakyat. Dengan demikian, keadilan tepat sekali dijadikan suatu landasan dari etika
administrasi pemerintahan.

Keanekaragaman makna keadilan.

Macam – macam makna yang melekat pada keadilan dapat dilihat dari asal usul perkataan
Inggris Justice. Dengan demikian salah satu makna yang sangat tua dari perkataan justice ialah
hukum (law). Justice kemudian dianggap menjadi tujuan dari semua hukum dalam kehidupan
masyarakat. Keadilan sebagai tujuan hukum akan tercapai jika ada persamaan dalam perlakuan
terhadap semua pihak oleh sesuatu badan peradilan atau sorang hakim. Ide keadilan secara
umum juga mempunyai makna sebagai persamaan (equality) seperti pelayanan jasa, pemberian
izin, dan penyediaan fasilitas. Sebuah makna lain yang diletakkan pada ide keadilan ialah
kelayakan (fairness). Kelayakan berarti ciri atau sifat yang sepantasnya pada suatu hal pada
umumnya.

Definisi keadilan

Beberapa definisi keadilan menurut :

 Zaman romawi. Keadilan adalah kemajuan yang tetap dan kekal untuk
memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya.

 Nels Anderson. Keadilan sebagai cita dalam hukum yang dengan itu hakim –
hakim diharapkan akan dibimbing.

 Rudolph Heimanson. Keadilan adalah konsep untuk mencapai suatu hasil yang
sah atau memutuskan untuk suatu tuntutan yang tepat, memperbaiki suatu
kesalahan, menemukan suatu keseimbangan diantara kepentingan – kepentingan
yang sah, tetapi saling bertentangan.

 Glenn Negley. Keadilan adalah penilaian yang logis, bahkan hampir mekanis,
terhadap suatu tindakan atau tindakan – tindakan sesuai dengan ukuran-ukuran
dari sebuah struktur nilai yang diterima dan bersifat wajib sebagaimana diwakili
oleh hukum.

Menurut Mortimer Adler konsep “pemberian kepada setiap orang apa yang semestinya”
mengandung 2 segi penting yang berbeda. Apa yang merupakan “apa yang semestinya” bagi
setiap orang ditentukan dengan :

1. Ukuran hak dari seseorang, baik hak alamiah, maupun hak yang bersumber dari
hukum yang berlaku.

2. Perbandingan kemampuan dari orang yang satu dengan yang lainnya.

Konsepsi keadilan.

Pengertian “apa yang semestinya” bagi setiap orang mempunyai 2 bentuk sebagai berikut :

1. Jaminan hak – hak agar bebas dari pelanggaran.

2. Perlakuan yang layak.

Dalam membahas keadilan perlu dibedakan antara konsepsi keadilan, makna keadilan dan
definisi keadilan.

1. Konsepsi keadilan merujuk pada sesuatu kategori pengertian tertentu dalam


pemikiran manusia dan kedudukan entitas keadilan dalam kehidupan masyarakat.

2. Makna keadilan berhubungan dengan arti atau maksud yang melekat pada istilah
keadilan.

3. Definisi keadilan merupakan sebuah perumusan yang cukup terinci untuk


menerangkan sehingga orang dapat mengetahui apa yang disebut keadilan.
c. Asas kesusilaan.

Istilah kesusilaan merupakan terjemahan dalam bahasa Inggris dari kata morality. Kesusilaan
adalah kebajikan pribadi dalam diri seseorang yang senantiasa berusaha mempunyai akhlak yang
baik dan menunjukkan kelakuan yang benar. Setiap anggota masyarakat harus sungguh-sungguh
berusaha mempunyai kesusilaan dalam dirinya dan melaksanakan dalam hidupnya. Dengan
demikian, masyarakat itu menjadi ajang hidup yang aman, damai, dan tentram. Asas keutuhan
watak, asas keadilan, dan asas kesusilaan dianggap merupakan sebuah teori 3 asas luhur dalam
kehidupan manusia. Setiap masyarakat wajib menganut 3 asas luhur itu dalam dirinya.

Teori ini lebih penting lagi bagi seorang administrator pemerintahan. Setiap administrator
pemerintahan dalam melaksanakan fungsinya dan menjalankan tugasnya sehari-hari jika ia
menganut dan melaksanakan ketiga asas luhur itu maka ia tentu memiliki kejujuran, kesetiaan,
tidak melanggar hak orang lain, memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap orang sesuai
dengan kemampuannya, dan selalu menampilkan akhlak yang baik. Sebuah administrasi
pemerintahan yang dijalankan oleh petugas dengan ciri kebaikan demikian tentulah akan
memberikan pelayanan yang terbaik bagi seluruh rakyat.

3. Dalam masyarakat modern terdapat 4 nilai utama dari manusia dalam kehidupan
masyarakat, keempat nilai utama itu menjadi ciri-ciri khas dari manusia yang
menyebabkannya berbeda dengan segenap makhluk hidup dan jasad lainnya didunia ini,
keempat nilai utama itu adalah keluhuran, kebaikan, kebenaran dan keindahan.

Cara yang efektif dalam menerapkan empat nilai utama dalam kehidupan masyarakat adalah
dimulai pada dirinya sendiri sebagai individu, dalam kehidupan bermasyarakat apabila individu
tidak dapat menyesuaikan diri dan tingkah lakunya tidak sesuai dengan keempat nilai tersebut
maka dimanapun ia hidup tidak dapat diterima oleh masyarakat. Dengan terkucilnya oleh
anggota masyarakat yang lain, pribadi tersebut tidak akan merasa aman. Akhirnya dia tidak
merasa betah tinggal di masyarakat, padahal setiap individu membutuhkan rasa aman dimanapun
dia berada. Untuk itu, agar bisa diterima oleh masyarakat, pribadi itu sendiri harus bertingkah
laku menurut norma, nilai dan kaidah masyarakat yang berlaku pada masyarakat.

Dengan selalu menerapkan keempat nilai utama tersebut kedalam kehidupan bermasyarakat
diharapkan dapat mendorong, mengarahkan atau memotivasi dan memberikan contoh yang baik
kepada masyarakat lainnya.
Daftar pustaka

ADPU4533.
Bayu Suryaningrat, etika administrasi negara, etika pemerintahan, etika jabatan, Bandung :
Pustaka, 1984.
Edy Topo Azhari. 2003. “upaya meningkatkan kinerja pelayanan publik”. Makalah.
Disampaikan dalam seminar lokakarya nasional dimensi politik pelayanan publik : partisipasi,
transparansi & akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta.
Harbani Pasolong. 2007. Teori administrasi publik. Bandung : Alfabeta.
Wahyudi , Kumorotomo. 1992. Etika administrasi negara. Rajawali Pers, Jakarta.
Kusmanadji.2003. Etika bisnis dan profesi. Jakarta : Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Adler, M. J. (1981). Six great ideas. New York : Macmillan.
Angeles, P. A. (1981). The great ideas : a syntonicon of great books of Western world. 2
volumes. Chicago : encyclopedia britannica, 23rd printing.
Justice. (1973). Dalam the encyclopedia americana. Volume 16. New York : Americana
corporation, International edition.

Anda mungkin juga menyukai