NPM :1816041022
Kelas : Reguler B
MK : Etika Administrasi Publik
1. Buatlah analisis persamaa dan perbandingan definisi etika administrasi public serta
sajikan kedalam bentuk table.
Menurut pasolog etika administrasi publik diartikan sebagai filsafat dan
propesional standar (kode etik) atau right rules of conduct (aturan berprilaku
yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan public atau
administrasi public.
Etika administrasi publik merupakan salah satu wujud kontrol terhadap
administrasi negara/publik dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas
pokok, fungsi dan kewenangannya.
Menurut Chandler & Plano, etika administrasi public diartikan dengan aturan
atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator
publik dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat
Menurut Drs. H. Burhanudin Salim Etika administrasi publik adalah aturan
yang berprilaku yang berbicara tentang nilai-nilai dan norma yang dapat
menentukan perilaku manusia dalam kehidupannya.
Etika administrasi publik, atau versi Denhart menyebutnya etika dalam
pelayanan publik mempunyai sebuah sasaran untuk membentuk perilaku dan
pola pikir dari seorang aparatur negara yang memahami tugas dan fungsi
sebagai abdi dari masyarakat dan abdi negara sehingga mampu mencapai
Good Government sebagai proses pencapaian tujuan negara karena tugas
administrasi negara adalah menjalankan tugas umum pemerintahan dan tugas
umum pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Pengertian etika pemerintahan menurut Nurdin (2017:11) bahwa etika
pemerintahan merupakan ajaran untuk berperilaku baik dan benar sesuai
dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia.
Dari keenam definisi etika administrasi public diatas dapat disimpulkan
persamaan dan berperbedaan definisi keenam tersebut sebagai berikut.
Persamaan Perbedaaan
Dari keenam definisi terdapat Dari keenam definisi terdapat
kesamaan antara lain Etika perbedaan definisi antara lain Etika
administrasi publik adalah aturan administrasi public adalah aturan
atau standar pengelolaan, arahan yang berprilaku dan berbicara
moral bagi anggota organisasi atau tentang nilai-nilai dan norma yang
pekerjaan manajemen serta aturan dapat menentukan perilaku manusia.
atau standar pengelolaan yang bagaimana membuat keterkaitan
merupakan arahan moral bagi keduanya. Bagaimana gagasan
administrator publik dalam administrasi seperti
melaksanakan tugasnya melayani efisiensi,ketertiban, kemanfaatan,
masyarakat.Aturan atau standar produktifitas dapat menjawab etika
dalam etika administrasi negara dalam prakteknya. Serta bagaimana
tersebut terkait dengan kepegawaian, gagasan dasar etika dapat
perbekalan, keuangan, mewujudkan yang baik dan
ketatausahaan, dan hubungan menghindari hal yang buruk itu
masyarakat. dapat menjelaskan hakekat
administrasi. Diperlukan etika dalam
administrasi karena ini akan
memberikan contoh yang baik, sebab
setiap orang sebenarnya memiliki
kesadaran masing-masing namun
tidak pernah menerapkan dalam
kehidupan sehari-har
Sumber Referensi
nureni, s. (2018). penerapan etika administrasi publik sebagai upaya dalam mewujudkan goog
governance.
Rudiyansyah, S., & Dahlan, S. P. (2018). Etika Administrasi Publik: Public Administration Ethics (Vol.
1). SAH MEDIA
sadhana, k. (2010). etika birokrasi dalam pelayanan publik. malang: citra malang.
DIRLANUDIN, D. (2008). LEGITIMASI SOSIOLOGIS DAN LEGITIMASI ETIS HASIL PROSES DEMOKRASI.
Jurnal NIAGARA, 1(2), 1-18
jeujanan, w. (2015). PERANAN ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK (Sebuah Kajian Teoritis). Jurnal
Ilmu Administrasi dan Sosial “Societas”, 1-17.
Hernawan, D. (2004). Legislasi Etik: Sebuah Alternatif Solusi Bagi Legitimasi Baru Legislatif. Jurnal
Administrasi Publik, 3(1).
3. Deskripsikan praktik etika administrasi public dan sertakan berbagai contoh praktik
baik dan buruk!
Bayu Suryaningrat, Etika Administrasi Negara, Etika Pemerintahan, Etika Jabatan, Bandung : Pustaka,
1984.
Keban Yeremias, 2008. Enam Dimensi Strategi Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, Gava
Media, Yogyakarta.
Kurniawati, D., Syafi’i, A., & Widiyanto, M. K. (2018). PENERAPAN ETIKA ADMINISTRASI DALAM
RANGKA MENGEMBANGKAN KUALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DI KECAMATAN PABEAN
CANTIAN KOTA SURABAYA (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945).
Nuraini, S. (2020). PENERAPAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK SEBAGAI UPAYA DALAM MEWUJUDKAN
GOOD GOVERNANCE. Jurnal Ilmiah Magister Administrasi, 14(1)
4. Etika secara empiris dihadapkan pada situasi komplikasi dan dilematis terkait dengan
para penganut norma absolutisme vs relativisme dan adanya hierarki etika. Jelaskan
makna dan sertakan contohnya terkait pernyataan di atas!
Absolutisme vs Relativisme
Dalam sistem administrasi publik atau pelayanan publik telah dikenal norma
yang bersifat absolut dan relatif diterima orang. Norma yang bersifat absolut
cenderung diterima atau dapat dianggap sebagai universal rules. Norma ini ada
dan terpelihara sampai saat ini di hampir semua masyarakat di dunia, yang
berfungsi sebagai penuntun perilaku dan standar pembuatan keputusan. Kaum
deontologis (salah satu pendekatan dalam etika) menilai bahwa norma-norma
ini memang ada hanya saja manusia belum sepenuhnya memahami, atau
masih dalam proses pemahaman. Norma ini biasanya bersumber dari ajaran
agama, filsafat hidup dan perlu dipertahankan karena memiliki pertimbangan
atau alasan logis untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan. Misalnya dalam
pelayanan publik diperlukan norma tentang kebenaran (bukan kebohongan),
pemenuhan janji kepada publik, menjalankan berbagai kewajiban, keadilan,
dan lain-lain, merupakan justifikasi moral yang semakin didukung masyarakat
di mana-mana. Melalui proses konsensus tertentu, norma tersebut biasanya
dimuat dalam konstitusi kenegaraan yang daya berlakunya relatif lama.
Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat digolongkan sebagai kaum
absolutis. Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan
norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum relativis. Kaum teleologist
(salah satu aliran /pendekatan dalam etika relativis) mengemukakan bahwa
tidak ada “universal rule”. Suatu norma dapat dikatakan baik apabila memiliki
konsekuensi atau outcome yang baik, yang berarti bahwa harus didasarkan
pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai-nilai
yang bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila
diuji dengan kondisi atau situasi tertentu. Kaum teleologis berpendapat bahwa
tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal, kalau belum
diuji atau dikaitkan dengan konsekuensinya. Implikasi dari adanya dilema
tersebut, maka sulit memberi penilaian apakah aktor – aktor pelayanan publik
telah melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada
keyakinannya apakah tergolong absolutis atau relativis. Hal yang demikian
barangkali telah menumbuhkan suasana KKN di negeri kita. Persoalan moral
atau etika akhirnya tergantung kepada persoalan “interpretasi” semata.
Hirarki Etika
Pelayanan publik mempunyai empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral
pribadi, yaitu pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat dan
pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma
atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah
etika organisasi, yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan
tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang
bersangkutan. Keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun
perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan
anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara. Hierarki etika justru
cenderung membingungkan aktor pelayanan publik, karena nilai etika dari
keempat tingkatan ini saling bersaing. Misalnya, fungsi penempatan, bila
atasan dipengaruhi oleh etika sosial, maka atasan akan mendahulukan orang
yang berasal dari daerah yang sama sehingga sering menimbulkan kesan
adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bila atasan didominasi oleh
etika organisasi, atasan barangkali akan melihat yang berlaku dalam
organisasi, seperti sistem “senioritas” atau bisa jadi atasan didominasi oleh
system merit, yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling
berprestasi. Persoalan moral atau etika dalam konteks ini akhirnya tergantung
kepada tingkatan etika yang paling mendominasi keputusan aktor kunci
pelayanan public. Sejalan dengan penilaian tersebut, Jabbra dan Dwivedi
(1989) mengatakan bahwa untuk menjamin kinerja pegawai sesuai dengan
standar dan untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat
pemerintah, maka aparat harus mampu mengembangkan lima macam
akuntabilitas, yaitu Pertama, akuntabilitas administratif (organisasional).
Akuntabilitas administratif diperlukan karena ada hubungan hirarkis
pertanggungjawaban yang tegas antara pusat dengan unit-unit di bawahnya.
Hubungan hirarkis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam
aturan organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk
hubungan informal. Kedua, akuntabilitas legal. Akuntabilitas legal adalah
bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan administratif dari birokrat Ketiga,
akuntabilitas politik. Birokrat pelayanan publik menjalankan tugasnya
mengikuti kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur,
menetapkan prioritas, pendistribusian sumber dan menjamin kepatuhan
pelaksanaan perintah. Pejabat politik juga harus menerima tanggung jawab
administratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan
tugas dengan baik. Keempat, akuntabilitas profesional. Semakin meluasnya
profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional berharap dapat
memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas dan dalam
melayani kepentingan publik. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara
kode etik profesinya dengan kepentingan publik dan jika ada kesulitan
mempertemukan keduanya, maka mereka harus lebih mengutamakan
akuntabilitasnya kepada kepentingan publik. Kelima, akuntabilitas moral.
Setiap tindakan birokrat selain didasarkan pada konstitusi dan peraturan
hukum, harus dilengkapi juga dengan prinsip moral dan etika yang diterima
oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang profesional.
Sumber Referensi
Martins, Jr (ed). 1979. Professional Standards and Ethics. Washington, DC: ASPA Publisher
Nurcahyo, I. O., & Ahmar, N. (2012). Idealisme, Relativisme, Dan Kreativitas Akuntan. The Indonesian
Accounting Review, 2(1), 73-90.
Purnama, F. F. (2018). Mengurai Polemik Abadi Absolutisme dan Relativisme Etika. Living Islam:
Journal of Islamic Discourses, 1(2), 273-298.
sadhana, k. (2010). etika birokrasi dalam pelayanan publik. malang: citra malang.
Tamar, M. A., Pangemanan, S., & Tompodung, J. (2017). ETIKA PEMERINTAHAN DALAM
MENINGKATKAN KINERJA APARATUR SIPIL NEGARA. EKSEKUTIF, 1-12.
5. Identifikasi dan jelaskan berbagai solusi untuk memperbaiki kondisi buruknya etika
administrasi publik di Indonesia!
Upaya Perbaikan melalui Pemberantasan Korupsi.
Pope (2003) menjelaskan sebuah survey mengenai anatomi korupsi di New
South Wales, Australia 1994 tentang prilaku pejabat publik sehubungan
dengan korupsi antara lain menjelaskan faktor yang mengurangi kemauan
orang dalam menangani korupsi adalah :
a. Prilaku bersangkutan dapat dibenarkan dalam situasi bersangkutan
b. Keyakinan bahwa tidak ada gunanya melaporkan korupsi, karena tidak
akan ada tindakan apapun yang akan diambil
c. Keyakinan tersebut bukan prilaku korupsi
d. Takut akan mendapatkan balasan secara pribadi (kedudukan yang
rendah dalam organisasi)
e. Persepsi pegawai bersangkutan tentang hubungannya dengan pelaku
dan atasan dan
f. Keragu-raguan apakah buktibuktinya cukup. Sedangkan bidang-
bidang kegiatan pemerintahan yang dijangkiti korupsi antara lain:
Pengadaan barang dan jasa publik, penetapan batas-batas tanah,
pengumpulan pemasukan, pengangkatan pegawai pemerintah dan tata
pemerintahan setempat.
Upaya perbaikan melalui perbaikan standar moral dan etika pegawai /pejabat
publik.
a. Penguatan Norma dan aturan yang berkenaan dengan tugas pelaksana
dan pejabat publik melalui berbagai macam kegiatan seperti extention
education,pelatihanpelatiha,workshop,seminar, symposium,
exsecutive training dan sebagainya. Gerakan ini perlu dilakukan mulai
dari birokrasi tingkat pusat sampai kepelosok daerah, mulai dari
pegawai tinggi sampai kepada pegawai menengah dan rendah. Pesan
penting yang perlu dikembangkan adalah memberikan kesadaran
kepada pegawai/ pejabat publik tentang tata kerja dan cara kerja baru
yang lebih baik yang dapat meberikan kesejahteraan kepada
masyarakat karena pada hakekatnya keberadaan mereka adalah untuk
melayani masyarakat . Bila pegawai/ pejabat mmelakukan hal tersebut
maka akan tercipta kondisi kerja yang lebih baik, tidak saling curiga
atau tidak saling sekongkol yang pada akhirnya menimbulkan
kecemasan dan kegelisahan. Pesan yang disampaikan agar pegawai
sadar untuk selalu mengemban amanat, jujur, memiliki integritas
punya rasa tanggung jawab memiliki loyalitas, taat hukum dan dapat
berlaku adil karena sifat–sifat tersebut memberikan kepada mereka
martabat, pujian dan kehormatan ketimbang sebagai “bandit atau
pecundang”
b. Capacity Building(penguatan kelembagaan) Administrasi
pemerintahan baik pada tingkat pengambilan kebijakan, perencana
maupun pada petugas garis depan (front liner) dengan menitik
beratkan pada pesan-pesan moral yang mendudukan pegawai sebagai
penyelamat kepentingan bangsa, negara dan rakyat melalui etika dan
cara-cara kerja yang benar.
c. Sosialisasi tentang moralitas publik melalui media massa cetak,
elektronik sampai media tradisional guna membangun kebiasaan atau
budaya yang selalu menekankan pada kejujuran, kebajikan, kearifan
serta bersedia berprilaku baik, sadar dan patuh pada hukum serta
mendasarkan tindakannya pada civics virtues yakni sikap yang
menempatkan suatu sikap moral pribadi yang bersedia menempatkan
suatu kebajikan bersama demi kepentingan umum. Sosialisasi ini perlu
dilakukan oleh tokoh-tokoh agama atau tokoh masyarakat yang
berpengaruh baik di mesjid dan gereja serta tempat-tempat ibadah lain
Sumber Referensi
Artasasmita , R . 2002 . Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia , Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, RI , Jakarta
Meirinawati, M., & Prabawati, I. (2015). Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Melalui Citizen's
Charter. Jurnal Administrasi Publik, 12(1)
Rahayu, A Y.S, 2003. Pelayanan Publik dan Penyuluhan Pembangunan. Dalam Ida Yustina , Adjad
Sudrajat,2003 Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan, IPB Press. Bogor
Rivai, A. R. A. (2013). Budaya Kerja Birokrasi Pemerintah dalam Pelayanan Publik. Academica, 5(1).
Tamar, M. A., Pangemanan, S., & Tompodung, J. (2017). ETIKA PEMERINTAHAN DALAM
MENINGKATKAN KINERJA APARATUR SIPIL NEGARA. EKSEKUTIF, 1-12.