Anda di halaman 1dari 20

Nama : Rahma Safitri

NPM :1816041022
Kelas : Reguler B
MK : Etika Administrasi Publik

UJIAN TENGAH SEMESTER

1. Buatlah analisis persamaa dan perbandingan definisi etika administrasi public serta
sajikan kedalam bentuk table.
 Menurut pasolog etika administrasi publik diartikan sebagai filsafat dan
propesional standar (kode etik) atau right rules of conduct (aturan berprilaku
yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan public atau
administrasi public.
 Etika administrasi publik merupakan salah satu wujud kontrol terhadap
administrasi negara/publik dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas
pokok, fungsi dan kewenangannya.
 Menurut  Chandler & Plano, etika administrasi public diartikan dengan aturan
atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator
publik dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat
 Menurut Drs. H. Burhanudin Salim Etika administrasi publik adalah aturan
yang berprilaku yang berbicara tentang nilai-nilai dan norma yang dapat
menentukan perilaku manusia dalam kehidupannya.
 Etika administrasi publik, atau versi Denhart menyebutnya etika dalam
pelayanan publik mempunyai sebuah sasaran untuk membentuk perilaku dan
pola pikir dari seorang aparatur negara yang memahami tugas dan fungsi
sebagai abdi dari masyarakat dan abdi negara sehingga mampu mencapai
Good Government sebagai proses pencapaian tujuan negara karena tugas
administrasi negara adalah menjalankan tugas umum pemerintahan dan tugas
umum pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
 Pengertian etika pemerintahan menurut Nurdin (2017:11) bahwa etika
pemerintahan merupakan ajaran untuk berperilaku baik dan benar sesuai
dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia.
Dari keenam definisi etika administrasi public diatas dapat disimpulkan
persamaan dan berperbedaan definisi keenam tersebut sebagai berikut.

Persamaan Perbedaaan
Dari keenam definisi terdapat Dari keenam definisi terdapat
kesamaan antara lain Etika perbedaan definisi antara lain Etika
administrasi publik adalah aturan administrasi public adalah aturan
atau standar pengelolaan, arahan yang berprilaku dan berbicara
moral bagi anggota organisasi atau tentang nilai-nilai dan norma yang
pekerjaan manajemen serta aturan dapat menentukan perilaku manusia.
atau standar pengelolaan yang bagaimana membuat keterkaitan
merupakan arahan moral bagi keduanya. Bagaimana gagasan
administrator publik dalam administrasi seperti
melaksanakan tugasnya melayani efisiensi,ketertiban, kemanfaatan,
masyarakat.Aturan atau standar produktifitas dapat menjawab etika
dalam etika administrasi negara dalam prakteknya. Serta bagaimana
tersebut terkait dengan kepegawaian, gagasan dasar etika dapat
perbekalan, keuangan, mewujudkan yang baik dan
ketatausahaan, dan hubungan menghindari hal yang buruk itu
masyarakat. dapat menjelaskan hakekat
administrasi. Diperlukan etika dalam
administrasi karena ini akan
memberikan contoh yang baik, sebab
setiap orang sebenarnya memiliki
kesadaran masing-masing namun
tidak pernah menerapkan dalam
kehidupan sehari-har

Sumber Referensi
nureni, s. (2018). penerapan etika administrasi publik sebagai upaya dalam mewujudkan goog
governance.

Rudiyansyah, S., & Dahlan, S. P. (2018). Etika Administrasi Publik: Public Administration Ethics (Vol.
1). SAH MEDIA

ismanto, I. (2012). REVITALISASI ETIKA ADMINISTRASI SEBAGAI MANIFESTASI PARADIGMA “NEW


PUBLIC SERVICE” DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN. Jurnal Administrasi Publik Volume 3,
Nomor 1, Juni 2012, 3(1).

sadhana, k. (2010). etika birokrasi dalam pelayanan publik. malang: citra malang.

saputri, k. (2018). etika pemerintahan dalam pelayanan publik.

Tri, Y. (2018). ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK


Nama : Rahma Safitri
NPM :1816041022
Kelas : Reguler B
MK : Etika Administrasi Publik

2. Sebutkan dan jelaskan legitimasi-legitimasi yang menjadi dasar etika administrasi


public!
 Legitimasi Sosiologis
Legitimasi sosiologis, atau lebih tepat “paham sosiologis tentang legitimasi”,
mempertanyakan mekanisme motovatif mana yang nyata-nyata membua
masyarakat mau menerima wewenang penguasa. Sejauh sosiologi membatasi
diri pada penggambaran fungsi-fungsi yang terdapat dalam masyarakat,
sosiologi mangajukan pertanyaan apakah, dan karena motivasi manakah, suatu
tatanan kenegaraan nyata-nyata diterima dan disetujui oleh sebuah
masyarakat. Max Weber dalam Wahyudi, mengemukakan adanya tiga corak
legitimasi sosiologis melalui konsepsinya tentang “domination” dalam
masyarakat. Pertama adalah kewenangan tradisional(traditional domination),
bahwa kekuasaan untuk mengambil keputusan umum diserahkan kepada
seseorang berdasarkan keyakinan-keyakinan tradisional. Seperti kekuasaan
diserahkan kepada keturunan bangsawan tertentu. Kedua adalah kewenangan
kharismatik, yang mengambil landasan pada kharisma pribadi seseorang
sehingga ia dikagumi dan dihormati oleh khalayak. Ketiga, kewenangan
“legal-rasional” yang mengambil landasan dari hukum-hakum formal dan
rasional bagi dipegangnya kekuasaan oleh seorang pemimpin.
 Legitimasi Etis
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari
segi-segi norma moral. Legitimasi itu muncul dalam dua konteks. Pertama,
setiap tindakan negara, entah legislatif, entah eksekutif dapat (dan harus)
dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Penanyaan itu merupakan unsur
penting dalam pengarahan kekuasaan ke pemakaian kebijakan dan cara-cara
yang semakin sesuai dengan tuntutan kemanusian yang adil dan beradab
Legitimasi etis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak menyangkut
masing-masing kebijakan dan kekuasaan politik, melainkan dasar kekuasaan
politis itu sendiri. Bukan norma hukum masing-masing, melainkan sistem
hukum sendiri sebagai tata tertib penataan normatif kehidupan masyarakat
dipersoalkan. Ditanyakan hukum macam apa yang secara moral, dilihat dari
segi prinsip-prinsip moral, berhak untuk menuntut ketaatan dan mana yang
tidak. Tuntutan legitmasi etis harus juga dibataskan terhadap dua bentuk
legitimasi yaitu: legitimasi prakmatis dan legitimasi ideologis Pragmatisme
(murni) menolak tuntutan legitmasi etis sebagai abstrak dan ideologis. Ia
menempatkan masalah kekuasaan ke dalam kerangka pemecahan masalah.
Dalam kerangka itu, legitmasi etis dipahami sebagai tuntutan agar masalah-
masalah dipecahkan sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Itulah yang ditolak
oleh pragmatisme sebagai abstrak pragmatisme, suatu pemecahan masalah
adalah tepat apabila berhasil untuk menghilangkan keresahan yang
menjadikan situasi itu dianggap masalah. Inilah etika pragmatism. Pendekatan
ideologis dibedakan dari pendekatan etis oleh karena ideologi sendiri yang
mendasarinya tidak boleh dipertanyakan. Seorang ideolog hanya
mempertanyakan apakah suatu kebijakan sesuai atau tidak dengan
ideologinya, tetapi ideologi sendiri harus mutlak diterima. Sebaliknya, etika
politik tidak bersifat mutlak, melainkan selalu dapat dan harus dipertanyakan
dengan mengacu pada prinsip-prinsip moral dasar yang sendiri kebal terhadap
penyalahgunaan ideologis karena tidak dapat dipakai untuk membenarkan
kebijakan-kebijakan konkret. Pendekatan ideologis merupakan pendekatan etis
yang defisien atau cacat karena menutut ketaatan buta terhadap suatu ajaran
dan dengan demikian justru meniadakan kemungkinan pertanggungjawaban
etis Legitimasi etis mempunyai kekhasannya tersendiri dari bentuk-bentuk
legitimasi lainnya. Untuk memahami hakikat legitimasi etis maka diperlukan
beberapa pembedaan antara legitimasi etis dan legalitas dan juga pembedaan
antara legitimasi etis dan
legitimasi sosiologis.
Sumber Referensi
Dr. Drs. Ismail, M. (2017). Etika Pemerintahan. Bantul: Lintang Rasi Aksara Books.

DIRLANUDIN, D. (2008). LEGITIMASI SOSIOLOGIS DAN LEGITIMASI ETIS HASIL PROSES DEMOKRASI.
Jurnal NIAGARA, 1(2), 1-18

jeujanan, w. (2015). PERANAN ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK (Sebuah Kajian Teoritis). Jurnal
Ilmu Administrasi dan Sosial “Societas”, 1-17.

Hernawan, D. (2004). Legislasi Etik: Sebuah Alternatif Solusi Bagi Legitimasi Baru Legislatif. Jurnal
Administrasi Publik, 3(1).

ode Harjudin, L. ANTARA LEGITIMASI PEMERINTAH DAN KEPATUHAN MASYARAKAT. Jurnal


Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial, 1(1), 90-97

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta, PT Raya Grafindo Persada,2002


Nama : Rahma Safitri
NPM :1816041022
Kelas : Reguler B
MK : Etika Administrasi Publik

3. Deskripsikan praktik etika administrasi public dan sertakan berbagai contoh praktik
baik dan buruk!

 Praktik Etika Administrasi Publik


Nilai-nilai etika bukan hanya sekedar suatu keyakinan yang dipegang secara
pribadi oleh seseorang / individu, namun etika harus menjadi acuan dan
pedoman dalam bertindak baik dalam bermasyarakat maupun kelembagaan.
Dalam etika administrasi publik, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui
penerapan nilai-nilai etika, seorang administrator publik akan dapat
membentuk moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya untuk melayani
masyarakat. Administrator publik yang memegang nilai-nilai etika yang
tinggi, akan senantiasa berupaya menjaga dirinya agar dapat terhindar dari
perbuatan yang menyalahi aturan, karena mempunyai komitmen yang tinggi
untuk menjalankan tanggung jawab dan tugas yang diberikan. Etika sangat
berkaitan erat dalam rangka pencapaian good governance. Salah satu
permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu masih
adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para administrator
publik, maka dari itu diperlukan adanya nilai-nilai etika yang menjadi
pedoman dan harus dipegang teguh oleh para administrator publik dalam
rangka pencapaian good governance. Hal yang paling terpenting adalah bahwa
dengan penerapan etika administrasi publik dengan optimal tidak hanya
mempengaruhi satu individu saja tapi juga akan memberikan dapat positif bagi
masyarakat luas khususnya dalam rangka mewujudkan good governance.
Adanya tuntutan peningkatan dalam hal kualitas pelayanan publik dari
masyarakat harus diiringi dengan upaya perbaikan sistem pelayanan publik
yang berkualitas sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal terhadap
masyarakat, dengan adanya perbaikan tersebut diharapkan tidak akan timbul
kesenjangan antara standar yang telah ditentukan dengan kualitas pelayanan
yang diberikan oleh aparatur terhadap masyarakat. Memberikan pelayanan
publik yang efektif dan efisien menjadi suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh aparatur sebagai administrator publik untuk dapat
memenuhi hak-hak masyarakat dalam berbagai bentuk pelayanan publik baik
berupa barang maupun jasa dan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan kebutuhan masyarakat dalam rangka pencapaian kesejahteraan
masyarakat. Pencapaian good governance perlu mengedepankan nilainilai dan
prinsip-prinsip etika yang menjadi acuan dalam berprilaku sehingga dengan
demikian dapat tercapainya pelayanan publik yang optimal. Pemerintah
Indonesia melalukan berbagai usaha dalam rangka mewujudkan good
governance yang diyakini dengan hal tersebut mampu memperbaiki kinerja
pemerintahan demi menuju cita-cita pembangunan. Pelanggaran etika yang
dilakukan para aktor administrasi publik membuat hal tersebut terdegradasi di
mata publik. Maka dari itu pentingnya etika dalam proses pencapaian good
governance. Dengan kata lain, tanpa adanya etika, upaya dalam mewujudkan
good governance akan terhambat dalam mencapai tujuan meskipun secara
konsep sudah dirancang dan dibentuk dengan sebaik mungkin. Berbagai
permasalahan yang mencul dalam penyelenggaraan pemerintah seperti
maraknya kasus korupsi yang massif serta sejumlah kasus lainnya. Hal
tersebut mencerminkan bahwa tidak adanya nilai -nilai etika yang tetanam
pada diri aparatur. Tanpa adanya penerapan nilai-nilai etika yang jelas,
pelaksanaan good governance tidak akan berjalan dengan baik.

 Contoh praktik etika administrasi public yang buruk


pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik itu
sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek,
yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang
mendukung,dan kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik
berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut
a. Sukar Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh
dari jangkauan masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang
memerlukan pelayanan publik tersebut.
b. Belum informatif.Informasi yang disampaikan kepada masyarakat
cenderung lambat atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
c. Belum bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi
masyarakat.Biasanya aparat pelayanan publik belum bersedia
mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Sehingga,
pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa
ada perbaikan dari waktu ke waktu
d. Belum responsif.Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line)
sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi.Tanggapan
terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat
seringkali lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
e. Belum saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan
satu dengan lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering
terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu
instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
f. Tidak Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam
pelayanan perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan
pelayanan yang diberikan.
g. Birokrasi yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan)
pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai
tingkatan, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu
lama.

Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf


pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil,
dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan
penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang
terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai
masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya adalah
berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai
pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu
dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan
dengan kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang
tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada
masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-
belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan
dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih
sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan
publik menjadi tidak efisien. Banyaknya korupsi dalam pelayanan publik
seperti adanya pungutan liar, gratifikasi dan lain sebagainya, sering kali terjadi
karena pengaruh budaya organisasi negatif yang sudah terbentuk secara masif,
sistem matis dan terstruktur sehingga mau tidak mau aparatur larut dalam
penyimpangan tersebut, sungguh ironis ketika ada aparatur yang tidak mau
mengikuti penyimpangan tersebut justru dianggap beda dan dapat dipastikan
akan dikucilkan dalam lingkungan pergaulan birokrasi tersebut, oleh karena
itu diperlukan penegakan aturan hukum serta pembentukan karakter aparatur
yang memiliki integritas tinggi ditunjukkan dengan sikap berani menolak
korupsi terlebih lagi berani melaporkan korupsi yang dijumpainya. Peran
pelapor atau penyingkap korupsi sangat membantu dalam menyingkap
informasi kepada publik tentang adanya penyimpangan, pelanggaran hukum
dan etika, korupsi atau situasi berbahaya lainnya. Dia menjadi mata pisau yang
tepat untuk dapat meminimalisasi tindakan korupsi, dapat memberikan
tekanan-tekanan terhadap lembaga hukum yang sangat rentan dengan
permasalahan korupsi, namun sulit terjamah oleh hukum, dikarenakan
pemahaman esprit de corps yang telah terbangun secara turun temurun.
Realitanya seringkali Esprit de corps dimaknai sebagai semangat untuk
menyelamatkan dan menutupi keburukan institusi dengan cara apapun,
tentunya menjadi sulit bagi hukum untuk mencoba masuk kedalam wilayah-
wilayah kekuasaan yang tercipta dilingkungan institusi tersebut. Di level inilah
peran dari penyingkap korupsi menjadi penting. Keboborakan sebuah institusi
dapat terdeteksi oleh mereka yang terdekat dengan lingkungan tersebut.
Budaya birokrasi masih memposisikan para pegawai untuk tidak melaporkan
kesalahan yang dilakukan oleh atasannya atau merahasiakan sesuatu yang
salah didalam institusi tersebut. Budaya pegawai yang ada sering khawatir jika
harus berhadapan dengan konsekuensi logis berupa “pembalasan” seperti:
kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan promosi jabatan, atau
"dimusuhi" oleh rekan-rekan sekerjanya membuat mereka lebih memilih untuk
berdiam diri. Budaya birokrasi yang ada harus mengadopsi nilai-nilai budaya
yang melingkupinya

 Contoh praktik etika administrasi public yang baik


Etika pelayanan kepada publik (masyarkat umum) memang sangat diharapkan,
karena etika tersebut kini mulai luntur oleh perbuatan para pelayan masyarakat
(aparatur pemerintah) yang kurang menjunjung kode etika pelayanan kepada
masyarakat. Terbukti dengan adanya perbuatan nakal para oknum aparatur
pemerintah yang melakukan beberapa kecurangan yang diantaranya
melakukan pemungutan kepada masyarakat yang menginginkan kelebihan
pelayanan, seperti mempercepat penyelesaian pembuatan KTP namun dengan
cara membayar uang balas jasa mereka. Perbuatan tersebut tidak seharusnya
dilakukan karena bertentangan dengan norma yang sudah ada.Walau mungkin
etika pelayanan kepada publik belum disebutkan secara jelas, namun etika
pelayanan publik dapat dilakukan sesuai dengan hati nurani. Karena dengan
hati nurani kita dapat membedakan yang mana yang baik dan yang mana yang
buruk, dengan adanya pelayanan yang baik diharapkan masyarakat dapat
merasakan kenyamanan dalam pelayanan. Pelayanan publik masih memiliki
banyak kelemahan dilihat dari pola penyelenggaraan yang masih sukar
diakses, belum informatif, belum bersedia mendengar aspirasi masyarakat,
belum responsif, belum saling berkoordinasi, tidak efisien, maupun birokrasi
yang berteletele. Sumber daya manusia penyelenggara pelayanan publik masih
belum memiliki profesionalisme, kompetensi, empati, dan etika yang
memadai. Desain organisasi yang penuh dengan hierarkis sehingga pelayanan
menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi.
Sumber Referensi

Bayu Suryaningrat, Etika Administrasi Negara, Etika Pemerintahan, Etika Jabatan, Bandung : Pustaka,
1984.

Keban Yeremias, 2008. Enam Dimensi Strategi Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, Gava
Media, Yogyakarta.

Kurniawati, D., Syafi’i, A., & Widiyanto, M. K. (2018). PENERAPAN ETIKA ADMINISTRASI DALAM
RANGKA MENGEMBANGKAN KUALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DI KECAMATAN PABEAN
CANTIAN KOTA SURABAYA (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945).

Nuraini, S. (2020). PENERAPAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK SEBAGAI UPAYA DALAM MEWUJUDKAN
GOOD GOVERNANCE. Jurnal Ilmiah Magister Administrasi, 14(1)

Sarimah,Ucok.2008.”Etika Profesi Pegawai Negeri Sipil Departemen Keuangan Republik


Indonesia”.Tangerang: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta, PT Raya Grafindo Persada,2001


Nama : Rahma Safitri
NPM :1816041022
Kelas : Reguler B
MK : Etika Administrasi Publik

4. Etika secara empiris dihadapkan pada situasi komplikasi dan dilematis terkait dengan
para penganut norma absolutisme vs relativisme dan adanya hierarki etika. Jelaskan
makna dan sertakan contohnya terkait pernyataan di atas!
 Absolutisme vs Relativisme
Dalam sistem administrasi publik atau pelayanan publik telah dikenal norma
yang bersifat absolut dan relatif diterima orang. Norma yang bersifat absolut
cenderung diterima atau dapat dianggap sebagai universal rules. Norma ini ada
dan terpelihara sampai saat ini di hampir semua masyarakat di dunia, yang
berfungsi sebagai penuntun perilaku dan standar pembuatan keputusan. Kaum
deontologis (salah satu pendekatan dalam etika) menilai bahwa norma-norma
ini memang ada hanya saja manusia belum sepenuhnya memahami, atau
masih dalam proses pemahaman. Norma ini biasanya bersumber dari ajaran
agama, filsafat hidup dan perlu dipertahankan karena memiliki pertimbangan
atau alasan logis untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan. Misalnya dalam
pelayanan publik diperlukan norma tentang kebenaran (bukan kebohongan),
pemenuhan janji kepada publik, menjalankan berbagai kewajiban, keadilan,
dan lain-lain, merupakan justifikasi moral yang semakin didukung masyarakat
di mana-mana. Melalui proses konsensus tertentu, norma tersebut biasanya
dimuat dalam konstitusi kenegaraan yang daya berlakunya relatif lama.
Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat digolongkan sebagai kaum
absolutis. Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan
norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum relativis. Kaum teleologist
(salah satu aliran /pendekatan dalam etika relativis) mengemukakan bahwa
tidak ada “universal rule”. Suatu norma dapat dikatakan baik apabila memiliki
konsekuensi atau outcome yang baik, yang berarti bahwa harus didasarkan
pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai-nilai
yang bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila
diuji dengan kondisi atau situasi tertentu. Kaum teleologis berpendapat bahwa
tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal, kalau belum
diuji atau dikaitkan dengan konsekuensinya. Implikasi dari adanya dilema
tersebut, maka sulit memberi penilaian apakah aktor – aktor pelayanan publik
telah melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada
keyakinannya apakah tergolong absolutis atau relativis. Hal yang demikian
barangkali telah menumbuhkan suasana KKN di negeri kita. Persoalan moral
atau etika akhirnya tergantung kepada persoalan “interpretasi” semata.
 Hirarki Etika
Pelayanan publik mempunyai empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral
pribadi, yaitu pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat dan
pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma
atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah
etika organisasi, yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan
tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang
bersangkutan. Keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun
perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan
anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara. Hierarki etika justru
cenderung membingungkan aktor pelayanan publik, karena nilai etika dari
keempat tingkatan ini saling bersaing. Misalnya, fungsi penempatan, bila
atasan dipengaruhi oleh etika sosial, maka atasan akan mendahulukan orang
yang berasal dari daerah yang sama sehingga sering menimbulkan kesan
adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bila atasan didominasi oleh
etika organisasi, atasan barangkali akan melihat yang berlaku dalam
organisasi, seperti sistem “senioritas” atau bisa jadi atasan didominasi oleh
system merit, yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling
berprestasi. Persoalan moral atau etika dalam konteks ini akhirnya tergantung
kepada tingkatan etika yang paling mendominasi keputusan aktor kunci
pelayanan public. Sejalan dengan penilaian tersebut, Jabbra dan Dwivedi
(1989) mengatakan bahwa untuk menjamin kinerja pegawai sesuai dengan
standar dan untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat
pemerintah, maka aparat harus mampu mengembangkan lima macam
akuntabilitas, yaitu Pertama, akuntabilitas administratif (organisasional).
Akuntabilitas administratif diperlukan karena ada hubungan hirarkis
pertanggungjawaban yang tegas antara pusat dengan unit-unit di bawahnya.
Hubungan hirarkis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam
aturan organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk
hubungan informal. Kedua, akuntabilitas legal. Akuntabilitas legal adalah
bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan administratif dari birokrat Ketiga,
akuntabilitas politik. Birokrat pelayanan publik menjalankan tugasnya
mengikuti kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur,
menetapkan prioritas, pendistribusian sumber dan menjamin kepatuhan
pelaksanaan perintah. Pejabat politik juga harus menerima tanggung jawab
administratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan
tugas dengan baik. Keempat, akuntabilitas profesional. Semakin meluasnya
profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional berharap dapat
memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas dan dalam
melayani kepentingan publik. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara
kode etik profesinya dengan kepentingan publik dan jika ada kesulitan
mempertemukan keduanya, maka mereka harus lebih mengutamakan
akuntabilitasnya kepada kepentingan publik. Kelima, akuntabilitas moral.
Setiap tindakan birokrat selain didasarkan pada konstitusi dan peraturan
hukum, harus dilengkapi juga dengan prinsip moral dan etika yang diterima
oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang profesional.

Sumber Referensi

HARIFANKA, R. (2017). PENGARUH HIRARKI KEBUTUHAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI KANTOR


KECAMATAN SUKAJADI BANDUNG (Doctoral dissertation, PERPUSTAKAAN)

Martins, Jr (ed). 1979. Professional Standards and Ethics. Washington, DC: ASPA Publisher

Nurcahyo, I. O., & Ahmar, N. (2012). Idealisme, Relativisme, Dan Kreativitas Akuntan. The Indonesian
Accounting Review, 2(1), 73-90.
Purnama, F. F. (2018). Mengurai Polemik Abadi Absolutisme dan Relativisme Etika. Living Islam:
Journal of Islamic Discourses, 1(2), 273-298.

sadhana, k. (2010). etika birokrasi dalam pelayanan publik. malang: citra malang.

Tamar, M. A., Pangemanan, S., & Tompodung, J. (2017). ETIKA PEMERINTAHAN DALAM
MENINGKATKAN KINERJA APARATUR SIPIL NEGARA. EKSEKUTIF, 1-12.

Nama : Rahma Safitri


NPM :1816041022
Kelas : Reguler B
MK : Etika Administrasi Publik

5. Identifikasi dan jelaskan berbagai solusi untuk memperbaiki kondisi buruknya etika
administrasi publik di Indonesia!
 Upaya Perbaikan melalui Pemberantasan Korupsi.
Pope (2003) menjelaskan sebuah survey mengenai anatomi korupsi di New
South Wales, Australia 1994 tentang prilaku pejabat publik sehubungan
dengan korupsi antara lain menjelaskan faktor yang mengurangi kemauan
orang dalam menangani korupsi adalah :
a. Prilaku bersangkutan dapat dibenarkan dalam situasi bersangkutan
b. Keyakinan bahwa tidak ada gunanya melaporkan korupsi, karena tidak
akan ada tindakan apapun yang akan diambil
c. Keyakinan tersebut bukan prilaku korupsi
d. Takut akan mendapatkan balasan secara pribadi (kedudukan yang
rendah dalam organisasi)
e. Persepsi pegawai bersangkutan tentang hubungannya dengan pelaku
dan atasan dan
f. Keragu-raguan apakah buktibuktinya cukup. Sedangkan bidang-
bidang kegiatan pemerintahan yang dijangkiti korupsi antara lain:
Pengadaan barang dan jasa publik, penetapan batas-batas tanah,
pengumpulan pemasukan, pengangkatan pegawai pemerintah dan tata
pemerintahan setempat.

Caranya yang digunakanpun sama yakni: kronisme (perkoncoan), koneksi,


anggota keluarga; korupsi politik melalui sumbangan dana untuk kampanye
politik dan sebagainya; uang komisi bagi kontrak pemerintahan dan
(subkontrak jasa konsultan) dan berbagai ragam penggelapan. Dengan
men”diagnosis” poin-poin penyebabnya, kiranya dapatlah disusun solusi
alternatif yang mungkin dilakukan untuk memberantas korupsi baik melalui
pengawasan, upaya penegakan hukum melalui berbagai lembaga peradilan.
Sudah tentu harus diawali dengan kemauan politik pemerintah. Cara yang
perlu dilakukan dalam mendekatkan Recent Status berupa campur tangan
politik yang tinggi yang berimplikasi terhadap manipulasi dan penyalah
gunaan wewenang/jabatan dan New Expected Values berupa perbaikan
pelayanan publik melalui pemberantasan korupsi, manipulasi dan penyalah
gunaan wewenang maka ditempuh strategi intervensi sebagai berikut :

a. Kampanye anti korupsi , yang bertujuan memberi kesadaran kepada


rakyat mengenai pengaruh dan dampak bahaya korupsi bagi
peningkatan pembangunan dalam berbagai bidang terutama dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan melibatkan berbagai
lembaga seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), Lembaga anti
korupsi, komite penanganan korupsi, lembaga peradilan, tokoh-tokoh
agama, masyarakat, pers, Ombushman, KPKPN. Kampanye ini
memberi penekanan pada upaya. pembangunan budaya dalam rangka
mengurangi bentuk-bentuk korupsi, suap, uang pelicin, manipulasi
dan penyalah gunaaan jabatan.
b. Gerakan sosial (social movement) untuk menanggulangi korupsi yang
bertujuan memberi wawasan kepada masyarakat mengenai dampak
korupsi terhadap pembangunan moral dan martabat bangsa . Gerakan
ini dilakukan oleh tokoh-tokoh pers, tokoh agama melalui lembaga
pers media massa cetak, elektronik dan media lain seperti mesjid,
gereja , vihara. Dalam bentuk aksi sosialisasi tentang bagaimana
bahaya korupsi terhadap masa depan dan keadaan moral dan etik
bangsa. Dalam sosialisasi ini media massa harus selalu
memperlihatkan melalui acara televise, atau media cetak tentang
kasus-kasus korupsi yang akan diadili , yang sementara diadili dan
yang dijatuhi hukuman. Harus diupayakan substansinya bahwa
korupsi, suap,manipulasi adalah tindakan yang sangat memalukan dan
menjatuhkan martabat manusia sehingga rakyat merasa jijik
karenannya.
c. ‘Capacity Buliding’ untuk memperkuat lembaga anti korupsi seperti
komite anti korupsi, ombushman, KPKPN, LSM anti korupsi,
lembaga agama perduli korupsi dsb. Lembaga-lebga ini nantinya akan
selalu menjadi lembaga control yang selalu mengawasi gerak-gerik
pelayanan publik
d. Penguatan Norma dan modal sosial melalui penguatan terhadap
pelaksanaan aturan pada semua tingkat birokrasi pemerintahan. Di
samping itu, perlu pula dilakukan penguatan bagi norma tradisional
yang memberi penekanan pada rasa malu, taat aturan, tenggang rasa
pada kepentingan orang lain, kejujuran dan sebagainya, Salurannya
adalah organisasi pemerintahan dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Harus tercipta budaya baru yang anti korupsi, perduli terhadap upaya-
upaya pemberantasan terhadap penyalah gunaan wewenang, segala
bentuk manipulasi dan sebagainya.
e. Penegakkan hukum, advokasi dan kontrol dari masyarakat yang
menitik beratkan pada wilayah-wilayah penting yang rawan korupsi
pengadaan barang kostruksi, pekerjaan umum, pengadaan jasa militer ,
pengadaan barang dan jasa pemerintah, polisi, peradilan , pajak dan
bea cukai, perizinan, partai politik dan DPR dan selanjutnya dititik
beratkan pula pada gerakan dan cara korupsi berkembang seperti
kronisme (perkoncoan), koneksi, korupsi melalui anggota keluarga
korupsi politik melalui sumbangan dana untuk kampanye politik dan
sebagainya; pada uang komisi bagi kontrak pemerintahan dan
(subkontrak jasa konsultan) dan berbagai ragam penggelapan.

 Upaya perbaikan melalui perbaikan standar moral dan etika pegawai /pejabat
publik.
a. Penguatan Norma dan aturan yang berkenaan dengan tugas pelaksana
dan pejabat publik melalui berbagai macam kegiatan seperti extention
education,pelatihanpelatiha,workshop,seminar, symposium,
exsecutive training dan sebagainya. Gerakan ini perlu dilakukan mulai
dari birokrasi tingkat pusat sampai kepelosok daerah, mulai dari
pegawai tinggi sampai kepada pegawai menengah dan rendah. Pesan
penting yang perlu dikembangkan adalah memberikan kesadaran
kepada pegawai/ pejabat publik tentang tata kerja dan cara kerja baru
yang lebih baik yang dapat meberikan kesejahteraan kepada
masyarakat karena pada hakekatnya keberadaan mereka adalah untuk
melayani masyarakat . Bila pegawai/ pejabat mmelakukan hal tersebut
maka akan tercipta kondisi kerja yang lebih baik, tidak saling curiga
atau tidak saling sekongkol yang pada akhirnya menimbulkan
kecemasan dan kegelisahan. Pesan yang disampaikan agar pegawai
sadar untuk selalu mengemban amanat, jujur, memiliki integritas
punya rasa tanggung jawab memiliki loyalitas, taat hukum dan dapat
berlaku adil karena sifat–sifat tersebut memberikan kepada mereka
martabat, pujian dan kehormatan ketimbang sebagai “bandit atau
pecundang”
b. Capacity Building(penguatan kelembagaan) Administrasi
pemerintahan baik pada tingkat pengambilan kebijakan, perencana
maupun pada petugas garis depan (front liner) dengan menitik
beratkan pada pesan-pesan moral yang mendudukan pegawai sebagai
penyelamat kepentingan bangsa, negara dan rakyat melalui etika dan
cara-cara kerja yang benar.
c. Sosialisasi tentang moralitas publik melalui media massa cetak,
elektronik sampai media tradisional guna membangun kebiasaan atau
budaya yang selalu menekankan pada kejujuran, kebajikan, kearifan
serta bersedia berprilaku baik, sadar dan patuh pada hukum serta
mendasarkan tindakannya pada civics virtues yakni sikap yang
menempatkan suatu sikap moral pribadi yang bersedia menempatkan
suatu kebajikan bersama demi kepentingan umum. Sosialisasi ini perlu
dilakukan oleh tokoh-tokoh agama atau tokoh masyarakat yang
berpengaruh baik di mesjid dan gereja serta tempat-tempat ibadah lain

 Upaya perbaikan etika pelayanan public melalui peningkatan profesionalisme


pegawai
a. Melakukan Pendidikan dan Pelatihan baik formal maupun informal
dalam rangka mengembangkan etika professional dari
pegawai/pejabat publik yang selalu memandang masyarakat adalah
pelanggan yang harus dilayani dan selalu menyediakan pelayanan
yang bermutu dan memuaskan. Upaya ini melalui saluran pendidikan
formal kedinasan, Non formal seperti diklat, pendidikan penjenjangan
karir, dan pendidikan dan pelatihan lainnya, sasarannya kepada
seluruh pegawai mulai dari pejabat tinggi sampai kepada pegawai
paling rendah
b. Melakukan penyadaran tentang bagaimana penting bekerja dengan
benar sesuai kaidah dan aturan yang benar pada seluruh jajaran
birokrasi pemerintahan mulai dari pejabat tinggi sampai kepada
pegawai yang paling rendah, melalui pelatihan, extention education,
executive training, sosialisasi dsb. tentang pelayanan yang berkualitas
seperti menitik beratkan pada suasana kerja dan penampilan pekerja
atau aparat, khandal dalam pelayanan dengan penguasaan yang baik,
memiliki tanggung jawab dengan memberi kepuasan serta mampu
mendengar keluhan masyarakat,dapat dipercaya bahwa tidak ada suap,
tip atau korupsi serta memberi pelayanan dengan ramah, tulus dan
penuh kesungguhan
c. Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pejabat dengan menaikkan
gaji mereka, agar mereka dapat bekerja lebih tenang , lebih beradab
dan lebih memiliki rasa harga diri dan kebanggaan.Dengan demikian
dengan kesejahteraan tersebut, akan tercipta pegawai dalam pelayanan
publik yang memiliki martabat, tahan terhadap godaan yang bersifat
jangka pendek .Oleh karena itu perlu dilaksanakan secara konsisten
PP No 8 tahun 2003 tentang Restrukturisasi dan Reformasi lembaga-
lembaga birokrasi pusat sampai ke daerah-daerah dalam rangka
memberdayakan birokrasi melalui penggabungan, pengurangan bahkan
penghapusan lembaga yang tidak efektif . Demikian pula jumlah PNS
yang jumlah demikian banyak perlu ditinjau kembali, bila perlu
dilakukan rasionalisasi.Saran Djohan Effendi mengenai pengurangan
jumlah pegawai secara besar-besaran perlu menjadi bahan pemikiran .
Sebagian dari jumlah pegawai dirumahkan (bukan di PHK). Artinya
mereka tidak diberhentikan, hanya di non aktifkan. Gaji mereka yang
dirumahkan tetap dibayar sampai masa persiun tiba. Asuransi
kesehatan yang berlaku bagi pegawai negeri juga tetap diberlakukan
untuk mereka. Dengan merumahkan sebahagian besar pegawai negeri
akan terjadi penghematan listrik, ruangan, alat-alat perkantoran,
kendaraan dan sebagainya. Tentu di antara mereka yang dirumahkan
masih banyak yang berusia produktif. Untuk mereka seyogianya
membuka lapangan kerja baru. Selain memudahkan untuk memperoleh
kredit, prosedur untuk memperoleh izin usaha harus disederhanakan,
diperlancar dan dipersingkat tanpa pungutan liar yang telah
membudaya di masyarakat. Untuk satu tahun pertama mereka diberi
keringanan pajak Mereka yang masih dipekerjakan adalah adalah
mereka yang memang diperlukan dan harus dibayar dengan gaji yang
mencukupi keperluan hidup mereka yang wajar. Dengan demikian
diharapkan birokrasi kita cukup ramping dan gesit melayani
kepentingan masyarakat. (Djohan Effendi, 2003)

Sumber Referensi
Artasasmita , R . 2002 . Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia , Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, RI , Jakarta

Meirinawati, M., & Prabawati, I. (2015). Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Melalui Citizen's
Charter. Jurnal Administrasi Publik, 12(1)

Pope, J. 2003 . Strategi Memberantas Korupsi . Elemen Sistem Intgritas Nasional,Tranparency


International Indonesia dan yayasan Obor Indonesia , Jakarta

Rahayu, A Y.S, 2003. Pelayanan Publik dan Penyuluhan Pembangunan. Dalam Ida Yustina , Adjad
Sudrajat,2003 Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan, IPB Press. Bogor

Rivai, A. R. A. (2013). Budaya Kerja Birokrasi Pemerintah dalam Pelayanan Publik. Academica, 5(1).

Tamar, M. A., Pangemanan, S., & Tompodung, J. (2017). ETIKA PEMERINTAHAN DALAM
MENINGKATKAN KINERJA APARATUR SIPIL NEGARA. EKSEKUTIF, 1-12.

Anda mungkin juga menyukai