Anda di halaman 1dari 26

TUGAS MAKALAH

UJIAN TENGAH SEMESTER

“Implementasi Etika Administrasi Publik Terkait Perannya Dalam


Mewujudkan Good Governance”

Nama : ROSA ANGGELINA, S.IP


NIM : E2072221015
Semester : 3
Program Studi : Ilmu Administrasi Publik
Mata Kuliah : Etika Administrasi dan Birokrasi Publik
Dosen Pengampu : Dr.S.Y.Pudjianto, M.Si

MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan YME, karena rahmat dan karunia-Nya kami masih
diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada
teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga selesainya makalah ini dapat
bermanfaat bagi teman-temansekalian. Amin.

Pontianak, Oktober 2023

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Akhir-akhir ini tampil dalam berita–berita fenomenal yang mengungkap kasus-kasus


korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi baik di lingkungan birokrasi pemerintah,
lembaga legislatif, lembaga-lembaga penegak hukum. Berita terakhir adalah kasus Korupsi
Kementrian Pertanian dan Kasus Korupsi Menara BTS Kementrian Kominfo. Hal ini
menunjukan rendahnya etika administrasi yang dimiliki sehingga kekuasaan disalah gunakan.

Masalah etika dalam administrasi publik menunjukkan kurangmya perhatian atau


dikesampingkannya etika dalam praktek penyelenggaraan administrai publik. Padahal etika
merupakan salah satu unsur yang penting yang menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan
organisasi dan aktor administrrasi publik Sebabnya ialah, karena nilai nilai moral itu terdapat
dalam seluruh proses kegiatan administrasi publik. Mulai dari rancangan struktur organisasi,
perumusan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan serta pelaksanaanpelayanan publik
sarat dengan nilai-nilaietis.
Etika administrasi public ini tentunya memiliki banyak peran dalam mengembangkan
pola pikir sumber daya manusia yakni khususnya para aparat sipil negara demi terwujudnya good
governance. Pegawai negeri sipil sebagai bagian dari aparatur pemerintah adalah aset sumber
daya manusia yang perlu dikembangkan kualitasnya sehingga secara nyata dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya secara efisien dan efektif. Salah satu faktor yang turut menentukan
pengembangan sumber daya manusia bagi aparatur sipil Negara ( ASN ) adalah komitmen
penerapan etika administrasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi mereka dalam pelayanan
publik (masyarakat).

Dengan demikian, etika seorang pemimpin cukup berperan sebagai pedoman dalam
penerapan moralitas pada rangkaian/proses kegiatan penerapan terhadap pekerjaan dalam
organisasi. Etika pegawai akan merupakan pedoman atau standard yang mengatur sikap dan
perilaku orang-orang yang bekerjasama dalam organisasi. Etika pegawai akan menjadi pedoman
dan peraturan yang mengatur pola perilaku pegawai, karena etika pegawai itu sendiri berisi
ajaran-ajaran moral atau ketentuan-ketentuan yang mengatur pola perilaku moral.
Etika pemimpin yang berisi ajaran-ajaran moral yang baik, akan sangat berperan untuk
menciptakan pemimpin yang memiliki kesetiaan dan ketaatan yang tinggi, memiliki semangat
pengabdian, keteladanan, disiplin, kemampuan dan kemantapan sikap mental dalam
menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Karena dengan
pemahaman, penjiwaan dan penghayatan nilai-nilai etika pemimpin itu sendiri, maka diharapkan
dapat menghadapi, mengilhami, menggerakkan dan mengarahkan sikap, perilaku dan perbuatan
serta tutur kata mereka sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas dengan benar.

Organisasi/birokrasi pemerintahan adalah organisasi publik yang berhadapan dengan


masyarakat dalam hal pelayanan publik. Untuk itu, para pemimpin sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat dituntut memiliki sikap dan perilaku yang baik (etis) dan tanggap terhadap tuntutan
dan kebutuhan masyarakat dalam rangka mengefektifkan pelayanan publik itu sendiri. Oleh
karena itu, seorang pemimpin harus memiliki kode etik dalam melayani masyarakat pengguna
jasa publik. Dengan adanya kode etik ini tentunya aparatur pemerintah selaku abdi Negara dan
pelayan masyarakat dapat tidak dibutakan dengan kekuasaan yang cendrung menyampingkan
kepentingan khalayak umum.
2. Rumusan masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil antara
lain :
a. Bagaimana peran etika administrasi public dalam menciptakan good governance?
b. Bagaimana pengaruh etika administrasi public dalam menciptakan good governance?

3. Tujuan Makalah
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini antara lain :
a. Untuk mengetahui peran etika administrasi public dalam menciptakan good governance.
b. Untuk mengetahui pengaruh etika administrasi public dalam menciptakan good
governance.
4. Manfaat Makalah

a. Mengembangkan pengetahuan akan pentingnya nilai etika administrasi yang harus


dimiliki seorang pelayan public untuk menciptakan good governance.
b. Mendorong tumbuhnya sikap untuk senantiasa mengimplementasikan kode etik demi
terwujudnya good governance.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Konsep Etika Administrasi Public

Istilah “Etika”, berasal dati kata Yunani ethos yang berarti “sifat” atau “adat” dan kata jadian
“ta ethika” yang dipakai filsuf Plato dan Aristoteles (384-322 SM) untuk menerangkan studi
mereka tentang nilai-nilai dan cita-cita Yunani. Jadi pertama-tama, etika adalah masalah sifat
pribadi yang meliputi apa yang kita sebut “menjadi orang baik”, tetapi juga merupakan masalah
sifat keseluruhan segenap masyarakat yang disebut “ethos”nya. (Robert Solomon, l987:5)
Menurut Bertens (2001: 6) berdasarkan penjelasan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (l988) dikemukakan tiga arti dari kata etika sebagai berikut. Pertama, kata “etika “
dipakai dalam arti : nilai-nlai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika sebagai kumpulan asas atau
nilai moral , yaitu sebagai kode etik. Ketiga, istilah “Etika” digunakan untuk menunjuk bidang
ilmu, yaitu pengkajian secara reflektif tentang nilai –nilai moral dalam masyarakat dengan
penelitian sistematis dan metodis. Dalam arti ini, maka etika adalah sebagai cabang filsafat yang
menjadikan moralitas sebagai kajiannya atau disebut filsafat moral. Berdasar pembahasan di
atas, maka penggunanaan istilah etika administrasi publik bermakna ganda. Istilah itu dapat
mengacu sebagai bidang studi yaitu ilmu pengetahuan yang membahas prinsip- prinsip etis
(moral) yang mendasari tindakan para aparat birokrasi pemerintahan khususnya dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya.
Di samping itu terdapat pengertian tentang etika administrasi publik sebagai
“seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi
“ sebagaimana dikemukakan antara lain oleh Darwin (l999) dalam Widodo (2001:252).
Selanjutnya Widodo dengan mengacu pada pendapat Bertens (l977) dan Darwin (l999) tentang
pengertian etika manarik kesimpulan bahwa etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua
fungsi. Pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik)
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tidakannya dalam
organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi (Administrasi
Publik) sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik
(Administrasi Publik) dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
a. Kode Etik Dalam Pelaksanaan Administrasi Negara
Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas
administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri
mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses khusus. Akan tetapi
seperti yang telah diuraikan kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika
profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan
perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat
politik. Hal yang pertama-tama perlu diingat bahwa kode etik tidak membebankan sanksi
hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanki
atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya.
Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari
kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan
nilai-nilai filosofis. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota
itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai- nilai ideal
yang diharapkan. Dengn demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-
organisasi yang personalianya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak
terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang
keputusan mengandung konsekuensi moral.
Dalam kode etik itu bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan
organisasi kerena bagaimanapun juga organisasi hanya dapat meraih sasaran-sasaran
akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja di dalamnya memiliki aktivitas dan perilaku
yang baik.
Manfaat lain yang akan didapat dari perumusan kode etik ialah bahwa para aparat
akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya dari negara atas nama
rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan
kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) diatas kepentingan-
kepentingannya akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai
alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para
pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus
pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan yang nyata.
Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tatakerja, dan peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sabagai pelaksana kepentingan
umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-
kebutuhan masyarakat tertentu. Dan sebagai mansuia yang bermoral, pejabat harus
memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan perkataan lain,
seorang pejabat harus memiliki kewaspadaan spiritual. Kewaspadaan profesional bearti
bahwa dia harus menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan
kedudukan sebagai seorang pembuat keputusan. Sedangkan kewaspadaan spiritual merujuk
pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana, dan hemat,
tanggung jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik.
Unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang aparatur
negara dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Berikut ini diuraikan kedelapan unsur
penilaian secara singkat:
1. Kesetiaan
Kesetiaan disini adalah ketaatan, pengabdian dan kesetiaan kepada pancasila, UUD
1945, Negara, serta Pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan pengabdian adalah
penyumbangan pikiran dan tenaga secara ikhlas dengan mengutamakan kepentingan
umum diatas kepentingan pribadi dan golongan. Kecuali dua pengertian ini ada pula
konotasi kesetiaan yang berarti tekad dan kesanggupan untuk menaati, melaksanakan,
mengamalkan sesuatu yang disertai penuh kesadaran dan tanggung jawab.

2. Prestasi kerja
Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah: a)
Kecakapan, b) Keterampilan, c) Pengalaman, d) Kesungguhan,e) Kesehatan

3. Tanggung jawab
Tanggung jawab berarti kesanggupan seorang pemimpin untuk menyelesaikan
pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya, tepat pada waktunya dan
berani memikul resiko atas keputusan yang dibuatnya. Bagian-bagian dari tanggung
jawab adalah:
a. Menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat pada waktunya
b. Kesalahannya tidak dilemparkan pada orang lain
c. Menyimpan dan memelihara barang milik negara
d. Dalam segala keadaan tetap berada ditempat
e. Mengutamakan kepentingan dinas
f. Berani dan ihklas memikul resiko

4. Ketaatan
Yaitu kesanggupan seorang pemimpin untuk menaati segala peraturan perundang-
undangan, peraturan kedinasan yang berlaku, pearaturan kedinasan dari atasan yang
berwenang serta sanggup tidak melanggar larangan yang ditentukan. Bagian-bagian dari
ketaatan adalah:
a. Menaati peraturan kedinasan dari atasannya
b. Menaati peraturan perundang-undangan yang ada
c. Memberikan kepada masyarakat layanan sebaik-baiknya sesuai dengan bidang
tugasnya
d. Menaati ketentuan jam kerja dan sopan santun

5. Kejujuran
Yang dimaksud dengan kejujuran adalah ketulusan hati dalam melaksanakantugas
serta kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya.
Maka kejujuran dapat dinilai dari keadaan berikut:
a. Melaksanakan tugas secara ikhlas
b. Tidak menyalah gunakan wewenangnya
c. Hasil kerjanya dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
6. Kerjasama
Yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang pemimpin untuk bekerja bersama-
sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga
mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Jadi nilai kerja sama dapat
diketahui bila seorang pegawai:
a. Mengetahui bidang tugas orang lain yang ada hubungannya dengan tugas mereka
b. Mampu menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat orang lain yang diyakini besar
c. Bersedia mengambil keputusan yang diambil secara sah
d. Bersedia mempertimbangkan usul orang lain
e. Mampu berkerja bersama-sama orang lain
f. Menghargai pendapat orang lain

7. Prakarsa
Inisiatif atau prakarsa adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengambil
keputusan, langkah-langkah serta melaksanakannya sesuai dengan tindakan yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan. Bagian-
bagian dari prakarsa adalah:
a. Berkemampuan memberi saran kepada atasan
b. Berusaha mencari tatacara kerja baru yang baik
c. Tanpa menunggu perintah, berkemauan melaksanakan tugas

8. Jiwa Kepemimpinan
Kepemimpinan berarti kemampuan seorang pemimpin untuk meyakinkan orang
lain sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Jadi
kepemimpinan merujuk kepada kemampuan manejerial dari para pegawai yang memiliki
bawahan dan atau memangku jabatan. Bagian-bagian dari kepemimpinan adalah:
a. Berusaha menggugah semangat dan menggerakkan bawahan
b. Berusaha menumpuk dan mengembangkan kerja sama
c. Mampu mengemukakan pendapatnya dengan jelas
d. Bersedia mempertimbangkan saran-saran bawahan
e. Memperhatikan nasib dan kemajuan bawahan
f. Mengambil keputusan cepat dan tepat
g. Mengetahui kemampuan bawahan
h. Menguasai bidang tugasnya, bertindak tegas tanpa memihak, serta memberikan teladan
yang baik.
Dari banyak uraian tentang nilai-nilai etika yang ditujukan untuk pemimpin sebagai
aparatur pemerintah, sangat terasa bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan begitu
formal dan kaku. Uraian-uraian tersebut sebagian besar berisi daftar keharusan dan larangan
tanpa ungkapan mengenai dasar-dasar mengapa suatu tindakan diharuskan atau dilarang dan
tanpa nuansa yang menyentuh nurani.
Demikianlah, kode etik mencoba merumuskan nilai-nilai etis luhur kedalam bidang
tertentu, dalam hal ini pada tugas-tugas administrasi negara. Sudah barang tentu kode etik
sekedar merupakn pedoman betindak. Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata,
tergantung kepada niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat
sendiri. Namun karena kode etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah
hal-hal yang buruk, dan untuk kepentingan bersama, maka setiap pegawai dan pejabat
diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.
Paham idealisme etik mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik
dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu
semata-mata karena itu tidak tahu norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-
cara bertindak yang menuju arah kebaikan. Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan
sentuhan nurani yang terus menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.

b. Arti Penting Etika Administrasi Publik

Arti penting Etika Administrasi Publik digambarkan oleh Ginandjar Kartasasmita


(l996: 26-7) secara lebihkonkrit. Masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan
(concern ) yangsangat besar, karena perilaku birokrasimempengaruhi bukan hanya dirinya,
tetapi masyarakat banyak. Di samping itu birokrasi bekerja atas dasar kepercayaan, karena
seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat. Jadi wajar jika rakyat
mengharap adanya jaminan bahwa para birokrat yang dibiayai oleh negara harus mengabdi
kepada kepentingan umum menurut standar etika yang selaras dengan kedudukannya.
Di samping itu tumbuh keprihatinan bukan sajaterhadap individu – individu
parabirokrat tetapi juga terhadap organisasisebagai sebuah sistem yang cenderungbertambah
besar dan bertambah luas kewenangannya yang cenderungmengesampingkan nilai-nilai.
Nicholas Henry (l980) dalam Wahyudi Kumoro (l996: 102-3) menguraikan adanya
5 paradigma dalam administrasi publik dan sebagian besar perbedaan paradigma itu berkisar
perlu tidaknya pemisahan antara ilmu politik dan administrasi. Menurut Henry, paradigma
terakhir dari administrasi publik adalah bahwa lokus administrasi publik mengenai
kepentingan public (public interest) dan urusan public (publik affairs), sedangkan fokusnya
adalah teori organisasi dan ilmu managemen. Dalam paradigma ini dihindari dikotomi politik
– administrasi, sebab dalam kenyataannya seorang birokrat atau adinistrator tidak bisa
menghindar dari tindakan politis.
Aktivitas politik dari birokrat tampak dari adanya keleluasaan bertindak (diskresi)
administratif yang dimiliknya. Sementara aktivitas administrasi tampak dari segala
perilakunya untuk mmerencanakan, memilih alternatif, mengorganisasi, mengelola,
memantau, mengevaluasi, melaksanakan, serta melakukan implementasi atas program-
program di dalam lingkup birokrasi. Untuk itu dia perlu membekali diri dengan ilmu
manajemen serta landasan pemahaman mengenai teori organisasi yang kuat. Dengan
demikian proses administrasi negara merupakan proses yang rumit. Bukan saja berkaitan
dengan aktivitas –aktivitas tehnis berlandaskan ilmu manajemen untuk mencapai efisiensi
yang tinggi melainkan juga aktivitasaktivitas politis yang berusaha menafsirkan kehendak
publik dan menterjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan sebagai keseluruhan
gagasan mengenai tujuan dan arah tindakan manusia dalam organisasi. Kebijakan
menentukan norma dan mengatur admnistrasi publik pada tingkat strategis.
Dari segi materi atau isi, administrasi publik berarti melakukan kebijakan publik
yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang mempunyai pengaruh terhadap
masyarakat umum. Dari segi formal atau bentuk, administrasi publik adalah pengambilan
keputusan – keputusan yang mengikat orang banyak. Sedangkan dari segi sosiologis,
administrasi publik merupakan bentuk tindakan sosial tertentu yang diorganisir atau
tepatnya serangkaian proses tindakan sosial yang berlangsung dan dibakukan dalam priode
tertentu. Dengan demikian, dalam praktek administrasi negara merupakan rangkaian
pengambilan kebijakan yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan, serta
keharusankeharusan bagi tindakan sosial. Prosesitu tentunya akan menunjang tertib sosial
hanya apabila ia merujuk kepada rasa kebenaran dan keadilan dari warga masyarakatnya.
Dengan demikian setiap aktivitas administrasi publik akan selalu punya konsekwensi nilai.
Sebagai kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa proses administrasi public senantiasa
menuntut tanggung jawab etis.

2. Tata Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance)


Wacana “kepemerintahan yang baik” (good governance) dalam decade terakhir abad
20 , semakin mengggema dalam kehidupan negara bangsa di berbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia. Untuk memahami konsep tersebut perlu dipahami perbedaan pengertian
government dan governance. Konsep “government” menunjuk pada suatu organisasi
pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi negara dan pemerintah. Konsep “governance”
melibatkan tidak hanya pemerintah dan negara, tapi juga peran berbagai aktor di luar
pemerintah dan negara sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas (Ganie- Rohman,
2000:l4l dalam Widodo (2001: l8) Timbulnya gerakan reformasi nasional dipenghujung abad
20 sebagai koreksi atas kekeliruan masa lalu, memerlukan perubahan dan pembaharuan dalam
system dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berusaha untuk
mewujudkan nilai-nilai dan prinsip good governance tersebut (Mustopadidjaja, 2003:l).
Hal itu menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara dan pembangunan. Perubahan paradigma ini menggeser orientasi
manajemen pemerintahan dari aspek pemerintahan (goverment) beralih kepada aspek tata
kepemerintahan (governance). EROPA (Easter Regional Organization for Public
Administration) bersama UNDP (United Nations Development Programme) ketika
menyelenggarakan General Assembly Meeting di Manila tahun 1998 menslogankan perubahan
paradigm from goverment to governance
Menurut Miftah Thoha (2004: 54), “ilmu administrasi publik merupakan suatu kajian
yang sistematis dan tidak hanya sekedar lukisan abstrak akan tetapi memuat
perencanaan realitas dari segala upaya dalam menata kepemerintahan yang baik (good
governance)” Rumusan tersebut dapat dirumuskan secara sederhana, bahwa ilmu admintrasi
publik bukan hanya bersifat deskriptif tapi juga bersifat preskriprtif. Preskriptif bukan hanya
secara normatif tetapi dalam arti perencanaan kedepan, harapan-harapan yang dapat diprediksi
untuk dapat diwujudkan dalam masyarakat yang diidamkan. Terselenggaranya pemerintahan
yang bersih, dan baik (clean and good governance) menjadi harapan dan cita- cita setiap
bangsa. Oleh karena itu mewujudkan cita-cita tersebut termasuk tugas dari ilmu adminitrasi
public.
a. Karakteristik Tata Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya.
Institusi dan sumber-sumber social dan politiknya tidak hanya digunakan untuk pembangunan,
tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan
demikian, kemampuan suatu Negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat
tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya dalam melakukan interaksi dengan
organisasi-organisasi komersial dan civil society..Hubungan tiga komponen tata keperintahan
yang baik yaitu pemerintah (government), rakyat (citizen) dan usahawan (business) yang sama
dan sederajat serta saling control dalam hubungan yang saling bersinergi.
Menurut Mustopadidjaja (2003:51) upaya untuk mewujudkan good governance hanya
dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan (alligment) peran-peran kekuasaan yang
dimainkan oleh setiap unsur yang ada dalam governance.State, sebagai unsure pertama ,
memainkan peran menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur- unsur
lain dalam governance. Private sector unsur kedua, menciptakan lapangan kerja dan
pendapatan. Dan, society, unsur ketiga, berperan menciptakan interaksi social, ekonomi dan
politik.
Sektor Publik (Pemerintah) memiliki fungsi dalam menciptakan hukum dan lingkungan
politis yang kondusif dalam pembangunan negara; dengan berkembang interaksi ABC.
Masyarakat berperan aktif dan positif dalam seluruh aktivitas kehidupan bernegara yang
berkaitan langsung dengan kepentangan warga masyarakat; dengan berkembang interaksi
ACD Sektor bisnis mempunyai peran dalam menciptakan peluang kerja dan pendapatan bagi
masyarakat; dengan berkembang interaksi BCD. United Nations Development Programme
(UNDP) sebagaimana dikutip LAN (2000:7) dalam Widodo (2001: 25) mengemukakan
karakteristik good governance, sebagai berikut:
1. Partipation . Setiap warga Negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipaasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama
hokum untuk hak asasi manusia.
3. Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses,
lembaga – lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang
membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4. responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap
“stakeholders”
5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda
untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal
kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan
untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin
menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber
yang tersedia.
8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga
“stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang
dibuat,apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance
dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang
diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
b. Kearifan Dalam Kebijakan
Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa
dasawarsa terakhir menampakan tiga kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya
kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Kedua, meluasnya
kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang ketiga,
meningkatnya kekuasaan politis peran para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat
dan administratior dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.
Pejabat yang arif menurut Kumorotomo adalah pejabat yang mampu menjaga supaya
keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar dengan landasan kebenaran yang
hakiki. Tanggung jawab seorang pejabat pemerintah dengan demikian bukan hanya kepada
organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja, tetapi juga kepada warga negara
yang secara langsung ataupun tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.
Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini
terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan
dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti
penting kearifan, yang merupakan landasan etis bagi para aparatur pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.
Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan atau
mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan
ketidaksepahaman, untuk bisa menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa
transisi dari sentralistik ke desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung
diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga pemerintahan
akan berjalan dengan baik.
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya
terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif. Untuk
menerapkan kekuasaan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggung
jawab, menentukan alternatif keputusan secara objektif, dan menerapkan prosedur dengan
baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga
kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan, yaitu sebagai berikut:
1.Optimisme
Sifat ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap enteng
semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk
mendapatkan hasil-hasil yang positif. Ia mengandung keyakinan bahwa peluang untuk
memecahkan persoalan yang selalu ada.
2. Keberanian (Courage)
Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan
harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-
kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para pakar dan orang- orang yang
mengandalkan favoritisme.

3. Keadilan Yang Berwatak Kemurahan Hati


Bailey menggambarkan sifat ini sebagai kualitas moral yang paling penting bagi
pejabat publik. Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas
orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan baku yang sama serta suatu kepekaan atas
perbedaan individual. Oleh karena itu, kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk
menjadi perumus kebijakan yang baik. Kepekaan dan empati terhadap karena bagaimanapun
juga pejabat publik harus melayani manusia, yang tentunya punya martabat, harga diri dan
perasaan. Dalam melayani masyarakat umum, yang perlu selalu diperhatikan ialah ketentuan
mengenai keadilan prosedural. Telah dikemukakan bahwa pelaksanaan keadilan prosedural.
Keadilan proseduran mempersoalkan akses dan perlakuan (access and treatment).
Tindakan manusia merupakan hasil dari pilihan manusia. Pilihan-pilihan keputusan
dibuat atas nama kehendak individu maupun kolektif dengan berlandaskan harapan atas masa
depan dan perkiraan atas konsekuensi dan tindakan yang dilakukan sekarang. Namun untuk
membuat keputusan-keputusan yang tepat seorang pejabat harus pula memiliki kapasitas
intelektual yang memadai. Teori peilihan melihat pembuatan keputusan sebagai suatu
tindakan yang disengaja yang berdasarkan empat hal yaitu:
a. Pengetahuan tentang alternatif-alternatif tindakan
Pembuatan keputusan harus memahami sejumlah alternatif untuk bertindak. Alternatif-
alternatif tersebut dirumuskan beradasarkan situasi dan dipahami sebagai sesuatu yang
tidak mendua atau tidak menagndung ketaksaan(unam-biguosly).
b. Pengetahuan tentang konsekuensi
Pembuatan keputusan memahami konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan
alternatif, atau setidak-tidaknya memiliki pegangan atas probabilitas keberhasilan atau
kegagalan tindakan tersebut.

c. Pengaturan preferensi yang konsisten


Pembuatan keputusan memiliki fungsi-fungsi objektif yang memungkinkan kensekuensi-
konsekuensi dari alternatif tindakan dapat dibandingkan dengan nilai-nilai subjektif
mereka.
d.Aturan keputusan
Para pembuat keputusan harus memakai aturan-aturan untuk memilih sebuah alternatif
tindakan berdasarkan konsekuensi dan pereferensi mereka. Dalam model pembuatan
keputusan yang sempurna diasumsikan bahwa pembuat keputusan mengetahui setiap
alternatif dari suatu keputusan, memahami masing-masing konsekuensinya, memiliki
subjektif yang utuh tentang konsekuensi-konsekuensi tersebut, dan pemilihan keputusan
dilakukan dengan menyeleksi alternatif yang mengandung nilai harapan tertinggi.
Para pejabat pembuat kebijakan hendaknya memiliki kemampuan untuk belajar dari
kesalahan yang pernah dibuat dan melihat setiap permasalahan secara serius. Kearifan juga
mengandungarti bahwa pembuat keputusan tidak bertindak gegabah dan menganggap ringan
suatu persoalan.
Kearifan dalam mengambil kebijakan publik ditentukan pula oleh kesediaan aparat
untuk tidak begitu saja mempercayai informasi yang datang dari satu pihak. Setiap persoalan,
lebih-lebih yang menyangkut kepentingan masyarakat, perlu ditelusuri secara tuntas dengan
segala konsekuensinya harus diantisipasi sebelum keputusan dijatuhkan. Pejabat hendaknya
tidak berpegang pada laporan-laporan diatas kertas yang diberikan oleh bawahan. Dia perlu
melihat tanggapan dari lembaga-lembaga yang lain, merujuk pada peraturan hukum yang
ada, melihat pemberitaan pers tentang masalah yang bersangkutan, mencermati keluhan-
keluhan warga masyarakat melalui rubrik-rubrik pembaca di surat
kabar atau pengaduan-pengaduan langsung, dan akhirnya mengambil keputusan berdasarkan
wawasan manejerial yang holistik

Masalah etika negara merupakan standar penilaian etika administrasi negara mengenai
tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal
administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara
mengatasinya. Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi
dan ma ajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-
birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan memudahakan law
enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya menata ulangmanajemen
pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance
dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi.
Pada kepemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait dengan Law enforcement
dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak
melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal
administration) yang akan mengabaikan Law Enforcement pada penataan ulang
pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan Law Enforcement terdapat :
a. Birokrat–birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber
daya aparaturnya.
b. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus
diberlakukan.
c. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat-birokrat pemerintahan untuk
mengaktualisasikan kinerjanya.
d. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berahlak, berwawasan (visionary),
demokratis dan responsif terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia
(Reinventing government).
Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas
administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri.
Mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika
administrasi negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas
administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai
pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama perlu diingat ialah
bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik
dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap
orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi
larangan dalam kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga
diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan atau
konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri
anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-
nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada
organisasi-organisasi yang personilnya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik
tidak terbatas padakaum profesi karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap
jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.Dari sini dapat diketahui bahwa lingkup
Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai dalam proses administrasi. Etika
administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa.
Administrasi negara/publik tidak hanya terbatas pada kumpulan sketsa yang digunakan
untuk membenarkan kebijakan pemerintah atau hanya terbatas pada suatu disiplin ilmu saja
- putting the ideas (Peter Senge, 1990) tetapi lebih jauh dari itu, administrasi negara
dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu upaya untuk menaruh perhatian
– concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang upaya membuatnya. Jadi sangat
jelas bahwa dalam administrasi negara dikenal etika administrasi negara yang tujuannya
adalah untuk menyelengarakan kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara
digunakan dengan baik oleh para penyelenggara negara (administrator) maka etika
kehidupan berbangsa pun dapat berlangsung dengan baik, sebaliknya, apabila etika
administrasi negara tidak secara benar melandasi setiap pergerakan dalam administrasi
negara maka dapat diindikasikan begitu banyaknya masalah yang berdampak pada
kehidupan berbangsa.
Etika sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan berbangsa.
Khususnya Etika Politik dan Pemerintah. Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang
demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat;
menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang
lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung
tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki
rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila
dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Sebaliknya, saat etika administrasi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka
tercipta suatu ketidakseimbangan yang berujung pada masalah-masalah kompleks yang sulit
diselesaikan di Indonesia. Karena pada saat ini, dimana seharusnya Indonesia yang menganut
sistem demokrasi dapat lebih baik dengan perspektif dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat
ternyata harus terpuruk karena pada kenyataannya, hampir semua pejabat politik dan
pemerintah hanya memikirkan kepentingan diri pribadi dan kelompoknya. Adanya ‘budaya’
korupsi yang telah sejak lama menodai penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia
menunjukkan bahwa etika administrasi negara telah sangat dilanggar oleh para
penyelenggara negara. Ketika etika untuk mengambil tindakan yang berhubungan langsung
dengan kegiatan negara dilanggar inilah maka dapat dipastikan etika politik dan pemerintah
sama sekali tidak diperhatikan. Dengan melihat semua fakta itulah, perlu adanya kesadaran
bagi seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya etika administrasi negara yang mendasari baik
buruknya suatu penyelenggaraan negara, dan kemudian etika administrasi negara tersebut
sangat menentukan bagaimana etika kehidupan berbangsa, khususnya etika politik dan
pemerintah.
3. Dasar Dasar Bagi Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance)
dasar dasar bagi kepemerintahan yang baik yang mana landasan pemikiran yang
disepakati oleh masyarakat akan dapat dijadikan sebagai pedoman. Dasar-dasar ini tentunya
akan menjadi pedoman dalam jalannya pemerintahan sehingga diharapkan akan mampu
membawa masyarakat pada kesejahteraan sepenuhnya dan meyeluruh.
a. Prinsip Demokrasi
Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat
mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan
negara, rakyat yang menentukan pula bagaimana berbuatnya.

b. Keadilan Sosial dan Pemerataan


Persoalan keadilan sosial dan pemerataan sering kali muncul sebagai akibat dari
kurang meratanya distribusi hasil hasil pembangunan. Oleh sebab itu, salah satu asas umum
pemerintahan dan administrasi pembangunan yang perlu mendapat perhatian lebih besar
sekarang ini adalah yang menyangkut keadilan (equity) dan pemerataan (even
distribution/fair distribution). Kedua konsep ini juga merupakan landasan pokok bagi etika
pembangunan.
Dalam lingkup negara, setidak tidaknya ada dua dimensi ketimpangan diantara
kelompok kelompok sosial yang berbeda dalam suatu negara. Pertama, ketimpangan
diantara kelompok kelompok sosial yang berbeda dalam suatu negara yang disebabkan
oleh kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kedua, ketimpangan antara
wilayah wilayah geografis dalam suatu negara atau disebut juga ketimpangan regional.
wujud yang paling nyata terlihat antara wilayah wilayah pedesaan dan perkotaan. maka
yang perlu dilakukan adalah kebijakan kebijakan pemerintah yang lebih menyentuh kelas
masyarakat yang kurang beruntung atau kelompok yang tidak memiliki sumber daya untuk
mengembangkan dirinya.
c. Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Setiap pejabat pemerintah harus memiliki komitmen dan untuk peningkatan
kesejahteraan dan bukan semata mata karena diberi amanat atau dibayar oleh negara
melainkan karena mempunyai perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan warga negara
pada umumnya. Peningkatan kesejahteraan umum bukan hanya dimaksudkan untukl
meningkatkan taraf hidup dan kebutuhan kebutuhan dasar tetapi juga untuk meningkatkan
kapasitas individual supaya rakyat dapat berpartisipasi lebih aktif dalam pembangunan.
Persoalan lain yang harus dipecahkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan umum
adalah menyangkut ketenagakerjaan dan kependudukan. tingkat pengangguran dan atau
setengah pengangguran itu lebih mencolok di daerah daerah pedesaan jika
dibandingkan dengan daerah perkotaan. ini menunjukkan adanya konsentrasi industri
padat modal di wilayah perkotaan.
d. Mewujudkan Negara Hukum
Di dalam Pembukaan maupun pasal pasal batang tubuh Undang Undang Dasar 1945
memang tidak disebutkan secara eksplisit bahwa indonesia adalah Negara Hukum. akan
tetapi sesungguhnya gagasan utama dan aturan aturan dasar yang melandasi terbentuknya
republik ini adalah sesuai dengan cita cita negara hukum. dalam penjelasan mengenai
sistem pemerintahan negara telah di tegaskan:
1) Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rehtsstaat). Negara Indonesia
berdasar atas hukum (rehtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machtsstaat).
2) Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Jadi jelas bahwa konstitusi negara Indonesia mengamanatkan keinginan untuk
mewujudkan negara hukum. hukum harus yang harus ditaati disini bukan hanya hukum
positif yang tertulis atau hukum formal saja tetapi juga unsur unsur material yang terdapat
dibalik perundang undangan yang ada. hukum yang dimaksud adalah hukum yang benar
benar hidup dalam masyarakat (living law) atau hukum yang adil (just law). Di dalam
konteks etika, kita hendaknya lebih mencurahkan perhatian kepada rasa keadilan (justice)
atau kepantasan yang berkembang di dalam masyarakat dari pada hukum (law) yangterjabar
di dalam pasal pasal kitab perundangan. konsepsi negara hukum mensyaratkan agar setiap
tindakan penguasa harus sesuai dan didasarkan atas rasa keadilan, moralitas hukum, dan cita
cita kemanusiaan yang luhur, bukan hanya didasarkan atas kemauan penguasa. Dalam
mewujudkan Negara hokum tentunya tidak terlepas dari rule of law. Adapun Unsur unsur
Rule of Law meliputi :
a. Keutamaan aturan aturan hukum (supremacy of law), tidak adanya kekuasaan yang
sewenang wenang (absence of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang hanya boleh
dihukum kalau memang melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik
untuk orang biasa maupun pejabat sebagai aparatur pemerintah.
c. Terjaminnya hak hak asasi manusia (human rights) oleh undang undang dasar serta
keputusan keputusan pengadilan.
Selanjutnya unsur – unsure Rule of Law ini dapat dijabarkan ke dalam gagasan gagasan
yang lebih elementer. Apabila system pemerintahan dapat melaksanakan konsep konsep
yang terdapat dalam idealisme Negara hukum, maka kontrol sosial akan dapat berjalan
dengan sendirinya.

e.Dinamika dan Efisiensi


Untuk menciptakan sosok birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dinamika dalam melaksanakan tugas tugas negara
merupakan prasyarat yang tidak boleh dilupakan. Dinamika hendaknya diartikan sebagai
kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga ia sanggup mengantisipasi perubahan
perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan kebijakan kebijakan yang
tepat.
Ukuran lain yang dapat dipergunakan untuk menilai kualitas birokrasi pemerintahan
adalah tingkat efisiensi. Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai nisbah yang terbaik antara
hasil yang diperoleh dengan kegiatan yang dilakukan. Namun efisiensi dalam sektor publik
mempunyai matra yang lebih luas dari pengertian ini. Yang lebih penting lagi efisiensi harus
menjadi perhatian utama bagi aparat organisasi organisasi publik.
Knott dan Miller mengingatkan adanya empat macam persolan yang sering terdapat
di dalam birokrasi pemerintahan yaitu :
a) Daur kekakuan aturan (Rigidity Cycle)
Birokrat sering ragu ragu untuk bertindak karena sistem senioritas dan aturan yang kaku.
b) Pengalihan sasaran (Goal Displacement)
Sasaran atau tujuan organisasi sering bergeser, bukan untuk melaksanakan layanan umum
secara efisien melainkan sekedar untuk melestarikan aturan aturan yang ada.
c) Kurangnya “kapasitas” personil yang terlatih (Skilled Incapacity)
Yang dimaksud kapasitas disini adalah kemampuan personil untuk melihat tugas tugasnya
dalam rangka proses organisasi secara keseluruhan.
d) Sistem kewenangan berganda (Dual System of Authority)
Adanya perbenturan dua kewenangan yatitu kewanangan struktural dan kewenangan
fungsional.
Demikianlah asas asas pokok pemerintahan yang dapat digunakan untuk menilai
legitimasi kekuasaan birokrasi pemerintahan terhadap warga negara. Asas asas ini
hendaknya dijadikan pedoman oleh para birokrat dalam menjalankan tugas tugasnya.Berikut
ini adalah asas asas umum yang berasal dari pemikiran dan praktek adminisrasi di negara
belanda :
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security)
2. Asas keseimbangan (pronciple of proportionality)
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality)
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness)
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation)
6. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (principle of misuse of competence)
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play)
8. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reaonable or prihibition of arbitratiness)
9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation)
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the
consequencies of annuled decision)
11. Asas perlindungan atas pandangan/cara hidup pribadi (principle of protecting the personal
way of life)
12. Asas kebijaksanaan (sapientia)
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service)
Tampaklah bahwa ketiga belas asas ini lebih menitik beratkan kepada nilai nilai judisial
(judiciary values) yang mengandaikan internalisasi rasa keadilan masyarakat dalam proses
administrasi pemerintahan serta pendayagunaan jajaran kehakiman dalam menangani
masialah masalah atau sengketa administratif
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Etika administrasi Negara yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas
kelakuan yang baik bagi para administrator pemerintahan yang dijadikan sebagai pedoman
dalam menjalankan tugas pekerjaannya dan melakukan tindakan jabatannya sesuai dengan
aturan hokum yang berlaku.
Etika administrasi public merupakan pokok penting dalam mewujudkan good governance.
Dengan adanya etika yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menjalankan suatu Negara
akan membawa kemajuan yang cukup pesat. Selain itu, kode etik yang dijadikan sebagai
pedoman dalam menjalankan tugas dan wewenang oleh aparatur pemerintah sebagai abdi
Negara akan mampu mengayomi masyarakat menuju arah yang lebih baik sehingga tujuan
utama Negara yakni mensejahterakan masyarakat akan terlaksana sepenuhnya. Dengan
mengimplementasikan etika administrasi public ini tentunya para abdi negara tidak akan
menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya sehingga kepentingan masyarakat
luas akan selalu jadi prioritas.

2. Saran
Menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang
lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Adapun saran yang dapat penulis
berikan antara lain :
a. Perlu dikembangkan sosialisasi akan pentingnya etika administrasi public untuk
menciptakan good governance.
b. Untuk mengoptimalkan pengembangan good governance ini perlu dioptimalkan akan
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan untuk menghentikan penyalah gunaan
kekuasaan yang bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aksa, H.A. (2010). Etika Administrasi Publik;Peranannya Dalam Mewujudkan Good


Governance. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan 1, 1-6.
2. http://20Science%20%E2%99%A5_%20Makalah%20Etika%20Administrasi%20Negara.
html
3. HTTP://Makalah%20Etika%20Administrasi%20_%20Berbagi%20Ilmu.html

Anda mungkin juga menyukai