Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan YME, karena rahmat dan karunia-Nya kami masih
diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada
teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga selesainya makalah ini dapat
bermanfaat bagi teman-temansekalian. Amin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dengan demikian, etika seorang pemimpin cukup berperan sebagai pedoman dalam
penerapan moralitas pada rangkaian/proses kegiatan penerapan terhadap pekerjaan dalam
organisasi. Etika pegawai akan merupakan pedoman atau standard yang mengatur sikap dan
perilaku orang-orang yang bekerjasama dalam organisasi. Etika pegawai akan menjadi pedoman
dan peraturan yang mengatur pola perilaku pegawai, karena etika pegawai itu sendiri berisi
ajaran-ajaran moral atau ketentuan-ketentuan yang mengatur pola perilaku moral.
Etika pemimpin yang berisi ajaran-ajaran moral yang baik, akan sangat berperan untuk
menciptakan pemimpin yang memiliki kesetiaan dan ketaatan yang tinggi, memiliki semangat
pengabdian, keteladanan, disiplin, kemampuan dan kemantapan sikap mental dalam
menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Karena dengan
pemahaman, penjiwaan dan penghayatan nilai-nilai etika pemimpin itu sendiri, maka diharapkan
dapat menghadapi, mengilhami, menggerakkan dan mengarahkan sikap, perilaku dan perbuatan
serta tutur kata mereka sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas dengan benar.
3. Tujuan Makalah
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini antara lain :
a. Untuk mengetahui peran etika administrasi public dalam menciptakan good governance.
b. Untuk mengetahui pengaruh etika administrasi public dalam menciptakan good
governance.
4. Manfaat Makalah
Istilah “Etika”, berasal dati kata Yunani ethos yang berarti “sifat” atau “adat” dan kata jadian
“ta ethika” yang dipakai filsuf Plato dan Aristoteles (384-322 SM) untuk menerangkan studi
mereka tentang nilai-nilai dan cita-cita Yunani. Jadi pertama-tama, etika adalah masalah sifat
pribadi yang meliputi apa yang kita sebut “menjadi orang baik”, tetapi juga merupakan masalah
sifat keseluruhan segenap masyarakat yang disebut “ethos”nya. (Robert Solomon, l987:5)
Menurut Bertens (2001: 6) berdasarkan penjelasan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (l988) dikemukakan tiga arti dari kata etika sebagai berikut. Pertama, kata “etika “
dipakai dalam arti : nilai-nlai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika sebagai kumpulan asas atau
nilai moral , yaitu sebagai kode etik. Ketiga, istilah “Etika” digunakan untuk menunjuk bidang
ilmu, yaitu pengkajian secara reflektif tentang nilai –nilai moral dalam masyarakat dengan
penelitian sistematis dan metodis. Dalam arti ini, maka etika adalah sebagai cabang filsafat yang
menjadikan moralitas sebagai kajiannya atau disebut filsafat moral. Berdasar pembahasan di
atas, maka penggunanaan istilah etika administrasi publik bermakna ganda. Istilah itu dapat
mengacu sebagai bidang studi yaitu ilmu pengetahuan yang membahas prinsip- prinsip etis
(moral) yang mendasari tindakan para aparat birokrasi pemerintahan khususnya dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya.
Di samping itu terdapat pengertian tentang etika administrasi publik sebagai
“seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi
“ sebagaimana dikemukakan antara lain oleh Darwin (l999) dalam Widodo (2001:252).
Selanjutnya Widodo dengan mengacu pada pendapat Bertens (l977) dan Darwin (l999) tentang
pengertian etika manarik kesimpulan bahwa etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua
fungsi. Pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik)
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tidakannya dalam
organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi (Administrasi
Publik) sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik
(Administrasi Publik) dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
a. Kode Etik Dalam Pelaksanaan Administrasi Negara
Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas
administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri
mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses khusus. Akan tetapi
seperti yang telah diuraikan kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika
profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan
perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat
politik. Hal yang pertama-tama perlu diingat bahwa kode etik tidak membebankan sanksi
hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanki
atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya.
Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari
kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan
nilai-nilai filosofis. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota
itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai- nilai ideal
yang diharapkan. Dengn demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-
organisasi yang personalianya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak
terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang
keputusan mengandung konsekuensi moral.
Dalam kode etik itu bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan
organisasi kerena bagaimanapun juga organisasi hanya dapat meraih sasaran-sasaran
akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja di dalamnya memiliki aktivitas dan perilaku
yang baik.
Manfaat lain yang akan didapat dari perumusan kode etik ialah bahwa para aparat
akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya dari negara atas nama
rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan
kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) diatas kepentingan-
kepentingannya akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai
alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para
pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus
pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan yang nyata.
Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tatakerja, dan peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sabagai pelaksana kepentingan
umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-
kebutuhan masyarakat tertentu. Dan sebagai mansuia yang bermoral, pejabat harus
memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan perkataan lain,
seorang pejabat harus memiliki kewaspadaan spiritual. Kewaspadaan profesional bearti
bahwa dia harus menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan
kedudukan sebagai seorang pembuat keputusan. Sedangkan kewaspadaan spiritual merujuk
pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana, dan hemat,
tanggung jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik.
Unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang aparatur
negara dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Berikut ini diuraikan kedelapan unsur
penilaian secara singkat:
1. Kesetiaan
Kesetiaan disini adalah ketaatan, pengabdian dan kesetiaan kepada pancasila, UUD
1945, Negara, serta Pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan pengabdian adalah
penyumbangan pikiran dan tenaga secara ikhlas dengan mengutamakan kepentingan
umum diatas kepentingan pribadi dan golongan. Kecuali dua pengertian ini ada pula
konotasi kesetiaan yang berarti tekad dan kesanggupan untuk menaati, melaksanakan,
mengamalkan sesuatu yang disertai penuh kesadaran dan tanggung jawab.
2. Prestasi kerja
Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah: a)
Kecakapan, b) Keterampilan, c) Pengalaman, d) Kesungguhan,e) Kesehatan
3. Tanggung jawab
Tanggung jawab berarti kesanggupan seorang pemimpin untuk menyelesaikan
pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya, tepat pada waktunya dan
berani memikul resiko atas keputusan yang dibuatnya. Bagian-bagian dari tanggung
jawab adalah:
a. Menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat pada waktunya
b. Kesalahannya tidak dilemparkan pada orang lain
c. Menyimpan dan memelihara barang milik negara
d. Dalam segala keadaan tetap berada ditempat
e. Mengutamakan kepentingan dinas
f. Berani dan ihklas memikul resiko
4. Ketaatan
Yaitu kesanggupan seorang pemimpin untuk menaati segala peraturan perundang-
undangan, peraturan kedinasan yang berlaku, pearaturan kedinasan dari atasan yang
berwenang serta sanggup tidak melanggar larangan yang ditentukan. Bagian-bagian dari
ketaatan adalah:
a. Menaati peraturan kedinasan dari atasannya
b. Menaati peraturan perundang-undangan yang ada
c. Memberikan kepada masyarakat layanan sebaik-baiknya sesuai dengan bidang
tugasnya
d. Menaati ketentuan jam kerja dan sopan santun
5. Kejujuran
Yang dimaksud dengan kejujuran adalah ketulusan hati dalam melaksanakantugas
serta kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya.
Maka kejujuran dapat dinilai dari keadaan berikut:
a. Melaksanakan tugas secara ikhlas
b. Tidak menyalah gunakan wewenangnya
c. Hasil kerjanya dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
6. Kerjasama
Yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang pemimpin untuk bekerja bersama-
sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga
mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Jadi nilai kerja sama dapat
diketahui bila seorang pegawai:
a. Mengetahui bidang tugas orang lain yang ada hubungannya dengan tugas mereka
b. Mampu menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat orang lain yang diyakini besar
c. Bersedia mengambil keputusan yang diambil secara sah
d. Bersedia mempertimbangkan usul orang lain
e. Mampu berkerja bersama-sama orang lain
f. Menghargai pendapat orang lain
7. Prakarsa
Inisiatif atau prakarsa adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengambil
keputusan, langkah-langkah serta melaksanakannya sesuai dengan tindakan yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan. Bagian-
bagian dari prakarsa adalah:
a. Berkemampuan memberi saran kepada atasan
b. Berusaha mencari tatacara kerja baru yang baik
c. Tanpa menunggu perintah, berkemauan melaksanakan tugas
8. Jiwa Kepemimpinan
Kepemimpinan berarti kemampuan seorang pemimpin untuk meyakinkan orang
lain sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Jadi
kepemimpinan merujuk kepada kemampuan manejerial dari para pegawai yang memiliki
bawahan dan atau memangku jabatan. Bagian-bagian dari kepemimpinan adalah:
a. Berusaha menggugah semangat dan menggerakkan bawahan
b. Berusaha menumpuk dan mengembangkan kerja sama
c. Mampu mengemukakan pendapatnya dengan jelas
d. Bersedia mempertimbangkan saran-saran bawahan
e. Memperhatikan nasib dan kemajuan bawahan
f. Mengambil keputusan cepat dan tepat
g. Mengetahui kemampuan bawahan
h. Menguasai bidang tugasnya, bertindak tegas tanpa memihak, serta memberikan teladan
yang baik.
Dari banyak uraian tentang nilai-nilai etika yang ditujukan untuk pemimpin sebagai
aparatur pemerintah, sangat terasa bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan begitu
formal dan kaku. Uraian-uraian tersebut sebagian besar berisi daftar keharusan dan larangan
tanpa ungkapan mengenai dasar-dasar mengapa suatu tindakan diharuskan atau dilarang dan
tanpa nuansa yang menyentuh nurani.
Demikianlah, kode etik mencoba merumuskan nilai-nilai etis luhur kedalam bidang
tertentu, dalam hal ini pada tugas-tugas administrasi negara. Sudah barang tentu kode etik
sekedar merupakn pedoman betindak. Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata,
tergantung kepada niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat
sendiri. Namun karena kode etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah
hal-hal yang buruk, dan untuk kepentingan bersama, maka setiap pegawai dan pejabat
diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.
Paham idealisme etik mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik
dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu
semata-mata karena itu tidak tahu norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-
cara bertindak yang menuju arah kebaikan. Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan
sentuhan nurani yang terus menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.
Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya.
Institusi dan sumber-sumber social dan politiknya tidak hanya digunakan untuk pembangunan,
tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan
demikian, kemampuan suatu Negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat
tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya dalam melakukan interaksi dengan
organisasi-organisasi komersial dan civil society..Hubungan tiga komponen tata keperintahan
yang baik yaitu pemerintah (government), rakyat (citizen) dan usahawan (business) yang sama
dan sederajat serta saling control dalam hubungan yang saling bersinergi.
Menurut Mustopadidjaja (2003:51) upaya untuk mewujudkan good governance hanya
dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan (alligment) peran-peran kekuasaan yang
dimainkan oleh setiap unsur yang ada dalam governance.State, sebagai unsure pertama ,
memainkan peran menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur- unsur
lain dalam governance. Private sector unsur kedua, menciptakan lapangan kerja dan
pendapatan. Dan, society, unsur ketiga, berperan menciptakan interaksi social, ekonomi dan
politik.
Sektor Publik (Pemerintah) memiliki fungsi dalam menciptakan hukum dan lingkungan
politis yang kondusif dalam pembangunan negara; dengan berkembang interaksi ABC.
Masyarakat berperan aktif dan positif dalam seluruh aktivitas kehidupan bernegara yang
berkaitan langsung dengan kepentangan warga masyarakat; dengan berkembang interaksi
ACD Sektor bisnis mempunyai peran dalam menciptakan peluang kerja dan pendapatan bagi
masyarakat; dengan berkembang interaksi BCD. United Nations Development Programme
(UNDP) sebagaimana dikutip LAN (2000:7) dalam Widodo (2001: 25) mengemukakan
karakteristik good governance, sebagai berikut:
1. Partipation . Setiap warga Negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipaasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama
hokum untuk hak asasi manusia.
3. Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses,
lembaga – lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang
membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4. responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap
“stakeholders”
5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda
untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal
kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan
untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin
menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber
yang tersedia.
8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga
“stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang
dibuat,apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance
dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang
diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
b. Kearifan Dalam Kebijakan
Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa
dasawarsa terakhir menampakan tiga kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya
kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Kedua, meluasnya
kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang ketiga,
meningkatnya kekuasaan politis peran para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat
dan administratior dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.
Pejabat yang arif menurut Kumorotomo adalah pejabat yang mampu menjaga supaya
keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar dengan landasan kebenaran yang
hakiki. Tanggung jawab seorang pejabat pemerintah dengan demikian bukan hanya kepada
organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja, tetapi juga kepada warga negara
yang secara langsung ataupun tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.
Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini
terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan
dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti
penting kearifan, yang merupakan landasan etis bagi para aparatur pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.
Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan atau
mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan
ketidaksepahaman, untuk bisa menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa
transisi dari sentralistik ke desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung
diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga pemerintahan
akan berjalan dengan baik.
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya
terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif. Untuk
menerapkan kekuasaan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggung
jawab, menentukan alternatif keputusan secara objektif, dan menerapkan prosedur dengan
baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga
kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan, yaitu sebagai berikut:
1.Optimisme
Sifat ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap enteng
semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk
mendapatkan hasil-hasil yang positif. Ia mengandung keyakinan bahwa peluang untuk
memecahkan persoalan yang selalu ada.
2. Keberanian (Courage)
Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan
harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-
kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para pakar dan orang- orang yang
mengandalkan favoritisme.
Masalah etika negara merupakan standar penilaian etika administrasi negara mengenai
tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal
administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara
mengatasinya. Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi
dan ma ajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-
birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan memudahakan law
enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya menata ulangmanajemen
pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance
dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi.
Pada kepemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait dengan Law enforcement
dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak
melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal
administration) yang akan mengabaikan Law Enforcement pada penataan ulang
pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan Law Enforcement terdapat :
a. Birokrat–birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber
daya aparaturnya.
b. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus
diberlakukan.
c. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat-birokrat pemerintahan untuk
mengaktualisasikan kinerjanya.
d. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berahlak, berwawasan (visionary),
demokratis dan responsif terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia
(Reinventing government).
Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas
administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri.
Mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu kode khusus. Kedudukan etika
administrasi negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas
administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai
pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Hal yang pertama-tama perlu diingat ialah
bahwa kkode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik
dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap
orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi
larangan dalam kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga
diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan atau
konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri
anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-
nilai ideal yang diharapkan.Dengan demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada
organisasi-organisasi yang personilnya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik
tidak terbatas padakaum profesi karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap
jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.Dari sini dapat diketahui bahwa lingkup
Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai dalam proses administrasi. Etika
administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa.
Administrasi negara/publik tidak hanya terbatas pada kumpulan sketsa yang digunakan
untuk membenarkan kebijakan pemerintah atau hanya terbatas pada suatu disiplin ilmu saja
- putting the ideas (Peter Senge, 1990) tetapi lebih jauh dari itu, administrasi negara
dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu upaya untuk menaruh perhatian
– concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang upaya membuatnya. Jadi sangat
jelas bahwa dalam administrasi negara dikenal etika administrasi negara yang tujuannya
adalah untuk menyelengarakan kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara
digunakan dengan baik oleh para penyelenggara negara (administrator) maka etika
kehidupan berbangsa pun dapat berlangsung dengan baik, sebaliknya, apabila etika
administrasi negara tidak secara benar melandasi setiap pergerakan dalam administrasi
negara maka dapat diindikasikan begitu banyaknya masalah yang berdampak pada
kehidupan berbangsa.
Etika sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan berbangsa.
Khususnya Etika Politik dan Pemerintah. Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang
demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat;
menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang
lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung
tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki
rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila
dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Sebaliknya, saat etika administrasi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka
tercipta suatu ketidakseimbangan yang berujung pada masalah-masalah kompleks yang sulit
diselesaikan di Indonesia. Karena pada saat ini, dimana seharusnya Indonesia yang menganut
sistem demokrasi dapat lebih baik dengan perspektif dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat
ternyata harus terpuruk karena pada kenyataannya, hampir semua pejabat politik dan
pemerintah hanya memikirkan kepentingan diri pribadi dan kelompoknya. Adanya ‘budaya’
korupsi yang telah sejak lama menodai penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia
menunjukkan bahwa etika administrasi negara telah sangat dilanggar oleh para
penyelenggara negara. Ketika etika untuk mengambil tindakan yang berhubungan langsung
dengan kegiatan negara dilanggar inilah maka dapat dipastikan etika politik dan pemerintah
sama sekali tidak diperhatikan. Dengan melihat semua fakta itulah, perlu adanya kesadaran
bagi seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya etika administrasi negara yang mendasari baik
buruknya suatu penyelenggaraan negara, dan kemudian etika administrasi negara tersebut
sangat menentukan bagaimana etika kehidupan berbangsa, khususnya etika politik dan
pemerintah.
3. Dasar Dasar Bagi Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance)
dasar dasar bagi kepemerintahan yang baik yang mana landasan pemikiran yang
disepakati oleh masyarakat akan dapat dijadikan sebagai pedoman. Dasar-dasar ini tentunya
akan menjadi pedoman dalam jalannya pemerintahan sehingga diharapkan akan mampu
membawa masyarakat pada kesejahteraan sepenuhnya dan meyeluruh.
a. Prinsip Demokrasi
Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat
mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan
negara, rakyat yang menentukan pula bagaimana berbuatnya.
1. Kesimpulan
Etika administrasi Negara yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas
kelakuan yang baik bagi para administrator pemerintahan yang dijadikan sebagai pedoman
dalam menjalankan tugas pekerjaannya dan melakukan tindakan jabatannya sesuai dengan
aturan hokum yang berlaku.
Etika administrasi public merupakan pokok penting dalam mewujudkan good governance.
Dengan adanya etika yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menjalankan suatu Negara
akan membawa kemajuan yang cukup pesat. Selain itu, kode etik yang dijadikan sebagai
pedoman dalam menjalankan tugas dan wewenang oleh aparatur pemerintah sebagai abdi
Negara akan mampu mengayomi masyarakat menuju arah yang lebih baik sehingga tujuan
utama Negara yakni mensejahterakan masyarakat akan terlaksana sepenuhnya. Dengan
mengimplementasikan etika administrasi public ini tentunya para abdi negara tidak akan
menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya sehingga kepentingan masyarakat
luas akan selalu jadi prioritas.
2. Saran
Menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang
lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Adapun saran yang dapat penulis
berikan antara lain :
a. Perlu dikembangkan sosialisasi akan pentingnya etika administrasi public untuk
menciptakan good governance.
b. Untuk mengoptimalkan pengembangan good governance ini perlu dioptimalkan akan
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan untuk menghentikan penyalah gunaan
kekuasaan yang bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA