Anda di halaman 1dari 5

Review Artikel

“Memahami Etika Birokrasi Publik: Sebuah Diagnosis Institusional”


Oleh Gabriel Lele
Untuk Memenuhi Tugas Etika Administrasi Publik
Dosen Pengampu : Katerina Bataha, S.AP, M.AP

Disusun Oleh :

Ahmad Bagus Rohim (21041010277)

Program Studi Administrasi Publik


Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
2023/2024
A. Identitas Artikel

No.
1 Judul Artikel Memahami Etika Birokrasi Publik: Sebuah
Diagnosis Institusional
2 Penulis Gabriel Lele
3 Judul Jurnal Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
4 Volume; Nomor Vol 2; No. 2
5 Halaman 12 Halaman
6 Tahun 2008
7 Reviewer Ahmad Bagus Rohim
8 Diakses Pada 5 Maret 2023

B. Hasil Reviewer

1. Ringkasan
Etika merupakan isu yang sedang menyedot banyak perhatian masyarakat
khususnya pada etika yang ada di birokrasi atau pemerintahan. Penulis
mengatakan bahwa hal ini terjadi bukan tanpa alasan, masyarakat mengangkat
isu tersebut karena sebagaian besar masyarakat merasa bahwa pihak
pemerintah selaku pemberi pelayanan publik lebih memposisikan dirinya
sebagai seseorang yang harus dilayani oleh masyarakat. Padahal sejatinya,
pemerintah harusnya meposisikan dirinya untuk melayani masyarakat dalam
hal administrasi publik khususnya pada pemberian pelayanan publik.
Penulis juga menuliskan bahwa di dalam karyanya etika dimaknai sebagai
nilai – nilai ideal yang seharusnya menjadi dasar dalam penyelenggaraan
urusan publik. Yang dapat diartikan bahwa etika sangat berkaitan dengan
perilaku – perilaku yang seharusnya dilakukan oleh birokrat dalam
memberikan pelayanan publik.
Namun, ada beberapa kasus dimana etika menurut seseorang baik tapi
menurut orang lain belum tentu baik. Hal ini karena ada 4 jenis atau hierarki
etika menurut Shafritz dan Russel yaitu etika personal, etika profesi, etika
organisasi dan etika sosial. Sehingga dalam prakteknya, terkadang keempat
jenis tersebut seringkali bersebrangan dan bahkan bertabrakan. Seperti contoh
yang diberikan oleh penulis yaitu Seorang aparat birokrasi bisa menjadi korup
karena etika profesi di tempat kerjanya mengharuskan demikian. Hanya
segelintir orang yang bisa menghindari tirani struktural tersebut dengan resiko
dianggap tidak loyal terhadap organisasi dan teman sejawat, dan oleh
karenanya, dianggap tidak profesional.
Ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk mendiagnosis akar
penyebab munculnyadefisit etika dalam birokrasi pelayanan publik. Yaitu
perspektif struktural dan perspektif kultural. Dimana perspektif kultural
didasarkan dengan budaya atau perilaku individu tersebut ketika dia melakukan
sebuah kegiatan dalam bermasyarakat yang dilacak dari perilaku – perilaku
individu tersebut. Output yang dihasilkan dari perspektif tersebut adalah
berupa pendekatan kultural melalui rekayasa internal atas atribut personal
dalam menegakkan etika di pelayanan publik.
Namun, ada beberapa kelemahan dari perspektif tersebut yaitu munculnya
asumsi bahwa setiap individu tidak memiliki etika dari lahir, mengabaikan
faktor – faktor eksternal yang seharusnya ikut andil dalam pembangunan etika
individu, dan menciptakan pribadi individu yang bebas melakukan apa saja
tanpa harus melakukan etika yang seharusnya dilakukan pada kondisi tertentu.
Banykanya kritik tersebut membuat munculnya perspektif baru yaitu
perspektif struktural dimana perilaku individu tidak bersifat inheren, melainkan
etika adalah sebagai dari hasil interaksi yang dilakukan individu tersebut
dengan lingkungannya. Menurut penulis lingkungan yang dimaksud adalah
lingkungan fisik, politik, ekonomi, hukum, sosial, dan lain sebagainya. Karena
faktor lingkungan tadi menyebabkan seorang individu merubah perilakunya
yang disesuaikan dengan etika yang ada di lingkungan tersebut. Menurut
penulis, variabel struktural merupakan determinan penting bagi proses
pembentukan nilai atau perilaku, bahkan kepribadian, seseorang. Oleh karena
itu, persoalan defisit etika di dalam birokrasi pelayanan publik lebih
merupakan persoalan struktural birokrasi ketimbang masalah kultural masing-
masing individu yang bekerja di dalamnya.
Jika dibandingkan dengan perspektif sebelumnya, perspektif struktural
justru lebih memiliki kelebihan, salah satunya adalah menurut penulis
perspektif struktural menawarkan preskripsi kebijakan yang relatif dapat
ditindaklanjuti melalui rekayasa berbagai struktur insentif – penghargan
maupun hukuman – untuk menciptakan lingkungan yang mampu
mempromosikan etika sehingga “memaksa” seseorang untuk tunduk pada
norma-norma etika atau biasa disebut dengan Rekayasa Kelembagaan.
Rekayasa Kelembagaan menurut penulis adalah proses mendesain aturan
main, norma, atau kebiasaan yang digunakan untuk mengatur apa yang
diperbolehkan atau yang dilarang oleh individu dalam melakukan interaksi
dengan pihak lain di dalam lembaga tersebut. Dengan adanya rekayasa
kelembagaan diharapkan dapat meciptakan keteraturan, kepastian dan stabilitas
dalam lembaga tersebut. Rekayasa kelembagaan diarahkan untuk memisahkan
antara ruang privat dan ruang publik secara tegas dalam lingkup pelayanan
publik sebuat birokrasi. Selain itu, dengan adanya rekayasa kelembagaan dapat
menciptakan struktur intensif seperti membuat reward dan sanksi yang harus
diperhatikan secara seimbang.
Bedasarkan harapan – harapan tersebeut ada beberapa agenda rekayasa
kelembagaan yang dapat dilakukan seperti menurut Levine, Peters, dan
Thompson (1990:191) yang mengatakan bahwa untuk menjaga stabilitas
kelembagaan perlu adanya Monitoring dan Controlling yang dapat digunakan
untuk mencegah hal – hal yang tidak diinginkan di dalam birokrasi tersebut.
monitoring dan kontrol dapat dilakukan oleh badan legislatif maupun oleh
badan independen atau juga masyarakat secara umum sehingga dapat
diharapkan dapat mampu mengendalikan perilaku birokrat dalam memberikan
pelayanan publik. Adapun menurut Lewis (2003) menkanisme kontrol dpat
dilakukan dengan pembuatan prosedur operasional standart, pemeriksaan
publik, Public Disclosure, kontrol finansial dan personil yang ketat, serta
publikasi informasi yang bisa diakses oleh publik sehingga dapat menciptakan
etika sebagai sebuah kebiasaan dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Selain dengan adanya inovasi – inovasi tersebut menurut penulis ada sebuah
teori yang dapat digunakan yaitu Teori Principal – Agent. Dimana teori
tersebut menyatakan bahwa didalam suatu interaksi terdapat minimal dua pihak
yaitu pihak Principal yang bertindak sebagai pihak yang memiliki kewenangan
dan Agent yaitu pihak yang dipercaya untuk mengelola kebutuhan yang
dibutuhkan oleh para Principal. Sehingga dapat dikatakan bahwa Principal
adalah masyarakat umum dan Agent adalah pemerintah.
Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik, teori principal-agent
mengharuskan aparat birokrasi untuk tunduk, patuh dan bertanggung jawab
kepada masyarakat dengan memperhatikan nilai – nilai etika yang disesuaikan
dengan mandat yang diberikan oleh masyarakat dan harus diatur serta diawasi
melalui manajemen kontrol.
Di Indonesia, mekanisme kontrol sangat sulit diterapkan karena adanya
asimetri kekuasaan antara birokrasi pelayanan yang secara de facto menguasai
sumberdaya dan informasi dengan politisi dan masyarakat yang secara de jure
menjadi principal. Dengan memperhatikan berbagai kesulitan tersebut, selama
ini terdapat sejumlah alternatif yang dikembangkan untuk memperbaiki etika
serta kualitas pelayanan publik secara umum. Di antaranya adalah customer’s
charter, customer service standard, customer redress, quality guarantees,
quality inspectors, customer complaint systems, ombudsman, competitive
public choice systems, vouchers and reimbursement programs, customer
information systems and brokers, competitive bidding, competitive
benchmarking, privatisasi, serta contracting out atau outsourcing.
Citizen’s Charter sendiri adalah sebuah inovasi dimana pelayanan publik
harus memiliki daya tanggap yang tinggi dan siap menerima laporan dari
masyarakat. Ada empat dimensi yang harus diwujudkan yaitu kualitas, pilihan,
standart, dan nilai. Di Indonesia sendiri, sudah mulai diterapkan meskipun
masih belum ada literatur yang membahas tentang keberhasilan dari inovasi
tersebut.
2. Review
Secara garis besar, topik yang dibahas oleh penulis adalah masalah
pengaturan etika di dalam pelayanan publik yang ada di Indonesia. Hal ini
ditunjukkan pada kasus – kasus pelanggara etika yang dilakukan oleh
birokrat dalam memberikan pelayanan publik seperti bersifat diskriminatif,
tidak jujur, dan lain sebagainya. Hal tersebut juga berakibat kepada
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam memberikan pelayanan
publik.
Maka dari itu, penulis merumuskan beberapa solusi yang dapat dilakukan
oleh pemerintah guna dapat memperbaiki kualitas etika dari para birokrat
dalam memberikan pelayanan publik seperti menerapkan sistem monitor
dan control, memasukkan teori Principal Agent dalam memberikan sebuah
pengajaran kepada birokrat dan menciptakan sebuah sistem yaitu sistem
Citizen’s Charter. Dan pada saat ini solusi – solusi tersebut sudah
dikembangkan di Indonesia.
2.1 Kelebihan
1. Penjelasan yang dipaparkan dijelaskan secara detail atau spesifik
2. Memberikan contoh setiap mejelaskan sebuah solusi
2.2 Kekurangan
1. Tidak adanya substansi yang jelas antara pembuka, isi, dan penutup
2. Terkadang menggunakan bahasa yang sulit dipahami oleh
masyarakat awam
3. Tidak adanya penghubung antara satu topik dengan topik yang lain
yang diutarakan secara jelas sehingga terkadang membuat bingung
pembaca

Anda mungkin juga menyukai