Anda di halaman 1dari 11

EVALUASI AKHIR SEMESTER

Etika Administrasi Publik (C)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah semester

Mata Kuliah Etika Administrasi Publik (C)

Dosen Pengampu : Dr. Djoko Widodo, MS

Dikerjakan Oleh :

FARHAN FERDIANTO

1111800128

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ADMNISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

2021
PENDAHULUAN

Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan
sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan pegangan
moral itu mana yang baik dan mana yang buruk, benar dan salah serta mana yang dianggap ideal
dan tidak. Oleh karena itu dimana pun kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan
etika tidak mungkin dikesampingkan. Semua warganegara berkepentingan dengan etika. Salah
satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika
sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal,
dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu
elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan
organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang
dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi
pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule government yang
lebih menekankan pada aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi paradigma
good governance yang tidak hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata,
tetapi melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta dan
masyarakat (publik) secara keseluruhan. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak
yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya
benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan
bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat
pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki etika yang baik dalam menjalankan
kewajibannya.

PEMBAHASAN

Etika berasal dari bahasa Yunani etos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan
moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari
isilah ini muncul pula istilah morale atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian
asalnya. Moril bisa berarti semangat atau dorongan batin. Disamping itu terdapat istilah norma
yang berasal dari bahasa Latin. (norma: penyiku atau pengukur), dalam bahasa inggris norma
berarti aturan atau kaidah. Dalam kaitannya dalam perilaku manusia, norma digunakan sebagai
pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga untuk menakar atau menilai
sebelum ia dilakukan. Moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa
kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-
peraturan hukum, sedangkan moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari
etika. Moralitas berfokus pada hukum-hukum dan prinsip abstrak dan bebas.

Orang yang telah mengingkari janji yang diucapkannya dapat dianggap sebagai orang
yang tidak dipercaya atau tidak etis, tetapi bukan berarti tidak bermoral, namun menyiksa anak
disebut tindakan tidak bermoral. Secara Epistimologis etika dan moral memiliki kemiripan,
namun sejalan dengan perkembangan ilmu dan kebiasaan dikalangan cendekiawan ada
pergeseran arti. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang
mempelajari nilai baik dan buruk manusia. Sedangkan moral adalah hal-hal yang mendorong
manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Etika merupakan
seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun apa yang harus dilakukan
dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah
sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk.
Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa
sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk. Pemikiran tentang etika berlangsung pada tiga aras: (1)
filosofik, (2) sejarah, dan (3) kategorial.

Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik

Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu
tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan
swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan
masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil
diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Dalam arti yang luas, konsep pelayanan
public (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain
dalam mencapai kepentingan publik. Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan
kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi,
dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana
pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.

Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu
diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf
besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat
moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens
juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta,
etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika
disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sejak permulaan tahun
1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai
etika administrator publik, dua diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah
John Rohr dan Terry L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat menggunakan
regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan
keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan
cara demikian maka administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical). Sementara itu
menurut Cooper etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi
dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis
tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran

Cooper bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada
tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara
tepat pada pembuatan keputusan administrasi Paradigma Etika Dalam Pelayanan Publik Menurut
Fadillah (2001) etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan
menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma
yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Oleh sebab itu maka etika
mempersoalkan ”baik-buruk”, dan bukan ”benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku
manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, baik dalam masyarakat maupun organisasi
publik, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi publik. Dalam
paradigma ”dikotomi politik dan administrasi” sebagaimana dijelaskan oleh Wilson (dalam
Widodo, 2001) menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi
politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa
yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan
kebijakan-kebijakan tersebut.

Dengan demikian kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik
(political master), dan melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi
publik. Namun karena administrasi publik dalam menjalankan kebijakan politik tadi memiliki
kewenangan secara umum disebut ”discretionary power”, keleluasaan untuk menafsirkan suatu
kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada
jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara ”baik dan tidak
secara buruk” ? Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat
dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi
dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah
perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan tersebut dapat dikatakan baik atau buruk.
Dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut mengubah posisi dan
peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang suka mengatur dan
memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan
kekuasaan berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan
dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis. Dalam
kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan
publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu,
reponsif, adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan
kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri.
Selanjutnya pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh
adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu aparatur pemerintah. Ciri-
cirinya adalah

1. Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
2. Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah,
cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh
masyarakat yang meminta pelayanan.

3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai.

4. Prosedur dan tata cara pelayanan.

5. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif,

6. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan,

7. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya.

8. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

9. Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat


penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya serta hal-hal
lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.

10. Efisiensi, Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung
dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dengan produk layanan yang berkaitan, dicegah adanya pengulangan
pemenuhan persyratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

Etika Administrasi Negara dalam Implementasinya

Dalam penerapannya banyak sudah contoh kasus yang ada di Indonesia berkaitan dengan
etika administrasi negara. Mulai dari hal terkecil saat pembuatan KTP, karena organisasi
pemerintah tidak melangsungkan hidupnya dengan etika, maka dengan mudah terjadi praktek
pungutan liar yang merugikan masyarakat. Hal itu juga yang kemudian membuat penilaian
tentang buruknya manajemen pemerintahan yang ada. Seharusnya, dalam keberlangsungan
negara, adanya komunikasi sesuai etika dapat berlangsung dengan benar baik antara pejabat
pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun antara rakyat dan pemerintah agar tercipta
suatu koordinasi yang kontekstual dan berdampak positif bagi rakyat dan pemerintah. Dalam
etika administrasi negara yang dapat dikatakan harus melingkupi semua proses penyelenggaraan
negara. Namun, pada prakteknya, kepegawaian di Indonesia seringkali berjalan tidak sesuai
dengan etika yang ada. Dapat dilihat dari awal, proses seleksi saja sudah mengindikasikan
adanya kecurangan misalnya dengan adanya kasus penyuapan untuk diterima sebagai PNS.
Kecurangan ini kemudian berdampakburuk, karena dengan kecurangan ini akan timbul sumber
daya manusia yang kurang berkualitas. Sama halnya dengan ketatausahaan, tanpa etika
administrasi negara,

ketatausahaan akan berlangsung tidak transparan dan merugikan masyarakat. Keuangan


negara pun rusak karena penyelenggaraan anggaran yang tidak berlandaskan etika administrasi
negara, praktek korupsi ada dimana-mana, akuntabilitas publik pun menjadi sesuatu yang sangat
dipertanyakan keberadaannya, kalau sudah begitu maka hubungan masyarakat pun tidak akan
berjalan dengan baik. Masyarakat sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Penyelenggaraan negara terlihat berlangsung dengan kacau, itu semua disebabkan karena
pengabaian terhadap etika administasi negara. Dengan melihat kenyataan tersebut, perlu adanya
kesadaran baik dari pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan negara, maupun dari
masyarakat yang semestinya dilayani dengan baik oleh negara, semua kegiatan pemerintahan
tidak lepas dari etika administrasi negara. Ketika eksistensi etika tersebut dipertanyakan, maka
semua komponen negara pun akan menjadi tak jelas kemana arah dan tujuannya. Seperangkat
nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi
birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah:

A. Efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan
baik jika mereka efisien.

B. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan
untuk kepentingan pribadi.

C. Impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu
dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal,
maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan
dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan
peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang
berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan.

D. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya
dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan,
namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude),
kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang
bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
dan bukan spoil system (adalah sebaliknya).

E. Responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik


dalam menjalankan tugas dan kewenangannya,

Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan di atas, maka dapat
pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut telah dijadikan sebagai norma serta
diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik dalam melaksanakan tugas da kewenangannya, maka
hal ini akan dapat mencegah timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-
bentuk penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada lembaga
pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika birokrasi belum cukup untuk
menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang lebih penting adalah
kembali kepada kepribadian dari masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata lain bahwa
kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri setiap individu
birokrat sangat berperan dalam membentuk perilakunya.

Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap individu maka akan dapat
mencegah munculnya niat untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi
(penyelewengan). Menurut Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih
terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk
profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik
karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah
ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera.
Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah
memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik.
Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para
pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode
etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan.
Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian
dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.

Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di
Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat
sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang
relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for
Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta
penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para
anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja
profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas,
dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan
terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program
affirmative action.

PENUTUP

Dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa etika dan moral menjadi suatu yang
penting dalam membangun birokrasi negara Indonesia menjadi lebih baik lagi. Degradasi nilai
etika moral yang akhir-akhir ini sering terjadi di dalam tubuh insitusi di Indonesia bahkan
menjadi kasus besar sehingga berdampak besar dan membuat citra birokrasi di Indonesia
menjadi buruk di mata masyarakat. Birokrat-birokrat di dalamnya menjadi suatu hal yang begitu
berpengaruh akan jalannya suatu birokrasi. Ketika suatu etika moral birokrat dikatakan rendah
maka institusi birokrasi tersebut juga akan terpandang rendah di mata masyarakat. Akibat dari
buruknya dalam melayani, mengapresiasikan, dan mengimplementasikan kebutuhan masyarakat.
Seorang birokrat harus lebih kritis dalam merespon gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat.
Dan dengan filsafat ilmu diharapkan ada suatu perbaikan dari segi etika moral para birokrat
negara. Sehingga nantinya citra birokrasi dapat baik di mata masyarakat dan dapat secara arif
bijaksana membantu masyarakat ketika masyarakat membutuhkan suatu bantuan di dalam
institusi brokrasi. Selain itu melalui filsafat ilmu diharapkan generasi muda yang nantinya akan
menjadi birokrat-birokrat negara Indonesia akan mempunyai sikap kritis, inovatif, dan kreatif
serta etika moral yang baik sehigga birokrasi tidak lagi dipandang buruk oleh masyarakat.

Perlunya menetapkan nilai-nilai etika moral dalam pelaksanaan kegiatan birokrasi dan
agar suatu kegiatan birokrasi tersebut dapat berjalan dengan baik maka diperlukan sebuah
payung hukum yang menaungi dan membatasi etika moral para birokrat yang selama ini masih
menjadi problem besar sebuah institusi birokrasi di Indonesia. Selain itu adanya payung hukum
tersebut dapat dijadikan dasar acuan sebatas mana pelanggaran dari birokrat tersebut dan sanksi
seperti apa yang pantas diberikan apabila para birokrat melakukan pelanggaran yang melebihi
batas hukum yang telah ditentukan. Kesimpulannya adalah tentang perlunya sanksi yang berat
terhadap birokrat-birokrat yang kurang memiliki etika moral yang baik ataupun birokrat yang
melakukan pelanggaran dalam prinsip birokrasi dalam membantu kebutuhan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad Drs., H. 2010. Filsafat ilmu : ontologi, epistemologi, aksiologi, dan logika
ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Budianto, Irmayanti M 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra

Wijaya, A.W, Etika Adminiatrasi Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 1999, halaman 56.

Jefriando, M. 2013. Wamen PAN Ungkap 7 Kebobrokan Birokrasi di Indonesia, [online],

Ati, Ayuning Mustika. 2010. Etika Birokrasi dalam Administrasi Publik. (online),
http://www.scribd.com/feeds/rss. diakses 25 Oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai