Anda di halaman 1dari 14

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Pelanggaran moral atau etika dalam pelayanan publik sulit ditelusuri dan dibuktikan,

karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang menganggap tabu dalam “membuka aib”,

termasuk dalam permasalahan pelayanan publik. Sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan

yang semakin berat karena standar penilaian etika pelayanan terus berubah sesuai

perkembangan jaman dan paradigmanya. Secara substantif, tidak mudah mencapai

kedewasaan dan otonomi beretika, karena itu kemungkinan besar pelanggaran moral atau

etika dalam pelayanan publik di Indonesia akan terus terjadi.

Dampaknya, kinerja pemerintah sebagai pelayan publik menjadi sorotan, terutama

sejak pasca reformasi karena mulai timbul iklim yang lebih demokratis di Indonesia.

Masyarakat mulai mempertanyakan nilai dan kualitas yang mereka peroleh atas pelayanan

publik yang dilakukan instansi pemerintah. Semua permasalahan tersebut tidak perlu terjadi

secara drastis dan dramatis, jika pemerintah dan aparatur pemerintahan memiliki kredibilitas

dan kewibawaan yang dihormati oleh rakyatnya. Pemerintah yang memiliki etika dan

moralitas yang tinggi dalam menjalankan kewenangan pemerintahannya, tentu memiliki

akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan aspirasi dan kepentingan

masyarakat yang dilayaninya. Pemerintahan yang demikian dapat mewujudkan iklim

keterbukaan, partisipasi aktif dan pemberdayaan masyarakat, sebagai manifestasi dari gagasan

yang dewasa ini mulai dikembangkan, yaitu penerapan etika dalam pelayanan publik.
BAB II

Pembahasan

2.1 Moral etika

Moral berasal dari bahasa latin yaitu Moralis-mos, moris yang memiliki arti adat istiadat, kebiasaan, cara,
tingkah laku, tabiat, watak, akhlak, dan cara hidup (Bagus, 2002). Moral yang terkait dengan kegiatan
manusia dari sisi baik atau buruk, benar atau salah dan tepat atau tidak tepat.

Menurut Gazalba (2004) Menyatakan bahwa moral dalam bahasa Indonesia disebut sebagai susila. Selain
itu moral sesuai dengan ide yang umum diterima yang berkaitan dengan tindakan manusia mana yang
baik dan wajar. Dia menyimpulkan bahwa moral merupakan suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran
tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Lebih lanjut Gazalba
menyebutkan bahwa antara moral dan etika yaitu moral bersifat praktik sedangkan etika bersifat teoritis.
Moral membicarakan apa adanya, sedangkan etika membicarakan apa yang seharusnya. Moral
menjelaskan tentang ukuran sedangkan etika menjelaskan ukuran itu. Dengan demikian jelas perbedaan
antara moral dan etika. Karena sebagian etika membicarakan tentang moral secara filosofis, maka etika
yang seperti ini disebut sebagai filsafat moral.

Franz Magnis- Suseno (1987) menyebutkan bahwa moral selalu mengacu pada baik / buruknya manusia
sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia yang dapat dilihat dari segi kebaikan
sebagai manusia. Norma-norma moral sebagai standarisasi untuk menentukan benar atau salahnya sikap
dan tindakan manusia yang dapat dilihat dari segi baik/ buruknya sebagai manusia bukan sebagai pelaku
peran tertentu dan terbatas. Jadi, menurut Franz-Suseno yang menjadi permasalahan bidang moral yaitu
apakah manusia ini baik atau buruk.

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (kata tunggal) yang memiliki arti tempat tinggal, kandang, rumput,
adat, kebiasaan, sikap, watak, dan cara berpikir. Bentuk jamak etika yaitu ta, etha yang memiliki arti adat
istiadat. Dalam hal ini etika sama artinya dengan moral. Moral berasal dari kata latin yaitu Mos (bentuk
tunggal) atau mores (bentuk jamak) yang memiliki arti adat-istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak,
cara hidup dan akhlak (Abuddin, 2012).

Bertens (2007) mengemukakan bahwa ada dua pengertian etika yaitu sebagai praktis dan sebagai refleksi.
Dikatakan sebagai praktis yaitu apabila etika memiliki nilai-nilai dan norma-norma moral yang baik yang
dapat dipraktikkan atau tidak dipraktikkan. Dikatakan etika sebagai praktis yaitu moral atau moralitas
yaitu apa yang dapat dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dan sebagainya. Etika sebagai refleksi
pemikiran moral.
Etika merupakan cabang ilmu yang berkaitan dengan pemikiran benar dan salah. Simorangkir menilai
etika yaitu suatu hasil dari usaha yang sistematik dan menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman
moral setiap individu dan menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku manusia beserta nilai yang
berbobot untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.

2.2 moral etika pelayanan masyarakat

Menurut Keban (2001), pelayanan publik dapat diartikan secara sempit dan luas.

Pelayanan publik dalam arti sempit adalah tindakan pemberian barang dan jasa yang

dilakukan pemerintah kepada masyarakat dalam rangka pemenuhan tanggung jawabnya

kepada publik. Barang dan jaa bisa diberikan secara langsung oleh pemerintah atau melalui

kemitraan dengan swasta dan masyarakat, tergantung jenis dan intensitas kebutuhan

masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini menekankan bagaimana pelayanan

publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Konsep pelayanan publik

secara luas identik dengan prinsip-prinsip public administration, yaitu mengutamakan

kepentingan publik. Dalam konteks ini pelayanan publik lebih fokus tentang bagaimana

elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi dan proses manajemen

dimaksimalkan dan dimanfaatkan secara efektif efisien, karena pemerintah merupakan pihak

provider yang diberi tanggung jawab.

Prinsip-prinsip etika pelayanan publik yang dikembangkan oleh Institute Josephson

America, yang dikutip oleh The Liang Gie (2006), dapat digunakan sebagai rujukan atau

referensi bagi para birokrasi publik dalam memberikan pelayanan, antara lain :

1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang dan berbelit;

2. Integritas, memunyai prinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral dan tidak

bermuka dua;

3. Memegang janji, memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana isinya

dan tidak menafsirkan isi perjanjian secara sepihak;

4. Setia, loyal dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;

5. Adil, memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi, menerima perbedaan serta


berpikiran terbuka;

6. Perhatian, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memberikan kebaikan dalam

pelayanan;

7. Hormat, menghormati martabat manusia, privasi dan hak menentukan nasib bagi setiap

orang;

8. Kewarganegaraan, bertanggungjawab menghormati, menghargai dan mendorong

pembuatan keputusan yang demokratis

9. Keunggulan, memperhatikan kualitas pekerjaan.

Kondisi masyarakat yang semakin kritis mengakibatkan birokrasi publik harus

mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang

suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan

pendekatan kekuasaan berubah menuju ke arah yang lebih fleksibel, kolaboratis dan dialogis,
dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis. Birokrat

juga harus menunjukkan perilaku yang profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan,

terbuka, tepat waktu, reponsif, adaptif dan dapat membangun kualitas pelayanan publik yang

profesional.

Pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang berlandaskan

akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu aparatur pemerintah. Cirinya

adalah sebagai berikut :

1. Efektif, pencegahan pengulangan persyaratan dari satuan kerja / instansi pemerintah lain

yang terkait.

2. Sederhana, prosedur diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit,

mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyaraka.

3. Transparan, ada kejelasan dan kepastian dalam pelayanan publik.

4. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif.

5. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang yang profesional.

6. Rincian biaya / tarif pelayanan dan prosedur pembayaran.


7. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

8. Ketepatan waktu, pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu

yang telah ditentukan.

9. Responsif, daya tanggap terhadap aspirasi masyarakat yang dilayani.

10.Adaptif, menyesuaikan terhadap tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang

dilayani seiring perkembangan.

Meskipun telah digambarkan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran

paradigma etika pelayanan publik, namun itu tidak berarti bahwa paradigma yang terakhir

mudah diimplementasikan. Mengapa? Karena dalam praktek kehidupan sehari-hari masih

terdapat dilema atau konflik paradigmatis yang cenderung mendatangkan diskusi panjang.

Dilema ini menyangkut pandangan absolutis versus relativis dan adanya hierarki etika.

2.3 moral etika pelayanan kesehatan di masyarakat

Moral etika adalah nilai nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Moral juga berarti mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat
dalam suatu kurun waktu tertentu sesuai perkembangan atau perubahan norma atau nilai.

Fungsi etika dan moral dalam pelayanan masyarakat:

1. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya bidan dank lien

2. Menjaga klien untuk melakukan tindakan kebaikan dan mnencegah tindakan yang merugikan/
membahayakan orang lain

3. Menjaga privasi setiap individu

4. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya

5. Dengan etika kita mengetahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya

6. Mengarahkan pola piker seorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah

7. Menghasilkan tindakan yang benar

8. Mendapatkan informasi tentang hal yang sebenarnya


9. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku / prilaku manuasia antara baik, buruk, benar atau
salah sesuai dengan moral yang berlaku pada umumnya

10. Berhubungan dengan pengatur hal hal yang bersifat abstrak

11. Menfasilitasi proses pemecahan masalah etik

12. Mengatur hal hal yang bersifat praktik

13. Mengatur tatacara pergaulan baik di tata tertib masyarakat maupun tata cara di dalam organisasi
profesi

14. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yang bisa disebut kode
etik profesi

2.4 kode etik profesi

Kode etik profesi bidan adalah norma norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang
bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat.

Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun tahun 1986 dan juga disahkan oleh kongres nasional
ikatan bidan Indonesia X tahun 1988, kemudian disempurnakan dan disahkan pada tahun 1988 oleh
kongres nasional IBI ke XII. Kode etik bidan Indonesian mengandung kekuatan yang semuanya tertuang
dalam mukadimah dan tujuh bab.

Kode etik yang berisi 7 bab yaitu :

1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat ( 6 butir )

- Seorang bidan santiasa menjunjung tinggi, dan mengamalkan sumpah jabatan dalam
melaksanakan tugas pengabdianya.

- Seorang bidan dalam menjalankan tugas profesinya dan selalu menjunjung tinggi harkat dan
martabat kemanusiaan.

- Seorang bidan saat menjalankan tugasnya senantiasa berpedomanpada tugas dan tanggung
jawab terhadap klien, keluarga dan masyarakat.
- Seorang bidan dalam menjalankan tugasanya selalu mendahulukan kepentingan klien, dan
menghormati hak klien dan nilai nilai yang berlaku dimasyarakat.

- Seorang bidan dalam menjalankan tugasnya selalu mendahulukan klien, keluarga dan
masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan masyarakat berdasarkan
kemampuan yang dimiliki.

- Seorang bidan selalu mengingatkan kepada masyarakat untuk meningkatkan derajat


kesehatan secara optimal.

2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya ( 3 butir )

- Memberikan pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga masyarakatsesuai dengan


kemampuan profesi berdasarkan kebutuhan klien.

- Memberikan sebuah pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan


dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi atau rujukan.

- Menjamin atas kerahasiaan dan keterangan klien,kecuali diminta oleh pengadilan atau
sehubungan dengan kebutuhan klien.

3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainya ( 2 butir )

- Harus menjalin hubungan baik dengan temen sejawatnya untuk menciptakan suasannya kerja
yang serasi.

- Dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati entah dengan teman sejawat
maupun dengan tenaga kesehatan yang lainya.

4. Kewajiban bidan terhadap profesinya ( 3 butir )

- Harus menjada nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi.

- Setiap bidan harus meningkatkan kemampuan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

- Senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat
meningkatkan mutu dan citra bidan.

5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri ( 2 butir )

- Setiap bidan harus menjaga kesehatan supaya bisa menjalankan tugas profesinya dengan
baik.
- Harus terus menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah nusa, bangsa dan tanah air ( 2 butir )

- Seorang bidan dalam menjalankan tugasnya,santiasa melaksanakan ketentuan pemerintah


dalam bidang kesehatan khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan
masyarakat.

- Seoranmg bidan melalui profesinya harus menyumbangkan pemikirannya kepada pemeribtah


terutama pada pelayanan KIA/KB dan kesehatan masyarakat, untuk meningkatkan mutu
jangkauan pelayanan kesehatan.

7. Penutup

Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya dalam sehari hari harus selalu mengamalkan kode
etik bidan Indonesia.

2.5 permasalahan moral etika yang berkaitan dengan kode etik profesi

Perkembangan peradaban saat ini telah merubah pola pikir dan bentuk hubungan antar manusia
dan membuat pergeseran budaya dalam masyarakat yaitu dari manusia sebagai makhluk sosial berubah
haluan ke arah manusia sebagai makhluk individual. Hal ini akan semakin terlihat jelas pada pola-pola
kehidupan masyarakat kota. Sifat individu ini sering menjadi faktor pencetus terjadinya sengketa dalam
masyarakat termasuk sengketa dalam pelayanan kesehatan. Sengketa yang terjadi dalam pelayanan
kesehatan timbul akibat adanya pelanggaran etika profesi, disiplin tenaga kesehatan dan tindak kriminal
dari tenaga kesehatan. Khusus untuk tindak kriminal yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, karena
termasuk dalam ranah tindak pidana maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga peradilan.

Penegakkan Kode Etik

Perkembangan zaman di bidang Kesehatan mulai mengalami kemajuan yang pesat baik dalam
teknologi dan Tenaga Kerja Medis itu sendiri. Namun, hal ini sering juga dibicarakan karena mulai
timbulnya permasalahan etik dalam bidang kesehatan baik dalam kedokteran, Keperawatan , Kesehatan
Masyarakat dan beberapa Tenaga Kerja Medis yang bersangkutan. Sehingga perlunya penegakkan kode
etik untuk pencegahan dan penyelesaian permasalahan tersebut agar tidak terjadi.

Kode etik membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas sebuah profesi dan
melindungi klien. Dalam hubungan dan tanggung jawab seorang Kesehatan Masyarakat yang profesional
kepada klien dan kesejahteraan mereka. Selanjutnya mencakup penegakan dalam kepercayaan dan
komunikasi kepada masyarakat.

Tanggung jawab seorang kesehatan masyarakat yakni memberikan perhatian penuh terhadap
masayarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. misalnya mendengarkan dengan
seksama apa yang disampaikan klien. Selain itu konselor harus menjaga kerahasiaan klien yang hal itu
merupakan privasi dan sumber kepercayaan klien. Konselor membuktikan keahlian dalam komunikasi
dengan memberikan informasi tentang kualifikasi, misalnya memberi info tentang hasil yang dicapai
dalam konseling. 68 Kode etik kesehatan masyarakat merupakan landasan moral dan pedoman tingkah
laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi kesehatan
masyarakat.

Kode etik kesehatan masyarakat wajib dipatuhi dan diamalkan oleh pengurus dan anggota
organisasi tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota.

Dalam hal untuk menjunjung dan menegakkan sebuah kode etik kesehatan masyarakat, seorang
kesehatan masyarakat perlu mengikuti pendidikan tentang kesehatan masyaraakat agar mengerti dan
paham akan kode etik itu sendiri. Apalagi seorang yang sudah menjadi profesional tentunya sudah
mengetahui lebih mendalam tentang kode etik itu sendiri. Untuk menegakkan kode etik kesehatan
masyarakat bisa dilakukan dengan memberika sanksi berupa teguran, baik lisan maupun tulisan,
mengucilkan pelanggar dari kelompok profesi atau memberlakukan tindakan hukum dengan sanksi keras.
Karena Kesehatan masyarakat sebagai ilmu dan seni untuk mencegah penyakit, mempepanjang masa
hidup dan meningkatkan kesehatan melalui upaya bersama masyarakat secara terorganisir untuk sanitasi
lingkungan, pemberantasan penyakit, pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan sebagainya,
mengandung makna bahwa aspek preventif dan promotif adalah lebih penting daripada kuratif dalam
rangka peningkatan status kesehatan masyarakat.

Pendekatan preventif-promotif yg melibatkan keikutsertaan masyarakat mempunyai implikasi


bahwa klien profesi kesehatan masyarakat bukanlah individu, tetapi masyarakat. Dalam melaksanakan
upaya kesehatan masyarakat tersebut.

Faktor Penghambat Kode Etik

Kode etik menjadi tidak tepat apabila hanya berisi peraturan-peraturan. Terdapat faktor yang
menghambat jalannya pelaksanaan kode etik, yaitu:

1. Sifat kekeluargaan Sifat kekeluargaan adalah memberikan perlakuan yang khusus kepada anggota
keluarga. Namun, perlakuan berbeda akan diberikan kepada yang bukan keluarga. Hal ini melanggar
profesionalisme kode etik yang seharusnya memberikan perlakuan yang sama terhadap klien.

2. Pengaruh jabatan Karena pengaruh jabatan, terkadang seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat
memberikan pelayanan yang lebih istimewa terhadap seorang klien dibandingkan dengan klien lain. (Sari.
2016).

3. Pengaruh konsumerisme Tuntutan konsumerisme erat kaitannya dengan perekonomian dan daya
konsumsi suatu individu. Sifat konsumerisme ini seringkali membuat sarjana kesehatan masyarakat
melakukan langkah-langkah yang melanggar kode etik demi memenuhi kepuasan hidupnya. Dengan sifat
konsumerisme ini juga membuat sarjana kesehatan masyarakat menganggap bahwa pekerjaan sebagai
ladang untuk mencari uang dan mengabaikan peranannya.

4. Profesi menjadi kegiatan bisnis Seorang yang telah memiliki profesi pasti mengetahui bahwa profesi
berbeda dengan kegiatan bisnis. Tujuan bisnis dan profesi sangatlah berbeda. Tujuan bisnis adalah untuk
mendapatkan keuntungan, sedangkan tujuan profesi adalah untuk memberikan layanan kepada
masyarakat.

5. Lemahnya iman Menjadi seorang yang profesional tidak hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan
bidangnya, tetapi juga harus memliki ketaqwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa dengan cara menjalankan
perintah-Nya dan menjauhkan larangan-Nya. Dengan iman dan taqwa yang tebal, maka seorang individu
akan tidak mudah tergiur untuk melakukan hal buruk. (Wiranata. 2005).

Adapun contoh dari permasalahan yang telah diuraikan sebagai berikut :

1. Pengaruh jabatan

Seorang kepala puskesmas memiliki anggota keluarga yang sedang sakit sehingga membutuhkan
pelayanan kesehatan di puskesmas tersebut. Pasien tersebut mendapat pelayanan kesehatan dengan
segera tanpa harus menunggu giliran, sedangkan pasien lain harus menunggu lama. Hal tersebut
dikarenakan jabatan salah satu keluarganya sebagai kepala puskesmas yang merasa harus
diprioritaskan.

2. Pengaruh konsumerisme

Petugas di Puskesmas Suka Maju ditugaskan melakukan pembagian pemberian makanan tambahan
(PMT) gratis di Posyandu pada Balita di wilayah RT Sekar. Namun karena petugas itu membutuhkan
uang untuk kredit motornya dia meminta kepada masyarakat untuk membayar PMT tersebut. Petugas
kesehatan masyarakat diminta untuk memberikan honor kepada Petugas Posyandu di Desa Bunga.

Petugas tersebut menggelapkan honor yang harusnya diberikan selama 3 bulan karena butuh uang
untuk membayar cicilan mobil. Kedua perbuatan ini melanggar etik karena konsumerisme.

3. Karena lemahnya iman

Seseorang yang menjabat sebagai kepala rumah sakit melakukan tindakan kriminal seperti
penggelapan uang. Hal ini terjadi karena ia memiliki iman yang lemah sehingga mudah tergoda
untuk melakukan tindakan tersebut demi mendapatkan keuntungan yang besar.

Peradilan dalam Profesi

A. Prestasi Yang Diberikan Pada Pelayanan Kesehatan Yang Berindikasi Medis Sebagai
Bentuk Upaya Maksimal (Inspanning Verbintennis) Ilmu kesehatan dan kedokteran
bukanlah ilmu pasti yang bisa memberikan jaminan hasil, pasien atau keluarga pasien datang
ke tenaga kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dengan harapan sembuh dari
penyakitnya. Di sisi lain tenaga kesehatan hanya dapat mengusahakan berdasarkan ilmu
kesehatan dan kedokteran untuk meringankan dan mengupayakan penyembuhan bukan
memberikan jaminan kesembuhan. Dengan kata lain, hasil dari proses pengobatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan tidak dapat dipastikan. Namun demikian bukan berarti
pengobatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tanpa dasar tetapi didasarkan oleh
keilmuan medis. Oleh karena pemerintah bersama-sama dengan ikatan profesi dalam
menjamin kualitas layanan membuat berbagai standar yang dijadikan acuan dalam
memberikan pelayanan terhadap pasien.

Kesalahan yang sering muncul dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berpraktek adalah
kadang memberikan tawaran kepada pasien dengan berbagai fasilitas pelayanan seolah-olah
akan memberikan jaminan hasil atau kepastian terhadap pengobatan yang dilakukan. Hal
semacam inilah yang kadang akan menimbukkan sengketa dikala akhirnya tidak sesuai
dengan yang ditawarkan. Memang benar tidak selamanya pelayanan kesehatan bernuansa
upaya maksimal, namun akhir-akhir ini ada juga yang bernuansa hasil terutama pada pasien
tanpa indikasi medis seperti pelayanan kosmetika atau estetika.

Pada umumnya pelayanan kesehatan merupakan upaya dengan niat baik untuk memberikan
pertolongan, meringankan penderitaan dan mengupayakan kesembuhan berdasarkan standar
kompetensi dan standar operating prosedur. Oleh karena itu bila terjadi efek samping atau
hasil yang tidak sesuai dengan harapan bukanlah suatu tindak pidana sehingga bila terjadi
sengketa dapat diselesaikan melalui proses mediasi.

Konflik pelayanan kesehatan yang dikarenakan pasien atau keluarga pasien menganggap
dirugikan atau mengalami resiko medis maka penyelesaiannya bukan melalui tuntutan
pidana atau gugatan perdata melainkan diproses sebagai “sengketa medis” yang diselesaikan
melalui “mediasi medis” atau peradilan khusus kesehatan yang bersifat “ad hoc” tanpa
campur tangan peradilan umum dari aparat penegak hukum umum

B. Mediasi Sebagai bagian Upaya Menuju Masyarakat Sejahtera. Istilah menghukum,


memenangkan gugatan dan lain sebagainya dalam suatu putusan lembaga peradilan
merupakan istilah yang bermakna negatif bagi pihak yang menerimanya dan bagi orang
yang mencari keadilan. Misalkan kasus gugatan keluarga pasien melawan Rumah Sakit
dengan Perbuatan Melawan Hukum karena anggota keluarganya meninggal akibat dugaan
malpraktek. Dalam persidangan, karena tidak terbukti melakukan Perbuatan Melawan
Hukum maka putusan pengadilan menolak gugatan penggugat dan menghukum penggugat
membayar biaya perkara. Hal ini menggambarkan bahwa pihak pencari keadilanpun dapat
dihukum dan dapat dituntut balik dengan dalih pencemaran nama baik. Permasalahan
tersebut sebenarnya dapat diselesaikan melalui proses mediasi dan masing-masing pihak
sadar akan manfaat serta kepentingannya tentu akan mendapatkan hasil akhir yang lebih
baik yaitu hubungan antara pihak dapat terjaga, kedua belah pihak mendapatkan
keuntungan yang seimbang, akan meningkatkan harmonisasi dalam kehidupan
bermasyarakat untuk menuju masyarakat yang damai, jauh dari rasa dendam dan tidak
mengutamakan konflik.

Dalam ilmu pengetahuan hukum dapat diartikan dalam 3 (tiga) hal yaitu pertama, hukum
dalam artinya sebagai adil (keadilan). Arti yang kedua, hukum dalam artinya sebagai
undangundang dan/ atau peraturan mengenai tingkah laku (tertulis) yang dibuat oleh
penguasa. Dan ketiga, hukum dalam arti sebagai hak. Hukum dalam arti yang kedua inilah
yang lazimnya disebut sebagai hukum obyektif yaitu yang berupa rangkaian peraturan yang
mengatur yang mengatur tentang macam-macam perbuatan yang boleh dilakukan dan
dilarang, siapa yang melakukannya serta sanksi apa yang dijatuhkan atas pelanggaran
peraturan tersebut. Dokter atau dokter gigi sebagai suatu profesi memiliki tanggung jawab
profesi atas pelayanan medisnya. Terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum tersebut yang
dilakukan oleh profesi dokter ini dapat dilakukan tindakan atau dengan kata lain dilakukan
penegakan hukum.

2.6 sanksi pelanggaran etika bagi pelayan publik

1) Sesuai pasal 15 menurut Peraturan pemerintah pelayan publik yang melanggar ketentuan
pasal 6 di kenai sanksi moral

2) Sanksi moral sebagaimna dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban untuk mengajukan
permohonan maaf secara lisan dan atau tertulis atau pernyataan penyelesaian yang
disampaikan secara terbuka

3) Pengenaan sanksi moral sebagaimana di maksud pada ayat (2) di sampaikan oleh pejabat
yang berwenang dan dislaksanakan oleh pelayan publik yang bersangkutan memalui :

a. Forum pertemuan resmi pegawai negri sipil

b. Upacara bendera

c. Papan pengumuman

d. Media massa atau

e. Forum lain yang di pandang sesuai untuk itu

4) Pelaksanaan sanksi moral sebagaimana di maksud pada ayat 3 huruf a, huruf b dab huruf
e di sampaikan sebanyak 1 (satu) kali

5) Pelaksanaan sanksi moral sebaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf d
dilakukan paling lama 3 (tiga) hari

6) Pelayan publik yang di kenakan sanksi moral dan tidak bersedia mengajukan
permohonan maaf secara lisan dan atau tertulis atau membuat pernyataan penyesalan,
dijatuhi hukuman disiplin berdasarkan peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1980
tentang peraturan disiplin pegawai negeri sipil

Pasal 16

1) Pelayan publik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 di kenakan :

a. Sanksi moral sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (20 dan


b. Sanksi hukuman disiplin berdasarkan peraturan pemerintah no 40 tahun 1980 tentang
Peraturan disiplin Pegawai Negri Sipil

2) Pengenaan sanksi sebaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang berwenang

3) Pelayan publik wajib membayar kerugian atas pelanggaran ketentuan pasal 7 yang menimbulkan
kerugian, setelah dibuktikan nilai kerugiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

4) Pelayan publik yang dikenai sanksi atas pelanggaran ketentuan pasal 7 dapat ditindak lanjuti
dengan pemrosesan perkara kepada lembaga peradilan umum apabila pelayan publik melakukan
tindak pidana

Pasal 17

1) Penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana di maksud dalam pasal 8 dan atau 9
dikenai sanksi hukuman disiplin berdasarkan peraturan pemerintah no 30 tahun 1980 tentang
peraturan disiplin pegawai negri sipil

2) Pengenaan sanksi sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang berwenang

3) Penyelenggara yang dikenai sanksi atas pelanggaran ketentuan pasal 9 dapat ditindaklanjuti
dengan pemrosesan perkara kepada lembaga peradilan umum apabila penyelenggara melakukan
perbuatan melawan hukum dan atau melakukan tindakan pidana

Pasal 18

Atasan langsung pelayan publik atau penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2)
huruf a yang secara langsung adan atau tidak langsung mengetahui adanya pelanggaran terhadap
ketentuan pasal 6, pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 yang tidak mengambil tindakan pengenan sanksi atau
membantu pelayan publik/penyelnggara untuk melakukan pelanggaran, dikenakan sanksi hukuman
disiplin berdasarkan peraturan pemerintah nomor 30 tahun1980 tentang peraturan disiplin pegawai
negri sipil
DAFTAR PUSTAKA

1. https://ejournal.uniramalang.ac.id/index.php/JOGIV/article/download/298/186
2. https://books.google.co.id/etikolegal dalam praktik kebidanan
3. http://dinas.id kode etik bidan
4. http//mhomecare.co.id kode etik
5. http://kumpulan-segala macam.blogspot.com/2008/07/pengertian-etika-dan-moral-dalam.html
6. Wiranata, I. G. A. B. 2005. Dasar-Dasar Etika dan Moralitas. Bandung: Citra Aditya Bakti. p:
261
7. Sari, D. A. P., Suhariningsih, dan Nurdin. 2016. Makna Pemberian Jaksa Hukum Secara Cuma-
Cuma Oleh Notaris Pada Orang Tidak Mampu Terkait Sanksi yang Diberikan Oleh Undang-
Undang Jika Tidak Dipenuhi (Analisis Pasal 37 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Jabatan Notaris
No. 2 Tahun 2014). Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum. p:16.
8. Prof.Dr.H. Prayitno, M.Sc.Ed. & Drs Erman Amti. 2009. Dasar-dasar Bimbingan & Konseling.
(Jakarta : Rineka Cipta)

Anda mungkin juga menyukai