Anda di halaman 1dari 8

PAPER ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK

PENGERTIAN, DINAMIKA DAN PERMASALAHAN ETIKA


ADMINISTRASI PUBLIK

Dosen Pengampu: Dr. Drs. Mochammad rozikin, M.AP

Disusun oleh :
Aridhya Rahmanditha Parasu
205030100111139
Kelas B (Kurikulum 2015)

Fakultas Ilmu Administrasi


Universitas Brawijaya
Malang
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Etika berasal dari kata Yunani “Ethos” Yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata lain “Mos” yang
membentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga adat atau cara hidup. Selanjutnya
definisi etika menurut Bratawijaya (1992:243), adalah ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak atau moral. Bratawijaya juga membagi menjadi dua jenis etika,
yaitu, Etika Umum adalah menyajikan suatu pendekatan yang teliti mengenai
norma-norma yang berlaku umum bagi setiap warga masyarakat. Etika umum ini
terdiri atas tiga bagian norma yaitu, norma santun, norma hukum dan norma
moral. Dan selanjutnya ada Etika Khusus adalah penerapan etika umum dalam
kegiatan profesi misalnya Etika Dosen, Etika Sekretaris, Etika Dokter, Etika
Bisnis dan Etika Pelayanan. Dari berbagai definisi yang tadi dijelaskan, perlu
diberikan beberapa catatan. Menggolongkan etika sebagai ilmu pengetahuan
normative yang bertugas memberikan pertimbangan perilaku manusia dalam
masyarakat apakah baik atau buruk, benar atau salah.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Etika Administrasi Publik?
2. Bagaimana dinamika dan implementasi Etika Administrasi Publik?
3. Bagaimana dengan permasalahan yang ada dalam Etika Administrasi
Publik?

I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami Etika Administrasi Publik.
2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana dinamika dan implementasi
Etika Administrasi Publik.
3. Untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang ada dalam Etika
Administrasi Publik.
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Etika Administrasi Publik


Etika merupakan bagian dari filsafat, nilai dan moral. Etika bersifat
abstrak dan berkenaan dengan persoalan “baik” dan “buruk”. Sedangkan
administrasi publik bersifat konkrit dan harus mewujudkan apa yang dinginkan
publik. Maka dari itu disini harus bisa saling menghubungkan gagasan seperti
keteraturan, efisiensi, kemanfaatan dan kinerja yang dapat menerapkan etika
dalam praktiknya. Dalam etika administrasi publik terdapat empat aliran utama
menurut Chandler & Plano, yaitu :

1. Rational theory berasumsi bahwa baik atau buruk sangat tergantung dari
rationating atau alasan dan logika yang melatarbelakangi suatu perbuatan,
bukan pengalaman. Dalam konteks ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu
yang unik dan membutuhkan penerapan yang unik pula tentang baik atau
buruk.
2. Relevation theory berasumsi bahwa yang benar atau salah berasal dari
kekuasaan di atas manusia yaitu dari Tuhan sendiri. Dengan kata lain apa
yang dikatakan Tuhan (dalam berbagai kitab suci) menjadi rujukan utama
untuk memutuskan apa yang benar dana pa yang salah.
3. Empirical theory berpendapat bahwa etika diturunkan dari pengalaman
manusia dan persetujuan umum. Misalnya peperangan/penggunaan zat
kimia tertentu yang membahayakan manusia. Dalam konteks ini penilaian
baik dan buruk tidak terlepas atau terpisahkan dari fakta dan perbuatan
yang dirasakan.
4. Intuitive theory berasumsi bahwa etika tidak harus berasal dari
pengalaman dan logika, tetapi ini dari manusia secara alamiah memiliki
pemahaman tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk. Teori ini
menggunakan hukum moral atau “natural moral law”.

Selanjutnya dalam pemberian pelayanan publik, telah terjadi pergeseran


paradigm etika. Pergeseran tersebut dapat ditelusuri dalam tulisan Denhardt yang
berjudul The Ethics of Public Services (1988). Penulis ini menggambarkan sejarah
etika pelayanan publik melalui dari karya Wayne A. R. Leys tahun 1944, yang
oleh penulis disebut sebagai model-The 1940’s. Leys memberikan saran kepada
pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu “good
public policy decisions”. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan
kebiasaan atau tradisi yang selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam
menentukan suatu perumusan kebijakan karena pemerintah terus berhadapan
dengan berbagai masalah baru. Katanya, kebiasaan dan tradisi tersebut harus
digoyang dengan standar etika yang ada dimana etika, katanya, harus dilihat
sebagai “source of doubt”. Denhardt (1988:6), mengatakan bahwa pertanyaan-
pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu kebijakan sudah
dianggap baik atau buruk. Singkatnya, dalam model ini dikatakan bahwa agar
menjadi etis, diperlukan seorang administrator selalu menguji dan
mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan kebijakan daripada
yang hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang
ada.

II.2 Dinamika dan Implementasi Etika Administrasi Publik


Pada tahun 1953 Hurst A. Anderson mengungkapkan dalam suatu
pidatonya dengan judul Ethical Values in Administration (nilai-nilai etika dalam
administrasi), katanya, masalah etika sangat penting dalam setiap kebijakan
publik. Etika itu sendiri harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menuntun
kehidupan dan pekerjaan kita semua. Selanjutnya pada tahun 1960an
memunculkan nuansa baru dalam etika pelayanan publik. Robert T.
Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudul Man, Management
and Morality tahun 1965, bahwa praktik-praktik birokrasi telah berlangsung
sekian lama yang didasarkan pada teori-teori birokrasi tradisional telah membawa
dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam birokrasi itu sendiri.
Karena itu melihat ini sebagai etis seorang administrator sebaiknya mengevaluasi
dan mempetanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu
kebijakan, standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar yang ada
pada publik dan tidak semata bergantung pada kebiasaan/budaya. Dan selanjutnya
pada tahun 1970an para ahli administrasi publik yang tergolong dalam New
Public Administration memberikan nuansa baru atau kondisi baru yang
mengharapkan agar administrator memperhatikan “administratic responsibility”.
David K. Hart, salah satu intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat
itu sudah bersifat “impartial” dan sudah waktunya mengubah paradigma lama
untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Dari
gambaran singkat tadi di atas tentang dinamika pelayanan publik dapat
disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah mendapatkan perhatian
yang serius dalam dunia pelayanan publik atau administrasi publik.

Etika administrasi publik yang dapat digunakan sebagai rujukan atau


referensi bagi para birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
yaitu American Society for Administration (ASPA), yang dikutip oleh Widodo
(2006:70), yaitu sebagai berikut:

1. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas iktikad


baik akan didukung, dijalankan dan dikembangkan.
2. Pelayanan terhadap masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri
sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi dan kasih
sayang. Birokrasi publik harus menghargai sifat-sifat tersebut secara arif
dan bijak untuk melaksanakannya.
3. Pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan di atas kepada diri sendiri.
4. Para administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah yang tidak
etis, tetai juga untuk mengusahakan hal yang etis melalui pelaksanaan
tanggungjawab dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya.
5. Rakyat yang berdaulat dan mereka yang bekerja dalam intansi pemerintah
dan pada akhirnya bertanggungjawab kepada rakyat.
6. Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan.
7. Manajemen yang efektif dan efisien merupakan dasar bagi birokrasi.
Penyalahgunaan pengaruh penggelapan, pemborosan, dan/atau
penyelewengan tidak dapat dibbenarkan.

Nilai etika tersebut di atas dapat digunakan sebagai rujukan bagi birokrat
khususnya para pemimpin dalam bersikap, bertindak, berperilaku, dalam
merumuskan kebijakan dalam rangka melaksanakan tugas pokok, fungsi,
kewenangan, dan taggungjawabnya, sekaligus dapat digunakan standar untuk
menilai, apakah sikap, tindakan, perilaku dan kebijkannya dinilai baik atau
buruk oleh publik.

II.3 Permasalah dalam Etika Administrasi Publik

Negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang diidealkan Max Weber


Nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu
Negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah
mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia
sudah mengenal dan menerapkan sejenis birokrasi kerajaan, sehingga dalam
upaya penerapan birokrasi yang modern, yang terjadi hanya bentuk luarnya saja,
belum tata nilainya. Sebagaimana yang telah ditetapkan di Indonesia lebih
mendekati pengertian Weber mengenai dominasi patrimonial, dimana jabatan dan
perilaku di dalam hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi. Dalam model
Weber , tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan
yang berkuasa dan mengontrol kekuasaaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan
ekonomi politik mereka.

Tidak mudah mengidentifikasi penampilan birokrasi pemerintah di


Indonesia. Namun, perlu dikemukakan lagi, bahwa organisasi pada prinsipnya
berisikan rasionalitas dengan kriteria-kriteria umum seperti efektifitas, efesiensi,
dan pelayanan yang sama kepada masyarakat. Hal lain yang cukup menarik dan
dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia adanya
upacara-upacara yang bersifat formalitas dan hubungan yang bersifat pribadi.
hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di
Indonesia, karena dengan adanya hubungan pribadi dengan para key person
banyak persoalan yang sulit menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan
bahwa birokrasi di Negara kita belum baik dan masih banyak yang perlu
diperbaiki.

Maka dari itu birokrasi terkait erat dengan pelayanan publik yang dimana
pelayanan publik sendiri harus disertai dengan nilai-nilai dalam etika administrasi
publik. Menurut UU Pelayanan Publik, pelayanan publik merupakan kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.

Etika disini diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan


publik. Konflik kepentingan,korupsi,dan birokrasi menyebabkan buruknya
pelayanan publik. Masalahnya bukan hanya terletak pada kualitas moral seseorang
(jujur, adil, Fair), namun terutama pada sistem yang tidak kondusif.
BAB III
PENUTUP
III. Kesimpulan

 Etika (ethic) merupakan salah satu cabang filsafat yang mencakup filsafat
moral atau pembenaran filosofis (philosophical judgements). Sebagai
suatu falsafah, etika berkenaan dengan moralitas beserta
persoalanpersoalan dan pembenarannya.
 Moralitas merupakan salah satu instrument kemasyarakatan apabila suatu
kelompok sosial menghendaki adanya penuntun tindakan (action guide)
untuk segala tingkah laku yang disebut bermoral.
 Etika Birokrasi (Administrasi Publik) adalah sebagai seperangkat nilai
yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam
organisasi. Biasanya etika dipandang sebagai refleksi atas baik dan buruk,
benar dan salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang
baik atau benar. Etika administrasi publik juga dipandang sebagai standar /
norma yang menentukan baik dan buruk benar atau salah perilaku,
tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publikdalam rangka
menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.

Daftar Pustaka

Dr. Harbani Pasolong, M.Si. 2017. Teori Administrasi Publik. Edisi Revisi,
ALFABETA. Bandung.

Dra. Triyuningsih, M.Si. 2017. Etika Administrasi Publik. Program Studi Doktor
Administrasi Publik FISIP-UNDIP. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai