Anda di halaman 1dari 16

1

ANALISIS PERMASALAHAN ETIKA DALAM


PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK
(Pada Kasus Suap Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sebagai
Bentuk Penyimpangan Etika dan Moralitas Birokrasi)

dibuat untuk memenuhi salah satu syarat tugas


dalam mata kuliah Etika Administrasi Publik

Disusun Oleh: Kelompok 10

NAMA NIM
1. Ni Komang Tri Wulandari 1812351001
2. Ni Komang Kristina Damayanti 1812531005
3. Ni Komang Tri Agustini 1812531016
4. Ni Komang Intan Tri Damayanti 1812531043
Dosen Pengampu: I Putu Dharmanu Yudartha, S.Sos.,M.PA

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2020
2

Selayang pandang permasalahan etika dalam perspektif administrasi


publik sudah tidak asing lagi kita dengar, berbagai jenis penyimpangan etika dan
moralitas dilakukan oleh pejabat publik sudah merasuki ranah yang cukup serius
dengan pencapaian kasus yang cukup signifikan dan darurat. Permasalahan-
permasalahan etika dalam perspektif administrasi publik terjadi dikarenakan
penyelewengan terhadap legitimasi kekuasaan ataupun birokrasi kekuasaan yang
memudahkan dalam mencapai tujuan ke ranah pribadi. Menelaah permasalahan
etika dalam perspektif administrasi publik dapat dikaji melalui beberapa kasus
faktual, salah satunya adalah kasus suap Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan yang mana kasus ini dapat dikatakan sebagai bentuk penyimpangan etika
dan moralitas pejabat publik. Etika merupakan unsur penting yang menentukan
keberhasilan pelaksanaan roda pemerintahan. Sebelum menganalisis kasus
tersebut, pemahaman terkait etika administrasi publik perlu diperdalam kembali.
Berikut pemaparan terkait etika administrasi publik:

A. Etika Administrasi Publik

Definisi Etika Administrasi Publik

Etika berasal dari bahasa Yunani, yakni ethos yang dapat diartikan sebagai
kebiasaan atau watak. Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga berarti
sebagai salah satu ilmu yang mempelajari mengenai nilai tindakan benar atau
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Selain definisi tersebut etika
juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak. Kemudian proses kemunculan etika terdiri
dari dua macam yang pertama yakni munculnya suatu etika terjadi secara
alamiah dari dalam (internal) diri manusia, karena pemahaman dan keyakinan
terhadap suatu nilai-nilai tertentu. Lalu kemunculan etika yang kedua disebabkan
oleh terciptanya suatu aturan-aturan eksternal yang dibuat atau disepakati secara
kolektif misalkan sumpah jabatan ataupun sumpah profesi, dalam hal inilah etika
akan membentuk suatu kedisiplinan. Kemudian secara umum etika terdiri dari
dua jenis yakni etika jenis umum dan etika jenis khusus. Etika jenis umum
3

merupakan etika yang berlaku bagi semua orang, dimanapun orang-orang berada
contohnya: norma hukum norma sopan santun, dan norma moral. Selanjutnya
ada jenis etika khusus, dimana jenis etika ini hanya berlaku ditempat-tempat
tertentu contohnya: etika bisnis, etika politik, etika akuntan publik dan lain-lain.

Dari pemaparan diatas maka muncullah etika administrasi negara yang mana
etika ini termasuk ke dalam jenis etika khusus. Etika administrasi negara
merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai filosofis dan
moralitas individu sistem administrasi negara agar teori dan praktik dari
administrasi negara dapat tercapai dengan baik tanpa melanggar kaidah-kaidah
etis, moral, nilai dan moral bangsa. Kemudian menurut Chandler & Plano dalam
Kamus Administrasi Publik atau yang kita kenal The Public Administration
Dictionary tahun 1982 menjelaskan bahwa “Ethics is the rules or standards
governing, the moral conduct of the members of an organization or management
profession”. Etika Administrasi juga dapat didefinisikan sebagai aturan atau
standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator publik
dalam melakanakan tugasnya melayani masyarakat. Dengan kata lain, etika
administrasi negara atau publik dapat dijadikan petunjuk mengenai apa yang
harus dilakukan oleh seorang administrator publik dalam menjalankan kebijakan
politik, sekaligus dapat digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku
administrator dalam menjalankan kebijakan publik tersebut dapat dikatakan baik
atau buruk.

Pengaruh etika dalam administrasi publik pada hakikatnya tidak


mempersoalkan “benar atau salah” tetapi lebih menekankan kepada “baik dan
buruk”. Dalam paradigma dikotomi politik dan administrasi pemerintah memiliki
2 (dua) fungsi yang berbeda, yakni fungsi politik dan fungsi administrasi. Fungsi
politik berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) dan fungsi
administrasi yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.
Hal ini berarti kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan
politik sedangkan pelaksanaan atas kebijakan politik ini merupakan kekuasaan
dari administrasi publik. Dalam kondisi ini administrasi publik dihadapkan
4

kepada sesuatu yang dilematis mengingat adanya dikotomi antara politik dan
administrasi. Kebijakan yang dihasilkan dari konsensus politik harus bermain
dalam tataran ”benar atau salah” ketika dijalankan oleh administrasi publik.
Disinilah etika diperlukan untuk dijadikan sebagai pedoman, referensi, dan
petunjuk tentang apa yang dilakukan dalam menjalankan kebijakan politik ini.
Etika disini juga dapat digunakan sebagai standar penilaian terhadap perilaku
Administrasi Negara dalam menjalankan kebijakan politik apakah dilaksanakan
secara “baik atau buruk” karena Administrasi Negara bukan saja memiliki
keterikatan dengan kebijakan politik tapi lebih dari itu juga berkait dengan
manusia dan kemanusiaan.

Landasan Etika Administrasi Publik

Sesungguhnya antara etika dan administrasi publik mempunyai landasan


yang berbeda. Etika merupakan induknya filsafat nilai dan moral sedangkan
administrasi publik merupakan dunianya keputusan dan tindakan. Etika bersifat
abstrak dan berkenaan dengan persoalan “baik dan buruk” sedangkan
Administrasi Negara bersifat konkrit dan harus mewujudkan apa yang
diinginkan. Menurut Bertens etika adalah seperangkat nilai-nilai dan norma-
norma moral yang menjadi pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya sedangkan menurut Darwin etika diartikan sebagai
prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat,
yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain
dalam masyarakat. Darwin juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi
Negara) sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi
tindakan manusia dalam organisasi. Setidaknya dalam berorganisasi dikenal 3
(tiga) macam etika :

• Etika Individu yakni menentukan baik atau buruk perilaku orang


perorangan (individu) dalam hubungannya dengan orang lain. Etika inilah
yang justru harus dimiliki oleh orang yang menjadi pengabdi masyarakat
(public servant).
5

• Etika Organisasi yakni etika yang berfungsi sebagai aturan (ethics as rule)
yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur
termasuk di dalamnya sistem intensif dan disinsentif dan sanksi-sanksi yang
berdasarkan pada aturan.

• Etika Profesi yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang, yang berlaku


dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara hukum atau
secara moral mengikan mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan.

Ketiga macam etika tersebut idealnya dapat diikuti dan dipatuhi serta
sekaligus dijadikan pedoman, pegangan, referensi seseorang dalam melakukan
hubungan dengan orang dalam organisasi, dalam menjalankan tugas organisasi
dan dalam menjalankan pekerjaan profesinya.

B. Permasalahan Etika Administrasi Publik

Bentuk-bentuk permasalahan

1. Legitimasi Kekuasaan

Salah satu agenda Reformasi dalam bidang administrasi publik adalah


mengupayakan terwujudnya Good Governance yaitu sistem penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab dan profesional yang ditandai
adanya aparat birokrasi pemerintah yang senantiasa mengedepankan
terpenuhinya public accountability and responsibility. Untuk itu setiap aparat
birokrasi pemerintah yang ada diseluruh level pemerintahan harus memiliki rasa
kepekaan (responsiveness) terhadap kepentingan masyarakat maupun terhadap
masalah-masalah yang ada dan harus dipecahkan di masyarakat,
bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan, dan harus pula
bersifat representatif dalam pelaksanaan tugas. Hal ini berarti dihindarinya
penyalahgunaan wewenang ataupun tindakan yang melampaui wewenang yang
dimiliki baik ditinjau dari berbagai peraturan yang berlaku maupun dari nilai-
nilai etika administrasi publik dan etika pemerintahan.
6

Dewasa ini para pejabat administrasi banyak yang terjerat dalam kasus-kasus
yang bertentangan dengan etika seperti penyuapan, korupsi dan gratifikasi serta
tindakan asusila lainnya. Korupsi berasal dari kata Latin corrumpere, corruptio
atau corruptus yang berarti penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral,
kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Sedangkan
dalam kamus Bahasa Indonesia, korupsi berarti penyelewengan atau
penggelapan (uang negara, perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain. Ada dua macam korupsi yaitu korupsi uang dan korupsi
waktu (Kumorotomo : 2008). Menurut KPK, suap adalah setiap orang yang
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya. Pemerasan adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Gratifikasi adalah hadiah yang diberikan kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara di luar gaji atau pendapatan resmi. Pemberian itu bisa
berbentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket, fasilitas
wisata, fasilitas perjalanan dan fasilitas lainnya seperti kepuasan seksual.

Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung


kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),
ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara, secara langsung maupun
tidak langsung (Kumorotomo, 1999 :179). Struktur birokrasi yang berorientasi
ke atas menjadi penyebab banyaknya penyelewengan. Orientasi birokrasi yang
ke atas tampak dari kebiasaan sebagian besar pejabat untuk melapor kepada
atasan dengan bertandang ke kediamannya, meminta petunjuk dan menganggap
bahwa segala sesuatu yang direncanakan oleh pusat itu baik untuk diterapkan di
tingkat lokal. Yang menjadi masalah dalam hal ini, jika semua pejabat hanya
7

bertugas melapor pada eksekutif puncak, siapa yang akan mengawasi eksekutif
puncak itu sendiri (Kumorotomo, 1999 : 207).

Di samping itu etika juga mempengaruhi bukan saja perilaku para


penyelenggara administrasi publik tetapi perilaku dari masyarakat yang menjadi
objek penetapan kebijakan. Birokrasi sebagai penyelenggara administrasi publik
bekerja atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa
rakyat berharap adanya jaminan bahwa dalam menjalankan dan memanfaatkan
kekuasaannya etika senantiasa dijadikan dasar bagi para pemimpin. Apabila
etika yang ada pada pemimpin tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada
pada masyarakat maka legitimasi tidak akan mampu tercapai.

2. Birokrasi dan Kekuasaan

Etika perlu dikembangkan, terutama dalam pelaksanaan birokrasi


pemerintahan, dimana etika administrasi memiliki fungsi sesuai penerapan pada
bidangnya tersebut. Etika ini akan membuat seseorang bisa berdisiplin,
bertanggung jawab atas semua sikap dan perbuatan yang dilakukan. Etika dalam
birokrasi pemerintahan sangatlah penting, dalam hal ini untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan dalam struktur birokrasi pemerintahan dan dapat
mengoptimalkan kinerja birokrasi dalam melakukan pelayanan pada masyarakat.
Alasan dari pentingnya etika dalam birokrasi adalah ketika dihadapkan pada
kenyataan yang jauh dari harapan, dimana aparatur di birokrasi diharapkan
bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, kejujuran, dan adil. Realitas yang
nyata, sama sekali para aparatur tidak mencerminkan kondisional yang bermoral
dan beretika. Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan
dalam upaya pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap, dan akuntabel.
Sebagaimana yang di gambarkan sebelumnya bahwa budaya birokrasi yang
selama ini di dengar adalah budaya lamban, prosedural, KKN, dan selalu
mementingkan kepentingan pribadi menjadi sebuah masalah besar yang harus
dicari jalan keluarnya, karena ini juga merupakan sesuatu yang penting dimana
budaya sangat mempengaruhi akan kinerja serta budaya juga sangat menentukan
8

posisi, posisi disini terkait dengan sampai dimana para birokrat memainkan
kewenangan yang dimiliki dan juga bagaimana memanfaatkan kewenangan itu
bukan untuk kepentingan pribadi dan juga kelompok tetapi tidak lain hanyalah
untuk kepentingan masyarakat.

Max Weber dalam tulisannya Sofyan Efendi sendiri menggambarkan tentang


bagaimana budaya birokrat yang kurang mempertahankan faktor lingkungan
birokrasi pemerintahan negara kurang memiliki perhatian terhadap perubahan
lingkungan. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila
tugas organisasi dan lingkungannya berubah. Di era sekarang ini para birokrat
hanyalah sekedar sebagai sebuah organisasi yang akan menjalankan kebijakan
dari politisi sehingga bekerjanya birokrat dapatlah ditentukan dari tekanan-
tekanan yang dilakukan oleh para politisi. Hal tersebutlah sering menciptakan
apa yang dinamai budaya birokrasi. Dari apa yang di jabarkan mengenai budaya
birokrasi selama ini olehnya karena birokrasi menginginkan untuk menghapus
sterotip budaya yang kurang bagus, maka dari itu birokrasi seharusnya
melakukan beberapa hal di antaranya :

• Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan


irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan
nalar sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan.

• Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan


masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi
biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan informasi dan
transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai
pertanggungjawabannya (public accountibility) lewat dengar pendapat
(hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang.

Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau
membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian.
Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi
9

fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi
dan nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan
penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system
(hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward
dan punishment kurang berjalan).

Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang berhubungan dengan etika dan
moralitas. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi dan
mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak yang terjadi belakangan ini
tentunya sangat bertentangan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus yang
berhubungan dengan etika dalam birokrasi pemerintahan seperti yang telah
disebutkan di atas melibatkan beberapa profesi yang melakukan pelanggaran
terhadap etika seperti pejabat administrasi negara, anggota legislatif, jaksa,
hakim, kepolisian, pegawai perpajakan, dan lain sebagainya. Pihak-pihak yang
terlibat dalam kasus-kasus yang terjadi di dalam konteks etika berasal dari
seluruh elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Padahal pejabat pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus
mematuhi etika jabatannya masing-masing. Etika dalam birokrasi pemerintahan
merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan
pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan
terus mendapat kepercayaan dari masyarakat.

C. Analisis Permasalahan Etika dalam Perspektif Administrasi Publik


pada kasus Suap Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Dilansir dari artikel berita elektronik:


10

Jakarta, CNN Indonesia-

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hakim Pengadilan Negeri Jakarta


Selatan, Iswahyu Widodo dan Irwan, delapan tahun penjara. Keduanya dinilai
terbukti menerima suap untuk memenangkan perkara perdata di PN
Jaksel. "Menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
satu dan dua pidana penjara delapan tahun dan denda Rp200 juta subsidier empat
bulan kurungan," ujar jaksa Ferdian Adi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Kamis (13/6). Dalam pertimbangannya, jaksa menyatakan Iswahyu dan
Irwan terbukti menerima suap sebesar Rp150 juta dan Sin$ 47 ribu. Uang itu
diberikan untuk memengaruhi putusan perkara perdata CV Citra Lampia Mandiri
(CLM) dan PT Asia Pacific Mining Resources (APMR) di PN Jakarta Selatan.
"Perbuatan terdakwa telah mencoreng profesi hakim sebagai tumpuan pencari
keadilan yang seharusnya menangani perkara seadil-adilnya dan tidak
melakukan tindakan koruptif," kata jaksa. Jaksa juga menuntut agar majelis
hakim tak mengabulkan permohonan justice collaborator atau saksi pelaku yang
bekerja sama dengan aparat penegak hukum yang diajukan Iswahyu.
Berdasarkan fakta persidangan yang dikaitkan dengan ketentuan Mahkamah
Agung, maka permohonan justice collaborator terdakwa satu tidak dapat
dikabulkan," ucapnya. Sementara itu pemberi suap, Arif Fitrawan, dituntut
empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.
Sebelumnya, Iswahyu dan Irwan didakwa menerima suap dari pengacara Arif
melalui perantara mantan panitera PN Jakarta Selatan Ramadhan. Pemberian
suap itu diberikan agar hakim memenangkan perkara yang ditangani Arif.
Hakim Irwan sempat menanyakan berapa jumlah uang yang akan diterima.
Ramadhan pun menyebut jumlahnya sebesar Rp150 juta. Ia juga menyampaikan
akan ada uang Rp500 juta di saat putusan akhir.

- Analisis Kasus berdasarkan etika dalam perspektif administrasi publik


11

Dalam kasus suap yang melibatkan hakim pengadilan negeri jakarta selatan
ini terlihat diawali dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Iswahyu Widodo dan Irwan, delapan tahun
penjara. Keduanya dinilai terbukti menerima suap untuk memenangkan perkara
perdata di PN Jaksel merupakan tindakan pelanggaran Etika Administrasi. Jika
ditelaah kasus ini merupakan salah satu kasus suap terhadap birokrat sehingga
dapat dikaitkan bahwasanya kasus ini menjadi salah satu permasalahan etika
dalam administrasi publik diranah birokrasi dan kekuasaan. Dalam analisis
kali ini mengaikatkan kasus tindakan suap tersebut pada dimensi Etika
Administrasi Publik. Pada prinsipnya ada 3 (tiga) dimensi etika publik:

1. Dimensi Kualitas Pelayanan Publik

Ditinjau dari kasus penyuapan tersebut kurang menekankan pada aspek nilai
dan norma, serta prinsip moral, sehingga terdapat celah dari para penegak hukum
dan birokrat dengan memanfaatkan situasi sebagai bisnis suap dibandingkan
membentuk integritas pelayanan publik yang bersih dalam menegakan hukum
secara adil .Pada kasus penyuapan yang melibatkan penegak Hukum tersebut
merupakan suatu kasus yang harus menjadi koreksi penegakan hukum di
Indonesia dan terutama dalam bidang korupsi, kolusi dan nepotisme yang rentan
terhadap kasus penyuapan.

Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus yang terjadi di dalam konteks


etika berasal dari seluruh elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Padahal pejabat pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif
harus mematuhi etika jabatannya masing-masing. Etika dalam birokrasi
pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan
penyelenggaraan pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi
pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari masyarakat sehingga mencapai
kualitas pelayanan publik. Dengan melakukan penyuapan yang mencederai rasa
keadilan bagi semua lapisan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam
setiap proses hukum yang terjadi dan hal ini berarti bahwa keadilan yang
12

sesungguhnya sangat diharapkan di Indonesia justru telah menimbulkan masalah


yang serius dalam penegakan hukum.

Moral dalam etika publik menuntut lebih dari kompetensi teknis karena harus
mampu mengidentifikasi masalah-masalah dan konsep etika yang khas dalam
pelayanan publik. Oleh karena itu, etika publik mengarahkan analisa politik
sosial budaya (polsosbud) dalam perspektif pencarian sistematik bentuk
pelayanan publik dengan memperhitungkan interaksi antara nilai- nilai
masyarakat dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh lembaga-lembaga publik.

2. Dimensi Modalitas

Akuntabilitas berarti pemerintah harus mempertanggung jawabkan secara


moral, hukum dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada
rakyat. Pada kasus suap tersebut kurangnya pemahaman akuntabilitas sebagai
tanggung jawab dan liabilitas sehingga kurangnya tekanan lebih pada sisi
hukum, ganti rugi dan organisasi. Serta tidak adanya transparansi yang kuat oleh
penegak hukum tersebut ini menunjukan kurangnya pengawasan agar tidak
terjadi penyimpangan sehingga memunculkan peluang penyuapan. Para pihak
yang terlibat dalam kasus tersebut harus memiliki pengetahuan dan kompetensi
dalam masalah penyelewengn kekuasaan dimana seharusnya penegak hukum
menjunjung tinggi keadilan dengan tranparansi yang jelas dan mampu
dipertanggungjawabkan.

3. Dimensi Tindakan Integritas Publik

Integritas publik dalam arti sempit yakni tidak melakukan korupsi atau
kecurangan. Tercermin dari tindakan suap yang dilakukan penegak hukum
terbukti tidak adanya tindakan integritas yang sesuai dengan nilai, tujuan dan
kewajibannya untuk mencerminkan kualitas dari seorang penegak hukum yang
sesuai nilai, standar, aturan moral yang diterima masyarakat. Integritas publik
juga merupakan niat baik seorang baik itu sebagai penegak hukum yang
memiliki kekuasaan tertinggi dalam penegak keadilan untuk publik yang
13

didukung oleh institusi sosial seperti hukum, aturan, kebiasaan, dan sistem
pengawasan.

- Rekomendasi yang dapat ditawarkan terkait kasus

Terkait permasalahan suap yang melibatkan hakim pengadilan tinggi jakarta


selatan ini pihak pengadilan tinggi harus memberikan efek jera yang sesuai
dengan aturan perundang-undangan. Selain itu kasus seperti sering kali terjadi
akibat sanksi hukuman yang diberikan tidak sesuai dan masih tergoling ringan.
Maka rekomendasi atau solusi yang dapat ditawarkan sebagai berikut:

 Sebaiknya hukuman penjaran dan denda diberikan setinggi tingginya agara


menimbulkan efek jera. Selain itu adanya pencabutan jabatan sebagai hakim
meningat tekah melanggar etika sebagai aparatur sipil negara yang seharusnya
memberikan pelayanan penanganan kasusnhukum yang baik. Serta perlu
adanya sistem rekrutmen hakim yang lebih selektif agara seorang hakim dapat
bekerja sesuai etika administrasi publik. Selain sistem rekrutmen ,sistem
manajemen penanganan perkara juga perlu diperbaiki agara tindakan suap
yang melibatkan hakim pengadilan tinggi tidak terulang kembali.

 Dalam upaya melaksanakan etika administrasi pemerintahan yang baik, perlu


dibuat aturan-aturan pengaturan untuk penegak hukum baik itu dalam
pengadilan negeri itu sendiri agar secara konsisten menjaga dan memelihara
etika dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Jika kita melihat kondisi
Indonesia saat ini, melalui fakta yang ada, saat ini masih banyak instansi
pemerintah baik eksekutif, egislatif maupun yudikatif yang belum mampu
menerapkan prinsip-prinsip etika administrasi yang baik, sekali lagi hal ini
didasarkan pada kesediaan individu yang bekerja di instansi tersebut untuk
dapat mengubah kebiasaan buruk dan untuk itu perlu diterapkan etika
administrasi yang baik. Dan diadakan untuk pendidikan untuk meningkatkan
kecerdasan spiritual bagi para birokrat di Negara ini.
14

Diskusi Kelompok Penanggap Kelompok 12

Pertanyaan: Jika kita lihat Kasus suap seperti ini sebenarnya cukup
banyak terjadi di Indonesia menurut kelompok kalian bagaimana sih Cara
menanamkan nilai etika administrasi publik ini agar melekat dan bisa
mengurangi jumlah kasus suap yang terjadi lebih pada tindakan preventif seperti
pencegahan bukan tindakan represif seperti dengan hukuman yg berat?

Jawaban: Jika berbicara mengenai etika kembali lagi kepada diri


individu tersebut. Aparat birokrar harus bekrja secara profesional sesuai dengan
sumoah jabatan mereka. Mereka memiliki pilihan untuk tetap setia atau
melanggar aturan etika. Untuk pencegahan dari kejaksaan tinggi perlu
menrapkan tindak tindakan hukum yang tegas bagi pelaku tindakan
penyelewengan dan suap suap untuk anggota kejaksaan. Selanjutnya dari
pemerintah harus memberikan hukuman berat dalam artian harus diatur dalam
undang-undang. Dalam aturan undang undang tersebut harus memberikan sanksi
hukuman penjara yang berat seperti misalnya penjara seumur hidup. Mengingat
Indonesia sendiri hukuman penjara menjadi tumpang tindih. Bahkan penjara bagi
koruptor bisa dikatakan seperti rumah sehingga mereka tidak memiliki efek jera.
Jadi Salah satu cara atau langkah penangan sepeti langkah preventif dalam Kasus
Suap Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut sebagai pencegahan
untuk mengurangi jumlah suap yaitu dengan menerapkan Pemberhenian
Sementara dari jabatannya , Dalam kaitannya dengan kasus suap yang
melibatkan birokrat pemerintah, instrumen pemberhentian sementara dari
jabatan, dapat dipandang sebagai langkah preventif maupun langkah kuratif.
Akan merupakan langkah preventif apabila dikedepankan efek jera yang
ditimbulkan dari instrument tersebut bagi aparat pemerintah lainnya, sehingga
aparat lainnya mempunyai rasa takut untuk melakukan tindak pidana
korupsi/suap. Apabila tidak dikedepankan efek jera yang ditimbulkannya, maka
instrumen pemberhentian sementara tersebut merupakan langkah kuratif.
Instrumen pemberhentian sementara ini, merupakan inovasi dari berbagai
macam sanksi yang dikenal dalam PP (Peraturan Pemerintah No. 30Tahun 1980,
15

tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di dalam PP No.30/1980,


dikenal berbagai macam pemberhentian pegawai negeri sipil, antara lain
pemberhentian atas permintaan sendiri, pemberhentian karena penyederhanaan
organisasi, pemberhentian karena melakukan pelanggaran/tindak pidana, dan
lain-lainnya.

Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR (TAP-MPR) No.


XI/MPR/1998 dan UU No. 28/1999 (keduanya merupakan aturan tentang
penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN), pemberhentian
sementara dari jabatan publik bagi si-penyelenggara negara, apabila yang
bersangkutan terindikasi menerima suap dan atau melakukan KKN dan atau
perbuatan pidana/tercela lainnya, sudah pantas dan selayaknya untuk dicoba
diterapkan dan atau diwacanakan. Dalam konteks ini, sangat diyakini bahwa
instrument pemberhentian sementara, dapat mempermudah proses hukum atas
dugaan penyelewengan yang dilakukannya (karena yang bersangkutan tidak lagi
full power dalam membangun sebuah rekayasa dan atau menghilangkan/merusak
alat bukti dan barang bukti), dan dapat mempercepat perwujudan penyelenggara
negara yang bersih dan bebas dari KKN serta perbuatan pidana/tercela lainnya.

Kesimpulan

Dalam analisa kasus pada landasan materi kali ini dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwasanya jika dikaitkan dengan perspektif administrasi publik
maka permasalahan etika dalam kasus suap ini termasuk ke dalam bentuk
penyimpangan etika profesi. Yang mana dapat dijelaskan bahwa Etika Profesi
berkaitan dengan pekerjaan seseorang, yang berlaku dalam suatu kerangka yang
diterima oleh semua yang secara hukum atau secara moral mengikan mereka
dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Kemudian jika ditelaah dalam kasus
suap yang melibatkan hakim pengadilan negeri jakarta selatan ini terlihat diawali
dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Iswahyu Widodo dan Irwan, delapan tahun penjara merupakan salah
satu bentuk permasalahan etika dalam ranah birokrasi dan kekuasaan. Yang
16

mana dikatakan ranah birokrasi dan kekuasaan karena pihak-pihak yang terlibat
dalam kasus-kasus yang terjadi di dalam konteks etika berasal dari seluruh
elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Padahal
pejabat pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus mematuhi
etika jabatannya masing-masing. Kemudian dalam perspektif administrasi publik
kasus suap yang terjadi dapat dikaitkan dengan 3 dimensi etika publik. Etika
merupakan unsur penting yang menentukan keberhasilan pelaksanaan roda
pemerintahan. Etika menjadi acuan bagi para birokrat untuk mengelola
pemerintahan yang bersih bebas dari KKN. Selain itu perilaku birokrat
mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Oleh karena itu,
birokrat harus memiliki perilaku serta tindakan yang sesuai dengan aturan yang
berlaku.

Daftar Pustaka

Cnn.Indonesia. 2019. Kasus Suap Hakim PN


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190613145134-12-
403019/kasus-suap-hakim-pn-jaksel-dituntut-8-tahun-penjara. Diakses
pada 29 November 2020

Anda mungkin juga menyukai