Anda di halaman 1dari 18

Teori Birokrasi

Teori Birokrasi (teori klasik organisasi 1)

Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara ideal. Birokrasi
dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi. Para teoritikus klasik
seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber (1948), selama bertahun-tahun telah mendukung
model birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max Weber adalah sosok
yang dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber (1948), organisasi birokrasi yang ideal
menyertakan delapan karakteristik struktural.

Pertama, aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah
tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan
pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas
organisasi.

Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk
menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah
tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat
ditingkatkan.

Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi
didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan
intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.

Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki
dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus
mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat
diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan
aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Mampu tukar ini
menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota
organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.

Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota
organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota
organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan
sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam
perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.

Ketujuh, uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai
garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman
yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.

Kedelapan, rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan
organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi
harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.

Birokrasi  menurut max weber :

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat)
mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek
“disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal
oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional
artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

 
KELEBIHAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER: 
Ada Aturan, Norma, dan Prosedur untuk Mengatur Organisasi
Dalam model teori birokrasi Max Weber, ditekankan mengenai pentingnya peraturan. Weber
percaya bahwa peraturan seharusnya diterapkan secara rasional dan harusnya ada peraturan
untuk segala hal dalam organisasi. Tentunya, peraturan-peraturan itu tertulis. Dengan
demikian, organisasi akan mempunyai pedoman dalam menjalankan tugas-tugasnya 

KEKURANGAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER:

Hierarki Otoritas Yang Formal Malahan Cenderung Kaku


Karena sistem hierarki perusahaan, maka bawahan akan segan menyapa atasannya kalau tidak
benar-benar perlu. Hal ini menciptakan suasana formal yang malah cenderung kaku dalam
organisasi.

birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-
cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik
bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi
pemerintahan.

Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol
dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan
bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam
rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971;
Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998). 

Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan
2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat
dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai

1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh
rakyat, da
2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
BIROKRASI MODERN, TRADISIONAL DAN BUDAYA BIROKRASI

1. Birokrasi rasional
Tidak dapat dipungkiri bahwa, munculnya dorongan untuk membentuk sistem pemerintahan
yang desentralistik tidak terlepas dari adanya tuntutan untuk penyederhanaan sistem birokrasi.
Dimana, sistem sentralisme pemerintahan selama ini (orde lama hingga orde baru) diyakini
memakan waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, sejalan dengan hembusan reformasi yang
menuntut reform  diberbagai bidang juga terkait dengan birokrasi.
Salah satu pakar yang mempelopori dan banyak mencurahkan perhatian terhadap birokrasi
adalah sosiolog Jerman, Max Weber. Menurutnya, Organisasi disebut sebagai sebuah birokrasi,
menentukan norma-normanya sendiri yang semuanya harus dilaksanakan. Organisasi
mempunyai peraturan dan pengaturan dan juga memberi perintah agar organisasi dapat berfungsi
secara efektif dimana semua peraturan harus ditaati (Etzioni,1985;73).

Pandangan Weber banyak dicurahkan kepada masalah pembagian distribusi kekuasaan antara
berbagai posisi organisasi didalam struktur birokrasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Etzioni (1985:3) Weber berhasil menyajikan perspektif baru tentang kepuasan sebagai hasil
partisipasi didalam organisasi, bagaimana caranya mengendalikan para partisipan agar efesien
dan efektivitasnya dapat ditingkatkan semaksimal mungkin serta sekaligus
mengurangi uncertanty(ketidakpastian) yang diakibatkan oleh kebutuhan untuk mengendalikan
organisasi birokrasi.  Dengan perkataan lain bahwa organisasi dapat menggunakan sumber daya
yang dimilikinya untuk memberi ganjaran kepada mereka yang taat dan sebaliknya memberi
hukuman kepada mereka yang membangkang agar struktur organisasi moderen dapat berfungsi
secara efektif dan efisien. Lebih lanjut disebutkan Etzioni (1985:73) bahwa sebagai suatu
organisasi, struktur tersebut memerlukan wewenang birokrasi.
Konsep tentang struktur birokrasi yang rasional menurut Weber sebagaimana yang disebut
Etzioni (1985;77) yaitu:

1. Suatu susunan fungsi pejabat yang tetap dan terikat oleh peraturan.
Weber menjelaskan organisasi rasional merupakan antitesa dari pada hubungan khusus, temporal
dan yang tidak stabil dengan demikian titik beratnya diartikannya kepada kontinuitas. Peraturan
akan menghasilkan suatu penyelesaian baru bagi setiap persoalan dan kasus, peraturan akan
mempermudah standarisasi dan banyak kasus diperlakukan secara sama.

2. .Bidang kompetensi khusus; ini menyangkut;


(a) Suatu bidang kewajiban untuk menjalankan berbagai fungsi yang merupakan pembagian
kerja yang sistematis

(b) Persyaratan bagi para pemegang jabatan dengan wewenang yang diperlukan untuk
melaksanakan fungsi tersebut.

(c) Bahwa sarana pelaksana sudah ditentukan secara jelas dan penggunanya tunduk pada kondisi
tertentu. Organisasi yang rasional memerlukan pembagian kerja dan kekuasaan yang sistematis.
Setiap partisipan tidak hanya harus memahami tugas yang dibebankan tetapi juga mempunyai
sarana untuk melaksanakannya terutama kemampuan untuk memerintah orang lain tetapi juga
harus mengetahui batas-batas tugas, hak dan kekuasaan agar tidak melampaui garis yang
memisahkan perananya dan peranan orang lain, sehingga akibatnya tidak mengabaikan seluruh
struktur organisasi

1. Susunan jabatan berdasarkan prinsip hirarki. Dengan perkatan lain setiap jabatan yang
tingkatanya lebih rendah selalu berada dibawah pengendalian dan pengawasan tingkat yang
lebih tinggi. Dengan cara tersebut tidak ada jabatan yang tidak dikendalikan. Pemenuhannya
tidak dapat dilakukan secara kebetulan, pelaksanaannya harus dicek dan diperkuat secara
sistematis.
2. Peraturan yang mengatur tingkah laku sesuatu jabatan dapat berbentuk peraturan dan
norma teknis. Peraturan dan norma teknis tersebut, penerapanya benar-benar rasional dan
harus didukung oleh latihan khusus. Dengan demikian pada umumnya tepat bila dikatakan
bahwa hanya seseorang yang memiliki latar belakang teknis yang memadai dan dipandang
cukup cakap.Untuk menduduki jabatan staf administrasi, Weber menyebut akar wewenang
birokrat ialah pengetahuan dan latihan yang pernah diterima, penguasaanya dibidang
ketrampilan teknik dan pengetahuan akan merupakan landasan-landasan legitimasi yang
diberikan kepadanya.
3. Sudah merupakan prinsip bahwa anggota staf administrasi tidak dapat memiliki sarana
produksi atau administrasi, selain itu pada prinsipnya terdapat pemisahan antara milik
organisasi yang dikendalikan secara resmi dan milik pribadi seorang pejabat. Contoh:
penggunaan mobil dinas hanya dapat digunakan untuk kepentingan dinas, sebagai seorang
birokrat dalam kepentingan tugas-tugasnya, dan tidak digunakan diluar kepentingan dinas.
4. Untuk meningkatkan kebebasan organisasi, semua sumber dan organisasi harus bebas
dari setiap pengendalian ekstern dan posisi tidak dapat dimonopoli didalam tangan pejabat
manapun. Sumber daya harus bebas untuk dialokasikan dan direalokasikan sesuai kebutuhan
organisasi. Dalam hal ini pejabat tidak dapat memiliki jabatan resmi secara pribadi.
5. Tindakan, keputusan dan peraturan administratif harus dirumuskan dan dicatat secara
tertulis, Weber menekankan agar norma dan pelaksanaan peraturan harus ditafsirkan secara
sistematis dan dokumen itu harus tertulis dan disimpan sebagai sumber pengawasan.
Selain ketujuh prinsip birokrasi diatas, Weber menjelaskan bahwa:

”para pejabat harus digaji secara resmi dan tidak boleh menerima pembayaran dari klien agar
lebih mengutamakan orientasinya kepada otganisasi. Norma-norma ini yang berlaku bagi aparat
birokrasi serta mempromosikan para pejabat secara sistematis harus dilakukan dan ini berarti
menyalurkan hasrat dan ambisi dengan cara menyediakan jabatan karier, memberi ganjaran
kepada pejabat yang setia, dengan demikian organisasi akan lebih memperkuat rasa tanggung
jawab para pejabat sebagaimana yang disebut Etzioni (1985;78)”.

Menurut Weber sebagaimana yang disebut Thoha (1987;73) teori birokrasi rasional adalah
sebuah konsepsi model tipe ideal (ideal type)dari hubungan organisasi rasional. Ia menyebut bila
kumpulan mereka itu tidak diatur, kerja mereka bisa acak-acakkan, semrawut, mengacau, tidak
rasional dan tidak efisien. Semua yang bernada pemborosan tidak ada aturan dan mubazir dapat
diatasi dengan konsep model tipe ideal.
Model tipe ideal ini bertujuan agar dalam organisasi itu tercapai rasionalitas, agar dapat
menempung prinsip-prinsip kehidupan manusia yang berorganisasi. Setiap organisasi, apakah itu
pemerintahan atau non pemerintahan, fungsinya selalu diatur, sehingga prinsip kepastian dan
hal-hal kedinasan harus diatur berdasarkan hukum yang diwujudkan dalam berbagai peraturan.
Di dalam konsep Weber, sebagaimana yang disebut Thoha (1987;76) mengenai pengisian
jabatan struktural, harus ada aturan yang menjamin kelangsungan pengisian jabatan dengan
pedoman yang jelas dan tegas bahwa orang-orang yang mempunyai persyaratan yang ditentukan
sajalah yang bisa diangkat dalam jabatan tersebut. Ia mencontohkan pendidikan dan keahlian
yang terlatih yang dapat memenuhi syarat sesuai bidang dan spesialisasi dunianya agar urusan
yang dipegang dapat berjalan dengan baik dan efisien. Disisi lain penilaian terhadap keberhasilan
atau ketaatan dapat dipromosikan sebagai ganjaran dan sebaliknya sanksi hukuman yang tegas
tanpa pandang bulu diberlakukan bagi siapa yang melakukan pelanggaran aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh birokrasi.

Teori Weber, sebagaimana yang disebut (Thoha 1987;78) bahwa apa yang ia sebutkan prinsip
impersonal dalam organisasi harus ditegakkan oleh birokrasi, yakni hubungan yang memberi
kesempatan berbagai aspirasi yang sifatnya pribadi. Weber memperjelas prinsip impersonal itu
adalah hubungan belas kasihan, cinta kasih, kasih sayang, kesedihan dan kesenangan, jangan
mengintervensi kedalam tata hubungan birokrasi, kalau semuanya itu masuk maka rasionalisasi
sudah tidak bermakna lagi.

Ia mempertegas bahwa konsep impersonal yang memasuki birokrasi seperti belas kasihan, cinta
kasih, kasih sayang, kesedihan, kesengan, yang keterlaluan intervensinya menjadikan birokrasi
berperilaku buruk. Sifat personal itu kalau dituruti maunya akan bersifat irasional dan bernada
cenggeng. (Weber dalam Thoha, 1987;78). Kemudian pendapat ini dirangkum oleh Albrow,
sebagaimana yang disebut oleh Santoso (1997;18) dengan menyebutkan ada empat ciri utama
dari tipe ideal tersebut, yaitu:
i)  adanya suatu struktur hirarki, termasuk pendelegasian wewenang dari atas kebawah dalam
organisasi, ii) adanya serangkaian posisi-posisi jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan
tanggung jawab yang tegas, iii) adanya aturan-aturan, regelusi-regulasi dan standar-standar
formal yang megatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggota, dan iv) adanya personil
yang secara teknis memenuhi syarat yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang
didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.

Selanjutnya Bennis, sebagaimana yang disebut Thoha (1987;91) berbeda dengan Weber, bahwa
untuk perkembangan pada masa mendatang, bahwa penataan organisasi akan mempunyai sifat-
sifatnya yang unik. Struktur organisasi formal akan mengalami perubahan dan penambahan yang
bervariasi. Orang tidak lagi hanya memusatkan perhatiannya pada struktur  formal seperti apa
yang dikemukakan Weber. Istilah temporer, sementara, relative, jangka pendek dan sejenisnya
mulai mewarnai struktur organisasi.

Perwujudan dari sistem temporer ini, dapat dijumpai akan pembentukan organisasi yang bersifat
sementara seperti task force, panitia atau panitia khusus, team kerja, tim gabungan, cross
program dan lain sejenisnya dan ini sebuah perkembangan non struktural untuk menerobos
kesulitan birokrasi. Pendapat Bennis sebagaimana yang disebut Thoha (1987;92) sebagai berikut:
”Organisasi pada masa datang akan meniciptakan suatu kombinasi dari gejala-gejala adaptasi,
pemecahan persoalan, sistem temporer, aneka ragam spesialisasi, evaluasi staf yang fleksibel,
tidak didasarkan pada norma hirarki vertikal atas perbedaan posisi-posisi dan pangkatnya”.

Tetapi teori Weber sebagaimana disebut Onghokham (1982:2) menyebut birokrasi adalah alat
pemerintahan untuk melaksanakan kebijakannya dalam suatu negara modren disebut birokrasi
negara atau aparatur negara seperti lazimnya di Indonesia. Sifat birokrasi sebagai mesin
(rasional/impersonal), tanpa ciri subjektif (personal) apapun. Ini adalah birokrasi ideal, karena
sifatnya bagaikan mesin itulah yang menjadikan ia efektif di masyarakat. Mekanisme
didalamnya diatur dengan undang-undang, yang juga berjalan secara otomatis tanpa pandang
bulu. Promosi, rekruitering (penerimaan dalam birokrasi tersebut) diatur dan gaji atau sumber
penghasilan pribadi terpisah dengan jabatan para anggota birokrasi. Fungsi-fungsi (sifat yang
menyolok dari birokrasi modern) khususnya hirarki atasan dan bawahan dan lain-lain diatur
dengan undang-undang. Negara menyerahkan kekuasaan kepada birokrasi untuk memerintah
masyarakat sebagai aparat negara.
Keuangan untuk keperluan kantor berbeda dengan gaji pegawai. Bila perlu ada dana-dana
istimewa untuk menjamin kejujuran anggota birokrasi tersebut seperti dana politik, dana resepsi,
dan lain-lain yang diatur lagi oleh undang-undang. Terhadap hal ini,  Weber sebagaimana yang
disebut Onghokham (1982;9) menguraikan bahwa:

”Kalau birokrasi tidak dibiayai cukup untuk kebutuhanya, karena kekuasaanya ia akan
memungut secara liar dari masyarakat apa yang tidak diperolehnya secara legal. Birokrasi negara
ini demikian efektif sehingga dalam keadaan negara mengganti kabinet, birokrasi tetap
menjalankan roda pemerintahan dan tidak menggangu kepentingan umum. Birokrasi dapat
dipakai rezim demokratis, fasis dan diktator. Contoh seperti ini dapat dilihat di Italia dan Prancis
dan di negara Eropa selama Perang Dunia II”

2.  Birokrasi Patrimonial.


Terminologi patrimonial adalah konsep  antropologi yang secara nominatif berasal kata
dari patir dan secara genetif berasal ari katapatris yang berarti Bapak. Konsep yang
dikembangkan dari kata tersebut kemudian diterjemahkan secara lebih luas yakni menjadi
warisan dari bapak atau nenek moyang. Kata sifat dari konsep  tersebut adalah patrimonial yang
berarti sistem pewarisan menurut garis bapak. Menurut The Consolidated Webster Encyclopedia
Dictionary dalam Moedjanto (1998:101) menuraikan bahwa dalam perkembangan lebih lanjut,
konsep tersebut mengandung pengertian yakni sistem pewarisan nenek moyang  yang
mementingkan laki-laki atau perempuan dengan perbandingan yang dua lawan satu.
Disamping birokrasi rasional yang dipelopori oleh Max Weber. Schrool (1980:167) yakni
seorang pakar modernisasi dunia berkembang  membedakan jenis birokrasi menjadi birokrasi
modern dengan patrimonial. Jika pada birokrasi rasional lebih menitikberatkan pada unsur
prestasi, maka  pada birokrasi patrimonial justru sebaliknya, yakni menekankan pada ikatan-
ikatan patrimonial (patrimonial ties) yang menganggap serta menggunakan administrasi sebagai
urusan pribadi dan kelompok. Secara lebih tegas, Weber sebagaimana yang dikemukakan oleh
Santoso (1997:22) menegaskan bahwa dalam birokrasi patrimonial, individu-individu dan
golongan penguasa berupaya mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan
kekuasaanya.  Selain itu, ciri daripada birokrasi patrimonial disebutkan bahwa:
i). Pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik, ii) jabatan dipandang sebagai
sumber kekayaan atau keuntungan, iii) pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun
administratif karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi, iv)
setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Tujuan-tujuan pribadi penguasa
merupakan hal yang pokok dalam sepak terjang pemerintahan kendatipun mereka dibatasi oleh
fungsi-fungsi sebagai seorang pemimpim.”(Weber dalam santoso, 1997:23).

Dalam perkembangannya kemudian, Maquet (1961) sebagaimana yang disebut Balandier (1970-
95) mengemukakan bahwa:

”for Maquet feudality is not a mode of production (although a way defening the role of
goverment and governed. The  specific is the fact is the interpersonal link: feudal institution set
up between two person unequal in power relation of protection on the one hand and fidetity and
service on the other. They link the lord with the vassal (at the higer level of social  satisfication)
and the patron with the client (from a higer to a lower level of satisfication)”

Pendapat Maquet  sebagaimana yang dikemukakan oleh Balandier (1970:95)  bahwa feodalitas
bukan merupakan sebuah cara produksi, tetapi sebuah rezim politik yakni cara untuk
mendefenisikan  antara yang memerintah dan diperintah. Pranata feudal ini disusun antara dua
orang yang tak setara dalam hubungan politik pada landasan perlindungan disatu pihak serta
kesetiaan dan pelayanan pada pihak lain. Hubungan tersebut mempertautkan hubungan patron
klien (patron and client) dari tingkat yang paling tinggi hingga paling rendah pada stratifikasi
tersebut.
Lebih lanjut, dalam analisa Myrdal seperti yang dikutp oleh Jakti (1980: 6) mengemukakan
bahwa:

“Keterbelakangan dinegara dunia ketiga dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas yang
mengikutsertakan berbagai factor non ekonomis termasuk factor birokrasi pemerintahan. Di
dunia ketiga menunjukkan betapa hambatan-hambatan pembangunan disana muncul justru dari
kalangan aparat negara. Ia menyebut mesin politik merupakan bagian dari dominasi politik oleh
suatu suku, daerah atau agama yakni kelompok-kelompok primordial (primordial
group) ataupun merupakan bagian dari partai yang berkuasa. Ia menjelaskan berlainan dengan
negara-negara industri di Barat bahwa aparat negara bersikap netral, objektif dan rasional dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka. Aparat negara bersikap apolitis
mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan umum. Tugas utama aparat negara adalah turtut
memelihara dan memperkuat ketertiban umum dan hukum(law and order) tanpa pamrih terhadap
golongan politik yang manapun”.
Selanjutnya Jakti (1980:7) memperjelas  bahwa pada birokrasi patrimonial terlihat pada
hubungan-hubungan yang ada yang secara intern dan ekstern adalah hubungan patron klien yang
bersifat pribadi dan khas.  Dalam hubungan pada birokrasi patrimonial akan timbul masalah
pertukaran loyalitas politik dan sumber ekonomi. Pada kelompok yang loyal akan diberikan
sumber ekonomi sedang pada mereka yang tidak loyal akan dibendung dan dimatikan sumber-
sumber ekonominya. Kepentingan negara-bangsa (nation state) bukanlah dipertimbangkan
dalam hubungan patron klien melainkan hubungan pribadi-pribadi, baik berbasis kepada
kepentingan sendiri, golongan ataupun partainya.
Dalam banyak hal, akibat daripada birokrasi patrimonial ini  merembes kedalam praktek
birokrasi yang korup yang lepas dari konstitusi, perundang-undangan ataupun legislasi lainnya.
Sejalan dengan itu, Jakti (1980:6) mengemukakan bahwa patrimonial bertentangan dengan upaya
melembagakan kehidupan bernegara karena itu kegiatan-kegiatan birokrasi menjurus pada
penyelewengan, makin tak jelasnya peraturan ataupun kelembagaanya yang memudahkan
terjadinya korupsi.  Apabila gejala ini dibiarkan, maka timbullah penyelewengan-
penyelewengan (abuse of power) serta kurang mampunya membedakan antara yang salah dan
benar.
Pada dunia ketiga terdapat dua motif yang saling bergantungan, namun berbeda dan sungguh-
sungguh bertentangan. Menurut Geertz (1992:78), kedua motif tersebut adalah sebagai berikut:

i)        adanya keinginan untuk diakui sebagai pelaku-pelaku yang bertanggungjawab yang
memiliki keinginan-keinginan, tindakan-tindakan, harapan-harapan dan opini-opini yang
berharga membangun sebuah negara modern yang efisien dan dinamis dengan sasaran praktisnya
sebuah tuntutan akan kemajuan, untuk meningkatkan standard hidup, tatanan politis yang lebih
efektif, keadilan sosial yang lebih luas dan melampaui itu memainkan bagiannya dalam
panggung politik dunia yang lebih luas, ini terkait dengan kewarganegaraan di dalam sebuah
negara modern, ii) dalam kenyataan, terjadi ketegangan yang mengambil bentuk khusus dan
kronis di negara baru itu, baik pada taraf tertentu bangsa-bangsa itu merasa diri tetap terikat pada
sejumlah besar kenyataan darah, ras, tempat, agama atau tradisi, maupun karena kepentingan
kedaulatannya bernegara untuk mewujudkan tujuan bersama. Malah lebih buruk lagi lewat
dominasi yang dilakukan oleh komunitas etnik, ras atau linguistik, ditengah saingan lainnya yang
dapat mengisi tatanan bernegara dengan watak kepribadiannya sendiri.

Dari uraian tersebut, Geertz menyimpulkan bahwa sejumlah negara yang baru merdeka yang
multietnik ditemukan bahwa negara sebenarnya hanyalah merupakan arena tempat bertarungnya
ikatan-ikatan primordialisme. Geertz menyebutkan bahwa persaingan-persaingan itu
termanifestasi dalam politik lokal. Geertz (1992:81) mempertegas:

”Kristalisasi dari sebuah konflik langsung adalah sentimen-sentimen primordial dan sentimen-
sentimen sipil serta kerinduan untuk tidak masuk kedalam salah satu kelompok lain. Inilah yang
membuat bermacam-macam masalah seperti sukuisme, daerahisme, komunalisme dan
seterusnya, sebuah kualitas yang mengancam secara tidak lebih menyenangkan dan mendalam
daripada kebanyakan masalah lain yang juga sangat serius dan menjengkelkan yang dihadapi
negara-negara baru itu”

Selain itu, Evers dan Scheil (1992:16) mengemukakan bahwa di Asia Tenggara ditempuh cara
untuk mengurangi persaingan antar manusia dengan mengizinkan mobilitas sosial dan
mempropagandakan idiologi kesempatan yang sama bagi semua orang. Dimana, dengan
memberikan kesempatan yang sama itu, diharapkan persaingan individu yang tajam dapat
direduksi atau hampir tidak terjadi dalam masyarakat. Loyalitas kekeluargaan dan kesukuan
masih berpengaruh besar. Oleh karenanya, jalan keluar yang diterapkan oleh masyarakat Asia
adalah bentuk klik dan sistem patron (perlindungan). Pembagian uang dari pemerintah dan
penghadiahan posisi (jabatan) serta juga kadang-kadang pembagian keuntungan hasil korupsi
menyebabkan patron dapat bertahan untuk jangka waktu lama.
Menurut Sairin (2001:173), di Indonesia yang marak dengan penyelewengan kekuasaan (abuse
of power) seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari sudut internal pelaku terjadi karena
rendahnya gaji atau upah, ketidakcukupan gaji untuk memenuhi kebutuhan dasar sehingga
mencari sumber lain untuk menopang kehidupan keluarga. Sedang dari sudut eksternal ialah
faktor beban budaya (culture burden) yang dilekatkan pada pundak aparat pemerintah. Semakin
maraknya budaya konsumtif ditengah kehidupan masyarakat, adanya tuntutan nilai yang datang
dari masyarakat, ataupun pemenuhan simbol jabatan birokrasi menuntut aparatur birokrasi
tersebut melekatkan dirinya pada status sosial yang dia pegang. Dalam arti lain disebutkan
bahwa,  pada saat seseorang mengalami perubahan ataupun mobilitas vertikal, maka beban
kulturalnyapun menjadi bertambah. Dalam pengertian Turner yang dikutip oleh Sairin
(2001:177) yakni adanya liminality, yakni hanyutnya seseorang pada satu kelompok sosial yang
memiliki sistem nilai dan simbol yang berbeda dengan masyarakat awalnya, dimana dia
sebelumnya mengelompok.
Beban kultural (culture burden) menurut Dalton (1968) dan Ekih (1974) sebagaimana yang
dikutip Sairin (2001:181) adalah seperti praktek menyantuni keluarga dan kerabat. Hal ini
menurutnya akan mendorong lajunya KKN yang berakar pada prinsip tukar
menukar (reciprocity) yang umum melekat pada kebudayaan masyarakat negara-negara
berkembang.  Ironisnya menurut Sairin (2001:182)  adalah berkembangnya jaringan-jaringan
pekerjaan yang relatif tertutup dan terorganisir bahwa jabatan-jabatan ditempat  basah selalu
menjadi rebutan. Oleh karena itu, dalam berbagai kasus tidak jarang orang yang merebut jabatan
itu tidak ragu-ragu menyediakan dana yang cukup besar sebagai uang balas jasa kepada pejabat
yang berwenang memutuskannya. Kenyataan lain menurut Muhaimin (1980:23) adalah bahwa
prinsip malu, segan, sindiran, tenggang rasa, hormat bapak, hutang budi dan sistem
bapakisme (patron client relationship) yang luar biasa mengagumkan halusnya di Indonesia.
Proses sosial budaya yang menimbulkan adanya kelompok dan klik-klik dalam masyarakat yang
menentukan jalanya rekruitmen kepada jabatan-jabatan birokrasi. Karir politik seseorang dalam
masyarakat semacam ini lebih bergantung pada kecerdikan orang dalam memelihara dan
memanfaatkan hubungan pribadi dan atau politik sebagaimana halnya dalam memanfaatkan
pekerjaan dan jabatan. Jabatan-jabatan birokrasi ini lebih banyak ditentukan oleh persetujuan dan
penjukan dari pemegang jabatan ditingkat atas.

Selanjutnya, Muhaimin (1980:23) mempertegas bahwa pada dasarnya determinan pokok


kenaikan jabatan adalah faktor-faktor seperti kawan lama, kawan sejak kecil, hubungan darah
atau perkawinan, juga kesamaan etnis, ataupun keanggotaan politik. Legitimasi kekuasaan
politik termasuk wewenang jabatan birokrasi amat ditentukan oleh sistem hubungan anak-bapak.
Ini berarti bahwa konsep bapakisme merupakan salah satu sumber legitimasi yang kuat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang menganut birokrasi Patrimonial.  Onghokham (1980:12-
13) menguraikan bahwa:

”pada zaman kerajaan tradisional Jawa, kerajaan Mataram, para pejabat raja bersifat otonom,
sistem keuangan tidak diatur dari pusat. Setiap pejabat tidak digaji dari pusat dengan sejumlah
uang tunai. Pejabat harus pandai mencari biaya-biaya dari lungguh (sejumlah sensus terhadap
kepemilikian tanah). Setiap rakyat, termasuk pemegang lungguh harus memberi upeti kepada
raja, melalui pejabt-pejabat keraton. Pada waktu itu, sistem ini dianggap legal”.

Tetapi akan berbeda halnya apabila setoran kepada raja semakin kecil akibat potongan persen
yang diambil pejabat keraton. Keuangan raja makin kurang memadai dan oleh sebab itu, raja
memanggil orang lain dari lapisan bawah dari luar pejabat keraton seperti orang Cina dan Arab
sebagai alat eksploitasi. Lebih lanjut Onghokham (1980:13) menyebutkan bahwa orang-orang
asing ini (Cina dan Arab) lebih efisien. Raja (priyayi) dapat lebih terbuka  kepada mereka sebab
tidak perlu  mempertahankan muka. Begitu juga dengan demang atau bekel yakni penarik becak
ditingkat desa adalah orang Cina, jauh lebih berhasil untuk mengumpulkan uang. Keadaan
seperti ini adalah contoh hubungan kepentingan patron klien yang sering terjadi pada birokrasi
patrimonial, terutama yang terkait dengan sumber-sumber keuangan, pendapatan pribadi ataupun
pendapatan resmi seperti pajak dan lain-lain.
Pada sisi yang lain, Onghokham (1982:19) menyoroti integrasi agama pada kerajaan Mataram. Ia
menyebutkan bahwa integrasi agama dalam kerajaan adalah penting, walaupun tidak semuan raja
berhasil mencapainya. Kalau priyayi mewakili satu golongan dimasyarakat, maka agama
cenderung mewakili seluruh lapisan masyarakat pengikutnya, baik yang berasal dari priyayi,
petani, pedagang, tukang yang menganut agama yang sama. Namun demikian, Buchari
(1982:70) menyebut bahwa pada tingkah laku birokrasi sangat dipengaruhi oleh kebudayaan. Ia
memberi contoh seperti birokrasi di Indonesia. Sangat berbeda-beda halnya dengan sistem
birokrasi militer, birokrasi gubernuran, ataupun birokrasi di universitas. Perbedaan antara ketiga
jenis birokrasi itu berakar pada hirarki nilai-nilai yang menjadi dasarnya.
Buchari (1982:76) mengingatkan situasi pembangunan dewasa ini sering dirasakan bahwa
berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi di Indonesia kurang
dapat memenuhi tuntutan pembangunan. Misalnya dengan berbagai kegiatan  pembangunan
menuntut adanya kordinasi antara berbagai instansi yang dirasakan sulit untuk menciptakan
kordinasi semacam itu. akan tetapi akibat kebiasaan-kebiasaan tertentu yang telah ada dalam
birokrasi menghambat dalam pelaksanaan tersebut.  Dari sisi yang lain, Vroom (1982:28)
mencoba mengupas ulang birokrasi patrimonial-rasional. Ia mengemukakan bahwa sangat
dipengaruhi nilai tambah kekuasaan organisasi. Dikemukakan:

”Didalam setiap organisasi, orang tak akan bekerjasama untuk melakukan sesuatu yang dapat
mereka kerjakan sendiri-sendiri. Mereka membentuk organisasi agar supaya dapat bekerjsama
dengan lebih efisien dan apabila mungkin berdaya hasil. Manakala orang dalam keadaan relatif
kekurangan sumber daya lalu mengambil prakarsa untuk bekerja sama secara organisasi maka
akan berkembanglah kemungkinan membesarnya difrensial hirarki atau apa yang dinamakan
garis kepemimpinan”

Beberapa orang dengan demikian akan memimpin pekerjaan orang lain. Justru aktivitas inilah 
yang membuat mereka dalam keadaan lebih baik untuk bisa memperoleh kesempatan dan
penguasaan atas nilai tambah atau nilai lebih itu. Dengan demikian, akan bertambahlah
kekuasaan mereka secara langsung apabila organisasi digunakan. Lebih lanjut Vroom (1982:30)
menyebutkan:

”organisasi didasarkan atas representasi realitas-realitas kemasyarakatan dan keorganisasian


yang sekurang-kurangnya dibentuk karena kepentingan pribadi atau partainya. Organisasi yang
ditujukan guna memecahkan masalah bersama secara intern akan berfungsi lebih baik sejauh
apabila masing-masing pihak menganggap bahwa hal itu rasional, efisien dan efektif bagi
strategi sendiri. Dari uraian ini, perbedaan antara dunia kesatu dan dunia ketiga tampak telah
semakin dikurangi”.

3.   Budaya Birokrasi
Uraian diatas telah mencoba menjelaskan dua perspektif birokrasi yakni birokrasi rasional-
modern yang dikembangkan oleh Max Weber sebagai kontra  terhadap birokrasi patrimonial.
Bila birokrasi rasional yang dikembangkan oleh Weber adalah tipe ideal, bebas dari impersonal,
objektif dan keutamaan terhadap prestasi (pendidikan dan latihan) dan banyak diterapkan di
negara-negara maju. Selanjutnya, birokrasi patrmonial adalah keutamaan terhadap ikatan-ikatan
primordial (primordial ties) seperti agama, suku, klan, teritori, subjektif, kurang mengindahkan
prestasi dan banyak ditemukan di negara-negara dunia berkembang seperti bangsa Indonesia.
Menyangkut birokrasi sebagai bagian dari kebudayaan, Kuntowijoyo (1991:328) mengemukakan
bahwa birokrasi  adalah sebuah struktur teknis dalam masyarakat yang mempunyai kaitan erat
dengan struktur sosial dan struktur budaya. Oleh karena itu, penyelenggaraan kekuasaan dan
pelayanan sering tidak terlepas dari komposisi sosial yang masing-masing memiliki
kepentingannya sendiri, sehingga sering birokrasi hanya melayani lapisan masyarakat dominan.
Selain itu, sistem nilai, pengetahuan, dan sistem simbol  masyarakat juga mempengaruhi 
penyelenggaraan kekuasaan karena pelaksanaan kekuasaan hanya dapat terjadi jika ada
kesediaan budaya masyarakatnya untuk menerima kehadirannya. Oleh karena itu, yang dimaksud
dengan budaya birokrasi dalam hal ini adalah  kedudukan birokrasi  terhadap  struktur sosial dan
struktur budaya pada kurun waktu tertentu (Kuntowijoyo, 1991:328).

Jika menoleh pada masa pemerintahan raja-raja di Indonesia khususnya pada raja-raja Jawa,
maka struktur masyarakatnya  terdiri dari lungguh,yakni orang-orang yang berjasa kepada
raja, sentana yakni  keluarga raja dan abdi dalem yakni mereka yang membantu raja dalam
penyelenggaraan kekuasaan. Dalam birokrasi yang sebenarnya, abdi dalem adalah birokrasi
kerajaan karena mereka yang menjadi perantara dengan rajanya. Oleh karena itu, kedudukan
birokrasi sebagai abdi dalem yang melayani raja dalam hubungan atas bawah (top-down) yang
bersifat konsentris membuat kedudukan birokrasi dalam negara patrimonial hanya merupakan
kepanjangan tangan dari kekuasaan raja. Birokrasi tidak melayani masyarakatnya, tetapi justru
melayani kepentingan raja. Pada akhirnya, para abdi dalem semacam ini kemudian berkembang
menjadi sebuah kelas sosial tersendiri yang berada dan terpisah dari masyarakat pada umumnya.
Sebagai penyelenggara kekuasaan mereka termasuk dalam elit penguasa yang mempunyai
orientasi ke atas (penguasa), lebih-lebih daripada kebawah kepada kepentingan masyarakat kecil.
Sistem seperti ini banyak terjadi pada birokrasi kerajaan patrimonial yang secara rinci dapat
ditemukan dalam birokrasi kerajaan Jawa sejak Majapahit hingga abad ke-20 pada kerajaan
Surakarta dan Yogyakarta. Budaya birokrasi sebagai abdi dalem ini tentu saja sangat membekas
dalam sistem nilai dan sistem pengetahuan masyarakat (knowledge and value of
sisyem)  sehingga sekalipun perubahan-perubahan sudah terjadi dapat saja budaya itu masih
sangat melekat.
Masa Pulau Jawa bersentuhan dengan kolonialisme terutama setelah Diponegoro ditaklukkan
pada tahun 1830, maka pemerintah Belanda mengganti peran abdi
dalem menjadi priyayi yakni ambtenaar,  yaitu orang-orang pribumi yang diangkat dalam jajaran
birokrasi kolonial dengan mendapatkan gaji dan memiliki kedudukan yang kuat dalam
masyarakat. Berbeda dengan abdi dalem yang diangkat berdasarkan kemurahan raja,
maka priyayi diangkat berdasarkan rasional. Mereka ini lebih menekankan kemajuan dan
kebaharuan yang berbeda denganabdi dalem yang cenderung konservatif dan klasik. Para priyayi
yang lebih banyak berhubungan dengan pemerintah kolonial membuat mereka mengadopsi gaya
hidup barat dan mengadaptasikan ketimuran mereka pada budaya yang didominasi oleh kognisi,
etika dan estetika barat. Mereka lebih suka menggunakan bahasa Belanda sebagai simbol
kebanggaan. Mereka dengan senang mengikuti model busana, bujana dan tegur sapa Belanda.
Demikian pula dalam memanfaatkan waktu luang mereka.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa, apa yang diketahui tentang sejarah priyayi ialah
kesenderungan mereka untuk mengabdi dan menundukkan diri sebagai bagian dari  kekuasaan
kolonial sama sepertiabdi dalem yang meleburkan dirinya menjadi bagian dari penguasa
kerajaan. Oleh karena itu, menurut Kuntowijoyo (1991: 332) Indonesia sebenarnya tidak punya
tradisi birokrasi yang lebih mengidentifikasikan diri sebagai sebuah pelayan sosial. Oleh karena
itu, pasca Indonesia merdeka, negara membangun birokrasi baru yang dikenal dengan pegawai
negeri.
Negara memberikan defenisi baru pada birokrasi pegawai negeri yakni sebagai penyelenggara
kekuasaan dan penyelenggara pelayan. Sama seperti halnya priyayi yang juga berlapir-lapis,
maka pegawai (negeri)pun terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Dalam
semboyannya pegawai negeri adalah abdi negara yakni sebuah ungkapan  yang masih
menyarankan betapa orientasi keatas (up)merupakan ciri utama pegawai negeri. Dalam arti
birokrasi yang beriorentasi kepada kekuasaan sebab negara adalah nama lain daripada
kekuasaan.
Kekuasaan pegawai negeri sebenarnya sangat luas, tetapi pegawai negeri gagal menjadi kelas
sosial yang eksklusif karena ada penurunan kemakmuran disatu pihak dan penambahan jumlah
dipihak lain. Kecuali dengan rata-rata petani, pegawai negeri masih kalah makmur jika
dibandingkan dengan sektor non pegawai negeri ataupun petani. Yang menarik dalam gejala
birokrasi sekarang ialah keterlibatan pegawai negeri dalam politik praktis secara formal, suatu
gejala yang tidak pernah ada di masa lalu. Gejala lainnya adalah idiologisasi yakni dengan
penataran-penataran kesadaran politik. Tentu saja idiologisasi itu penting terutama untuk
menumbuhkan semangat nasional, tetapi jika idiologisasi tersebut menggantikan cara berfikir
analitis, tentu tidak banyak bermanfaat pada pengembangan birokrasi sebagai pelayan.
Disamping itu, gejala lainnya adalah ritualisasi yakni dengan adanya baju seragam, upacara-
upacara, sumpah-sumpah, yang mirip denganabdi dalem. Ritualisasi tersebut tentu saja tidak sia-
sia, tetapi dikhawatirkan akan kehilangan etos kepelayanan dan yang tersisa adalah etos
kekuasaan.(Kuntowijoyo, 1991:334)

Anda mungkin juga menyukai