Anda di halaman 1dari 6

BAB VII

INTERVENSI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS


Di kalangan manajemen sering timbul pertanyaan apakah benar bahwa tidak ada batas
tingkat kinerja bagi para anggota organisasi apabila mereka terlatih dengan baik, memperoleh
dukungan penuh bukan hanya dari manajemen, akan tetapi juga dari rekan setingkat dan bagi
kelompok manajer, dari para bawahan serta dapat mendapat imbalan yang wajar?

Pertanyaan ini sering muncul ke permukaan karena sebagaimana di maklumi, organisasi


dewasa ini dihadapkan kepada berbagai tantangan yang semakin rumit, bukan saja secara
internal, akan tetapi juga karena perkembangan dan tuntutan lingkungan eksternal, bahkan
pada tingkat global yang mau tidak mau mengharuskan organisasi meningkatkan efisiensi,
efektivitas dan produktivitas kerjanya untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut.

Berbagai organisasi niaga dan organisasi nirlaba terus menerus dihadapkan kepada berbagai
masalah seperti:

a. Tingkat produktivitas yang stabil atau menurun


b. Ketidakpuasan di kalangan para pekerja antara lain karena mereka kurang diperhatikan
oleh manajemen
c. Persaingna yang semakin tajam, baik di DN atau di LN
d. Peningkatan peranan organisasi swasta justru karena terjadinya deregulasi dan
debirokratisasi
e. Makin santernya tuntutan untuk menghilangkan kebijaksanaan yang bersifat
proteksionistik, terutama untuk produk-produk tertentu seperti: pertanian, tekstil dan
produk tradisional suatu Negara atau masyarakat.
f. Tumbuhnya jenis-jenis industri baru seperti bidang informasi dan jasa pada tingkat yang
belum pernah dialami sebelumnya.
g. Makin kuatnya tuntutan internal untuk menempuh kebijaksanaan desentralisasi
pengambilan keputusan
h. Makin dominannya pandangan bahwa organisasi yang “datar” dengan jumlah tingkat
manajemen yang berkurang lebih baik dibandingkan dengan struktur organisasi yang
hierarkikal.
i. Berkurangnya jabatan staf yang bersifat penunjang karena dirasakan sebagai beban
sebab tidak memberikan kontribusi langsung bagi perolehan keuntungan dan sebaliknya
yang diperlukan adalah peningkatan jumlah dan kemampuan orang-orang lini yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas pokok organisasi.
j. Pengawasan yang lebih “longgar “ karena rasa tanggung jawab para anggota organisasi
yang semakin besar dan tingkat kedewasaan yang berakibat pada kondisi bahwa mereka
semakin dapat diandalkan.

Karena semua itu, konsultan PO melakukan berbagai bentuk intervensi demi peningkatan
produktivitas kerja individu, kelompok kerja dan organisasi secara keseluruhan.

Empat bentuk intervensi yang disoroti dan dibahas dalam bagian ini ialah rancang bangun
pekerjaan (termasuk rancang bangun ulang pekerjaan), tim kerja yang “mandiri”, gugus kendali
mutu dan peningkatan mutu kehidupan kekaryaan.

A. RANCANG BANGUN PEKERJAAN


Bagi para praktisi dan teoritisi manajemen, masalah Rancang Bangun Pekerjaan bukanlah
hal yang baru. Bahkan asal-usul pendekatan ilmiah tentang rancang bangun dapat ditelusuri
pada pemikiran Frederick W.Taylor, yang dikenal sebagai pelopor “Gerakan Manajemen Ilmiah”
yang pada tahun 1911 melakukan studi yang disebut sebagai “Studi Waktu dan Gerak”. Dalam
studinya, Taylor menemukan bahwa produktivitas para karyawan di tempatnya bekerja rendah
dan penyebab utamanya ialah karena banyak waktu pada jam kerja yang terbuang sebagai
akibat gerak gerik mereka yang tidak efisien. Memang benar melalui upaya merinci pekerjaan
hingga menjadi kegiatan terkecil dan sederhana disertai oleh pelatihan untuk meningkatkan
ketrampilan para karyawan dalam melaksanakan tugasnya, penggunaan waktu menjadi lebih
efisien dan produktivitas para karyawan meningkat. Apa yang dilakukan Taylor ini
sesungguhnya sudah merupakan rancang bangun pekerjaan. Hanya saja penting untuk
menekankan dalam kaitan ini bahwa rancang bangun yang dilakukan Taylor belum
memperhitungkan unsur manusia dilihat dari segi harkat dan martabatnya. Dalam pemikiran
Taylor tersebut masih dominan pendapat bahwa para pekerja harus diawasi dan dikendalikan.
Hal ini dapat dikatakan satu faktor yang kritis sifatnya karena teori manajemen mutakhir
menekankan bahwa apabila perlakuan terhadap para karyawan mengabaikan harkat dan
martabatnya itu, berbagai hal negatif (seperti tingkat kemangkiran yang tinggi, keinginan
pindah pegawai, apatisme serta mutu hasil pekerjaan yang rendah) akan timbul.

Karena itulah dalam melakukan rancang bangun pekerjaan dewasa ini diarahkan pada
peningkatan kepuasan dan produktivitas kerja para karyawan dengan memperhitungkan
berbagai variabel, seperti: pekerja itu sendiri dengan karakteristik individualnya (termasuk usia,
jenis kelamin, masa kerja, status sipil, jumlah tanggungan, latar belakang sosial, pendidikan,
pelatihan, pengalaman, bakat, minat, kepribadian, budaya dan sistem nilai yang dianut, sikap
serta kemampuan), sifat pekerjaan yang harus dilakukan, iklim dalam organisasi dan gaya
kepemimpinan yang digunakan, iklim dalam organisasi dan gaya kepemimpinan yang digunakan
oleh para pejabat pimpinan dalam organisasi.
Dua teori yang menonjol dalam kaitan ini ialah Teori Perkayaan Pekerjaan dan Teori
Karakteristik Pekerjaan

Teori Perkayaan Pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar, (antara lain
Frederick Herzberg) menunjukkan bahwa para karyawan pada semua tingkat dalam organisasi
sangat menaruh perhatian pada dua segi kekaryaan, yaitu mutu pekerjaan dan manfaat atau
imbalan yang diperoleh , baik dalam arti: imbalan materi, rasa aman, pemuasan kebutuhan
sosial, status, kesempatan mengembangkan potensi dsb. Berbagai temuan menunjukkan pula
bahwa mutu pekerjaan mendatangkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja terwujud apabila para
karyawan merasa bahwa rasa keberhasilan meningkat, perolehan pengakuan, pekerjaan yang
menantang, diberi kepercayaan memikul tanggung jawab yang lebih besar dan kemajuan dalam
karir. Untuk itu semua diperlukan rancang bangun ulang pekerjaan. Dalam rancang bangun
ulang sesuatu pekerjaan, harus terwujud apa yang disebut sebagai “Perkayaan Pekerjaan”

Teori Karakteritik Pekerjaan. Teknik lain yang sudah sering digunakan sebagai instrument
meningkatkan kepuasan dan produktivitas para karyawan adalah yang dikembangkan dalam
teori Karakteristik Pekerjaan. Teori tersebut tergambar dalam suatu model yang mengandung
lima dimensi pokok yang apabila diperhitungkan dengan tepat, akan berakibat pada
peningkatan motivasi dan kepuasan kerja para karyawan.

Kelima dimensi pokok itu adalah:

1. Keanekaragaman keterampilan
2. Identitas pekerjaan
3. Pentingnya pekerjaan
4. Otonomi
5. Umpan balik

1.Keanekaragaman keterampilan. Para karyawan umumnya berpendapat bahwa pekerjaan


yang menuntut keterampilan yang berbeda-beda dan sifat pekerjaan yang menantang (tidak
rutinistik dan mekanistik ) memberikan makna penting dalam kehidupan kekaryaan.

2. Identitas pekerjaan. Seorang karyawan akan memperoleh kepuasan kerja, yang pada
gilirannya akan meningkatkan produktivitas kerja, apabila ia diberi tugas yang diharapkan
diselesaikannya dari awal hingga akhir dengan hasil yang dapat diidentifikasikan, dalam arti
dapat dibedakan dengan pekerjaan orang lain. Artinya : seorang karyawan akan puas bila ia bisa
mengatakan: “ ini adalah hasil upaya saya.”

3. Pentingnya pekerjaan. Seorang karyawan akan merasa bangga dan puas apabila ia
merasa bahwa apa yang dikerjakannya itu penting dan mempunyai dampak terhadap
kehidupan orang lain, di dalam dan di luar lingkungan kerjanya. Situasi de,ikian harus
ditumbuhkan dan dipelihara karena setiap orang akan senang bila ia mengerjakan sesuatu
bukan hanya demi pemuasan “ego” nya, akan tetapi dipandang bermanfaat oleh orang lain.

4. Otonomi. Artinya kebebasan untuk menentukan bagaimana seseorang akan


menyelesaikan tugas yang dipercayakan kepadanya termasuk jadwal waktu, mutu dan
pemecahan sendiri berbagai masalah yang mungkin dihadapi dalam melaksanakan
pekerjaannya itu. Berarti pada umunya para karyawan tidak akan menyenangi suasana dimana
manajemen melakukan pengawasan yang ketat karena mereka akan memandang cara
demukian sebagai cerminan pandangan manajemen seola-olah para karyawan bawahannya itu
belum matang berorganisasi atau tidak dewasa dalam berpikir dan bertindak.

5. Umpan balik. Para pekerja yang sudah matang dan dewasa akan senang apabila mereka
memperoleh umpan balik tentang efektif tidaknya mereka berkarya dan bagaimana tingkat
kinerja mereka menurut pandangan orang lain, seperti berbagai pihak yang menggunakan hasil
pekerjaan mereka, termasuk manajemen. Dimensi ini sangat penting karena tanpa umpan balik
yang factual, obyektif dan tepat waktu, para karyawan tidak akan mengetahui dimana letak
kekuatan dan kelemahan mereka. Mengetahui kekuatan sendiri penting untuk dijadikan modal
meningkatkan kinerja di masa depan dan pengenalan kelemahan penting untuk dapat
menentukan perbaikan apa yang perlu dan harus dilakukan.

B. TIM KERJA YANG “MANDIRI”


Yang dimaksud dengan Tim Kerja yang “Mandiri” ialah suatu kelompok yang diberi otonomi
oleh manajemen tingkat atas untuk mengambil keputusan tentang cara yang hendak mereka
tempuh dalam menyelesaikan tugasnya. Tugas atau pekerjaan yang dipercayakan kepada
mereka pun mungkin saja beraneka ragam. Misalnya, untuk memecahkan masalah tertentu
atau mengembangkan produk baru. Karena tugasnya biasanya beraneka ragam, Tim “mandiri”
bisa bersifat permanen, tetapi bisa juga bersifat sementara. Dilihat dari sudut keanggotaan,
suatu tim “mandiri” sering terdiri dari para karyawan suatu kelompok tertentu saja atau diambil
dari berbagai satuan kerja dalam organisasi. Langkah terakhir ini diambil apabila tugas yang
menjadi tanggung jawab tim untuk menyelesaikannya memerlukan latar belakang dan
keterampilan yang berbeda-beda. Karena kemandiriannya, kepada mereka oleh manajemen
tingkat atas diberikan wewenang untuk memanaj berbagai proses dimana mereka terlibat,
seperti urusan produksi, sumber daya manusia (termasuk merekrut, menseleksi, menugaskan,
menggaji dan menilai kinerja para anggota tim), membeli peralatan dan bahkan mengawasi
mutu produk yang dihasilkan oleh tim.
Ciri-ciri Tim Kerja yang Mandiri:

1. Struktur organisasi sendiri didasarkan pada konsep tim yang berarti bahwa hierarki
manajemen tidak terlalu “berlapis-lapis”dan uraian pekerjaan hanya ringkas.
2. Budaya organisasi didominasi oleh pandangan egalitarian ( kecenderungan diperlakukan
yang sama) dan para pejabat pimpinan pun tidak menonjolkan simbol-simbol statusnya.
Misalnya: tidak berlaku berbagai kebiasaan pada organisasi tradisional, seperti: ruang
makan khusus bagi kelompok eksekutif, parkir buat mobil-mobil tertentu, perabot yang
tipe dan harganya berbeda-beda tergantung pada kedudukan dan jabatan seseorang
dalam organisasi. Bahkan dalam berbagai organisasi para manajer sekalipun tidak
mempunyai kamar kerja sendiri dan seandainya ada pun, ruang kerja tersebut berfungsi
pula sebagai ruang pertemuan. Dengan iklim egalitarian tersebut, keharusan berbusana
yang berbeda tidak berlaku dan apabila ada kebijaksanaan untuk memakai seragam,
semua orang dalam organisasi menggunakan seragam yang telah ditentukan.
3. Tim kerja melaksanakan tugasnya pada satu lokasi dengan batas-batas fisik yang jelas.
4. Meskipun jumlah anggota tim mungkin saja berbeda-beda tergantung antara lain sifat
tugas, batas waktu, kelengkapan sarana dan prasarana. Tetapi tetap diupayakan agar
keanggotaan dalam tim sekecil mungkin.
5. Para anggota tim memiliki visi yang sama tentang apa yang ingin dicapai, bagaimana
mencapainya, pembagian tugas apa yang diperlukan dan mekanisme penilaian kinerja
apa yang akan diterapkan.
6. Terdapat rasa kemitraan yang tinggi antara para karyawan dan manajemen.
7. Perbedaan latar belakang, pengalaman, variasi kultur yang dianut, pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki dimanfaatkan sebagai salah satu sumber kekuatan tim.
8. Setiap dan semua anggota tim mempunyai akses yang sma pada informasi yang dimiliki
tim
9. Setiap anggota tim adalah ahli di bidangnya, yang berarti menguasai seluk beluk bidang
pekerjaannya.

Anda mungkin juga menyukai