Anda di halaman 1dari 7

PERLUNYA SUATU INTERVENSI DALAM PO

A. Latar Belakang

Intervensi dimaksudkan untuk menetapkan cara-cara apakah yang patut dipergunakan untuk
merencanakan perbaikan berdasarkan masalah yang ditemukan dalam proses diagnosa dan
pemberian umpan balik.

Intervensi berarti keikutsertaan klien dan konsultan bersama-sama merencanakan proses


perbaikan berdasarkan atas masalah yang di jumpai dalam proses diagnosa.

Tahap perencanaan intervensi harus diikuti dengan serangkaian konsep yang saling
berhubungan satu sama lain. Yaitu antara lain terdiri dari teori, model dan kerangka konsep
referensinya.

Intervensi merupakan suatu kegiatan perbaikan yang terencana dalam proses pembinaan
organisasi.

Argyris merumuskan agak lebih terinci :

“intervensi merupakan kegiatan yang mencoba masuk kedalam suatu sistem tata hubungan
yang sedang berjalan, hadir berada diantara orang-orang, kelompok ataupun suatu objek
dengan tujuan untuk membantu mereka”.

Ada suatu pemikiran yang implisit dari pengertian Argyris itu yang harus dibuat eksplisit.
Pemikiran itu ialah bahwa sistem yang akan diintervensi itu tidak tergantung sama sekali pada
pengintervensi.

B. Kriteria Suatu Intervensi Yang Efektif

Kriteria dari suatu intervensi yang efektif antara lain:

o Adanya informasi yang benar dan bermanfaat,


o Kebebasan memilih, dan
o Keterikatan di dalam.

1. Dengan informasi yang benar dan bermanfaat


Dimaksudkan segala bahan keterangan tentang masalah organisasi yang diperoleh
ketika proses diagnosa. Bahan keterangan tersebut bukan karangan dari konsultan atau
klien melainkan benar-benar terjadi dan berlaku secara nyata dalam kegiatan organisasi.
Selain itu bahan keterangan tersebut berkaitan dengan persoalan yang sedang
dipecahkan, sehingga bahan keterangan tersebut bermanfaat bagi perbaikan organisasi.
Oleh karena itu tugas pertama bagi konsultan ialah mencari informasi yang benar dan
bermanfaat tersebut. Kalau tugas ini tidak berhasil dilaksanakan, artinya konsultan tidak
memperoleh data yang benar dan relevan kiranya sulit bisa dilakukan intervensi yang
tepat.

2. Dengan kebebasan memilih


Dimaksudkan bahwa tempat pembuatan suatu keputusan itu terletak pada posisi klien.
Klien sama sekali bebas memilih alternatif dalam pembuatan keputusan. Ia tidak
tergantung kepada konsultan. Tidak ada suatu tindakan atau alternatif tindakan yang
datang secara otomatis, tersusun rapi tinggal dipakai, atau dipaksa untuk dipakai.
Dengan demikian kebebasan memilih ini ditekankan bahwa tidak ada paksaan pada
klien untuk memilih dan membuat keputusan.

3. Dengan keterikatan kedalam


Dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa klien mempunyai tanggung jawab
untuk tetap terikat pada pelaksanaan dari rencana atau keputusan yang telah dibuat.
Klien yang telah dengan bebas membuat keputusan untuk perbaikan organisasi dengan
cara tertentu, maka dalam hal ini dia bertanggung jawab untuk mau melaksanakannya.
Keterikatan ini sangat penting artinya, karena inti usaha pembinaan organisasi terletak
pada keterikatan orang-orang yang terlibat sejak awal sampai usaha pembinaan
organisasi itu selesai.

Dengan tiga kriteria diatas kita dapat menangkap bahwa proses intervensi itu memang sangat
tergantung pada proses diagnosa. Dengan kata lain proses pengumpulan data akan banyak
mewarnai kegiatan intervensi yang akan dijalankan. Proses intervensi bukanlah berdiri sendiri.
Dengan demikian perencanaan intervensi yang tidak berdasarkan proses pengumpulan data
atau diagnosa, maka intervensi seperti itu kurang logis.

C. Perencanaan Intervensi

Paling sedikit ada tiga dasar pertimbangan di dalam merencanakan kegiatan intervensi:

1. Kesiapan klien untuk melakukan perubahan


Bisa dilihat ketika mengumpulkan data. Waktu wawancara, ataupun ketika mengisi
daftar pertanyaan dalam kuesioner kita bisa menangkap gejala kesiapan ini. Dari
jawaban-jawaban klien kita mengetahui masalah-masalah yang perlu mendapat
perhatian. Klien menyadari adanya masalah dan bagaimana motivasinya untuk
memecahkan masalah tersebut. Selain itu kesiapan dapat pula diamati dari kesadaran
klien akan adanya perbedaan dan kesenjangan antara kedudukan organisasi pada saat
sekarang dengan yang diinginkan di waktu yang akan datang.
Melihat dan memahami kesiapan seperti diatas belum seluruhnya mengetahui sampai
seberapa jauh kesiapan tersebut bisa diukur.
Untuk memastikan seberapa jauh kepastian klien untuk melakukan perubahan, dapat
diamati lebih lanjut ketika benar-benar telah dilaksanakan perubahan. Disaat
pelaksanaan intervensi, kita bisa memahami siapa-siapa yang membantu dan
menghalangi, siapa pula yang setuju dan yang melawan, dan siapa pula yang siap
melakukan perubahan dan siapa pula yang enggan melakukannya. Pada tahap ini kita
sekaligus mengetahui tingkat perlawanan yang timbul dari anggota klien.

2. Kepastian bahwa perubahan tersebut masih dalam batasan kekuasaan dan kewenangan
organisasi
Dalam kaitan ini suatu perubahan tidak bakal terjadi kalau tidak dihubungkan atau
dikaitkan dengan kekuasaan yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang
dalam organisasi tersebut. Dengan demikian jika hendak dilakukan perubahan,
keputusan melakukan perubahan tersebut harus datang dari kekuasaan yang ada dalam
organisasi. Kalau sistem dalam organisasi klien itu mengikuti sistem hirarki, maka
keputusan dari pimpinan tertinggi tentang perubahan itu sangat menentukan. Selain itu,
keterlibatan orang-orang yang mempunyai kekuasaan dalam organisasi terhadap proses
intervensi sangat pula menentukan keberhasilan intervensi. Pengertian mempunyai
kekuasaan ini tidak hanya terbatas pada kekuasaan hirarkikal saja, akan tetapi juga
termasuk lokasi timbulnya pusat persoalan.

3. Kesiapan sumber-sumber internal untuk membantu memanage, memonitor dan


memelihara proses perubahan.
Sumber-sumber internal itu dapat berupa perangkat lunak maupun perangkat keras.
Sumber-sumber dana dan fasilitas-fasilitas lain yang dibutuhkan oleh pelaksanaan
perubahan perlu disiapkan terlebih dahulu. Demikian pula orang-orang yang akan
membantu dan melaksanakan perubahan harus disiapkan.

Apalagi jika dalam konsultasi organisasi konsultannya berasal dari luar, maka orang-orang yang
termasuk konsultan dari dalam organisasi harus disiapkan untuk membantu dan melaksanakan
perubahan organisasi. Orang-orang didalam organisasi klien dapat bertindak sebagai konsultan
internal, dan tugasnya memberikan saran-saran kepada pimpinan organisasi dan membantu
konsultan eksternal untuk melakukan proses diagnosa dan intervensi. Dengan demikian proses
perbaikan dan perubahan organisasi tidak semata-mata tergantung pada konsultan dari luar
organisasi.

Melaksanakan proses perubahan memang tidak mudah, mengajak ke perbaikan itu memang
sulit. Yang mudah membiarkan semuanya itu kacau balau dan salah. Oleh karena itu dalam
proses perubahan organisasi, sumber-sumber internal seperti konsultan internal dapat
dimanfaatkan sebagai monitor dan pemelihara proses perubahan tersebut. Konsultan internal
dapat dimanfaatkan untuk membantu proses perubahan sejak langkah pertama usaha-usaha
pembinaan organisasi. Kemudian dilanjutkan dengan keterlibatannya dalan proses diagnosa
dan bertindak sebagai sub intervensi. Dalam proses intervensi konsultan internal dapat
bertindak sebagai subintervensor atau pembantu konsultan eksternal dalam program-program
seperti tim building, latihan jabatan, analisa data, dan lain sebagainya. Menurut Hornstein,
Bunker, Burke, Gindes, dan Lewicki (1971) konsultan internal penjaga kultur baru dan mereka
membantu memperlancar proses pembinaan organisasi.

Dalam praktek pembinaan organisasi pada tahap perencanaan intervensi ini tugas konsultan
antara lain menguji kesiapan klien, meyakinkan bahwa perubahan itu tetap bersumber pada
kekuasaan organisasi, dan membantu mengatur sumber-sumber internal untuk mendukung
dan memelihara perubahan.

Dan fungsi konsultan yang amat menentukan ialah memberikan sebanyak mungkin alternatif
intervensi. Dalam hal ini konsultan bisa mengajukan anternatifnya sendiri, dapat pula
memberikan saran dan pendapatnya sehubungan dengan alternatif intervensi yang diajukan
oleh klien.

Keputusan mengambil alternatif intervensi tergantung pada pucuk pimpinan organisasi klien.
Dengan demikian keputusan tentang bentuk intervensi itu bukanlah diambil oleh konsultan.
Konsultan hanya mengajukan alternatif intervensi saja. Kalau seandainya harus mengambil
keputusan, maka konsultan bersama klien yang melakukannya.

D. Pola Umum Intervensi

Intervensi yang dilakukan dalam pembinaan organisasi menurut sejarahnya telah banyak
dikembangkan beberapa pola teknik intervensi. Pola intervensi yang sering dilakukan oleh para
praktika pembinaan organisasi cenderung memberikan teknik-teknik yang sama atau hampir
sama dalam mengatasi masalah-masalah organisasi. Kesamaan ini lalu memberikan gambaran
yang bersifat umum. Gambaran umum tersebut kemudian melahirkan suatu pola teknik
intervensi yang bersifat umum. Sehingga pola umum dari intervensi dapat dikatakan bisa
dirumuskan bentuknya.
Berikut ini pola umum intervensi yang dirumuskan oleh Argyris.:

1. Pola yang telah dibuktikan kebenarannya.


Pola ini mendasarkan atas suatu anggapan bahwa persoalan-persoalan umum yang
selalu timbul dalam suatu organisasi antara lain : masalah komunikasi, tidak adanya
perhatian dalam komunikasi, kurang mau mendengar secara aktif, perencanaan yang
kurang realitas, kurang adanya kepercayaan antar karyawan dan pimpinan, kurang
adanya keterikatan internal terhadap policy dan tujuan organisasi, dll.
Untuk mengatasi masalah umum organisasi ini sudah tersedia pengetahuan dan teknik
intervensi yang sudah dicoba dan dibuktikan kebenarannya. Teknik intervensi yang
sudah dibuktikan kebenarannya ini antara lain teknik survey umpan balik, pertemuan
tatap muka, tim bilding, pemecahan konflik antar kelompok dan berbagai model latihan
jabatan.

2. Intervensi kreatif atas dasar ilmu pengetahuan yang ada.


Pola ini dimaksudkan menciptakan suatu model intervensi berdasarkan atas ilmu
pengetahuan yang ada. Dengan demikian konsultan berusaha menciptakan model
intervensi yang kreatif dalam mengembangkan suatu ilmu pengetahuan yang ada dan
yang dikuasainya. Umpamanya, konsultan mau menerapkan model tim bilding
berdasarkan dari sisi ilmu pengetahuan lain. Maka konsultan mengembangkan model-
model tim bilding dari sisi ilmu tersebut. Dari pengembangan model dari ilmu
pengetahuan lainnya ini, maka akan diperoleh model intervensi yang lain dari
sebelumnya. Dengan sendirinya suatu kesulitan yang mungkin timbul adalah usaha
untuk menciptakan model baru ini. Setiap praktika konsultan akan diciptakan model
baru yang berbeda dari model sebelumnya, kreativitas memang sulit akan tetapi
menarik bagi yang menyenanginya.

3. Penambahan atas teori dasar yang ada.


Dalam pola ketiga ini bentuk intervensinya memberikan tambahan kepada teori dasar
yang sudah ada. Dengan kata lain konsultan menciptakan teori dan metodologi baru
yang menambah, mengembangkan, dan memperbaiki teori dasar yang ada. Pola ini
sebenarnya jarang dan sulit dilakukan oleh konsultan. Sebenarnya pola intervensi ini
demanding, karena konsultan selain mengamalkan praktika konsultasi diapun
melakukan riset di bidangnya.
Sehingga mampu menemukan model-model baru. Suatu contoh yang sangat baik
tentang pola ketiga ini ialah usaha-usaha yang dilakukan oleh Kurt Lewin yang terkenal
sampai sekarang dengan sebutan action research.

Selain pola yang bersifat umum ini, konsultan perlu juga mengamalkan pola intervensi yang
lebih mendalam. Pola intervensi yang mendalam ini memberikan penekanan kepada sampai
seberapa jauh keterlibatan unsur-unsur seperti: nilai, emosi, dan perasaan individu dalam
intervensi tersebut. Dengan demikian intervensi mendalam ini menekankan pada jenis
intervensi yang memperbaiki unsur manusianya. Selain itu menurut Harrison (1970), intervensi
mendalam itu dapat dilihat sampai dimana data yang ada mempunyai dampak terhadap urusan
yang bersifat pribadi dan umum. Dan kalau dilihat dari segi individualitas, sampai dimana
intervensinya itu lebih mengenai dan mengarahkan masing-masing individu dalam organisasi
(karyawan dan pejabat) dibandingkan kepada organisasinya. Semakin dalam intervensinya,
maka semakin jauh dampaknya terhadap kepentingan pribadi dan hal-hal yang bertalian
dengan individu dalam organisasi.

Berdasarkan anggapan dan model yang dikemukakan oleh Harrison tersebut, Huse (1980)
mengembangkan serangkaian daftar tentang bentuk intervensi berdasarkan kedalamannya.
Daftar ini sangat membantu menjelaskan dan memberikan gambaran tentang bagaimana
menggunakan konsep Harrison di atas. Huse menggolongkan intervensi itu atas yang paling
dangkal kedalamannya sampai yang terdalam.

Menurut Huse intervensi yang tergolong dangkal ialah yang menyangkut pendekatan sistem
organisasi, sedangkan yang termasuk terdalam ialah intervensi yang menyangkut hal-hal
pribadi perorangan.

Dua hal yang termasuk berada di antara dangkal dan terdalam ialah hubungan antara individu-
organisasi, dan yang bertalian degan gaya kerja perorangan. Akan tetapi khusus bagi gaya kerja
perorangan diletakkan lebih dalam daripada hubungan individu-organisasi.

Harrison memberikan model yang lain dengan menawarkan suatu kriteria tertentu. Modelnya
masih bersambungan dengan pemikiran Huse diatas. Dengan memberikan pertanyaan
bagaimana sikap konsultan dalam menentukan pilihan intervensi, Harrison memberikan
kriterianya.

Pada dasar manakah seharusnya seorang konsultan itu membantu klien menentukan pilihan
intervensinya, yakni :

a. Bahwa konsultan harus melakukan intervensi pada tingkat yang tidak lebih dalam
daripada keharusan menghasilkan suatu pemecahan persoalan yang telah ada.
b. Bahwa energi dan sumber-sumber yang dipunyai klien dapat dimanfaatkan untuk
pemecahan persoalan dan perbaikan.

Selain itu Harrison juga menekankan dalam rangka intervensi adakalanya konsultan lebih
menyukai mendorong dan menghadapi secara langsung setiap perlawanan klien. Dan ada pula
yang lebih menyenangi menangani hal-hal aktual dari klien. Dalam hal timbulnya bentuk
perlawanan klien, maka menurut Harrison, tampaknya dia lebih suka memilih yang teralhir itu.
Karena menurutnya, konsultan yang menyukai menghadapi perlawanan klien itu telah
mengambil langkah memilih bentuk intervensi yang tersulit. Sekali intervensi tersulit telah
diambilnya, maka dia harus konsekuen menerima akibatnya yakni ada kemungkinan klien
menolaknya atau membatalkan sama sekali rencana intervensinya.

Intervensi yang bertalian dengan hal-hal aktual dari klien lebih bersifat menyenangkan karena
tidak berhadapan dengan perlawanan klien terhadap usaha-usaha perbaikan yang bakal
dilakukan.

SELAMAT BELAJAR

Anda mungkin juga menyukai