Anda di halaman 1dari 14

UJIAN TENGAH SEMESTER

PENGEMBANGAN ORGANISASI

OLEH:
KADEK ALIT YUDA PRATAMA 2132125036

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN

UIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

2022
PENGEMBANGAN ORGANISASI

A. Tujuan Pengembangan Organisasi


Tujuan utama pengembangan organisasi adalah untuk perbaikan fungsi organisasi
itusendiri. Peningkatan produktivitas dan keefektifan organisasi membawa
implikasiterhadap kapabilitas organisasi dalam membuat keputusan berkualitas
dengan melakukanperubahan terhadap struktur, budaya, tugas, teknologi dan sumber
daya manusia. Pendekatanutama terhadap hal ini adalah mengembangkan budaya
organisasi yangdapatmemaksimalkan keterlibatan orang dalam pembuatan keputusan
yang efektif dalam organisasi.Menurut Robbins (1984),usaha pengembangan
organisasi pada umumnya diarahkan pada dua tujuan akhir, yaitu peningkatan
keefektifan organisasi dan peningkatan kepuasan anggotanya. Lebih lanjut, Robbins
merinci tujuan pengembangan organisasi sebagai berikut:
1. Meningkatkan tingkat kepercayaan dan dukungan di antara anggota organisasi.
2. Meningkatkan timbulnya konfrontasi terhadap masalah organisasi baik
dalamkelompok maupun antar-kelompok, sebagai kebalikan dari to sweeping
problemunder the rug.
3. Terciptanya lingkungan dimana otoritas peran yang ditetapkan
ditingkatkandengan otoritas berdasarkan pengetahuan dan keterampilan.
4. Meningkatkan keterbukaan komunikasi secara horisontal, vertikal dan
diagonal.
5. Menaikkan tingkat antusiasme dan kepuasan personal dalam organisasi.
6. Menemukan solusi yang sinergis terhadap masalah.
7. Menaikkan tingkat responsibilitas diri dan kelompok dalam perencanaan.

Hampir semua pakar berpendapat bahwa pengembangan organisasi bertujuan


melakukan perubahan (Thoha, 2002). Dengan demikian, jika diterima pendapat
bahwa penyempurnaandalam organisasi sebagai suatu sarana perubahan yang harus
terjadi maka kemudian secara luas pengembangan organisasi dapat diartikan pula
sebagai perubahan organisasi(organizational change).
B. Sifat-Sifat Dasar Pengembangan Organisasi

Sifat-sifat dasar dari suatu Perkembangan Organisasi adalah sebagai berikut.


1. Pengembangan Organisasi merupakan suatu strategi terencana dalam
mewujudkan perubahan organisasional, perubahan yang dimaksud harus
mempunyai sasaran yang jelas dan didasarkan pada suatu diagnosis yang tepat
mengenai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi.
2. Pengembangan Organisasi harus berupa kolaborasi antara berbagai pihak yang
akan mengalami dampak perubahan yang akan terjadi, keterlibatan dan
partisipasi para anggota organisasi harus mendapat perhatian.
3. Program Pengembangan Organisasi menekankan cara-cara baru yang diperlukan
guna meningkatkan kinerja seluruh anggota organisasi
4. Pengembangan Organisasi mengandung nilai-nilai humanistic dalam arti bahwa
dalam meningkatkan efektifitas organisasi, potensi manusia harus menjadi
bagian yang penting
5. Pengembangan Organisasi menggunakan pendekatan kesisteman yang berarti
selalu memperhitungkan pentingnya inter relasi, interaksi dan inter dependensi
6. Pengembangan Organisasi menggunakan pendekatan ilmiah untuk mencapai
efektivitas organisasi

C. Nilai-Nilai yang Terkandung Dalam Pengembangan Organisasi


1. Penghargaan akan orang lain
2. Percaya dan mendukung orang lain, sedangkan individu sendiri harus
mempunyai tanggung jawab
3. Pengamanan kekuasaan (mengurangi tekanan pada wewenang)
4. Konfrontasi (masalah yang tidak disembunyikan)
5. Partisipasi (melibatkan orang-orang yang mempunyai potensi dalam proses
pengembangan organisasi)
D. Proses Dalam Pengembangan Organisasi
1. Pengenalan masalah
2. Diagnosis Organisasional
3. Pengembangan strategi perubahan
4. Intervensi
5. Pengukuran dan Evaluasi

E. Strategi yang Dilakukan Dalam Pengembangan Organisasi


Teknik pengembangan oraganisasi pada hakekatnya adalah strategi interfensi
yang dapat dipergunakan untuk mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi
oleh organisasi atau di dalam melakukan perubahan-perubahan. Sampai sekarang
cukup banyak teknik pengembangan organisasi yang telah dikembangkan oleh para
pakar. Di antara teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Latihan Kepekaan (sensitivity taining); Merupakan teknik pengembangan yang
pertama diperkenalkan dan ayang dahulu paling sering digunakan. Teknik ini
sering disebut juga T-group. Dalam kelompok kelomok T (singkatan training)
yang masing masing terdiri atas 6 – 10 peserta, pemimpin kelompok (terlatih)
membimbing peserta meningkatkan kepekaan (sensitivity) terhadap orang lain,
serta ketrampilan dalam hubunga antar-pribadi.
2. Kisi Pengembangan Organisas; Pendekatan grip pada pengembangan organisasi
di dasarkan pada konsep managerial grip yang diperkenalkan oleh Robert Blake
dan Jane Mouton. Konsep ini mengevaluasi gaya kepemimpinan mereka yang
kurang efektif menjadi gaya kepemimpinan yang ideal, yang berorientasi
maksimum pada aspek manusia maupun aspek produksi.
3. Survai Umpan Balik; Tiap peserta diminta menjawab kuesioner yang dimaksud
untuk mengukur persepsi serta sikap mereka (misalnya persepsi tentang
kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan mereka). Hasil surveini diumpan
balikkan pada setiap peserta, termasuk pada para penyelia dan manajer yang
terlibat. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan kuliah atau lokakarya yang
mengevaluasi hasil keseluruhan dan mengusulkan perbaikan perbaikan
konstruktif.
4. Konsultasi Proses; Dalam Process consultation, konsultan pengembangan
organisasi mengamati komunikasi, pola pengambilan keputusan, gaya
kepemimpinan, metode kerjasama, dan pemecahan konflik dalam tiap unit
organisasi. Konsultan kemudian memberikan umpan balik pada semua pihak
yang terlibat tentang proses yang telah diamatinya, serta menganjurkan tindakan
koreksi.
5. Pembentukan Tim; Adalah pendekatan yang bertujuan memperdalam efektivitas
serta kepuasaan tiap individu dalam kelompok kerjanya atau tim. Teknik tim
building sangat membantu meningkatkan kerjasama dalam tim yang menangani
proyek dan organisasinya bersifat matriks.
6. Transcational Analysis (TA); TA berkonsentrasi pada gaya komunikasi antar-
individu. TA mengajarkan cara menyampaikan pesan yang jelas dan
bertanggung jawab, serta cara menjawab yang wajar dan menyenangkan. TA
dimaksudkan untuk mengurangi kebiasaan komunikasi yang buruk dan
menyesatkan.
7. Intergroup Activities; Fokus dalam teknik intergroup activities adalah
peningkatan hubungan baik antar-kelompok.Ketergantungan antar kelompok ,
yang membentuk kesatuan organisasi, menimbulkan banyak masalah dalam
koordinasi. Intergroup activities dirancang untuk meningkatkan kerjasama atau
memecahkan konflik yang mungkin timbul akibat saling ketergantungan
tersebut.
8. Third-party Peacemaking ;Dalam menerapkan teknik ini, konsultan
pengembangan organisasi berperan sebagai pihak ketiga yang memanfaatkan
berbagai cara menengahi sengketa, serta berbagai teknik negosiasi untuk
memecahkan persoalan atau konflik antar-individu dan kelompok.

F. Sebab Penolakan Perubahan Pengembangan Organisasi


Sebab-sebab penolakan/ penentangan terhadap perubahan adalah :
1. Security; Merasa tidak aman dengan kondisi baru yang belum diketahui sehingga
perlu penyesuaian.
2. Economic (berkaitan dengan untung rugi); Organisasi cenderung menolak
perubahan karena tidak mau menanggung kerugian dengan adanya perubahan.
3. Psikologis dan budaya/kebiasaan, yaitu :
a. Persepsi; Persepsi yang salah bisa menjadi sumber terjadinya sikap
menentang terhadap perubahan.
b. Emosi; Emosi akan menimbulkan prasangka sehingga cenderung menolak
perubahan.
c. Kultur; Berguna sebagai dasar dalam menilai hal-hal baru yang diterimanya.

Penolakan terhadap perubahan merupakan fenomena yang timbul dalam proses


perubahan. Connor dalam Yukl (2002) menjelaskan beberapahal yang menyebabkan
penolakan terhadap perubahan, yaitu:
1. Ketidakpercayaan kepada orang yang mengusulkan perubahan.
2. Kepercayaan bahwa perubahan tidak diperlukan. Apabila orang-orang yang
berada dalam sebuah organisasi itu telah merasa bahwa segalanya telah
baik,maka adanya rencana perubahan akan menimbulkan penolakan.
3. Kepercayaan bahwa perubahan tidak dapat dilakukan. Proses perubahan
yangakan dilakukan membutuhkan usaha yang besar, sehingga perubahan
yangradikal dapat menyebabkan orang meragukan keberhasilan perubahan.
4. Ancaman ekonomi. Perubahan yang akan dilakukan membuat karyawanmerasa
terancam dari segi ekonomi, misalnya perubahan dapat menyebabkankehilangan
pendapatan karena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau penggantian manusia
dengan teknologi informasi, sehingga mereka kehilangan pekerjaan.
5. Perubahan biasanya berbiaya tinggi. Walaupun perubahan biasanya
membawakeuntungan besar bagi perusahaan, tetapi besarnya biaya yang
harusdikeluarkan oleh perusahaan membuat perusahaan berfikir lebih
mendalamsebelum menentukan untuk melakukan perubahan. Dalam hal ini,
perusahaanharus membandingkan biaya dan keuntungan yang mungkin
diperoleh (costand benefit analysis).
6. Ketakutan akan kegagalan individu. Apabila orang-orang dalam organisasisudah
terbiasa menggunakan cara metode lama maka rencana perubahanmembuat
mereka ketakutan, jika mereka tidak bisa menggunakan cara,/metode baru.
7. Kehilangan status dan kekuasaan. Perubahan-perubahan besar dalam
organisasidapat menyebabkan beberapa orang merasa terancam akan
kehilangankekuasaan dan status akibat adanya perubahan.
8. Ancaman terhadap nilai-nilai dan cita-cita organisasi. Adanya
perubahanmenyebabkan ketakutan-ketakutan akan hilangnya nilai-nilai
organisasi yangselama ini telah dianut oleh organisasi.
9. Penolakan akan pengaruh (Resentment of interference) ada beberapa orangyang
menolak untuk berubah karena mereka tidak mau dikontrol oleh oranglain.

G. Faktor-faktor Penyebab Dilakukannya Pengembangan Organisasi.


1. Kekuatan Eksternal
a. Kompetisi yang semakin tajam dalam organisasi
b. Perkembangan IPTEK.
c. Perubahan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial yang membuat
organisasi berfikir bagaimana mendapatkan sumber diluar organisasi untuk masa depan
organisasi.
2. Kekuatan Internal
a. Struktur
b. Sistem dan prosedur
c. Perlengkapan dan fasilitas
d. Proses dan saran apabila tidak cocok akan membuat organisasi melalui perbaikan.
e. Perubahan organisasi di lakukan untuk mencocokkan dengan kebutuhan yang ada.
PANDANGAN BARU TENTANG PERKEMBANGAN ORGANISASI

Berikut ini adalah sejarah singkat mengenai evolusi Perkembangan Organisasi yang
berasal dari lima batang tubuh sebagai berikut:
A. Latar Belakang Pelatihan Laboratorium
Pelatihan Laboratorium (Laboratory Training/LT) adalah pergerakan pertama,
pelopor, atau awal mula dari Perkembangan Organisasi. LT atau yang biasa dikenal
sebagai Kelompok T adalah suatu kelompok kecil tak terstruktur yang mana di
dalamnya, partisipan belajar dari interaksi mereka sendiri dan dari dinamika perubahan
seperti isu tentang hubungan antarpersonal, pertumbuhan personal, kepemimpinan, dan
dinamika kelompok. LT ini dimulai pada musim panas tahun 1946 ketika Kurt Lewin
dan stafnya yang ada di Research Center for Group Dynamics di Massachusetts Institut
of Technology diminta oleh Connecticut Interracial Commission dan Committee on
Community Interrelation dalam American Jewish Congress untuk membantu penelitian
pada pelatihan pemimpin masyarakat. Suatu workshop pun dikembangkan dan disana,
pemimpin masyarakat dibawa bersama-sama untuk mempelajari kepemimpinan dan
mendiskusikan masalah. Di tiap akhir harinya, para peneliti mendiskusikan secara privat
apa saja perilaku dan dinamika kelompok yang mereka amati. Mengetahui hal itu, para
pemimpin masyarakat pun meminta izin agar mereka diikutsertakan dalam sesi umpan
balik. Awalnya para peneliti enggan, namun akhirnya mereka menyetujuinya. Dari
sinilah, Kelompok T pertama kali terbentuk. Para peneliti pun kemudian mengambil dua
kesimpulan mengenai ekperimen Kelompok T pertama ini sebagai berikut: (1) umpan
balik tentang interaksi kelompok adalah pengalaman belajar yang sangat berharga, dan
(2) proses pembangunan kelompok mempunyai potensi bagi pembelajaran yang dapat
dipindah ke situasi “kembali-pulang”.
Sebagai hasil pengalaman ini, Office of Naval Research dan National Education
Associaion memberikan dukungan dana untuk membentuk National Training
Laboratories, dan Gould Academy di Bethel, Maine dipilih sebagai tempat kerjanya.
Lalu, suatu fenomena baru muncul pada tahun 1950. Sebuah percobaan dilakukan
untuk mengadakan Kelompok T di pagi hari dan Kelompok Keterampilan Kognitif atau
yang biasa dikenal sebagai Kelompok A di sore hari. Percobaan ini menjadi awal mula
dari sebuah dekade ekperimen dan frustasi pembelajaran, terutama dalam percobaan
untuk memindah keterampilan yang dipelajari dalam Kelompok T ke situasi “kembali-
pulang”. Pada tahun 1950, muncul 3 gejala sebagai berikut:
1. Munculnya laboratorium regional.
2. Ekspansi dari sesi program musim panas menjadi sesi tahunan.
3. Ekspansi kelompok T ke dalam bidang bisnis dan industri. Tokoh pelopor dari
upaya ini adalah Douglas McGregor di Union Carbridge, Herbert Shepard dan
Robert Blake di Esso Standard Oil, dan McGregor dan Richard Beckhard di
General Mills. Penggunaan metode Kelompok T pada ketiga perusahaan inilah
yang kemudian melahirkan istilah Pengembangan Organisasi/ OD (organizing
development).

Penggunaan teknik Kelompok T pada organisasi-organisasi kemudian dikenal


sebagai pembangunan tim (team building), yaitu suatu proses pembantuan kelompok
kerja untuk menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan tugas dan memuaskan kebutuhan
anggota.

B. Latar Belakang Penelitian Tindakan dan Umpan Balik Survei


Kurt Lewin ternyata juga terlibat dalam Penelitian Tindakan dan Umpan Balik
Survei (Action Research and Survey Feedback/ARASF), yaitu pergerakan kedua yang
memunculkan Pengembanagan Organisasi sebagai bidang praktis ilmu pengetahuan
sosial. Kontribusi penelitian tindakan sendiri dimulai pada tahun 1940 dengan studi
yang dipimpin oleh ahli ilmu sosial John Collier, Kurt Lewin, dan William Whyte.
Mereka menemukan bahwa suatu penelitian butuh untuk dihubungkan lebih dekat
dengan tindakan jika anggota organisasi ingin menggunakannya untuk memanajemen
perubahan. Suatu upaya kolaboratif diinisiasikan antara ahli sosial dengan anggota
organisasi untuk mengumpulkan data penelitian tentang fungsi organisasi, untuk
menganalisis penyebab permasalahannya, lalu untuk merencanakan dan melaksanakan
solusinya. Setelah pelaksanaan, data tersebut dikumpulkan untuk dinilai hasilnya. Upaya
tersebut terus dilakukan dalam suatu siklus yang berkelanjutan. Lalu, hasil dari
penelitian tindakan tersebut adalah sebagai berikut: (a) anggota organisasi mampu
mengadakan penelitian pada dirinya sendiri untuk mengendalikan tindakan dan
perubahan, dan (b) ahli ilmu sosial mampu mempelajari bahwa proses untuk
mendapatkan pengetahuan baru dapat diadakan dimana saja. Adapun, komponen utama
dari studi penelitian tindakan adalah data survei adalah umpan balik kepada klien yang
harus dikumpulkan secara sistematis.
Pada tahun 1948, Rensis Likert dan Floyd Mann memimpin suatu survei perusahaan
besar tentang manajemen dan sikap tenaga kerja di Detroit Edison, yang mana hasilnya
adalah sebagai berikut: (a) sudut pandang 8000 tenaga kerja yang tak terawasi tentang
supervisor mereka, peluang promosi jabatan, dan kepuasan kerja dengan rekannya, (b)
kesamaan reaksi dari lini pertama dan kedua supervisor, dan (c) informasi dari manajer
yang lebih tinggi.
Lalu, proses umpan balik yang dikembangkan adalah pertemuan berantai
(interlocking chain of conferences). Penemuan survei dilaporkan terlebih dahulu kepada
manajer tertinggi, baru setelah itu disebarluaskan ke seluruh organisasi. Sesi umpan
balik dibawa ke kelompok kerja, yang mana data tersebut kemudian didiskusikan oleh
supervisor dan bawahannya secara bersama-sama.
Studi ketiga mengindikasikan bahwa perubahan yang lebih signifikan dan positif,
seperti kepuasan kerja, terjadi pada departemen yang menerima umpan balik. Dari
penemuan tersebut, Likert dan Mann memperoleh beberapa kesimpulan tentang efek
umpan balik survei pada perubahan organisasi. Hal ini kemudian membawa adanya
keanekaragaman metode umpan balik survei yang dapat digunakan.

C. Latar Belakang Manajemen Partisipasif


Kelanjutan dari LT dan ARASF adalah adanya keyakinan bahwa hubungan manusia
merupakan suatu jalan terbaik untuk memanajemen organisasi. Adapun, terdapat 4 tipe
sistem manajemen dalam organisasi sebagai berikut :
1. Sistem 1 – Sistem Kekuasaan Eksploitatif. Sistem ini menampilkan adanya
otokrasi, kepemimpinan secara top-down. Motivasi pekerja didasarkan pada adanya
hadiah dan sanksi. Komunikasi sangat rendah dan hanya terdapat sedikit interaksi
atau kerjasama kelompok secara vertikal. Pengambilan keputusan dan pengawasan
berada pada tingkat atas organisasi. Sistem 1 menghasilkan performansi yang
cukup atau sedang.
2. Sistem 2 – Sistem Kekuasaan Bijak. Sistem ini hampir sama dengan sistem 1,
namun manajernya yang lebih paternalistik/kebapak-bapakan. Pekerja lebih
diperbolehkan untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan berkeputusan, asalkan tetap
dalam batasan yang ditentukan oleh manajer.
3. Sistem 3 – Sistem Konsultatif. Sistem ini lebih menambah interaksi, komunikasi,
dan pengambilan keputusan bagi pekerja. Meskipun pekerja boleh berkonsultasi
tentang masalah dan keputusannya, namun manajer tetap menjadi pemegang dan
pengambil keputusan akhir. Dalam sistem ini, produktivitas organisasi baik dan
pekerja pun cukup puas.
4. Sistem 4 – Sistem Kelompok Partisipasif. Sistem ini adalah kebalikan dari sistem
1. Didesain sedemikian rupa dalam metode kelompok untuk mengambil keputusan
dan melakukan pengawasan. Sistem ini membantu menaikkan derajat dan
persentase dari keterlibatan dan partisipasi anggota organisasi. Kelompok kerja
terlibat penuh dalam penetapan tujuan, pengambilan keputusan, perbaikan metode,
dan penilaian hasil. Komunikasi terjadi secara vertikal dan horisontal, dan
keputusan terhubung ke seluruh organisasi melalui keanggotaan kelompok. Dalam
sistem ini, produktivitas, kualitas, dan kepuasaan anggota sangat tinggi.
Dan dari keempat sistem tersebut, Likert menggunakan sistem ke 4. Intervensi
dimulai dengan pengisian Profil Karakteristik Organisasi oleh anggota organisasi.
Survei tersebut menanyakan pendapat anggota tentang kondisi yang ada sekarang dan
kondisi yang ideal tentang 6 fitur organisasi, yaitu kepemimpinan, motivasi,
komunikasi, keputusan, tujuan, dan pengawasan. Setelah itu, data diumpan balikkan
kepada kelompok kerja yang berbeda dalam organisasi.

D. Latar Belakang Produkitivitas dan Kualitas Kehidupan Kerja


Kontribusi latar belakang Produktivitas dan Kualitas Kehidupan Kerja (Productivity
and Quality-of-Work-Life/QWL) dapat dideskripsikan dalam 2 tahap. Tahap pertama
dideskripisikan melalui proyek asli yang dikembangkan di eropa pada tahun 1950 dan
kemunculannya di Amerika Serikat pada tahun 1960. Program QWL ini adalah program
yang melibatkan partisipasi serikat dan manajer dalam mendesain kerja. Dan, sebagai
hasilnya adalah desain kerja yang memberikan para pekerja kebijaksanaan, variasi kerja,
dan umpan balik tentang hasil yang tinggi. Adapun, karakteristik dari program QWL
adalah pengembangan kelompok kerja manajemen mandiri sebagai bentuk baru desain
kerja. Kelompok kerja manajemen mandiri ini terdiri dari para pekerja dengan berbagai
keterampilan, yang mana diberikan otonomi dan informasi yang sangat penting untuk
mendesain dan memanajemen performansi tugas mereka sendiri.
Lalu, ketika program ini masuk ke Amerika, beranekaragam konsep dan teknik
diadopsi, sehingga akhirnya terdapat 2 definisi mengenai QWL pada awal
perkembangannya. QWL pertama kali didefinisikan dengan istilah reaksi orang untuk
bekerja, yang mana keluaran individualnya berhubungan dengan kepuasan kerja dan
kesehatan mental. Dengan definisi ini, QWL memusatkan perhatiannya pada
konsekuensi personal dalam pengalaman kerja dan pada cara perbaikan kerja untuk
memuaskan kebutuhan personal. Sedangkan, definisi kedua QWL adalah pendekatan
atau metode atau teknik untuk memperbaiki kerja.
Adapun, tahap kedua kontribusi QWL muncul pada tahun 1979, selang 9 tahun dari
berakhirnya tahap pertama kontribusi QWL, yaitu tahun 1970. Faktor utama
penyebabnya adalah pertumbuhan persaingan internasional yang dihadapi Amerika
Serikat di pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan, salah satu bentuk
persaingan dari luar negeri adalah adanya barang asing yang menawarkan kualitas tinggi
dengan harga yang relatif rendah.
Alhasil, program QWL pun melebarluaskan fokusnya pada desain kerja dengan
memasukkan fitur lain dari tempat kerja yang dapat mempengaruhi produktivitas dan
kepuasan pekerja, seperti sistem hadiah, aliran kerja, gaya kepemimpinan, dan
lingkungan fisik kerja.
Pada satu poin, produktivitas dan QWL menjadi sangat populer, sehingga kemudian
dikenal sebagai suatu pergerakan ideologis. QWL pun menjadi semakin dikenal dalam
penyebaran lingkaran kualitas (qualities circle) ke dalam banyak perusahaan. Lingkaran
kualitas adalah suatu kelompok yang di dalamnya memberikan pelatihan kepada pekerja
mengenai metode pemecahan masalah agar dapat memecahkan masalah lingkungan
kerja, produktivitas, pengendalian kualitas, dan dapat mengembangkan cara kerja yang
lebih efisien.
Pada masa kini, aktivitas QWL berkembang lebih lanjut di bawah nama
Keterlibatan Pekerja (Employee Involvement/IE). IE signifikan dengan tumbuhnya
perhatian mengenai bagaimana pekerja dapat lebih berkontribusi untuk menjalankan
organisasi agar lebih fleksibel, produktif, dan kompetitif. Dan seiring perkembangan
waktu, istilah IE pun mengganti istilah Pemberdayaan Pekerja (Employee
Empowerment/EE) karena istilah EE terlalu terbatas perhatiannya pada aspek kekuatan
saja. Selain itu, dengan istilah EE, para praktisi bisa saja melupakan elemen-elemen
yang sangat dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan, seperti informasi, keterampilan,
dan hadiah.
Akhirnya, produktivitas dan QWL memperoleh momentum baru melalui kekuatan
penggabungan dengan pergerakan mutu terpadu yang disarankan oleh Edwards Deming
dan Joseph Juran. Dalam pendekatan ini, organisasi terlihat sebagai sebuah kumpulan
proses yang dapat dihubungkan dengan kualitas produk dan layanan, yang dapat
dimodelkan dengan teknik statistik, yang dapat diperbaiki secara berkelanjutan.

E. Latar Belakang Perubahan Strategis


Latar belakang Perubahan Strategis (Strategic Change/SC) adalah pengaruh terbaru
dari evolusi Pengembangan Organisasi. Sebagaimana organisasi dan lingkungan
teknologi, politik, dan sosialnya menjadi bertambah kompleks dan tidak pasti, skala dan
kerumitan perubahan organisasi pun juga turut bertambah. Gejala ini akhirnya
memunculkan adanya kebutuhan akan perspektif stategis dari Pengembangan Organisasi
dan menyarankan adanya proses perubahan terencana pada tingkat organisasi.
SC meliputi perbaikan jajaran antara lingkungan organisasi, strategi, dan desain
organisasi. Intervensi SC meliputi upaya perbaikan hubungan organisasi dengan
lingkungannya dengan penyesuain terhadap sistem teknik, politik, dan budayanya.
Kebutuhan akan SC biasanya didorong oleh adanya gangguan besar pada organisasi,
seperti syarat pengaturan, terobosan teknologi, ataupun datangnya eksekutif baru dari
luar organisasi.
Penggunaan SC untuk yang pertama kalinya adalah pada sistem perencanaan
terbuka Richard Beckhard. Dia mengemukakan bahwa lingkungan organisasi dan
strateginya dapat dideskripsikan dan dianalis. Berdasarkan pada misi inti organisasi,
perbedaan antara apa yang organisasi minta dengan bagaimana organisasi merespon
dapat dikurangi. Selain itu, performansi perusahaan juga dapat diperbaiki. Sejak saat itu,
agen-agen perubahan pun mengusulkan beraneka ragam model SC yang mana tiap-
tiapnya mengakui bahwa SC melibatkan tingkatan terkecil dari organisasi dan suatu
perubahan dalam kebudayaannya, yang mana seringkali dijalankan oleh atasan melalui
eksekutif yang kuat dan mempunyai pengaruh yang penting bagi performansi.

Anda mungkin juga menyukai