Anda di halaman 1dari 25

INTERVENSI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS & TRANSFORMASI

ORGANISASI DENGAN BERBAGAI INTERVENSI STRATEGI

Dosen Pengampu:
Dr. Desi Tri Kurniawati,SE.,MSi.,CPHR

Kelompok 3:

Nadira Salsabila Suharjon (185020200111031)


Deva Ayu Prisiliya Dwi Damayanti (185020201111020)
Diana Nurfita (185020201111024)
Novriska Safitri (185020201111026)
Muhammad Ivan R (185020200111079)

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
BAB 8

INTERVENSI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Organisasi dewasa ini dihadapkan kepada berbagai tantangan yang yang semakin
rumit, bukan saja secara internal, akan tetapi juga karena perkembangan dan tuntutan
lingkungan eksternal, bahkan pada tingkat global yang mau tidak mau mengharuskan
organisasi meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerjanya untuk menghadapi
berbagai tantangan tersebut.

Berbagai organisasi niaga dan organisasi nirlaba terus-menerus dihadapkan kepada


berbagai masalah seperti:

a. Tingkat produktivitas yang stabil atau menurun,


b. Ketidakpuasan di kalangan para pekerja antara lain karena mereka merasa
kurang diperhatikan oleh manajemen,
c. Persaingan yang semakin tajam, baik di dalam negeri maupun, dan terutama di
pasaran internasional,
d. Peningkatan peranan organisasi swasta justru karena terjadinya deregulasi dan
debirokratisasi,
e. Makin santernya tuntutan untuk menghilangkan kebijaksanaan yang bersifat
proteksionistik, terutama untuk produk-produk tertentu seperti hasil pertanian,
tekstil dan produk “tradisional” suatu negara atau masyarakat,
f. Tumbuhnya jenis-jenis industri baru seperti di bidang informasi dan jasa pada
tingkat yang belum pernah dialami sebelumnya,
g. Makin kuatnya tuntutan internal untuk menempuh kebijaksanaan
desentralisasi pengambilan keputusan.
h. Makin dominannya pandangan bahwa organisasi yang “datar” dengan jumhlah
tingkat manajemen yang berkurang lebih baik dibandingkan dengan struktur
organisasi yang hierarkikal,
i. Berkurangnya jabatan staf yang bersifat penunjang karena sering dirasakan
sebagai beban sebab tidak memberikan kontribusi langsung bagi perolehan
keuntungan dan sebaliknya yang diperlukan adalah peningkatan jumlah dan
kemampuan orang-orang lini yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
tugas pokok organisasi,
j. Pengawasan yang lebih “longgar” karena rasa tanggung jawab para anggota
yang semakin besar dan tingkat kedewasaan yang berakibat pada kondisi
bahwa mereka semakin dapat diandalkan.

Dalam banyak organisasi, wewenang pengambilan keputusan telah didelegasikan


kepada tingkat terendah dalam organisasi. Salah satu alasan untuk bertindak demikian ialah
semakin Kuatnya pandangan yang mengatakan bahwa pada tingkat itulah terdapat orang-
orang yang paling mengetahui masalah operasional apa yang dihadapi oleh organisasi.
Kelompok kerja dan bukan individu menjadi instrumen utama untuk mengorganisasikan
berbagai kegiatan yang perlu diselenggarakan demi tercapainya tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan.

Karena semua itu, konsultan PO melakukan pula berbagai bentuk intervensi demi
peningkatan produktivitas kerja individu kelompok kerja dan organisasi sebagai keseluruhan.
Empat bentuk intervensi yang disoroti dan dibahas dalam bagian ini ialah rancang bangun
pekerjaan- termasuk rancang bangun ulang pekerjaan- tim kerja yang “mandiri”, gugus
kendali mutu dan peningkatan mutu kehidupan kekaryaan.

8.1 Rancang Bangun Pekerjaan

Dalam melakukan rancang bangun pekerjaan ini diarahkan pada peningkatan


kepuasan dan produktivitas kerja para karyawan dengan memperhitungkan berbagai variabel
seperti pekerja sendiri dengan karakteristik individualnya - termasuk usia, jenis kelamin,
masa kerja, status sipil, jumlah tanggungan, latar belakang sosial pendidikan, pelatihan,
pengalaman, bakat minat kepribadian, budaya dan sistem nilai yang dianut, sikap serta
kemampuan - sifat pekerjaan yang harus dilakukan, iklim dalam organisasi dan gaya
kepemimpinan yang digunakan oleh para pejabat pimpinan dalam organisasi: teori yang
menonjol dalam kaitan ini adalah teori perkaryaan pekerjaan dan teori karakteristik
pekerjaan.

Teori Perkaryaan Pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar-antara
lain Frederick Herzberg-menunjukkan bahwa para kasryawan pada semua tingkat dalam
organisasi sangat menaruh perhatian pada dua segi kekaryaannya, yaitu mutu pekerjaan dan
manfaat atau imbalan yang diperoleh, baik dalam arti imbalan materi, rasa aman, pemuasan
kebutuhan sosial atau afiliasi, status, kesempatan mengembangkan potensi, dan lain
sebagainya.
Kepuasan kerja terwujud apabila para karyawan mengalami situasi dalam pekerjaan
sedemikian rupa sehingga mereka merasa bahwa rasa keberhasilan meningkat, perolehan
pengakuan, pekerjaan yang menantang, diberi kepercayaan memikul tanggung jawab yang
lebih besar dan kemajuan dalam karir pekerja yang bersangkutan. untuk itu semua diperlukan
rancangbangun ulang pekerjaan dalam rancang bangun ulang sesuatu pekerjaan harus
terwujud Apa yang disebut sebagai “perkayaan pekerjaan”.

 Agar rancang bangun ulang pekerjaan menjadi suatu instrumen perkayaan pekerjaan,
hal-hal berikut mutlak perlu mendapat perhatian:

1. Rancang bangun harus merupakan faktor motivasional bagi para karyawan untuk
menampilkan kinerja yang lebih memuaskan;

2. Rancang bangun pekerjaan harus bersifat “taylor-made”  dalam arti disesuaikan


dengan situasi spesifik yang dihadapi dalam penyelesaian tugas;

3. Pekerjaan harus berupa satuan pekerjaan yang “alamiah” dan utuh yang berarti tidak
semata-mata memperhitungkan jenis spesialisasi yang diperlukan oleh para karyawan,
meskipun spesialisasi tetap penting dalam organisasi yang besar dan kompleks;

4. Berikan pekerjaan yang semakin sulit kepada para karyawan dengan terlebih dahulu
menyelenggarakan pelatihan untuk memperoleh keterampilan baru;

5. Berikan wewenang yang lebih besar kepada karyawan, terutama dalam bentuk
partisipasi mengambil keputusan yang penting dan sulit;

6. Upayakan agar dalam suatu kelompok kerja terdapat seorang atau beberapa “ahli”
yang mampu berperan sebagai tempat bertanya, minta bantuan atau sebagai sumber
informasi;

7. Agar tersedia informasi yang berkaitan dengan tugas pekerjaan para karyawan;

8. Hindari pengawasan yang ketat tanpa kehilangan kendali tentang jalannya roda
organisasi;

9. Imbalan yang bersifat ekstrinsik harus menyertai perubahan yang terjadi dalam sifat
pekerjaan seseorang;

10. Perlu kesadaran dikalangan manajemen bahwa imbalan saja tidak akan meningkatkan
kinerja para karyawan. Artinya, baik peningkatan mutu pekerjaan dan imbalan sama-
sama diperlukan agar rancang bangun pekerjaan mendatangkan hasil yang
diharapkan.

Teori Karakteristik Pekerjaan. Teknik lain yang sudah sering digunakan sebagai
instrumen meningkatkan kepuasan dan produktivitas para karyawan adalah yang
dikembangkan dalam teori karakteristik pekerjaan. Teori tersebut tergambar dalam suatu
model yang mengandung lima dimensi pokok yang, apabila diperhitungkan dengan tepat,
akan berakibat pada peningkatan motivasi dan kepuasan kerja para karyawan. kelima dimensi
pokok itu ialah:

1. Keanekaragaman keterampilan. Yang dimaksud dengan dimensi ini ialah sampai


sejauh mana Pekerjaan seseorang menuntut adanya aneka ragam aktivitas yang
memerlukan penggunaan atau pemanfaatan keterampilan atau bakat yang berbeda.
Ternyata para karyawan umumnya berpendapat bahwa pekerjaan yang menuntut
keterampilan yang berbeda-beda dan sifat pekerjaan yang menantang tidak rutinistik
dan mekanistik memberikan makna penting dalam kehidupan kekaryaannya.

2. Identitas pekerjaan. Tidak akan mendatangkan kepuasan bagi  seorang pekerja


apabila hasil pekerjaannya tidak tampak dengan jelas. Dengan perkataan lain, seorang
karyawan akan memperoleh kepuasan kerja, yang pada gilirannya mendorong
peningkatan produktivitas kerja, apabila ia diberi tugas yang diharapkan
diselesaikannya dari permulaan hingga akhir dengan hasil yang dapat
diidentifikasikan dalam arti dapat dibedakan dengan pekerjaan orang lain. artinya,
seorang karyawan akan puas bila ia mengatakan:” ini adalah hasil upaya saya.”

3. Pentingnya pekerjaan. Seorang karyawan akan merasa bangga dan puas apabila ia
merasa bahwa apa yang dikerjakannya itu penting dan mempunyai dampak terhadap
kehidupan orang lain di dalam dan di luar lingkungan kerjanya. situasi demikian harus
ditumbuhkan dan dipelihara karena setiap orang akan senang bila ia mengerjakan
sesuatu bukan hanya demi penguasaan “ego”-nya, akan tetapi dipandang bermanfaat
oleh orang lain.

4. Otonomi. Yang dimaksud dengan otonomi ialah kebebasan dan diskresi untuk
menentukan bagaimana seseorang akan menyelesaikan tugas yang dipercayakan
kepadanya termasuk jadwal waktu mutu dan pemecahan sendiri berbagai masalah
yang mungkin dihadapi dalam melaksanakan pekerjaannya itu. berarti pada umumnya
para karyawan tidak akan menyenangi suasana di mana manajemen melakukan
pengawasan yang ketat karena mereka akan memandang cara demikian sebagai
pencerminan pandangan manajemen seolah-olah para karyawan bawahannya itu
belum matang berorganisasi atau tidak dewasa dalam berpikir dan bertindak.

5. Umpan balik. Para pekerja yang sudah matang dan dewasa akan senang Apabila
mereka memperoleh umpan balik tentang efektif tidaknya mereka berkarya dan
bagaimana tingkat kinerja mereka menurut pandangan orang lain seperti berbagai
pihak yang menggunakan hasil pekerjaan mereka, termasuk manajemen. dimensi ini
sangat penting karena tanpa umpan balik yang faktual, objektif dan tepat waktu, para
karyawan tidak akan mengetahui Di mana letak kekuatan dan kelemahan mereka.
Mengetahui kekuatan sendiri perlu untuk dijadikan modal meningkatkan kinerja di
masa depan dan pengenalan kelemahan penting untuk dapat menentukan perbaikan
apa yang harus dilakukannya

8.2 Tim Kerja yang “Mandiri”

Yang dimaksud dengan tim kerja yang mandiri ialah suatu kelompok yang diberi
otonomi oleh manajemen tingkat atas untuk mengambil keputusan tentang cara yang hendak
mereka tempuh menyelesaikan tugasnya. Dengan nama apapun “Mandiri” dikenal seperti tim
kerja yang mengatur diri sendiri, tim lintas fungsional, sosio-teknikal, kelompok kerja yang
otonom, tim kerja dengan tingkat komitmen yang tinggi - di kalangan manajemen dewasa ini
sudah umum untuk diterima pandangan bahwa penggunaan tim kerja yang mandiri atau
otonom tersebut akan semakin meningkat di masa depan.

Ciri-ciri tim kerja yang mandiri. Pengalaman berbagai organisasi yang sudah
menggunakan teknik ini sebagai instrumen intervensi dalam rangka peningkatan
produktivitas kerja menunjukkan bahwa ciri-ciri yang lumrah atau seyogianya dimiliki oleh
berbagai tim kerja yang mandiri ialah:

a. Struktur organisasi sendiri didasarkan pada konsep tim yang berarti bahwa hierarki
manajemen tidak terlalu “berlapis-lapis” dan uraian pekerjaan hanya ringkas.
b. Budaya organisasi didominasi oleh pandangan egalitarian dan para pejabat pimpinan
pun tidak menonjolkan simbol-simbol statusnya. Misalnya, tidak berlaku berbagai
kebiasaan pada organisasi “tradisional”, seperti ruang makan khusus bagi kelompok
eksekutif, penunjukan pengantaran kendaraan bagi mobil-mobil tertentu, perabot yang
tipenya dan harganya berbeda-beda tergantung pada kedudukan dan jabatan seseorang
dalam organisasi. Bahkan dalam berbagai organisasi para manajer sekalipun tidak
mempunyai kamar kerja sendiri dan seandainya pun ada, ruang kerja tersebut
berfungsi pula sebagai ruang pertemuan. 
c. Tim kerja melaksanakan tugasnya pada satu lokasi dengan batas-batas fisik yang
jelas.
d. Meskipun jumlah anggota tim mungkin saja berbeda-beda tergantung antara lain pada
sifat tugas, batas waktu, kelengkapan sarana dan prasarana, tetapi tetap diupayakan
agar keanggotaan dalam tim sekecil mungkin. 
e. Para anggota tim memiliki visi yang sama tentang apa yang ingin dicapai, bagaimana
mencapainya, pembagian tugas apa yang diperlukan dan mekanisme penilaian kinerja
apa yang akan diterapkan. Hal-hal tersebut dikomunikasikan kepada semua anggota
tim tidak hanya untuk kepentingan persamaan persepsi, akan tetapi menyatukan gerak
langkah dalam berkarya.
f. Terdapat rasa kemitraan yang tinggi antara para karyawan dan manajemen.
g. Konfigurasi tim dibuat sedemikian rupa sehingga perbedaan latar belakang,
pengalaman, variasi kultur yang dianut, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
dimanfaatkan sebagai salah satu sumber kekuatan tim.
h. Semua anggota tim mempunyai akses yang sama pada informasi yang dimiliki oleh
tim. Ciri ini penting karena peranan informasi sebagai penunjang pengambilan
keputusan yang efektif memang tidak bisa dianggap remeh.
i. Setiap anggota tim adalah ahli di bidangnya yang berarti menguasai seluk beluk
bidang pekerjaannya. Akan tetapi disamping itu, para anggota tim diharapkan
memiliki pula keterampilan interpersonal yang baik serta bersedia bekerja sama
dengan orang-orang lain.
j. Agar tim mandiri sukses dalam penyelesaian tugasnya, kepada mereka harus
diberikan pelatihan, terutama pelatihan lintas fungsi, karena keberhasilan tim
tergantung pada para anggota yang terampil dan ahli dalam berbagai ragam bidang
kegiatan organisasi termasuk keterampilan teknis, keuangan, akunting, bentuk
persaingan di pasaran dan proses kelompok.
k. Para anggota tim berorientasi pada pemuasan semua pihak yang berkepentingan
dengan penekanan perhatian ditujukan pada para pelanggan atau pengguna jasa yang
dihasilkan oleh tim.
l. Memberikan perhatian yang serius pula kepada kepentingan pemasok karena
menyadari bahwa mutu produk yang dihasilkannya sangat tergantung pada mutu
bahan mentah dan bahan baku yang diterimanya dari pemasok tersebut. 
Terdapat berbagai hal yang perlu diwaspadai dalam penggunaan instrumen tersebut
antara lain ialah:
1. Apabila para karyawan melaksanakan kegiatan yang tidak interdependen dengan
kelompok kerja lain, pembentukan tim diperlukan hanya saja kenyataan memang
menunjukkan bahwa dengan pesatnya perkembangan teknologi yang semakin
kompleks tuntutan untuk memperkenalkan produk dan jasa baru yang semakin
meningkat dan persaingan yang semakin ketat, sulit membayangkan adanya kegiatan
yang keberhasilan pelaksanaannya tidak memerlukan interaksi dan interdependensi
dengan berbagai kelompok lain. Oleh karena itu penggunaan teknik intervensi ini
dianggap tepat Namun demikian dalam organisasi itu demikian rendahnya sehingga
pembentukan tim kerja Mandiri tidak mutlak diperlukan.
2. Organisasi bisa saja mempunyai persepsi bahwa organisasi tersebut tidak atau belum
perlu melakukan perubahan. Jika persepsi seperti itu kuat di kalangan seluruh lapisan
organisasi pembentukan tim mandiri tidak dirasakan sebagai kebutuhan yang
mendesak. akan tetapi sebenarnya tidak ada organisasi yang ingin meningkatkan
efektivitasnya yang dapat menghindari perlunya perubahan diwujudkan.
3. Pembentukan tim kerja yang mandiri tidak perlu dipaksakan terutama dalam situasi
dimana para manajer belum memahami fungsi, tugas dan peranan mereka dengan
jelas. Dengan perkataan lain, diperlukan kegiatan pengembangan eksekutif dan
pelatihan bagi mereka terlebih dahulu agar kejelasan fungsi tugas dan peranan
tersebut tercipta.
4. Organisasi yang tidak menghargai kinerja yang memuaskan akan menghadapi
berbagai masalah. Apabila kepada seseorang atau satu kelompok kerja diberikan tugas
tambahan dengan tanggung jawab yang lebih besar tetapi tidak diimbangi oleh
imbalan ekstra dan penghargaan khusus, orang atau kelompok itu akan tidak
menyenangi dan bahkan akan menolaknya.
5. Tidak sedikit konsultan yang berpendapat bahwa tidak adanya kesempatan bagi para
anggota tim untuk memperoleh keterampilan baru melalui pelatihan, merupakan salah
satu faktor penyebab ketidak berhasilan tersebut. Oleh karena itu manajemen harus
menyediakan kesempatan itu terutama pelatihan yang dimaksudkan untuk
menanamkan pemahaman yang mantap tentang proses dimana mereka terlibat dan
tentang prinsip-prinsip pengembangan tim. 
6. Jika suatu organisasi mengubah tipe dan strukturnya hingga menjadi lebih “datar”,
salah satu akibatnya ialah berkurangnya kesempatan untuk menaiki tangga karier bagi
para karyawan, terutama karier  yang bersifat manajerial. Dengan perubahan itu yang
menjadi sasaran adalah dimungkinkannya tim memusatkan perhatiannya pada tiga hal
utama, yaitu:
a. peningkatan efektivitas tim,
b. tantangan dalam meluncurkan produk baru, baik berupa barang maupun jasa,
c. memenangkan persaingan dengan pihak kompetitor.
7. Mengembangkan suatu tim bukanlah merupakan kegiatan yang hanya berlangsung
sekali dalam arti bahwa setelah tim menyelesaikan tugas spesifiknya lalu bubar dan
para anggotanya kembali ke “kesatuan” semula. Menjadi anggota tim itulah yang
menjadi tugas permanen mereka. 

8.3 Gugus Kendali Mutu

Pengertian gugus kendali mutu. Gugus kendali mutu adalah sekelompok karyawan
yang secara sukarela bertemu secara berkala-misalnya sekali seminggu atau sekali sebulan-
untuk mendiskusikan, menganalisis dan menyarankan pemecahan terhadap masalah-masalah
yang dihadapi bersama, pada mulanya, menyangkut bidang produksi.  pada mulanya, karena
dalam perkembangan penerapannya, gugus kendali mutu tidak lagi diterapkan hanya pada
bidang produksi. Para karyawan yang menghasilkan jasa dan mereka yang menyelenggarakan
berbagai tugas penunjang sudah pula menerapkan konsep tersebut.

Pemahaman tentang pembentukan dan pemanfaatan gugus kendali mutu menyangkut


hal-hal sebagai berikut:

1. Dalam suatu gugus kendali mutu biasanya terdapat tiga unsur, yaitu para anggota,
seorang pimpinan kelompok dan seorang yang berperan sebagai fasilitator meskipun
tidak ada “rumus” yang pasti tentang jumlah keanggotaan gugus, pengalaman
menunjukkan bahwa keanggotaan tersebut bervariasi dari 3 hingga 15 orang. Para
anggota itu menghadapi masalah sejenis dan tugas yang serupa akan tetapi mereka
tidak harus menjadi anggota satu kelompok formal tertentu.

2. Pimpinan kelompok, yang dapat dijabat oleh seorang penyelia formal atau seorang
pimpinan informal yang disepakati bersama, bertindak selaku moderator dan
mengarahkan kegiatan gugus. Agar mampu memainkan peranannya dengan efektif,
yang bersangkutan sudah harus memiliki kemahiran dalam teknik-teknik
kepemimpinan, motivasi, komunikasi dan proses kelompok.

3. Organisasi mengangkat dan mempekerjakan seorang fasilitator yang bertindak


sebagai konsultan tetapi dia bukan anggota gugus. Tugasnya termasuk melatih para
anggota gugus bertindak sebagai penghubung dengan manajemen puncak dan
berbagai gugus kendali mutu yang lain serta mendorong partisipasi aktif para anggota
gugus mensukseskan pelaksanaan tugas gugus yang bersangkutan.

4. Kelompok manajemen, baik madya maupun puncak, memberikan dukungan yang


diperlukan oleh gugus dan akhirnya menyetujui atau menolak saran-saran yang
diajukan oleh gugus jika saran-saran diterima langkah selanjutnya adalah
menerapkannya.  Jika ditolak, berbagai kemungkinan timbul, seperti pengembalian
saran kepada gugus untuk diolah kembali atau mengambil alih tindakan pemecahan
masalah mutu produk yang dihadapi.

Berbagai masalah dalam penerapannya bisa timbul dan hal-hal itulah yang oleh penulis
disebut sebagai “bendera merah” yang perlu mendapat perhatian.

Di antara berbagai “bendera merah” yang perlu diperhatikan itu ialah:

1. Penggunaan gugus kendali mutu tidak bebas nilai. Konsep tersebut tidak begitu saja
langsung bisa diterapkan di semua jenis organisasi karena ada faktor-faktor yang turut
berpengaruh pada efektivitas penggunaan teknik itu. Misalnya, dalam budaya Jepang
di mana konsep itu semula “lahir” para karyawan tampaknya berpendapat bahwa
peranan mereka cukup terbatas pada pengajuan saran dan terserah “orang-orang di
atas” bagaimana selanjutnya memperlakukan saran yang diajukan itu.
2. Salah satu kelemahan gugus kendali mutu ialah bahwa para anggota gugus tidak
secara langsung ikut menikmati hasil finansial dari keberhasilan penerapan teknik
gugus kendali mutu dan tidak mustahil mereka mengalami kekecewaan. Di samping
itu, apabila kendali mutu “terlalu berhasil”, besar kemungkinan dilakukan perubahan
dalam struktur organisasi dari yang pyramidal dan hierarkis ke matriks, misalnya,
yang pada gilirannya berakibat pada pengurangan karyawan. Artinya, justru karena
keberhasulannya, para anggota gugus bisa kehilangan pekerjaan.
3. Di organisasi yang serikat pekerjanya kuat, serikat pekerja mungkin menentang
penggunaan teknik ini. Jika hal itu terjadi, biasanya alasannya ialah bahwa
penggunaan taktik tersebut merupakan salah satu cara manajemen untuk
mengeksploitasi para pekerja.
4. Jika tidak diarahkan dengan tepat, misalnya oleh pimpinan kelompok dan atau oleh
konsultan, pertemuan gugus bisa berubah “bentuk” menjadi pertemuan sosial dan
kesempatan “berhura-hura” bukan untuk memecahkan masalah-masalah mutu yang
dihadapi. Artinya, bisa saja pertemuan berlangsung dengan menarik dan menantang,
akan tetapi jika gugus tidak berhasil mengubah sifat atau desain pekerjaan para
karyawan, setelah pertemuan berakhir mereka kembali ke tempat tugas dan bekerja
“seperti sediakala”.
5. Meskipun sifat keanggotaan dalam gugus kendali mutu bersifat suka rela,
kesukarelaan itu hilang apabila manjemen menekan para bawahannya-misalnya para
penyelia- untuk membentuk gugus kendali mutu dan para penyelia itu pun menekan
para karyawan bawahannya agar duduk sebagai anggota gugus.
6. Di muka telah ditekankan bahwa gugus sering memerlukan informasi untuk
mendukung kegiatan analisis yang harus mereka lakukan dalam kenyataan informasi
tersebut tidak selalu tersedia dan berbagai pihak yang memilikinya tidak selalu ikhlas
berbagi informasi dengan para anggota khusus.
7. Jika para anggota  gugus dan pimpinannya belum memperoleh pelatihan seperti telah
dibahas dimuka-misalnya dalam bidang teknik-teknik kepemimpinan, komunikasi,
dan  proses kelompok gugus tidak akan berfungsi secara efektif karena para
anggotanya tidak memiliki keterampilan yang diperlukan dan manajemen tidak
mampu berperan sebagai mana mestinya selaku pimpinan mestinya dalam kegiatan
yang sifatnya sangat partisipatif.
8. Pentingnya penghematan yang dapat diwujudkan ada kemungkinan terlalu dibesar-
besarkan padahal penghematan tersebut belum pasti terwujud karena hanya akan
menjadi kenyataan di masa depan.
9. Pada permulaan terbentuknya gugus kendali mutu, pelaksanaan tugas bisa berjalan
sangat lancar karena pimpinan dan para anggotanya masih sangat bersemangat dan
punya berbagai ide baru untuk dibicarakan dan diusulkan kepada manajemen.  Bahaya
yang bisa timbul ialah apabila dalam perjalanan waktu semangat mereka mengendor
dan ide pun semakin berkurang.
10. Para anggota gugus mengalami kekecewaan apabila manajemen tingkat rendah dan
menengah tidak memberikan dukungannya, padahal dua kelompok manajemen itulah
yang akan ditugaskan oleh manajemen puncak melaksanakan berbagai saran yang
diajukan oleh gugus.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut penggunaan teknik PO yang disebut gugus


kendali mutu akan membuahkan hasil yang diharapkan yaitu peningkatan produktivitas kerja
para karyawan dan berbagai satuan kerja dimana mereka bergabung yang pada gilirannya
akan meningkatkan kinerja organisasi sebagai suatu sistem yang utuh.

8.4 Mutu Hidup Kekaryaan

Salah satu upaya dalam dunia kekaryaan untuk memenuhi kebutuhan para karyawan
yang terasa diabaikan itu ialah dengan penerapan teknik peningkatan mutu hidup kekaryaan
yang dalam Bahasa Inggris disebut dengan Quality of Work Life (QWL). Sering diletakkan
pada karyawan tangkat rendah, yang kerap melakukan tugas teknis atau operasional.

QWL merupakan suatu filsafat manajemen yang mulai dikenal pada dekada tujuh puluhan.
Dahulu ada yang mengartikan QWL secara sempit sebagai teknik manajemen yang
mencakup gugus kendali mutu, perkayaan pekerjaan, pendekatan bernegosiasi dengan serikat
pekerja, cara menjaga kebugaran hubungan dengan karyawan, dan bentuk intervensi dalam
PO. Akan tetapi, QWL lebih dari sekedar teknik PO.

Perkembangan mengarahkan bahwa QWL adalah salah satu bentuk filsafat yang diterapkan
oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya, dan SDM khususnya. QWL
tidak hanya terbatas pada isi dari suatu pekerjaan, namun juga “memanusiakan” lingkungan
kerja dengan mengakui dan menghargai harkat-martabat manusia.

Ide-ide pokok QWL sebagai filsafat manajemen menekankan pada beberapa hal berikut.

1. QWL merupakan program komprehensif yang mempertimbangkan kebutuhan dan


tuntutan.
2. QWL memperhitungkan peraturan perundang-undangan.
3. Mengakui keberadaan serikat pekerja dalam organisasi.
4. QWL menekankan betapa pentingnya manajemen yang manusiawi.
5. Perkayaan pekerjaan merupakan bagian yang penting merupakan bagian integral yang
penting.
6. QWL mencakup pentingnya etika sosial baik.
Para ahli menekankan ada 8 kategori sebagai kerangka untuk melakukan analisis tentang
QWL, yaitu:

1. Imbalan yang memadai dan adil. Memastikan karyawan mendapatkan imbalan yang
mampu mencukupi kebutuhannya dan merasa terpuaskan. Misalnya dengan
memperhatikan UMR dan imbalan kepada karyawan yang melakukan pekerjaan
sejenis.
2. Kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat. Misalnya dengan adanya asuransi,
pengaturan jam kerja, dan lain-lain.
3. Ada kesempatan untuk mengembangkan kemampuan.
4. Ada kesempatan untuk berkembang di masa depan.
5. Integrasi sosial dalam lingkungan kerja, harapannya dalam organisasi tidak ada
kebijaksanaan yang bersifat diskriminatif.
6. Ketaatan pada berbagai ketentuan formal dan normatif. QWL menjamin di dalam
perusahaan tidak ada pihak yang mencampuri urusan pribadi seseorang.
7. Keseimbangan antara kehidupan kekaryaan dengan kehidupan pribadi.
8. Relevansi sosial kehidupan kekaryaan. Melalui program QWL, karywan dibina agar
memiliki persepsi yang tepat tentang berbagai aspek sosial kehidupan organisasional.

8.5 Penciptaan Sistem Berkinerja Tinggi dengan Teknik Intervensi Menyeluruh

Semua intervensi PO diarahkan pada peningkatan efektivitas yang pada gilirannya


memungkinkan memiliki kemampuan bukan hanya untuk mempertahankan eksistensi,
akan tetapi lebih penting dari itu. Dalam PO, terdapat berbagai bentuk intervensi yang
dimaksudkan untuk menjamin keberhasilan perwujudan perubahan dalam satu sistem
sebagai keseluruhan. Intervensi-intervensi utama pada tingkat sistem dimaksudkan untuk
mengembangkan sistem berkinerja tinggi.

Tiga bentuk intervensi tingkat sistem yang paling terkenal dan banyak digunakan ialah :

1) Sistem berkinerja tinggi


Dewasa ini, organisasi perlu untuk selalu berada pada kondisi unggul dan selalu
melakukan pembaharuan untuk membawa inovasi ke dalam organisasi. Pengertian
keunggulan dan kinerja tinggi dipengaruhi oleh faktor budaya dari pihak yang
memberikan dan yang menggunakan pengertian tersebut.

Untuk melihat apakah apakah suatu sistem organisasi memenuhi kriteria “unggul” dan
berkinerja tinggi, ada beberapa faktor yang harus dikaji seperti sistem menunjukkan
keunggulan kinerja lewat uji internal dan eksternal, kinerja nyata tidak jauh berbeda
dengan kinerja potensial, terjadi peningkatan kinerja, pendapat ahli netral bahwa sistem
sudah lebih baik secara kualitatif, sistem hanya menggunakan sebagian sarana prasarana
organisasi dalam menjalankan fungsinya, dapat menjadi contoh cara berprestasi, sistem
dengan kinerja tinggi mampu memenuhi persyaratan ideal yang dituntut oleh budaya di
mana sistem berjalan.

2) Program PO dalam bentuk kisi-kisi

Sasaran dari program ini adalah mewujudkan keunggulan organisasi sebagai suatu sistem.
Konsep ini menekankan pentingnya terjadinya perubahan dalam kultur dasar sistem yang
bersangkutan.

Program PO dimulai dari dengan penyelenggaraan seminar yang meliputi kisi-kisi


manajerial. Yang mana dari seminar tersebut diharapkan diperoleh hasil seperti peserta
mampu menilai gaya dominan dalam budaya organisasinya, peserta mampu menerima
kritik jika berada di posisi manajer. Intinya, harapannya kesediaan dan kemampuan
peserta dalam mengambil langkah intervensi untuk keefektifan.

Kedua, pembinaan kerja sama tim. Ketiga, pengembangan kerja sama antartim. Lalu
pengembangan suatu model strategis yang ideal, kemudian implementasinya, yang
terakhir adalah kritik yang sistematis.

3) Survey untuk memperoleh umpan balik


Berikut langkah-langkah survei.
a. Keterlibatan manajer puncak dalam perencanaan pendahuluan dari kuisoner yang
akan digunakan dalam survey.
b. Kuisoner disebarluaskan.
c. Pengolahan data.
d. Setelah mendapatkan umpan balik, manajer diskusi dengan bawahan terkait
subtansi feedback tersebut.

8.6 Kesimpulan

Komitmen dan keterlibatan manajer puncak akan lebih mengefektifkan pelaksanaan


PO. Namun lebih penting lagi bahwa manajemen mau mengubah gaya manajerialnya jika
dinilai kurang tepat. Biasanya, gaya partisipatif yang paling dapat diandalkan untuk
kebanyakan organisasi dan karyawan, gaya itu akan memotivasi untuk meningkatkan
efektivitas kinerja dan produktivitasnya. Perubahan yang terjadi setelah proses inilah yang
akan menjadi tolak ukur apakah program PO yang dilaksanakan berhasil atau tidak.
BAB 9

TRANSFORMASI ORGANISASI DENGAN BERBAGAI INTERVENSI STRATEGI

Transformasi organisasi adalah perubahan – perubahan drastis yang terjadi dalam


organisasi menyangkut cara organisasi berfungsi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Transformasi organisasi juga harus mencakup perubahan kultur organisasi karena kultur
berperan secara dominan dalam menetapkan dan melaksanakan strategi baru. Salah satu
fungsi manajerial yang sangat penting di masa depan adalah mengelola perubahan strategis
yang ciri utamanya adalah mengintegrasikan strategi organisasi dengan strukturnya, teknologi
yang digunakan serta sumber daya manusia di dalamnya.

9.1 Transformasi Organisasi

Perbedaan transformasi organisasi (TO) dan Pengembangan Organisasi (PO) adalah PO


menggunakan pendekatan gradual (bertahap) dalam mewujudkan perubahan termasuk
perubahan yang bersifat strategis dengan sorotan perhatian dan upaya pada proses
pengembangan yang pelaksanaannya bersifat partisipatif. Sedangkan TO upaya
perubahannya dilakukan bersifat drastis dan mendadak. Di negara maju pengertian TO
dikaitkan dengan perubahan yang bersifat ambil alih, penggabungan (merger), penutupan
pabrik, pemutusan hubungan kerja dan restrukturasi bersifat masif. Strategi pelaksanaan TO
biasanya berlaku saat organisasi menghadapi krisis sebagai akibat perubahan yang cepat
terjadi di lingkungan eksternal. Ciri - ciri TO adalah sebagai berikut.

a. Diskontinuitas ligkungan
TO diperlukan apabila kondisi suatu organisasi tidak cocok lagi dengan lingkungan
yang bersifat kompetitif karena perubahan cepat berlangsung secara dramatik atau
apabila organisasi menghadapi krisis jika tidak teratasi akan berakibat pada
kehancuran organisasi bersangkutan.
b. Perubahan yang bersifat revolusioner
Pelaksanaan TO dikatakan revolusioner karena yang terjadi adalah berlangsungnya
pergeseran yang cepat dan mendadak dalam cara organisasi berfungsi, misalnya
mengambil tindakan memperkecil organisasi atau melakukan restrukturasi yang
sifatnya mendasar.
c. Perubahan pendekatan mewujudkan perubahan
Menyelenggarakan TO biasanya menggunakan pendekatan direktif, artinya
pendekatan dari atas kebawah karena:
 Manajemenlah yang memprakarsai perubahan
 Manajemen yang memutuskan kapan prakarsa itu akan diambil
 Manajemen yang memutuskan bentuk, sifat dan jenis perubahan yang akan
dibuat
 Manajemen yang menetapkan waktu pelaksanaan perubahan
 Manajemen yang menunjuk siapa yang akan diserahi tanggung jawab untuk
melaksanakan keputusan yang menyangkut perubahan yang dimaksud.

9.1.1 Strategi Perubahan

Agar perubahan yang dilakukan membuahkan hasil yang diharapkan, tiga dimensi strategi
yang harus diperhatikan (kerangka waktu perubahan, tingkat dukungan dari kultur organisasi,
dan bentuk, jenis, tingkat ketidakpastian pada lingkungan) dengan memperhatikan tiga
dimensi tersebut akan dikenali empat tipologi strategi perubahan yang dapat digunakan
berikut ini.

a) Strategi berdasarkan pendekatan evolusi partisipatif


Strategi ini dikenal juga dengan strategi inkremental, strategi ini digunakan apabila
yang menjadi sasaran adalah memelihara kondisi yang sudah ada tentang kesesuaian
organisasi dengan lingkungannya sambil mengantisipasi terjadinya perubahan.
b) Transformasi yang bersifat kharismatik
Strategi ini digunakan apabila sasarannya adalah melakukan perubahan yang sifatnya
radikal dalam waktu yang singkat dan kultur organisasi mendukungnya. Perubahan
radikal cenderung mengubah referensi, arah, dan kebijakan organisasi. Biasanya
perubahan ini mentransformasi seluruh bagian institusi. Misalnya, perubahan struktur
organisasi dari vertical-fungsional menjadi matrix, horizontal menjadi teamwork.
c) Evolusi yang dipaksakan
Strategi ini digunakan dalam hal perubahan yang diperlukan tidak bersifat mendasar
dan berlaku untuk jangka panjang akan tetapi kultur organisasi tidak mendukungnya.
d) Transformasi diktatorial
Strategi ini tepat digunakan mewujudkan perubahan dalam hal organisasi menghadapi
krisis, restrukturasi diperlukan meskipun diketahui bahwa hal tersebut bertentangan
dengan kepentingan kultur organisasi yang sudah mapan.

9.2 Kultur Organisasi

Kultur organisasi adalah penggabungan antara gaya kepemimpinan manajemen puncak


dan norma – norma, sistem nilai serta keyakinan para anggota organisasi. Robbin (2001)
mendefinisikan kultur organisasi cenderung dimaknai oleh anggota organisasinya sebagai
sistem yang dianut, yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Kultur
organisasi mencakup nilai – nilai yang mempunyai makna yang sama bagi para anggotanya,
keyakinan yang sama tentang keberadaan organisasi dan perilaku tertentu yang diharapkan
ditampilkan oleh semua anggota organisasi. Hal yang terkait dengan kultur organisasi adalah
sebagai berikut.

 Kultur organisasi tidak terbentuk begitu saja melainkan mencerminkan masa lalu
organisasi karena pada mulanya kultur organiasi diciptakan oleh para pendiri
organisasi bersangkutan.
 Kultur organiasi memerlukan institusionalisasi dalam arti bahwa harus ada upaya
sadar untuk melestarikan kultur tersebut sehingga usianya lebih lama dari usia
siapapun dalam organisasi bersangkutan.
 Para anggota perlu memahami kultur organisasi dimana dia berada yang berarti
bahwa manajemen perlu menciptakan suatu program sosialisasi sehingga setiap orang
dalam organisasi memahami sejarah organisasi, tradisinya, kebiasaan – kebiasaannya,
simbol yang digunakan, dan gaya berperilaku yang wajar dan diharapkan untuk
ditampilkan.

9.2.1 Pentingnya kesesuaian strategi dengan kultur, organisasi yang memiliki kultur yang
kuat mampu :

1. Meningkatkan produktivitas
2. Menumbuhkan semangat kebersamaan dikalangan para anggota organisasi
3. Meningkatkan rasa memiliki organisasi
4. Memperbesar perolehan keuntungan

Ciri – ciri kultur organisasi, sebagai berikut.


a. Otonomi individual yang memungkinkan para anggota organisasi utuk memikul
taggung jawab yang lebih besar, kebebasan menentukan cara yang dianggap paling
tepat untuk menunaikan kewajiban dan peluang untuk berprakarsa
b. Struktur organisasi yang mencerminkan berbagai ketentuan formal dan normatif serta
bentuk penyeliaan yang digunakan oleh manajemen untuk mengarahkan dan
mengendalikan perilaku para anggota.
c. Perolehan dukungan, bantuan dan kehangatan hubungan dari manajemen kepada para
bawahannya
d. Pemberian perangsang dalam berbagai bentuk, seperti kenaikan upah dan gaji secara
berkala serta promosi yang didasarkan pada kinerja seseorang.
e. Pengambilan risiko dalam arti dorongan yang diberikan oleh manajemen kepada para
bawahannya untuk bersikap agresif, inovatif dan memiliki keberanian mengambil
resiko.

9.2.2 Pentingnya berbagi Visi

Salah satu unsur penting dalam perubahan organisasi dan kulturnya adalah penciptaan
suatu visi. Visi adalah bayangan mental tentang kondisi organisasi yang diinginkan untuk
diwujudkan dimasa depan yang menyatakan secara rinci pandangan realistik, mantap dan
menarik tentang masa depan organisasi. Visi juga memberikan gambaran kondisi organisasi
yang lebih baik dari yang sekarang, dan juga visi memberikan rasa identitas, arah dan makna
yang jelas bagi para anggota organisasi. Pemilikan visi yang sama harus sama pada semua
tingkat, hirarki, satuan tugas, kelompok dan individu dalam organisasi. Oleh karena itu
diperlukan adanya penyebarluasan visi. Berikut adalah tahap dari penyebarluasan visi.

1) Berbagi visi
Para anggota organisasi akan menerima tantangan visi yang jelas apabila visi tersebut
bermakna bagi mereka dan diyakini akan memperbaiki kondisi masyarakat.
2) Memberdayakan individu
Para anggota organisasi perlu merasa bahwa mereka berkepentingan dalam
mewujudkan, dan berpartisipasi dalam merumuskan visi. Maksudnya adalah bahwa
tujuan pribadi mereka seirama dengan visi organisasi.
3) Pengakuan kinerja
Suatu visi yang efektif harus menentukan tujuan untuk kinerja yang menantang, tetapi
sekaligus menyediakan saluran umpan balik yang aktual, objektif dan tepat waktu.
4) Menghargai kinerja
Suatu visi yang efektif menghargai kinerja yang memuaskan. Penghargaan yang
dimaksud mencakup pula dukungan manajer kepada para bawahannya mengambil
resiko, memberikan kebebasan bertindak meskipun tindakan tersebut mungkin
mengakibatkan kesalahan dan menyediakan informasi guna mendukung pengambilan
keputusan hingga pada tingkat yang paling bawah.

Setiap organisasi memiliki “kepribadian yang khas” inilah yang dimaksud dengan kultur
organisasi. Kultur organisasi yang kuat memberikan beberapa dampak positif berikut ini.

 Dalam organisasi yang kukturnya kuat, perilaku para anggotanya dibatasi oleh
kesepakatan bersama dan bukan karena perintah atau karena ketentuan – ketentuan
formal.
 Menurunnya keinginan para karyawan pindah bekerja ke organisasi lain
 Kultur yang kuat berarti bahwa makin banyak anggota organisasi yang menerima
keterikatannya pada norma – norma dan sistem nilai organisasional yang berlaku dan
makin meningkat pula komitmen mereka terhadap keberhasilan penerapan norma –
norma dan sistem nilai tersebut.

9.3 Matriks dan Strategi Kultural

Berbagai perubahan yang sifatnya strategis hanya dapat dilaksanakan dengan


memperhitungkan kultur organisasi. Agar risiko yang mungkin timbul dalam melakukan
perubahan dapat dikendalikan, perlunya perubahan dan tingkat keterkaitan perubahan
tersebut dengan kultur harus dipertimbangkan sekaligus karena satu faktor berdampak pada
faktor-faktor yang lain. Empat alternatif dasar dalam menentukan perubahan-perubahan yang
strategis ialah:

1. Kelola perubahan, yang berarti risiko dapat dikendalikan


2. Perkuat kultur, karena risiko yang akan dihadapi tidak besar
3. Kelola perubahan sekitar kultur, berarti risiko dapat dikendalikan
4. Ubah strategi agar sesuai dengan kultur organisasi, karena apabila tidak, risiko yang
mungkin timbul besar.

Pertama: mengelola perubahan dengan risiko yang dapat dikendalikan.


Alternatif ini ditempuh apabila organisasi melakukan perubahan yang bersifat strategis yang
kompatibel dengan kultur yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan. Karena risiko
yang mungkin timbul dapat dikendalikan oleh organisasi, organisasi dapat melanjutkan upaya
nya melakuan perubahan-perubahan yang bersifat strategis dengan “bermodalkan”
penerimaan para anggota-sebab kultur tidak diubah - dengan:

a. Menekan pentingnya berbagai visi dalam arti bahwa perubahan yang akan dilakukan
berakitan dengan tujuan dan misi organisasi serata membangun masa depan organisasi
berdasarkan kekuatan yang dimilikinya disertai oleh langkah-langkah yang sah
menurut pandangan para anggota.
b. Melakukan pergeseran kekuasaan dengan menempatkan tenaga-tenaga kunci pada
kedudukan penting dalam melaksanakan perubahan yang akan dilakukan.
c. Memperkuat sistem nilai yang baru akibat perubahan dalam berbagai bidang dan
fungsi organisasi dengan struktur dan sistem imbalan yang baru.

Kedua: perkuat kultur karena risiko tidak besar.

Alternatif ini tepat untuk ditempuh apabila organisasi dihadapkan pada perlunya perubahan
strategis berskala kecil dan perubahan tersebut kompatibel denfan kultur yang berlaku. Jika
alternatif ini yang akan ditempuh, konsultan harus menekankan berbagai hal, seperti:
memperkokoh visi tentang strategi baru yang menekankan rasa memiliki sistem nilai yang
kuat, memperkokoh dan lebih memantapkan kultur yang ada.

Ketiga: mengelola perubahan sekitar kultur karena risiko dapat dikendalikan.

Jika alternatif ini hendak ditempuh, manajemen harus menyadari bahwa kondisi yang
dihadapi oleh organisasi ialah bahwa perubahan strategis perlu dilakukan, akan tetapi
berbagai perubahan tersebut tidak kompatibel dengan kultur organisasi. Mengelola perubahan
sekitar kultur berarti berupaya tidak menghadapi resistensi terhadap perubahan secara frontal.
Caranya ialah dengan menggunakan berbagai pendekatan tertentu, seperti: penguatan sistem
nilai, lakukan pergeseran kekuasaan agar orang-orang kunci mampu memainkan peranan
yang dominan dan menggunakan “senjata perubahan” seperti proses anggaran dan
reorganisasi.

Keempat: mengubah strategi karena risiko yang mungkin timbul besar.

Langkah keempat ini ditempuh apabila manajemen merasa bahwa berbagai perubahan yang
bersifat strategis harus dilakukan, akan tetapi perubahan tersebut tidak kompatibel dengan
kultur yang sudah mapan dalam lingkungan organisasi. Apabila suatu organisasi menghadapi
situasi demikian, tingkat resistensi akan tinggi dan risiko ketidakberhasilan pun akan besar.
Situasi seperti itu menuntut konsultaan dan kliennya memutuskan apakah upaya melakukan
perubahan yang dirasakan mendasar dan strategis tersebut akan dilanjutkan atau tidak.
Dengan perkataan lain, harus ada jaminan bahwa perubahan strategis itu akan berhasil.
Apabila tidak, organisasi harus mengubah strateginya msedemikian rupa sehingga lebih
seirama dengan kultur yang terdapat di dalamnya.

9.4 Pengelolaan Perubahan Strategis

Pengelolaan Perubahan Strategis pada dasarnya berarti pengintegrasian berbagai


bentuk intervensi strategi yang telah dibahas di muka. Artinya, menyerasikan dan
menyelaraskan berbagai faktor seperti strategi organisasi, struktur, sumber daya manusia dan
lingkungan organisasi. Perubahan strategis merupakan “produk” upaya integrasi tersebut.

Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa suatu organisasi pada hakikatnya terdiri
dari tiga sistem, yaitu sistem yang bersifat teknikal, sistem yang bersifat politik, dan sistem
yang bersifat kultural. Yang dimaksud dengan sistem teknikal ialah sistem yang berkaitan
dengan pemecahan berbagai masalah yang dapat mencakup misi organisasi, strategi dan
struktur. Kesemuanya dimaksudkan untuk peningkatan produktivitas organisasi. Sistem
politik dalam suatu organisasi digunakan untuk memecahkan berbagai masalah yang ada
kaitannya dengan alokasi berbagai sumber seperti alokasi kekuasaan, wewenang, sarana,
prasarana, dana, daya dan sumber daya manusia. Sistem kultural menyangkut pemecahan
berbagai masalah nilai yang pada gilirannya berkaitan dengan jawaban terhadap pertanyaan
tentang sifat dan jenis berbagai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, cara yang akan
digunakan dan pemanfaatan serta pembagian hasilnya.

Dalam melakukan suatu perubahan banyak faktor-faktor yang diperhitungkan. Namun


dengan demikian, terdapat 3 langkah yang dapat diambil untuk melakukan perubahan. Ketiga
langkah tersebut yakni:

Pertama: kembangkan citra organisasi yang diinginkan dengan menyelaraskna ketiga sistem
tersebut diatas. Artinya, perubahan dimulai dengan suatu visi strategis tentang bentuk dan
kondisi organisasi yang diharapkan terwujud. Dengan perkataan lain, visi yang
dikembangkan harus mencakup ketiga sistem yang sudah diselaraskan itu dan memberikan
gambaran tentang profil organisasi di masa depan setelah ketiga sistem tersebut diselaraskan.
Kedua: memisahkan ketiga sistem dan melakukan intervensi pada masing-masing. Biasanya
ketiga sistem itu saling menguatkan. Oleh karena itu, perlu dijamin bahwa intervensi yang
dilakukan tepat dan barulah perubahan strategis yang dinginkan terwujud.

Ketiga: buat rencana untuk menghubungkan kembali ketiga sistem. Setelah intervensi strategi
dilakukan secara terpisah untuk masing-masing sistem, perlu menentukan cara apa yang akan
ditempuh untuk menghubungkannya kembali. Rencana untuk menghubungkan kembali
ketiga sistem itu akan menentukan apakah ketiga sistem akan mewujudkan kondisi organisasi
yang diinginkan atau visi yang didambakan itu berhasil dilakukan.

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa terdapat lima alasan yang merupakan
pembenaran terjadinya perubahan kultur secara besar, yaitu:

1. Apabila suatu organisasi memiliki kultur yang kuat tetapi tidak sesuai dengan
lingkungan yang berubah.
2. Apabila industri dalam lingkungan mana organisasi bergerak sangat kompetitif dan
berubah dengan kecepatan tinggi.
3. Apabila organisasi menampilkan kinerja yang tidak memuaskan.
4. Apabila suatu organisasi akan bergabung dengan organisasi besar lainnya.
5. Apabila suatu organisasi masih kecil, akan tetapi bertunbuh dengan pesat.

Jika menghadapi salah satu kondisi diatas, kelompok pimpinan dalam organisasi harus
mampu mengembangkan kultur organisasi yang inovatif, yang secara filsafati dan
operasional mengandung berbagai unsur seperti: mengakui dan berupaya memuaskan
berbagai kebutuhan para anggotanya, mendalami sejarah organisasi, mengenali pasar secara
tepat, menghasilkan barang atau jasa yang diperlukan dan diminati oleh para pelanggan atau
pengguna dalam kondisi lingkungan yang bergerak sangat dinamis dan sangat tepat. Untuk
menghadapi tantaangan seperti itu, diperlukan transformasi organisasi, bukan sekedar
pengembangan organisasi.
Studi Kasus

Forests and Landscape Restoration/ Restorasi Hutan dan Bentang Lahan (RENTANG)
Menginsipirasi, memungkinkan, dan melaksanakan restorasi di bentang lahan yang
terdegradasi dan terdeforestasi, sehingga meningkatkan produktivitas ekonomi dan
lingkungan Menginsipirasi, menciptakan kesempatan, dan melaksanakan restorasi di
bentang lahan yang terdegradasi dan terdeforestasi untuk meningkatkan produktivitas
ekonomi dan lingkungan. WRI Indonesia mendukung inisiatif nasional untuk
mengklasifikasikan kembali jutaan hektare lahan dan hutan ke dalam status yang lebih
akurat untuk meningkatkan produktivitas. Sementara itu, WRI Indonesia melindungi
hutan yang tersisa melalui kegiatan konservasi dan restorasi. Data resmi yang
dikeluarkan belakangan ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 29 juta hektar
lahan non-hutan dalam zona hukum ‘kawasan hutan’ dan 15 juta hektare lahan hutan
yang dikategorikan dalam ‘kawasan non-hutan.’ Statistik ini menunjukkan adanya
tantangan dalam menuju pertumbuhan yang lebih lestari dan perencanaan penggunaan
lahan yang rasional. Sebagai contoh, wilayah non-hutan di kawasan hutan dapat
dihutankan atau ditukar dengan wilayah hutan di kawasan non-hutan, dan digunakan
untuk produksi pertanian atau agro-kehutanan. Sementara itu, kawasan hutan dapat
dikonservasi untuk melindungi keanekaragaman hayati dan fungsinya sebagai
penyerap karbon.

Dengan visi pemerintah menuju kedaulatan pangan, target bahan bakar hayati/biofuel
pada 2020, dan target perhutanan sosial, sangatlah diperlukan berbagai upaya dan
perangkat yang dapat memungkinkan pencapaian penggunaan lahan yang optimal,
termasuk melalui pemanfaatan lahan terdegradasi dan terdeforestasi.

Anda mungkin juga menyukai