Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH WSBM

KONSEP MASYARAKAT MARITIM

KELOMPOK 4 NURMAGFIRA (K11112259) NUR REZKI HAJAR (K11112260) FADILLAH MUSLIMIN (K11112261) KESMAS C

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. karena berkat rahmat dan hidayahNya kami bisa menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam wawasan sosial budaya maritim. Didalam makalah ini terdapat informasi mengenai konsep-konsep masyarakat maritim yang terdiri dari masyarakat maritim ideal di Indonesia, Masyarakat Maritim Aktual di Indonesia, dan Cikal Bakal Masyarakat Maritim di Indonesia. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah swt. senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi Pendahuluan Landasan Teori Konsep Masyarakat Konsep Masyarakat Maritim o Masyarakat Maritim Ideal di Indonesia o Cikal Bakal Masyarakat Maritim di Indonesia o Masyarakat Maritim Aktual di Indonesia

Penutup Kesimpulan Saran Kritik

PENDAHULUAN

Tentu saja, Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwasannya Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi kiblat di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia. Fakta sejarah lain yang menandakan bahwa Bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa Maritim dan tidak bisa dipungkiri, yakni dibuktikan dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah dibeberapa belahan pulau. Penemuansitus prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut, selain itu ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain yang tentunya menggunakan kapal-kapal yang laik layar. Namun, ironisnya dalam perjalanan kedepan bangsa Indonesia, Visi maritim Indonesia seperti jauh ditenggelamkan. Pasalnya, sejak masa kolonial Belanda abad ke -18, masyarakat Indonesia mulai dibatasi untuk berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda, padahal sebelumnya telah muncul beberapa kerajaan maritim nusantara, seperti Bugis-Makassar, Sriwijaya, Tarumanegara, dan peletak dasar kemaritiman Ammana Gappa di Sulawesi Selatan. Belum lagi, pengikisan semangat maritim Bangsa ini dengan menggenjot masyarakat untuk melakukan aktivitas agraris demi kepentingan kaum kolonialis semata. Akibatnya, budaya maritim bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini kemudian berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun kembali Indonesia sebagai bangsa maritim. Akibatnya, dalam era kebangkitan Asia Pasifik, pelayaran nasional kita kalah bersaing dengan pelayaran asing akibat kurangnya investasi. Patut disadari, bahwa kejayaan para pendahulu negeri ini dikarenakan kemampuan mereka membaca potensi yang mereka miliki. Ketajaman visi dan kesadaran terhadap posisi strategis nusantara telah membawa negara ini disegani oleh negara-negara lain. Oleh karena itu, kita harus dapat mengetahui bagaimana sebenarnya konsep maritim yang ada di Indonesia agar kita bisa mengetahui bagaimana masyarakat maritim yang ideal dan aktual di Indonesiaserta apa cikal bakal masyarakat maritim di Indonesia.

LANDASAN TEORI

Konsep Masyarakat
Telah banyak definisi tentang masyarakat pengertian masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut ( Horton et. Al,1991). Menurut Ralph Linton (1956), dalam Sitorus et.al. (1998) mengartikan masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Sementara itu, Soejono Soekanto (1990) merinci unsur-unsur masyarakat sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. manusia yang hidup bersama bercampur dalam waktu yang lama sadar sebagai suatu kesatuan sadar sebagai suatu sistem hidup bersama

Untuk membedakan pengertian masyarakat dari satuan-satuan sosial lainnya, membuat suatu matriks masyarakat. Dalam hal ini, tampaknya Koentjaraningrat cenderung memaknai masyarakat sebagai komunitas. Matriks ini terdiri dari sumbu horizontal yang merupakan satuan-satuan sosial dan sumbu vertikal yang merupakan unsur pengikat satuan sosial tersebut. Satuansatuan sosial tersebut mencakup kerumunan, golongan sosial, kategori sosial, jaringan sosial, kelompok, himpunan, dan komunitas. Sementara itu, unsur pengikat tersebut mencakup pusat orientasi, sarana interaksi, aktivitas interaksi, kesinambungan, identitas, lokasi, sistem adat dan norma, organisasi tradisional, organisasi buatan, serta pimpinan (Koentjaraningrat,1990). Selain itu, menurut Koentjaraningrat (1980), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat bersama. Kesatuan hidup manusia yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia yang disebut masyarakat ialah berupa kelompok, golongan, komunitas, kesatuan suku bangsa (ethnic group), atau masyarakat negara bangsa (nation state). Interaksi yang kontinyu adalah

hubungan pergaulan dan kerjasama antar anggota kelompok atau golongan, hubungan antar warga dari komunitas, hubungan antar warga dalam suatu bangsa atau antar negara bangsa. Adat istiadat dan identitas ialah kebudayaan masyarakat sendiri.

Konsep Masyarakat Maritim


Masyarakat maritim dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia berupa kelompok-kelompok kerja (termasuk kesatuan-kesatuan tugas), komunitas sekampung atau sedesa, kesatuan suku bangsa, kesatuan administratif berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa merupakan negara atau kerajaan yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada ekonomi secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan nonhayati) dan jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudayaan maritimnya. A. Masyarakat Maritim Ideal di Indonesia Jika berbicara mengenai masyarakat maritim di Indonesia, maka secara ideal dapat dikatakan seluruh masyarakat Indonesia termasuk masyarakat maritim. Dikatakan demikian karena penduduk negara kepulauan ini pada umumnya memilik wawasan dan gambaran dunia laut yang luas, pulaupulau besar dan kecil yang menaburi lautan tersebut, dan penduduk dengan keragaman etnis menghuni pulau-pulau yag berjejer dari Sabang sampai Merauke. Kebanyakan kelompok suku bangsa dikawasan pantai dan pedalaman mempunyai cerita rakyat dan mitilogi tentang peradaban laut. Sungaisungai tertentu diceritakan oleh penduduk lokal sebagai yang pernah menjadi rute-rute pellayaran masuk keluarnya perahu dan kapal-kapal besar di zaman mitologi tersebut. Di beberapa daerah pedalaman di Sulawesi Selatan antara lain Duri-Enrekang, terdapat jejeran bukit tanah dan gunung batu yang membentuk formasi armada kapal diceritakansebagai kapal sawerigading yang terdampar sejak zaman mitologi tersebut. Di daerah ini, gambaran dunia kebaharian dalam pikiran sebagian rakyat dapat ditunjukkan lewat komponen perahu (terlihat dari daun pisang) dalam beberapa bentuk ritual tradisional. Mitologi asal-usul orang toraja mengandung cerita kedatangan nenek moyangnya dari Rura (Duri-Enrakang), yang pada mulanya berasal dari daerah perairan pesisir Sulawesu Barat dengan kemudian masuk ke daerah pedalaman melalui Sungai Saddang. Berbagai cerita dan tulisan

menyebutkan bahwa Tongkonan (rumah adat Toraja) meniru bentuk arsitektur perahu. Gambaran masyarakat pedalaman akan kegiatan ekonomi kebaharian tumbuh dari pengetahuan dan apesiasi mereka terhadap jasa-jasa positif dan nyata masyarakat bahari terhadap mereka. Dari sejak dulu, hampir semua penduduk perkotaan dan pedalaman mengonsumsi ikan kering, terasi, dan garam yang dihasilkan oleh penduduk nelayan. Berikut ketika sudah digunakan sarana pengawetan modern berupa es untuk hasil laut, tangkapan nelayan terutama berupa ikan segar sudah menjangkau konsumen di pedalaman. Jasa kebaharian yang tak kalah pentingnya bagi masyarakat pedalaman ialah jasa pelayanan antar pulau. Dari sejak dahulu para pengembara/perantau dan pedagang antar pulau selalu memanfaatkan jasa-jasa perhubungan laut.pada kenyataannya, dari waktu ke waktu peranan jasa pelayanan di Indonesia semakin penting dimungkinkan daya tampungnya lebih besar dan tarif angkutan laut masih selalu lebih rendah dari tarif pesawat. Pemanfaaatan jasa perikanan dan pelayaran pada gilirannya melibatkan hubungan fungsional yang timbal balik (reciprocal relathionship) antara masyarakat pedalaman dan masyarakat bahari (nelayan dan pelayar). Masing-masing pihak sadar akan fungsiatau peranan dar yang dterhadapnya, sebab bukan hanya penduduk desa dan kota pedalaman memanfaatkan jasa masyarakat nelayan dan pelayar berupa hasil laut dan pengangkutan, tetapi masyarakat bahari terutama yang di kawasan pesisir dan pulau-pulau memperoleh bahan pangan, sandang dan papan dari masyarakat petani dan industri dipedalaman kota. Pada pihak masyarakat desa dan kota pedalaman, hubungan timbal balik yang inensif tentu memberi keluasan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya sektor kehidupan kebaharian demi mereka. Wawasan kelautan masyarakat pedalam juga tumbuh dari kenyataan bahwa dari waktu ke waktu semakin banyak pula orang pedalaman yang terlibat dalam sektor kebaharian (pelayaran, perikanan, pertambangan, industri pariwisata bahari, angkatan laut) melalui lembaga pendidikan di sekolah-sekolah kelautan dan perikanan. Pengetahuan dan gambaran dunia kebaharian melalui mitologi dan informasi, penilaian dan apresiasi terhadap jasa-jasa masyarakat bahari, dan harapan bagi generasi muda untuk mengakses pendidikan kebaharian berikut peluang kerja pada sektor kebaharian tersebut, tentu menyumbang

pada peningkatan kadar budaya kebaharian masyarakat pedalaman pada tingkat ideal semata. B. Cikal Bakal Masyarakat Maritim Indonesia Diasumsikan bahwa dalam semua masyarakat maritime di dunia, termasuk Indonesia, ada kelompok cikal bakal yang menjadi pemula atau perintis tumbuh kembangnya kebudayaan dan peradaban kebahariaannya itu. Dari kelompok-kelompok masyarakat cikal bakal tersebut tersebarlah unsure-unsur kebudayaan maritime secara lambat atau cepat ke kelompokkelompok masyarakat lainnya yang bukan atau belum layak dikategorikan masyarakat maritime. Karena terjadinya respons positif oleh masyarakat yang menjadi tujuan proses persebaran unsure-unsur budaya maritime tersebut, maka terjadilah adopsi dan penerapan unsure-unsur budaya maritime baru oleh komunitas-komunitas yang terlibat dalam proses persebaran budaya tersebut. Dalam konteks Indonesia, misalnya, adalah keliru beranggapan bahwa masyarakat maritimnya, apakah pada tataran factual atau ideal, secara bersamaan muncul dan berkembang pada semua daerah pesisir dan pulau-pulaunya. Dengan asumsi difusionisme (teori persebaran kebudayaan) seperti ini, bukan berarti kita mengabaikan kemampuan kreatif-inovatif local dalam memodifikasi dan mengembangkan unsure-unsur asli yang tersebar dari pusat-pusat peciptaannya pertama kali. Kalau melacak cikal bakal masyarakat maritime Nusantara ini, maka diantara sekian banyak kelompok-kelompok suku bangsa (ethnics) pengeloladna pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa laut yang ada (nelayan dan pelayar) menurut Adrian Horridge, suku bangsa-bangsa Bajo (Sea Gypsies) di Asia Tenggara, Bugis (Teluk Bone), Makassar (galesong, tallo, pangkep), Mandar (Sulawesi Barat), Buton (Sulawesi Tenggara), dan Madura (wilayah Jawa Timur)dan dianggap sebagai pewaris kebudayaan maritim (pembuat perahu dan pelayar ulung) dari ras Melayu-Polinesia perintis dan pengembang kebudayaan maritime di Asia Tenggara sejak ribuan tahun silam (Horridge, 1986). Berikut Adrian Horridge muncul juga kelompok-kelompok ethnis lain, seperti komunitas-komunitas nelayan dari pulau-pulau Bawean, Masalembo dan Sapudi (Jawa), pedagang-pedagang bonerate dan pulau polue di laut Flores, pemburu paus di Lamalerap (Lomben di Selat Timor, orang luang di sebelah barat daya) dan berbagai koloni bugis di nusantara (antara lain : Flores, Bima, riau, Lampung) yang menguasai jaringan perdagangan luas untuk berbagai jenis komoditi ekspor dan impor.

Sejak beberapa dekade terakhir bukan hanya kelompok-kelompok suku bangsa tersebut dianggap sebagai masyarakat pewaris dan pendukung kebudayaan maritime di Indonesia, tetapi tidak terkecuali bagi semua komunitas pesisir dan pulau-pulaudari Sabang sampai Merauke yang telah menggagas dan mengembangkan sector-sektor ekonomi berkaitan sumber daya dan jasa-jasa laut sekelilingnya. Dari perspektif difusionisme, komunitas-komunitas nelayan dan pelayar Nusantara yang baru ini banyak meniru pada dan dipengaruhi oleh kelompok-kelompok suku bangsa cikal bakal masyarakat maritime pendahuluannya. Kelompok dan komunitas maritime Indonesia baru bukan hanya berasal dari daerah pesisir dan pulaupulau, tetapi sebagian lainnya berasal dari penduduk pekotaan dan pedesaan pedalaman yang memperoleh peluang pada berbagai sector usaha ekonomi kelautan yang formal dan maju (perusahaan, perikanan, pelayaran,pertambangan, industry, parawisata, angkatan laut) karena memiliki ijazah atau sertifikat pendidikan formal dan nonformal kejuruan kelautan dan perikanan. Dimungkinkan pengetahuan dan keterampilan formal dimilikinya, makam kelompok-kelompok masyatrakat maritime tersebut terakhir inilah yang berpandang dinamis dan bersikap lebih terbuka dalam merespons unsureunsur pengetahuan, kelembagaan, dan teknologi kebaharian modem dari luar, dari pada mereka yang berasal dari komunitas-komunitas pesisir dan pulau-pulau yang hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan informal tradisional warisan nenek moyang dan pengalaman belaka.

PENUTUP

KESIMPULAN Menurut Ralph Linton, masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batasbatas tertentu. Menurut Soejono Soekanto unsur-unsur masyarakat yaitu (1) manusia yang hidup bersama; (2) bercampur dalam waktu yang lama; (3) sadar sebagai suatu kesatuan ; (4) sadar sebagai suatu sistem hidup bersama Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat bersama. Kesatuan hidup manusia yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia yang disebut masyarakat ialah berupa kelompok, golongan, komunitas, kesatuan suku bangsa (ethnic group), atau masyarakat negara bangsa (nation state). Interaksi yang kontinyu adalah hubungan pergaulan dan kerjasama antar anggota kelompok atau golongan, hubungan antar warga dari komunitas, hubungan antar warga dalam suatu bangsa atau antar negara bangsa. Adat istiadat dan identitas ialah kebudayaan masyarakat sendiri. Konsep masyarakat maritim ada 3 yaitu : 1. Masyarakat Maritim Ideal di Indonesia Secara ideal dapat dikatakan seluruh masyarakat Indonesia termasuk masyarakat maritim. Dikatakan demikian karena penduduk negara kepulauan ini pada umumnya memilik wawasan dan gambaran dunia laut yang luas, pulau-pulau besar dan kecil yang menaburi lautan tersebut, dan penduduk dengan keragaman etnis menghuni pulau-pulau yag berjejer dari Sabang sampai Merauke. 2. Cikal Bakal Masyarakat Maritim di Indonesia Menurut Adrian Horridge, pengelola sumber daya laut dan jasa-jasa laut yang ada yaitu suku-suku bangsa Bajo (Sea Gypsies) di Asia Tenggara, Bugis (Teluk Bone), Makassar (Galesong, Tallo, Pangkep), Mandar (Sulawesi Barat), Buton (Sulawesi Tenggara), dan Madura (wilayah Jawa Timur) dianggap sebagai pewaris kebudayaan maritim (pembuat perahu dan pelayar ulung) dari ras Melayu-Polinesia perintis dan pengembang kebudayaan maritim di Asia Tenggara sejak ribuan tahun silam. 3. Masyarakat Maritim Aktual di Indonesia Konsep masyarakat bahari yang aktual merujuk kepada kesatuankesatuan sosial yang sepenuhnya tau sebagian besar menggantungkan

kehidupan sosial ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaaatan sumber daya laut dan jasa-jasa laut.

SARAN

KRITIK

Anda mungkin juga menyukai