Anda di halaman 1dari 4

TIGA TRADISI PEMIKIRAN POLITIK DEMOKRASI DAN ASPEK

PENINJAUANNYA

NAMA : ILMA NURFAHMI

NIM : G031201065

PRODI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2020
1) Tiga Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi

Seperti yang dikemukakan oleh Carlos Alberto Torres (1998) bahwa demokrasi dapat
dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni Classical Aristotelian Theory, Medieval
Theory, dan Contemporary Doctrine.

Dalam pemikiran Aristotelian, demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan,


yakni “…the government of all citizens who enjoy the benefits of citizenship” atau
pemerintahan oleh seluruh warga negara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Di dalam
pemerintahan, teori tersebut mengasumsikan bahwa negara dibentuk atas dasar persamaan.
Persamaan itu mengartikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Setiap
warga negara diberi kesempatan untuk menjabat; berkontribusi langsung dalam pemerintahan.
Namun, karena manusia telah dianggap sebagai hewan politik, teori tersebut tidak pernah
muncul. Setiap orang selalu ingin berkuasa dengan alasan pribadi apa pun. Aristoteles
percaya bahwa sistem keadilan dan hak diperlukan agar pemerintah bekerja untuk
kepentingan bersama semua warga negara. Sebuah pemerintahan yang tidak memiliki
pemerintahan seperti itu akan tampak “cacat” karena semua orang berada di bawah penguasa.
Oleh karena itu, ia menentukan bahwa hak secara alamiah diciptakan dalam suatu negara
karena semua orang harus bebas dalam suatu negara. Kebebasan ini hanya dapat terjamin jika
ada hak untuk melindungi kebebasan ini yang diatur dalam undang-undang.

Dalam tradisi Medieval Theory yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan
konsep “popular souvereignity” menempatkan “…a foundation for the exercise of power,
leaving the supreme power in the hands of the people” atau suatu landasan pelaksanaan
kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Rakyat berkuasa atas penetapan sistem kebijakan
pemerintahan. Suara mereka berhak didengar dan dijadikan sebagai tiang dasar dalam
menjalankan roda pemerintahan.

Sedangkan dalam Contemporary Doctrine of Democracy, konsep “republican”


dipandang sebagai “…the most genuinely popular form of government” atau konsep republik
dipandang sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni.
2) Dua Aspek Peninjauan Demokrasi

Torres (1998) memandang demokrasi dapat ditinjau dari dua aspek, yakni “formal
democracy” dan “substantive democracy”. Formal democracy merujuk pada sistem
pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai negara.
Dalam suatu negara demokrasi, demokrasi dapat dijalankan dengan menerapkan sistem
presidensial atau sistem parlementer. Sistem presidensial menetapkan dua kedudukan bagi
presiden, yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Adapun sistem parlementer,
yaitu meletakkan pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri sebagai kepala pemerintahan,
sedangkan kepala negara diduduki oleh raja atau presiden.

Substantive democracy merujuk pada pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan.
Proses demokrasi tersebut diidentifikasi menjadi empat bentuk demokrasi. Pertama, konsep
“protective democracy” yang merujuk pada perumusan Jeremy Bentham dan James Mill
ditandai oleh “… the hegemony of market economy”, atau kekuasaan ekonomi pasar, di mana
proses pemilihan umum dilakukan secara reguler sebagai upaya untuk memajukan
kepentingan pasar dan melindunginya dari kekuasaan yang digunakan sewenang-wenang.
Kedua, “developmental democracy”, yang ditandai oleh konsepsi model manusia sebagai
individu yang posesif, yakni manusia sebagai mahluk yang mampu mengembangkan
kekuasaan atau kemampuannya. Ketiga, ”equilibrium democracy” atau “pluralist democracy”
yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter. Ia memandang bahwa “depreciates the value of
participation and appreciates the functional importance of apathy” atau penyeimbangan nilai
partisipasi dan pentingnya apatisme dengan alasan bahwa apatisme di kalangan mayoritas
warga negara menjadi fungsional bagi demokrasi karena partisipasi yang intensif
sesungguhnya dipandang tidak efisien bagi individu yang rasional. Keempat, ”participatory
democracy” yang diteorikan oleh C.B. Machperson yang dibangun dari pemikiran paradoks
dari J.J. Rousseau yang menyatakan: “We cannot achieve more democratic participation
without a prior change in social inequality and in consciousness without a prior increase in
democractic participation”, yakni bahwa tidak hanya kita tidak dapat mencapai partisipasi
yang demokratis tanpa menciptakan perubahan lebih dahulu dalam ketidakseimbangan dan
kesadaran sosial, tetapi kita juga tidak dapat mencapai perubahan dalam ketidakseimbangan
dan kesadaran sosial tanpa peningkatan partisipasi lebih dulu. Dengan kata lain, perubahan
sosial dan partisipasi demokratis perlu dikembangkan secara bersamaan sebab keduanya
memiliki keterikatan yang saling bergantung satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Situs Internet
Mtholyoke.edu. Classical Perspective – Aristotle. Diakses 10 September 2020, dari
https://www.mtholyoke.edu/~gerla22f/classweb/Human%20Rights%20Theories%20
-%20Classic%20Perspectives.html.

Webcache.googleusercontent.com. Diakses 11 September 2020 dari


https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:05WLbps81AsJ:https://cor
e.ac.uk/download/pdf/147421836.pdf+&cd=9&hl=id&ct=clnk&gl=id

Anda mungkin juga menyukai