SIRKULASI ELIT
Oleh :
Universitas Riau
2020
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat, serta Karunia-Nya yang tak ternilai sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun judul makalah ini adalah
SIRKULASI ELIT yang bertujuan agar kita lebih mengetahui bagaimana kaitan
sirkulasi elit dalam pemerintahan.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak
yang telah membantu penulisan makalah ini. Penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, untuk itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Penulis pun berharap pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan
makalah ini kedepannya. Semoga dengan penulisan makalah ini pembaca ataupun
penulis mampu lebih memahami kaitan antara sosiologi dan konflik khususnya di
pemerintahan itu sendiri.
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR….…………………………………………………………….
DAFTAR ISI…...……………………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN….……………………………………………....…………
A. Latar Belakang………………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………
A. KESIMPULAN…………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pergantian kekuasaan pasti terjadi di dalam sistem politik apa pun dan di
mana pun. Di dalam sistem politik kerajaan, sirkulasi elite politik terjadi, tetapi secara
tertutup hanya di kalangan keluarga raja saja. Yang bisa menggantikan posisi sebagai
raja adalah keturunannya atau saudara-saudaranya, tergantung mekanisme internal
yang dibuat dan disepakati di kalangan mereka. Namun, sesungguhnya, tetap tidak
menutup terjadi sirkulasi elite dari luar garis keturunan penguasa, tetapi hampir bisa
dipastikan melalui jalan paksaan dan melalui pertumpahan darah, di antaranya
melalui pemberontakan sebagai sarana untuk merebut kekuasaan. Di dalam sistem
politik demokrasi, diciptakan mekanisme politik untuk melakukan sirkulasi elite
politik melalui pemilu, baik secara periodik dan berkala, seperti yang terjadi di
indonesia dan amerika, maupun sewaktu-waktu, seperti yang terjadi di malaysia dan
australia. Melalui pemilu, sirkulasi elite politik diharapkan akan terjadi secara damai,
tidak ada pertumpahan darah.
Dalam sistem politik demokrasi, elite politik yang dipercaya oleh rakyat, baik
dengan cara yang objektif maupun manipulatif, memiliki kemungkinan yang lebih
besar untuk mempertahankan kekuasaan. Sirkulasi elite politik di negara-negara
demokrasi, menjadikan pemilu sebagai sarananya. Pemilu bisa menjadi sarana
pengakuan rakyat kepada elite politik. Secara paradigmatik, bisa dikatakan jika
kualitas kepemimpinan yang diberikan baik, maka rakyat bisa memilih kembali.
Sebaliknya, pemilu bisa menjadi sarana penghukuman rakyat atas elite yang abai
dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan. Namun, yang juga harus menjadi
catatan adalah bahwa penguasa di mana pun dan dalam sistem politik apa pun,
termasuk sistem demokrasi merupakan pihak yang memiliki potensi paling besar
untuk melakukan pembangunan opini untuk keuntungan diri sendiri.
Terutama di era digital yang semua bisa direkam dengan baik, sehingga
semuanya bisa didokumentasikan dengan lebih baik, mestinya pemimpin-pemimpin
baru memiliki kualitas kepemimpinan yang jauh lebih baik. Sebab, dengan
mempelajari keberhasilan dan kegagalan dari para pemimpin sebelumnya, para
pemimpin baru bisa menjalankan kepemimpinan secara lebih baik dan menghindari
kegagalan yang sama. Dengan kata lain, sirkulasi elite mestinya benar-benar bisa
menjanjikan lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang bisa memberikan kualitas
kepemimpinan yang jauh lebih baik, sehingga bisa mewujudkan tidak hanya
kesejahteraan, tetapi juga kemakmuran seluruh rakyat.
B. RUMUSAN MASALAH
5. Apa hubungan antara sirkulasi elit, partai politik dan rekrutmen politik?
C. TUJUAN PENULISAN
PEMBAHASAN
Menurut KBBI, Sirkulasi adalah gerak setiap pribadi dari satu kelas sosial ke
kelas sosial lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Kemudian, Menurut Mills
elit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada pranata - pranata utama
dalam masyarakat. Dengan kedudukan tersebut para elit mengambil keputusan
keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Laswell Elit Politik mencakup semua pemegang kekuasaan dalam suatu
bangunan politik. Elit ini terdiri dari mereka yang berhasil mencapai kedudukan
dominant dalam system politik dan kehidupan masyarakat. Mereka memiliki
kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Menurut para teoritikus politik Elit Politik
adalah mereka yang memiliki jabatan politik dalam system politik. Jabatan politik
adalah status tertinggi yang diperoleh setiap warga Negara. Dalam system politik
apapun, setiap struktur politik atau struktur kekuasaan selalu ditempati oleh elit yang
disebut elit politik atau elit penguasa. Karl W. Deutch mengatakan Bahwa pelaku
politik utama dalam suatu system politik disebut elit politik. Elit politik terdiri dari
dua tingkatan yaitu: Elit Politik Tingkat Tinggi dan Elit Politik Tingkat Menengah.
Elit Politik Tingkat Tinggi dalam suatu system politik atau Negara meliputi presiden
(perdana menteri) dan para menteri; Elit Politik Tingkat Menengah yaitu para
penguasa dibawah menteri dan para pemimpin daerah yang bertugas untuk
mengimplementasikan program dan kebijakan yang dibuat oleh elit politik tingkat
tinggi.
Sirkulasi elit adalah teori perubahan rezim yang dijelaskan oleh ilmuwan
sosial Italia Vilfredo Pareto (1848–1923). Perubahan rezim, revolusi , dan sebagainya
terjadi bukan ketika penguasa digulingkan dari bawah, tetapi ketika
satu elit menggantikan yang lain. Peran orang awam dalam transformasi semacam itu
bukanlah peran para penggagas atau pelaku utama, tetapi sebagai pengikut dan
pendukung satu elit atau lainnya. Posisi pada masyarakat yang terbagi menjadi dua
lapisan, yakni kelompok elit dan kelompok non-elit atau massa dapat mengalami
perubahan. Sekelompok individu yang berkedudukan sebagai elit tidak memiliki
jaminan selamanya akan menduduki posisi tersebut. Posisi yang mereka sandang
tidak bersifat langgeng karena akan diganti atau digeser oleh kelompok lainnya. Hal
tersebut tidak dapat terelakkan, sebab perubahan atau pergeseran elit pasti akan
berlangsung di masyarakat mana pun juga. Sehubungan dengan hal tersebut, Pareto
menyatakan bahwa dalam tubuh elit terdapat kecenderungan untuk mengalami apa
yang disebut sebagai “decay” atau pembusukan. Adanya kondisi seperti ini
menyebabkan mereka yang termasuk dalam kelompok non-elit atau massa
mempunyai kecenderungan untuk membuat dirinya secara potensial dapat memasuki
lingkungan elit. Sebagaimana diketahui bahwa mereka yang tergolong kaum
aristokrat adalah mereka yang berperan sebagai elit di masyarakat yang bersangkutan.
Maka, dalam suatu masyarakat dapat berlangsung suatu proses yang lebih dikenal
dengan istilah “sirkulasi elit” atau “perputaran elit”. Dalam rumusan lain, ternyata,
sirkulasi elit melibatkan suatu proses “promotion” kelompok non-elit atau massa ke
dalam lapisan elit, dan proses “demotion’” kelompok elit ke dalam lapisan elit.
Dalam pernyataan yang lebih sederhana, sirkulasi elit adalah suatu mobilisasi
atau perputaran elit dari satu kelompok kelas ke kelompok kelas lainnya. Sehubungan
dengan hal tersebut, Pareto menyatakan bahwa di setiap masyarakat mana pun, elit
secara berkesinambungan melakukan upaya perubahan di dalam kelas-kelas atau
posisi-posisi, dimana yang bersangkutan berada. Begitu pula pada setiap masyarakat,
selalu ada pertukaran antara kelompok elit dan kelompok non-elit atau massa. Elit
tidak hanya melakukan perubahan di dalam dirinya atau kelompoknya, tetapi mereka
juga melakukan hal sama pada kelompokkelompok kelas lainnya. Dalam perubahan
tersebut, sekelompok kecil individu yang berasal dari golongan non-elit dapat masuk
ke dalam jaringan elit, dan sebaliknya individu-individu yang berasal dari golongan
elit dapat pula terperosok masuk ke dalam kelompok massa.
Dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi, partai politik merupakan
bagian instrumen bagi masyarakat. Partai politik dapat menjadi wadah bagi
masyarakat untuk berkompetisi dan mengendalikan sistem politik suatu negara
tersebut melalui penguasaan jabatan politik yang ada. Menurut Carl J. Friedrich
(Miriam Budihardjo, 2002:161) partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut dan mempertahankan pengawasan
terhadap pemerintah. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-
nilai dan citacita yang sama. Partai politik adalah kendaraan untuk mencapai tujuan
politik. Partai politik diterjemahkan sebagai organisasi yang dibentuk oleh
sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggotanya, masyarakat,
bangsa dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berbagai definisi
tentang partai politik menurut para ahli. Seperti Gabriel Almond (Mochtar Mas’oed,
1989:29) yang mendefinisikan partai politik sebagai organisasi manusia yang
didalamnya terdapat pembagian tugas dan petugas untuk mencapai suatu tujuan,
mempunyai ideologi, mempunyai program politik sebagai pencapaian tujuan secara
lebih pragmatis sesuai dengan tahapan jangka pendek dan jangka panjang serta
mempunyai ciri keinginan untuk berkuasa. Dengan demikian, setiap organisasi yang
memenuhi kriteria tersebut dapat diartikan sebagai partai politik.
C. KONSEP REKRUTMEN POLITIK
Dari pernyataan di atas, tujuan dari rekutmen politik adalah pengisian jabatan
politik dengan melibatkan partisipasi masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan
politik. Rekrutmen politik juga diharapkan mampu menciptakan suatu sistem politik
yang dapat memberikan pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat. Untuk
memperoleh hal tersebut, aktor - aktor yang berkecimpung di dalam tersebut harus
memiliki kualitas yang mumpuni serta melalui proses seleksi yang didasarakan pada
latar belakang yang jelas. Tujuannya adalah agar rekrutmen yang dihasilkan untuk
mengisi jabatan politik mampu menjadi pelayan dan pelindung masyarakat. Artinya
artikulasi kepentingan masyarakat dapat diperjuangkan.
Menurut Suzanne Keller, hal utama yang dapat menjadi penyebab perubahan
elit adalah :
Ada beberapa model yang ditawarkan berdasarkan teori Pareto tentang sirkulasi
elit. Pareto membagi elit politik sebagai “yang memerintah‟ (yang memiliki real
power) dan yang tidak memerintah (memiliki kapabilitas tetapi tidak pada posisi
memerintah). Terjadi konflik kaum elit disebabkan tidak meratanya distribusi
kekuasaan di antara para elit dan menjadi residu dalam jangka waktu yang lama.
Sirkulasi elit politiK diawali dengan proses seleksi atau rekrutmen bakal
pasangan calon di partai politik. Sebagai sarana rekrutmen, partai politik berfungsi
untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegitan
politik sebagai calon dari partai. Miriam Budiardjo (2008: 408) juga mengatakan
rekrutmen politik sangat berkaitan dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik
kepemimpinan internal maupun kepemimpinan nasional. Fungsi partai sebagai
rekrutmen politik adalah untuk melaksanakan rekrutmen politik yang adil, transparan,
dan demokratis pada dasarnya untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan
mampu memperjuangkan nasib rakyat untuk kesejahteraan, menjamin keamanan dan
kenyamanan hidup bagi setiap warga negara. Menurut Ramlan Surbakti (1992:118),
rekrutmen politik sebagai seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau
sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem-sistem politik
pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Menurut fungsi ini semakin besar
fungsinya, maka partai politik itu merupakan partai tunggal seperti dalam sistem
politik otoriter, atau partai mayoritas dalam badan permusyawaratan rakyat sehingga
berwenang untuk membentuk pemerintahan dalam sistem politik yang demokratis.
Fungsi rekrutmen merupakan fungsi dari mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi keberlangsungan partai
politik.
Sirkulasi elit tidak hanya merupakan proses pergantian atau pertukaran antara
elit dengan non-elit atau massa, tetapi juga mencakup proses pergantian atau
pertukaran posisi di antara sesama elit sendiri. Lapisan elit, sebagaimana dilukiskan
pareto, terdiri dari mereka yang tergabung dalam kelompok yang menduduki jabatan
politis dan mereka yang tidak menduduki jabatan politis sebagai kelompok oposisi.
Pergantian atau pertukaran posisi di antara dua kelompok tersebut sangat
dimungkinkan, dan proses itu dapat disebut pula sebagai sirkulasi elit.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sirkulasi elit adalah suatu mobilisasi atau perputaran elit dari satu kelompok
kelas ke kelompok kelas lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Pareto
menyatakan bahwa di setiap masyarakat mana pun, elit secara berkesinambungan
melakukan upaya perubahan di dalam kelas-kelas atau posisi-posisi, dimana yang
bersangkutan berada. Partai politik diterjemahkan sebagai organisasi yang dibentuk
oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggotanya,
masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Amin, Khairul. 2017. Elit Dan Kekuasaan Pada Masyarakat Desa Studi Relasi
Antara Pemerintah Dan Masyarakat Di Desa Rias Kecamatan Toboali
Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kep. Bangka Belitung. Jurnal Sosiologi
USK, Vol. 11 No. 2 (hlm. 167 - 187). Aceh : Universitas Malikussaleh.
Farisi Mochammad, Haryadi. 2017. Sirkulasi Elit Politik Lokal Pada Pilkada
Serentak Tahun 2015 Di Provinsi Jambi. JISIP, Vol. 1 No. 1. Jambi :
Universitas Jambi.
Haryanto. 2017. Elit, Massa, dan Kekuasaan : Suatu Bahan Pengantar. Yogyakarta :
Polgov.
Prayudi. 2016. Penyelenggaraan Pilkada Dan Lemahnya Sirkulasi Elit Politik Lokal.
Jurnal DPR RI, Vol. 21 No. 4 (hlm. 275 - 296). Jakarta : Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI.