Sutherland (1979) menceritakan tentang the making
of bureaucratic elites, yaitu kelompok priyayi
(ambtenaar) di daerah-daerah yang telah jatuh dibawah kekuasaan dan pemerintahan Hindia Belanda digarap menjadi pegawai-pegawai gubernemen sehingga harus bekerja dalam suatu organisasi pemerintahan yang berkonfigurasi baru. Disinilah terjadi proses transformasi, dari model birokrasi feodal yang primordial dan menjadi model birokrasi kolonial yang formal dan rasional berdasarkan sistem yang bukan karena keturunan (non-ascription). Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis struktur dan konfigurasi “birokrasi kerajaan” yang feodal aristokratik sebagai kepanjangan perkembangan peradaban priyayi yang “sakral” (Wignyosoebroto, 1998). Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern, yang terjadi hanyalah perubahan bentuk luarnya saja, dan belum sampai pada perubahan tata nilainya. Dengan dipergunakannya birokrasi bergaya tradisional ini sebagai alat kekuasaan politik, maka tipe ini akan ditanamkan sebagai sesuatu yang dianggap wajar di alam kultur birokrasi setempat. Pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai sesuatu kesatuan yang nyata. Agus Dwiyanto (2002) mengemukakan bahwa : “Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat”. Contohnya Sumatra Barat, yang menggunakan konsep nagari dan telah lama dikembangkan sebagai model good governance pada tingkat lokal. Sistem nagari dibentuk dengan memerhatikan dasar-dasar sosiologis, antropologis, sosio-kultural, dan budaya politik masyarakat Minangkabau yang mempunyai corak egalitarian. Konsensus merupakan mekanisme pengambilan keputusan politik bersama yang dijadikan landasan politik kehidupan sosial politik dalam nagari yang dikembangkan. Model SALA adalah masyarakat berubah dan berkembang secara tradisional menuju modern, Percepatan perubahan yang dialami dan dilakukan oleh negara, bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia tidak sama, Negara yang dapat diklasifikasikan ke dalam kutub tradisional sebagai awal perkembangan masyarakat sudah amat sulit ditemukan atau boleh disebut hampir tidak ada. Model masyarakat prismatik adalah Masyarakat yang sedang berubah/bergeser/berproses/bergerak dari model masyarakat tradisional ke model masyarakat modern . Oleh Fred W Riggs diberi nama model Masyarakat Prismatik yang di dalamnya tercampur karakteristik tradisional sekaligus juga karakteristik modern yang diakui dan berlaku di dalam masyarakat. 1. menunjukan adanya gejala formalism, yaitu pelaksanaan berbeda dengan perencanaan. 2. terjadi penyimpangan, yaitu mencoba meniru struktur birokrasi Negara maju tetapi diisi dengan kegiatan-kegiatan atau praktek-praktek administrative yang bersifat nepotisme dan primodialisme sehingga akan menciptakan inefeseinsi. 3. ada overlapping dalam praktek birokrasi, struktur modern tetapi diisi dengan budaya tradisional.