Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

POLITIK PENDIDIKAN

“TEORI ELITE POLITIK’’

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

 SRINI RIANTI 1743040018


 ANDI TENRI ABENG 1743041004
 DIELMAY GRACE 1743041006

ADMINISTRASI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Teori
Elite Politik.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Makassar, 23 September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 4
A.Latar Belakang ....................................................................................................................................... 4
B.Rumusan Masalah.................................................................................................................................. 5
C.Tujuan Penulisan.................................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................................... 6
A.Latar Belakang Munculnya Teori Elite ................................................................................................... 6
B. Pengertian Elit ...................................................................................................................................... 7
C.Pengertian elit menurut para Ahli…………………………………………………………………………………………………….8

BAB III PENUTUP ......................................................................................................................................... 13


Kesimpulan.............................................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 14

3
BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terdapat beberapa pola yang mungkin sulit untuk dimengerti jika menggunakan perspektif
demokrasi prosedural dalam menganalisa konteks demokrasi lokal saat ini, yakni pada
bagaimana pola-pola prosedural demokrasi kemudian menjadi arena bagi muncul dan
menguatnya kembali politik identitas yang berbasis pada simbolitas tradisional keluarga, klan,
kebangsawanan, etnis, dan sebagainya. Padahal dalam konteks politik yang kian deliberatif,
memungkinkan persaingan politik itu terjadi dan sirkulasi elit-elit politik menjadi kian terbuka.

Fenomena munculnya sentimen etnis dan kekeluargaan dalam politik lokal di Indonesia
adalah hasil dari kombinasi tekanan politik sentripugal (terpusat) pada masa orde baru dan
tekanan politik sentripetal (desentralisasi) pasca orde baru. Meski di awal-awal pelembagaan
desentralisasi pola ini belum terlihat, akan tetapi, memasuki dekade ke dua ke dua pasca
reformasi, kecenderungan pada semakin oligharkisnya kekuatan partai politik ditambah
kecenderungan politik partai yang semakin bergerak ke arah yang lebih pragmatis. Kushkrido
Ambardi lebih menyebut fenomena ini sebagai Politik Kartel yang membelit partai politik di
Indonesia pada dekade ke dua pasca reformasi.

Untuk memahami konteks fenomenalnya dalam skripsi ini saya akan membahas atau
mengelaborasi beberapa perspektif teori tentang elit politik, serta bagaimana konteks ranah
dalam politik lokal menjadi arena menguatnya politik keluarga. Pada titik ini pula kita melihat
bagaimana pergeseran perspektif teoritik itu, terutama perspektif teoritik Pierre Boudieu sebagai
bangunan kerangka analitis utama untuk meahami fenomena pengaruh klan Yasin Limpo di
Sulwesi Selatan, sehingga kita tidak saja memahami dinamika perspektif (pergeseran paradigma)
dalam menganalisa elit politik akan tetapi juga, hasil penelitian ini pula menjadi acuan tentang
bagaimana operasionalisasi pendekatan baru tersebut atas konteks fenomenal politik keluarga
dalam politik lokal di Indonesia terutama di Sualwesi Selatan. Sebagai tambahan untuk
memperkaya perspektif kita penulis membahas tentang Deliberasi Politik Lokal dalam Pemilu
dan Pilkada, untuk memahami bagaimana konteks perubahan ranah politik, menjadi arena bagi
adanya sirkulasi elit, namun pada sisi lain fenomenalnya deliberasi politik itu memperlihatkan

4
dinamika (kontestasi dan konfrontasi) elit akan tetapi, pada dasarnya sirkulasi itu hanya terjadi
pada lingkaran (elit) yang sama. Konteks ini seolah membuktikan tesis Sorensen tentang
involusai politik yang hanya menghasilkan Frozen Democracy (Demokrasi beku ).

B. Rumusan Masalah

Adapun untuk perumusan masalah, penulis mengambil hal-hal yang berkaitan dengan
pembahasan.

1. Latar belakang munculnya elite


2. Apa definisi elit
3. Definisi Elit Menurut Para Ahli
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui latar belakan munculnya elite


2. Untuk mengetahui apa sebenarnya Definisi Elit tersebut
3. Untuk mengetahui apa itu elit menurut para ahli

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Teori Elit Politik

Kata “Elite” Di beberapa referensi baik berupa buku, majalah, koran, kita sering
menjumpai kata elite. Secara etimologi, istilah elite berasal dari kata latin eligere yang berarti
memilih. Pada abad ke 14, istilah ini berkembang menjadi a choice of persons (orang-orang
pilihan). Kemudian pada abad ke 15, dipakai untuk menyebutkan best of the best ( yang terbaik
dari yang terbaik). Selanjutnya pada abad ke 18, dipakai dalam bahasa Perancis untuk menyebut
sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Sementara itu,
Amitai Etzioni mendefinisikan elite sebagai kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan.
Menurut Oxford English Dictionary, istilah elite digunakan dalam bahasa Inggris paling awal
pada tahun 1823, dan kemudian mulai tersebar secara luas melalui teori-teori sosiologi tentang
kelompok-kelompok elite, terutama dari hasil pemikiran Pareto. Dalam perkembangan
selanjutnya, menurut Bottomore, istilah elite secara umum digunakan untuk menyebut
kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu
masyarakat.

Pada awalnya teori elit politik lahir dari diskusi seru dari para ilmuwa amerika serikat
(AS) antara Joseph A. Schumpter (1883-1950), Imperialism And Social Clasess (ekonom),
Harold D laswell, Daniel Lerner dan C.E. Rothwell, The Comparative Study Of Elites (ilmuwan
politik) dan C. Wright Mills, The Power Elite, yang melacak tulisan-tulisan dari para pemikir
eropa pada masa awal munculnya fasisme, khuhsusnya Villfredo Pareto (1848-1923) dan
Gaetano Mosca (1858-1941), Roberto Michells (1876-1936) dan Jose Ortega Y. Gesset percaya
bahwa setiap masyarakat dipeintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-
kualitas yang di perlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh.
Mereka yang mampu menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupan yang terbaik. Mereka
adalah yang disebut dengan atau sebagai istilah elit. Ellite, merupakan orang-orang yang berhasil
yang mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Karena itu muncul
pandangan Villfredo Pareto, maasyarakat terbagi atas dua kelas yaitu (a). Lapisan atas, yaitu elit

6
yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah
(non-goverming elite), (b). Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Villfredo Pareto sendiri
lebih memusatkan perhatianya kepada elit yang memerintah.

Namun demikan teory elit (elite theory) bahwa perkataan “elite”, dipakai di perancis pada
abad yang XVII untuk medeskripsikan sesuatu yang bagus sekali, dan beberapa waktu kemudian
diaplikasikan ke dalam kelompok sosial yang unggul dalam beberapa hal, akan tetapi istilah ini
tidak dipakai secara luas dalam pemikiran sosial dan politik sebelum abad XIX, ketika seperti
disinggung diatas, istilah ini mulai masuk dengan melalui teori elite sosiologis yang diajukan
oleh Villfredo Pareto (1848-1923) dan dalam bentuk yang berbeda oleh Gaetano Mosca (1858-
1941). Villfredo Pareto memulai untuk definisi umum untuk elite, yakni sebagai kelompok orang
yang punya indeks kemampuan yang tinggi dalam aktivitas mereka, apapun bentuknya akan
tetapi dia kemudian mengkonsentrasikan diri pada apa yang disebutnya sebagai “elite penguasa”
ysng dipertentangkan dengan masa yang tidak berkuasa. Konsep ini dalam beberapa hal,
didasrkan pada konsep Gaetano Mosca (orang yang pertama kali berusaha mnyusun ilmu politik
baru berdasrkan perbedaan antara kelompok elit dengan maasa) yang meringkaskan konsep
umumnya dengan mengatakan bahwa di semua masyarakat ada stu hal yang menonjol, yakni
“dua kelas manusia – kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai”.

B. Pengertian Elite

Teori Elit

Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang
berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi
kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam
daripada elit tradisional

Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai


pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya
perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud
dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa
sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang

7
modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas
politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik.
Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang
lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih
mempunyai arti simbolis daripada praktis.

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh
dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli yang
mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan
elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto).
Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi
kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl
Mainnheim, dan Raymond Aron).

C. Pengertian Elit Menurut Para Ahli:

Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir
semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles
merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis
klasik bahwa di setiap masyarakat, suatu minoritas membuat keputusan-keputusan besar. Konsep
teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua
sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang
mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu
disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil
yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa
pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang
mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto
lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang memerintah
(governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign elit) . Kedua, lapisan rendah
(non- elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan
teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai adri yang paling giat

8
mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju
dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas
yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli
kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang
diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif
memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemduain didukung oleh Robert
Michel yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan. Dalam organisasi
apapun, selalu ada kelompok kecil yang kuat, dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya
sendiri. Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya
tersebar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan
fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa naik turun tergantung
situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih penting, dalam situasi peran elit tidak terlalu
menonjol dan status elit bisa melekat kepada siapa saja yang kebetuan punya peran penting

Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick. Menurutnya ada dua
tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok
khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan bakat-bakat
unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan
yang kemudian dianut oleh semua pihak. Ke dua, dalam tradisi yang lebih baru, elit dilihat
sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang menghimpun para petinggi
pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan
pemimpin, pembuat keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.

Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati posisi di dalam
masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu posisi tinggi di dalam
ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan.
Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur
segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang fungsional dan
terstruktur dalam berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri,
komunikasi dan sebagainya.

9
Field dan Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit adalah orang-orang
yang memiliki posisi kunci, yang secara awamdipandang sebagai sebuah kelompok. Merekalah
yang membuat kebijakan umum, yang satu sama lain melakukan koordinasi untuk menonjolkan
perannya. Menurut Marvick, meskipun elit sering dipandang sebagai satu kelompok yang
terpadu, tetapi sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yang
lain sering bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan dan perbedaan kepentingan antar elit
itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elit.

Berdasarkan pandangan berbagai ahli, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara umum
ilmuwan sosial membagi dalam tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi.
Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur
masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan memegang peranan penting dalam aktivitas
masyarakat. Kedudukan tersebut dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial
yang melekat, misalnya keturunan atau kasta.

Schrool menyatakan bahwa elit menjadi golongan utama dalam masyarakat yang
didasarkan pada posisi mereka yang tinggi dalam struktur masyarakat. Posisi yang tinggi tersebut
terdapat pada puncak struktur masyarakat, yaitu posisi tinggi dalam bidang ekonomi,
pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan bebas.

Ke dua sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini didasarkan pada suatu lembaga yang
dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya dalam masyarakat. C. Wright Mills
menyatakan bahwa untuk bisa memiliki kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus
bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga besar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya
menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya untuk memilki dan menguasai
pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu.

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti
pengaruh atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan
mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang
berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki pengaruh dalam
proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memiliki/bersumber dari penghargaan

10
masyarakat terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam
Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu bisa berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan,
agama, kekerabatan, kepandaian dan keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan oleh
Charles F. Andrain yang meneybutnya sebagai sumber daya kekuasaan, yakni : sumber daya
fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian.

Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal dapat dilihat dalam 3 kategori,
pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit berdasarkan kegiatan
fungsional, ketiga, elit berdasarkan kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan itu sosial
masyarakat Bugis Makassar terbagi atas 3 kellompok sosial, pertama, raja dan kerabat raja yang
dikenal dengan kelompok bangsawan atau aristokrat. Ke dua kelompok manusia merdeka dan
ketiga, kelompok hamba.

Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yang penuh dengan
kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari kelompok-
kelompok teori di atas terdapat kecocokan, namun yag terjadi dalam politik Sulawesi Selatan
kini, adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor sumber daya kuasa sebagaimana disebutkan
di atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih dengan pendidikan dan kapasitas politik
kelembagaan yang diperoleh dari kualifikasi pengakderan partai politik akan tetapi juga tidak
menunjukkan sikap elit yang loyal dan ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi
seringkali menjadi faktor yang diasumsikan menjadi sumber kekuasaan, dalam masyarakat Bugis
Makassar tentunya akan menampakkan dinamika yang kuat, dimana sirkulasi elit akan
sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar adalah
berdagang. Namun kondisi ini saling bertumpang tindih dengan patrimonialisme, kekeluargaan,
dan bahkan memungkinkan untuk terjadinya dinastitokrasi.

Dalam fenomena keluarga Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu menjadi konteks
fenomenal yang menyulitkan untuk menetapkan satu bingkai paradigmatik dan teoritik
sebagaimana dijelaskan di atas. Karenanya, asumsi teoritik Pierre Bourdieu mengenai Habitus,
modal, ranah dan praktek mungkin relevan sebagai alat analisis utama disamping kekuatan
teoritik dari dari teori elit di atas. Perspektif Bourdieu dijelaskan selanjutnya pada sub Bab
berikutnya di bawah ini.

11
Menurut Saint Simon menyatakan bahwa masyarakat terdiri dari tiga kelas sosial, yang saling
terpisah dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial. Ketiga fungsi itu menghendaki personalia
khusus yaitu:

1. Perencaan tindakan sosial (fungsi intelegensi)


2. Melakukan pekerjaan industri yang esensial (fungsi motorik)
3. Pemenuhan kebutuhan rohani manusia (fungsi sensorik)

12
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat penulis makalah ambil adalah:

 Elit Politik yaitu adalah kelompok yang memilki kemampuan dalam mengatur suatu
kelompok masyarakat

 Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam
lapisan masyarakat. Sementara itu bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun
senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas
yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli
kekuasaan dan menikmati keuntungan.

 Ellite, merupakan orang-orang yang berhasil yang mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi
dalam lapisan masyarakat. Karena itu muncul pandangan Villfredo Pareto, maasyarakat
terbagi atas dua kelas yaitu

1. Lapisan atas, yaitu elit yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan
elit yang tidak memerintah (non-goverming elite),
2. Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit.

13
DAFTAR PUSTAKA

 Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008. )


 Varma. Sp Teori Politik Moderen, (Jakarta: Gramedia, 2007. )

 http://biarhappy.wordpress.com/2011/04/11/teori-elite-politik/
 http://esaipolitiknurani.blogspot.com/2007/08/elit-politik-islam-das-sein-dan-das.html
 http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/07/07/membongkar-demokrasi-elitis/
 http://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/16/islam-28/
 http://sioweachmad.blogspot.com/2012/05/elit-politik-indonesia-di-era-14-tahun.html
 http://teoripolitikseverus.blogspot.com/2011/10/analisis-teori-elit-politik.html

 Sitepu, P. Anthonius. Teori-Teori Politik ,Yogyakarta: Graha Ilmu , 2012

[1] Sitepu, P. Anthonius. Teori-Teori Politik ,Yogyakarta: Graha Ilmu , 2012.hlm 82

[2] http://biarhappy.wordpress.com/2011/04/11/teori-elite-politik/

[3] http://teoripolitikseverus.blogspot.com/2011/10/analisis-teori-elit-politik.html

[4] Sitepu, P. Anthonius. Teori-Teori Politik ,Yogyakarta: Graha Ilmu , 2012.hlm 82

[5] Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008. ) hlm 62

[6] Varma. Sp Teori Politik Moderen, (Jakarta: Gramedia, 2007. ) hlm 218

[7] http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/07/07/membongkar-demokrasi-elitis/

[8] http://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/16/islam-28/

[9] http://sioweachmad.blogspot.com/2012/05/elit-politik-indonesia-di-era-14-tahun.html

[10] http://esaipolitiknurani.blogspot.com/2007/08/elit-politik-islam-das-sein-dan-das.html

14
15

Anda mungkin juga menyukai