berkembang pada abad ke 19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara
menjadi fokus pokok pembahasannya, terutama dari segi konstitusional dan yuridis. Bahasan
pendekatan tradisional ini menyangkut antara lain sifat dari undang-undang dasar, masalah
kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan
seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Dengan demikian pendekatan tradisional
ini mencakup baik unsur legal maupun unsur institusional.
Seandainya kita ingin mempelajari parlemen dengan pendekatan ini maka yang akan dibahas
adalah kekuasaan serta wewenang yang dimilikinya seperti tertuang dalam naskah-naskah
resmi (undang-undang dasar, undang-undang atau peraturan tata tertib); hubungan formal dengan
badan eksekutif; struktur organisasi (pembagian dalam komisi, jenjang-jenjang pembicaraan)
atau hasil kerjanya (beberapa undang-undang telah dihasilkan).
Para peneliti tradisional tidak mengkaji apakah lembaga itu memang terbentuk dan berfungsi
seperti yang dirumuskan dalam naskah-naskah resmi tersebut, apalagi bertanya mengapa ada
diskrepansi antara struktur formal dan gejala-gejala yang dapat diamati dalam praktik. Pada saat
bersamaan, pendekatan tradisional tidak menghiraukan organisasi-organisasi informal, seperti
kelompok kepentingan dan kelompok lainnya, dan juga media komunikasi. Bahasan ini lebih
bersifat statis dan deskriptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah. Lagipula
dalam proses pembahasan, "fakta" (sesuatu yang dapat dibuktikan melalui pengalaman atau
pengamatan) kurang dibedakan dengan norma (ideal atau standar yang harus menjadi pedoman
untuk perilaku).
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau
standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Menurut pandangan ini,
negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal (a body of
formal constitutional form). Disamping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara
demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Belanda dan Jerman. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pendekatan ini kurang memberi peluang bagi terbentuknya
teori-teori baru.
Pendekatan Institusional
Menurut pendekatan ini, politik adalah negara dengan institusi-institusinya. Jadi yag dipelajari
tentang politik adalah mengenai tugas dan kewenangan atau apa yang harus dilakukan oleh
lembaga-lembaga negara.
Pendekatan institusionalisme
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian
utama. [1] Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis
yang berada pada titik "pemerintahan yang baik" atau good governance dan negara otoriter yang
berada pada titik "pemerintahan yang jelek" atau bad governance dan kemudian berkembang lagi
dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda.[2] Namun, pada
dasarnya—jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi negara
tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah antara "baik" dan "buruk" tadi.[2]
Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar,
masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain.[1] Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur
legal maupun institusional.[1]
Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:
Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah pusat
dalam mengatur hukum;[3]
Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik
alih-alih dalam memeriksa lembaga yang "bersifat" individu seperti legislatif;[3]
Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti
kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan;[3]
Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek
yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.[3]
A. Pendekatan Legal/Institusional
Pendekatan ini sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang pada abad ke-19 pada
masa sebelum perang dunia II. Pada pendekatan ini Negara menjadi focus utama, terutama
konstitusional dan yurisidisnya. Bahasan pendekatan ini menyangkut sifat dari undang-undang dasar,
masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan
seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Dari ini pendekatan tradisional mencakup
unsure illegal maupun unsure institusional.
Pendekatan ini lebih sering bersifat normatif dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi
baratserta Negara lebih di tafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal.
Pada pertengahan 1930-an para sarjana di amerika serikat mulai mengemukakan suatu pandangan yang
lebih melihat politik sebagai proses, dan negara sarana perebutan ktujuanekuasaan antara berbagai
kelompok. Serta bagi mereka politik adalah kekuasaan, terutama kekuasaan yang menentukan kebijakan
public.
Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1950-an
seusai Perang Dunia II. Adapaun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama,
sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat
berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak
maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti
sosiologi dengan tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parsons (1902-1979),
antropologi, dan psikologi. Ketiga, dikalangan pemerinitah Amerika Serikat telah muncul
keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya
membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk
mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat
diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi
dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan,
kelompok elite, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik (polity).
Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai
aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut
Pendekatan Perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota
parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang
tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, giat-tidaknya
memprakarsai rancangan undang-undang, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan
lobbying dan latar belakang sosialnya.
Mereka pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan juga
orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan,
harapan, dan sebagainya. Berdasarkan anggapan bahwa perilaku politik hanya salah satu dari
keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini cenderung untuk bersifat interdisipliner. Ia tidak saja
mempelajari faktor pribadi, tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti budaya, sosiologis, dan
psikologis. Disamping itu, pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusioner
yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik.
Salah satu pemikiran pokok dalam pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya
membahas lembaga-lembaga formal karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya.[1] Sementara itu, inti "pilihan rasional" ialah
bahwa individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik dan sebagai makhluk yang rasional
selalu mempunyai tujuan-tujuan yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri
sendiri.[1] Kedua pendekatan ini (perilaku dan pilihan rasional), memiliki fokus utama yang sama
yakni individu atau manusia. Meskipun begitu, penekanan kedua pendekatan ini tetaplah berbeda
satu sama lainnya.
Menekankan pada teori dan metodologi. Dalam mengembangkan studi ilmu politik, teori
berguna untuk menjelaskan berbagai fenomena dari keberagaman di dalam masyarakat.[3]
Menolak pendekatan normatif. Kaum behavioralis menolak hal-hal normatif yang dikaji
dalam pendekatan institusionalisme karena pendekatan normatif dalam upaya
menciptakan "pemerintahan yang baik" itu bersifat bias.[3]
Masukan (inputism) yang memperhatikan masukan dalam sistem politik (teori sistem
oleh David Easton, 1953) atau tidak hanya ditekankan pada strukturnya saja seperti
dalam pendekatan institusionalisme.[3]
B. Pendekatan Prilaku
Pendekatan ini muncul dan berkembang di amerika pada tahun 1950-an sesudah PD II. Adapun sebab
munculnya pendekatan ini yaitu :
1. Sifat deskriptif dari ilmu politikdianggap tidak memuaskan.
2. Ada kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak akan maju dengan pesat.
3. Di kalangan pemerintah amerika tealh muncul keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilnu
politik untuk menerangkan fenomena politik.
Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai sentral atau actor independen,
tetapi sebagai kerangka. Prilaku ini mempelajari prilaku anggota parleman seperti pola pemberian suara
rancangan undang-undang. Beberapa konsep pokok pendekatan prilaku menurut David Easton dan
Albert Somit :
1. Prilaku politik menampilkan keteraturan yang peril dirumuskan sebagai generalisasi-generalisasi yang
kemudian di buktikan atau diverufikasi kebenrannya.
2. Harus ada usaha membedakan jelas anatra norma dan fakta.
3. Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi sipeneliti.
4. Penelitian harus sistematis dan menuju pembentuka teori baru.
5. Ilmu politik harus bersifat murni.
Salah satu cirri khas pendidikan prilaku ini adalahpandangan bahwa masyarakat dapat melihat sebagai
suatu system social, dan Negara sebagai system politikyang menjadi subsistem dari system social.Gabriel
Almond berpendapat bahwa semua system mempunyai stuktur , dan unsur-unsur dari stuktur ini
menyelengarakan beberapa fungsi. Fungsi bergantung pada system dan juga bergantung pada fungsi-
fungsi lainnya.
System politik mempunyai 2 fungsi yaitu Masukan dan Keluaran. Keduanya terpengaruh oleh sifat dan
kecenderungan pada para actor politik. Ada 4 fungsi input dan 3 fungsi output. Yaitu input ialah
sosialisasi politik dan rekrutmen, artikulasi, kepentingan, himpunan kepentingan. Sedangka output yaitu
membuat peraturan, mengaplikasikan
C. Pendekatan Neo-Marxis
Kalangan Neo-Marxis berasal dari kalanagan cendekiawan yang berasal dari Kalangan “Bor juis”. Seprti
cendekiawan lainnya mereka enggan bergabung debgan partai politik atau organisasi. Para Neo-Marxis
ini, disatu sisi menolak komunisme dari uni-soviet, di pihat lain tidak setuju dengan kapitalisme.
Salah satu kelemahan pada golongan ini adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan unia
yang banyak berubah. Marx meninggal pada tahun 1883.pemikirannyalah yang yang ditafsirkan menjadi
Marxisme.
Dalam rangka holistic, mereka berpendapat bahwa keseluruhan gejala social merupakan gejala kesatuan
yang tidak boleh dibagi-bagi menjadi bagian-bagian tersendiri.
D. Pendekatan Ketergantungan
Bertolak belakang dengan konsep lenin mengenai imprealisme, mereka beranggapan bahwa
imprealisme masih hisup tapi dalam bnetuk lain seprti ekonomi yang didominasi Negara-negara kaya.
Pembangunan Negara kurang maju selalu berkaitan dengan kepentingan pihak lain seperti:
1. Negara jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia atau sumber daya alam.
2. Negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi Negara maju.
Ander Gunder Frank berpendapat bahwa penyelesaian masalah hanyalah melalui revolusi social secara
global.
Mereka berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala seluruh dunia. Yang menarik adalah
pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini. Dan itu dapat
dilihat dari membumbungnya hutang dan kesenjangan social.