OLEH
34.0013/F-1
TAHUN 2024
i
Pendekatan
1. Pendekatan Legal/Institusional
Pendekatan ini sering dinamakan pendekatan tradisional dan mulai
berkembang pada abad ke 19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam
pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional dan
yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut undang-undang dasar, masalah
kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Dengan demikian
pendekatan tradisional ini mencangkup baik unsur legal maupun unsur institusional.
Seandainya kita ingin mempelajari parlemen dengan pendekatan ini maka
yang akan dibahas adalah kekuasaan serta wewengan yang dimilikinya, seperti
tertuang dalam naskah-naskah resmi (undang undang dasar, undang undang atau
peraturan tata tertib). Para Peneliti Tradisional tidak mengkaji apakah lembaga itu
memang terbentuk dan berfungsi seperti yang dirumuskan dalam naskah-naskah
resmi tersebut. Pada saat bersamaan pendekatan tradisional tidak menghiraukan
organisasi-organisasi Informal. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskriftif dari
pada analistis.
Pendekatan Tradisional lebih sering bersifat normative yaitu Sesuai dengan
ideal atau standard tertentu dengan mengasumsikan norma norma demokrasi barat.
menurut penglihatan ini,negara ditafsirkan sebagai badan dari norma-norma
konstitusional yang formal ( a body of formal constitutional norms ). Contoh dari
pendekatan ini adalah karya R.Kranenbrug, berjudul Algemene Staatsleer, yang
dalam terjemahannya dengan judul Ilmu Negara Umum.
Sementara itu, pada pertengahan dasawarsa 1930-an Beberapa sarjana di
amerika serikat mulai mengemukakan suata pandangan yang lebih melihat politik
sabagai kegiatan atau proses, dan negara sebagai sarana pembuatan kekuasaan antara
berbagai kelompok dalam masyarakat. Bagi mereka, esensi dari politik adalah
kekuasaan, terutama kekuasaan untuk menentukan kebijakan publik. Gerakan ini
telah sedikit banyak memperlunak kekakuan pendekatan tradisional selama ini.
Di Amerika Serikat pandangan baru ini memang lebih mudah dapat diterima
karena keadaan di Eropa. Kedatangan berbagai macam kelompok etnis dari Eropa
secara bergelombang, menjadikan para sarjana lebih terbuka untuk mengembangkan
suatu visi yang tidak hanya membatasi diri pada lembaga-lembaga formal, melainkan
juga mencakup proses-proses yang berlangsung.
Akan tetapi penelitian mengenai kekuasaan dalam praktiknya sangat sukar
untuk dilaksanakan. Walau demikian, pandangan untuk membuka perhatian pada
kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya pendekatan lain yang lebih bersifat
fungsional dan pendekatan ini cenderung mendesak konsep kekuasaan dari
kedudukan sebagai satu – satunya faktor penentu, sehingga hanya menjadi salah satu
faktor dari berbagai faktor dalam proses membuat dan melaksanakan kekuasaan.
2. Pendekatan Perilaku
Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun
1950-an sesuai perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai
berikut.Pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan , karena
tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada
kekawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan
dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber
(1864-1920) dan Talcott Parson (1902-1979), antropologi, dan psikologi. Ketiga,
dikalangan pemerintahan Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan
para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena Politik.
Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada
gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak
banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya,
lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behafior) manusia karena merupakan
gejala yang benar-benar dapat diaamati. Pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri
khas yang revolusioner yaitu suatu organisasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu
politik.
Mereka pada umumnya meniliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia,
melainkan juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti, sikap, motivasi,
persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Di samping itu, pendekatan
perilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusioner yaitu suatu revolusioner
yang kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini terdiri dari beberapa
konsep pokok yang dipelopori oleh Davied Easton (1962) dan Albert Somit (1967)
yaitu:
Perilaku politik menampilkan keteraturqan yang perlu dirumuskan sebagai
dasar umum yang kemudian diuji kebenaranya yang dimana dukur dari data
statistika dan matematika
Harus ada usaha membedakan norma dan fakta
Analisis politik tidak boleh mencerminkan pemikiran pribadi setiap analisis
harus bebas-nilai sebab nilainya tidak dapat diukur secara ilmiah.
Penelitian harus sistematis dan menuju pembetukan teori
Ilmu politik harus bersifat murni, kajian terapan untuk mencari penyelesaian
masalah dan menyusun rencana penyelesaian masalah.
Salah satu Pelopor pendekatan perilaku ini adalah Gabriel Abrahan Almond.
Ia berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur ( institusi atau lembaga) .
Sistem Politik Menyelenggarakan 2 fungsi, yaitu fungsi Masukan (input) dan keluar
(output), Menurut Almond ada lebih dari empat fungsi input dan tiga fungsi output
Input ialah sosialisasi politik dan rekrutmen, artikulasi kepentingan, himpunan
kepentingan, dan komunitas politik. Kemudian dalam perkembangannya Almond
mengubah istilahnya menjadi tiga fungsi, yakni fungsi kapasitas,fungsi konversi, dan
pemeliharaan. Output ada tiga fungsi, yaitu membuat peraturan, mengaplikasikan
peraturan, dan memutuskan peraturan.
Ia mengutarakan bahwa dalam suatu sistem politik ada suatu aliran terus –
menerus dari input ke output dari bolak – balik unput terdiri atas tuntunan dan
dukungan yang berasal dari lingkungan. Sistem politik yang terdiri dari pembuat
keputusan dan aktor politik lainya. Menerima input ini dan menunggu reaksi terhadp
kebijakan. Ini seperti black box yang terdiri dari intitusi poltiik dan menghasilkan
output ke dalam keputusan otoritatif. Output ini pun kembali ke dalam lingkaran
umpan balik. Selalu terjadi proses mencari keseimbangan melalui proses yang
dinamis.
3. Pendekatan Neo-Marxis
Para marxis ini, yang sering Neo-Marxis untuk membedakan mereka dari
orang Marxis klasik yang lebih dekat dengan dengan komunisme, bukan merupakan
kelompok yang ketat organis asinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama.
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari
kalangan ‘borjuis’ dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan
diri dalqm organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan
politik praktis.
Para Neo-marxis ini, disatu pihak menolak komunisme dari Uni Soviet karena
sifatnya yang represif, tapi di pihak lain mereka juga tidak setuju dengan banyak
aspek dari masyarakat kapitalis dimana mereka berada. Begitu pula mereka kecewa
dengan kalangan sosial-demokrat. Meskipun kalangan sosial-demokrat berhasil
melakasanakan konsep Negara kesejahteraan di beberapa negara Eropa Barat dan
Utara dan meningkatkan keadilan sosial untuk warganya, tetapi mereka dianggap
gagal menghapuskan banyak kesengjangan sosial lainnya.
Di Amerika Serikat, tidak lama sesuai Perang Dunia II, timbul perasaan anti-
komunis dan anti-Soviet yang kuat, yang kemudian terjelma menjadiapa yang
dinamakan Perang Dingin. Di Amerika, dengan diterimanya internal security Act atau
lebih terkenal dengan sebutan McCarren Act (1950) dan aksi-aksi yang dilontarkan
oleh senator Joseph McCarthy, setiap pemikiran yang berbeda dengan apa yang
berlaku umum dicurigai dan di anggap subersif.
Bangkitnya kemabali perhatian pada tulisan-tulisan Marx ini berbarengan
dengan beberapa kejadian di berbagai belahan dunia. Pertama, perubahan yang
mendasar di dunia komunis internasional sesudah Stalin meninggal pada tahun 1953.
Kedua, munculnya China (Republik Rakyat China) sebagai penantang terhadap
domisi Uni Soviet dalam dunia Komunis. Ketiga, terjadinya proses dekolonisasi di
belahan-belahana dunia yang selama ini dijajah. Keempat, muncul berbagai gerakan
sosial, seperti gerakan perempuan, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, dan
gerakan anti-rasialisme.
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa
mereka mempelajari Marx dalam kedaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx
dan Engels meninggal pada tahun 1883 dan 1895. Kedua tokoh ini tidak mengalami
bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsir khusus oleh Lenin. Tafsiran
ini yang kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme atau
Komunisme.
Fokus analisis Neo Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam
negara. Mereka mengecam analisis struktrural-fungsional dari para behavioralis
karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu
sistem politik. Menurut pandangan structural-fungsional, konflik dalam masyarakat
dapat diatasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda
dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.
Selain dari itu ada Marxis Eksistensial, yang terutama berkembang di Perancis
pada dasawarsa 1960-an. Tokohnya yang paling terkenal diantaranya adalah
cendekiawan Jean Paul Sartre (1905-1980). Marxisme Strukturalis lahir petengahan
dasawarsa 1960-an juga di perancis. Mereka banyak memakai analisis interdisipliner
dengan mengikutsertakan sosiologi, filsafat, ekonomi serta sejarah, dan kebanyakan
beranjak dari tradisi intelektual di Eropa. Perlu disebut juga mereka jarang
menganalisis sistem politik dan ekonomi Uni Soviet, sehingga kadang-kadang
memberi kesan mereka menyetujuinya. Satu dua diantara mereka berusaha
menganalisis sistem politik dan ekonomi soviet dengan perangkat analisis system
politik dan ekonomi Uni Soviet dengan perangkat analisi Neo-Marxis sampai pada
kesimpulan bahwa sistem ekonomi Uni Soviet pada dasarnya adalah kapitalisme
negara (state capitalism).
Budiharjo, Miriam, Prof. 2018. Pengantar Ilmu Politik. Penerbit Gramedia. Jakarta