Anda di halaman 1dari 14

PENGANTAR ILMU POLITIK

OLEH

MUHAMMAD ILHAM SURYA BISMI

34.0013/F-1

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

TAHUN 2024

i
Pendekatan

1. Pendekatan Legal/Institusional
Pendekatan ini sering dinamakan pendekatan tradisional dan mulai
berkembang pada abad ke 19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam
pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional dan
yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut undang-undang dasar, masalah
kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Dengan demikian
pendekatan tradisional ini mencangkup baik unsur legal maupun unsur institusional.
Seandainya kita ingin mempelajari parlemen dengan pendekatan ini maka
yang akan dibahas adalah kekuasaan serta wewengan yang dimilikinya, seperti
tertuang dalam naskah-naskah resmi (undang undang dasar, undang undang atau
peraturan tata tertib). Para Peneliti Tradisional tidak mengkaji apakah lembaga itu
memang terbentuk dan berfungsi seperti yang dirumuskan dalam naskah-naskah
resmi tersebut. Pada saat bersamaan pendekatan tradisional tidak menghiraukan
organisasi-organisasi Informal. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskriftif dari
pada analistis.
Pendekatan Tradisional lebih sering bersifat normative yaitu Sesuai dengan
ideal atau standard tertentu dengan mengasumsikan norma norma demokrasi barat.
menurut penglihatan ini,negara ditafsirkan sebagai badan dari norma-norma
konstitusional yang formal ( a body of formal constitutional norms ). Contoh dari
pendekatan ini adalah karya R.Kranenbrug, berjudul Algemene Staatsleer, yang
dalam terjemahannya dengan judul Ilmu Negara Umum.
Sementara itu, pada pertengahan dasawarsa 1930-an Beberapa sarjana di
amerika serikat mulai mengemukakan suata pandangan yang lebih melihat politik
sabagai kegiatan atau proses, dan negara sebagai sarana pembuatan kekuasaan antara
berbagai kelompok dalam masyarakat. Bagi mereka, esensi dari politik adalah
kekuasaan, terutama kekuasaan untuk menentukan kebijakan publik. Gerakan ini
telah sedikit banyak memperlunak kekakuan pendekatan tradisional selama ini.
Di Amerika Serikat pandangan baru ini memang lebih mudah dapat diterima
karena keadaan di Eropa. Kedatangan berbagai macam kelompok etnis dari Eropa
secara bergelombang, menjadikan para sarjana lebih terbuka untuk mengembangkan
suatu visi yang tidak hanya membatasi diri pada lembaga-lembaga formal, melainkan
juga mencakup proses-proses yang berlangsung.
Akan tetapi penelitian mengenai kekuasaan dalam praktiknya sangat sukar
untuk dilaksanakan. Walau demikian, pandangan untuk membuka perhatian pada
kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya pendekatan lain yang lebih bersifat
fungsional dan pendekatan ini cenderung mendesak konsep kekuasaan dari
kedudukan sebagai satu – satunya faktor penentu, sehingga hanya menjadi salah satu
faktor dari berbagai faktor dalam proses membuat dan melaksanakan kekuasaan.

2. Pendekatan Perilaku
Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun
1950-an sesuai perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai
berikut.Pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan , karena
tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada
kekawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan
dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber
(1864-1920) dan Talcott Parson (1902-1979), antropologi, dan psikologi. Ketiga,
dikalangan pemerintahan Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan
para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena Politik.
Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada
gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak
banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya,
lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behafior) manusia karena merupakan
gejala yang benar-benar dapat diaamati. Pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri
khas yang revolusioner yaitu suatu organisasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu
politik.
Mereka pada umumnya meniliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia,
melainkan juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti, sikap, motivasi,
persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Di samping itu, pendekatan
perilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusioner yaitu suatu revolusioner
yang kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini terdiri dari beberapa
konsep pokok yang dipelopori oleh Davied Easton (1962) dan Albert Somit (1967)
yaitu:
 Perilaku politik menampilkan keteraturqan yang perlu dirumuskan sebagai
dasar umum yang kemudian diuji kebenaranya yang dimana dukur dari data
statistika dan matematika
 Harus ada usaha membedakan norma dan fakta
 Analisis politik tidak boleh mencerminkan pemikiran pribadi setiap analisis
harus bebas-nilai sebab nilainya tidak dapat diukur secara ilmiah.
 Penelitian harus sistematis dan menuju pembetukan teori
 Ilmu politik harus bersifat murni, kajian terapan untuk mencari penyelesaian
masalah dan menyusun rencana penyelesaian masalah.

Salah satu Pelopor pendekatan perilaku ini adalah Gabriel Abrahan Almond.
Ia berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur ( institusi atau lembaga) .
Sistem Politik Menyelenggarakan 2 fungsi, yaitu fungsi Masukan (input) dan keluar
(output), Menurut Almond ada lebih dari empat fungsi input dan tiga fungsi output
Input ialah sosialisasi politik dan rekrutmen, artikulasi kepentingan, himpunan
kepentingan, dan komunitas politik. Kemudian dalam perkembangannya Almond
mengubah istilahnya menjadi tiga fungsi, yakni fungsi kapasitas,fungsi konversi, dan
pemeliharaan. Output ada tiga fungsi, yaitu membuat peraturan, mengaplikasikan
peraturan, dan memutuskan peraturan.
Ia mengutarakan bahwa dalam suatu sistem politik ada suatu aliran terus –
menerus dari input ke output dari bolak – balik unput terdiri atas tuntunan dan
dukungan yang berasal dari lingkungan. Sistem politik yang terdiri dari pembuat
keputusan dan aktor politik lainya. Menerima input ini dan menunggu reaksi terhadp
kebijakan. Ini seperti black box yang terdiri dari intitusi poltiik dan menghasilkan
output ke dalam keputusan otoritatif. Output ini pun kembali ke dalam lingkaran
umpan balik. Selalu terjadi proses mencari keseimbangan melalui proses yang
dinamis.

 Kritik Terhadap Pendekatan Perilaku


Dalam perkembangannya Pendekatan Perilaku pun tidak luput dari kritik
yang datang dari berbagai pihak. Kalangan tradisionalis yang tadinya menjadi sasaran
utama dari kecaman kaum perilaku (behavioralis) kelihatannya tidak tinggal diam
dan mempertahankan diri dengan sengit. Juga dilontarkan kritik bahwa Pendekatan
Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak
memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti survei mengenai
perilaku pemilih, sikap politik, dan pendapat umum.
Lagi pula pendekatan ini tidak peduli atau buta terhadap masalah – masalah
sosial yang gawat seperti konflik dan pertentangan – pertentangan pada saat itu yang
menguncang masyarakat. Perbedaan antara tradisionalis dengan para behavioralis
dapat disimpulkan sebagai berikut: jika para tradisionalis menekankan nilai dan
norma – norma, maka para behavioralis menekankan fakta. Jika tradisionalis
menenkankan segi filsafat, maka para behavioralis menenkankan penelitian empiris.
Jika para tradisionalis menonjolkan aspek historis-yudiris maka para behavioralis
mengutamakan aspek sosiologis-psikologis. Jika para tradisionalis memilih metode
kualitatif, maka para behavioralis mementingkan metode kuantitatif.
Akan tetapi pada pertengahan Dasawarsa 1960-an, kritik juga tumbuh
dikalangan behavioralis sendiri, yang mencapai puncaknya ketika perang Vietnam
berlangsung. Revolusi pasca-perilaku ini dipelopori oleh David Easton sendiri.
Kecaman ini timbul karena banyaknya masalah yang meresahkan masyarakat, seperti
lomba persenjataan dan diskriminasi ras, masalah yang tidak ditangani apalagi
diselesaikan oleh para sarjana behavioralis. Sejumlah kalangan behavioralis
menyadari bahwa mereka telah gagal meramalkan ataupun mengatasi keresahan yng
ditimbulkan oleh perang Vietnam. Maka dari itu, gerakan Pasca-Perilaku ini malahan
mencanangkan perlunya relevansi dan tindakan. Gerakan ini ntidak menolakan
pendekatan perilaku seluruhnya, hanya mengecam skala prioritasnya. Akan tetapi ia
mendukung sepenuhnya pendekatan Perilaku mengenai perlunya meningkatkan mutu
ilmiah ilmu politik.
Pada tahun 1969 David Eston, pelopor Pendekatan Perilaku yang kemudian
medukung Pendekatan Pasca-Perilaku, dalam tulisanya Revolution in Political
Science merumuskan pokok – pokok Credo of Relevance yaitu:
 Dalam usaha mengadakan penilitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik
menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang
dihadapi. Padahal menangani masalah sosial lebih mendesak ketimbang
mengejar kecermatan dalam penelitian.
 Pendekatan Perilaku bersifat konservatif, sebab terlalu menekankan
keseimbangan dan stabilitas dalam suatu sistem dan kurang memperhatikan
gejala perubahan yang terjadi di masyarakat.
 Dalam penelitian tidak boleh adanya bebas-nilai dalam evaluasinya. Malahan
harus melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah – masalah sosial dan
mempertahankan nilai – nilai kemanusiaan.
 Mereka harus satu tujuan bahwa mereka ingin adanya perubahan yang baik di
dalam masyarakat.
Perlu dicatat bahwa, disatu pihak, kecaman para penganut pendekatan Pasca-
Perilaku dalam beberapa aspek mirip dengan kritik yang di lontarkan oleh sarjan
tradisionalis. Perbedaannya ialah bahwa para tradisionalis ingin mempertahankan
hal-hal yang lama, sedangkan kalangan pasca-perilaku melihat ke masa depan.

3. Pendekatan Neo-Marxis
Para marxis ini, yang sering Neo-Marxis untuk membedakan mereka dari
orang Marxis klasik yang lebih dekat dengan dengan komunisme, bukan merupakan
kelompok yang ketat organis asinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama.
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari
kalangan ‘borjuis’ dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan
diri dalqm organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan
politik praktis.
Para Neo-marxis ini, disatu pihak menolak komunisme dari Uni Soviet karena
sifatnya yang represif, tapi di pihak lain mereka juga tidak setuju dengan banyak
aspek dari masyarakat kapitalis dimana mereka berada. Begitu pula mereka kecewa
dengan kalangan sosial-demokrat. Meskipun kalangan sosial-demokrat berhasil
melakasanakan konsep Negara kesejahteraan di beberapa negara Eropa Barat dan
Utara dan meningkatkan keadilan sosial untuk warganya, tetapi mereka dianggap
gagal menghapuskan banyak kesengjangan sosial lainnya.
Di Amerika Serikat, tidak lama sesuai Perang Dunia II, timbul perasaan anti-
komunis dan anti-Soviet yang kuat, yang kemudian terjelma menjadiapa yang
dinamakan Perang Dingin. Di Amerika, dengan diterimanya internal security Act atau
lebih terkenal dengan sebutan McCarren Act (1950) dan aksi-aksi yang dilontarkan
oleh senator Joseph McCarthy, setiap pemikiran yang berbeda dengan apa yang
berlaku umum dicurigai dan di anggap subersif.
Bangkitnya kemabali perhatian pada tulisan-tulisan Marx ini berbarengan
dengan beberapa kejadian di berbagai belahan dunia. Pertama, perubahan yang
mendasar di dunia komunis internasional sesudah Stalin meninggal pada tahun 1953.
Kedua, munculnya China (Republik Rakyat China) sebagai penantang terhadap
domisi Uni Soviet dalam dunia Komunis. Ketiga, terjadinya proses dekolonisasi di
belahan-belahana dunia yang selama ini dijajah. Keempat, muncul berbagai gerakan
sosial, seperti gerakan perempuan, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, dan
gerakan anti-rasialisme.
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa
mereka mempelajari Marx dalam kedaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx
dan Engels meninggal pada tahun 1883 dan 1895. Kedua tokoh ini tidak mengalami
bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsir khusus oleh Lenin. Tafsiran
ini yang kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme atau
Komunisme.
Fokus analisis Neo Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam
negara. Mereka mengecam analisis struktrural-fungsional dari para behavioralis
karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu
sistem politik. Menurut pandangan structural-fungsional, konflik dalam masyarakat
dapat diatasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda
dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.
Selain dari itu ada Marxis Eksistensial, yang terutama berkembang di Perancis
pada dasawarsa 1960-an. Tokohnya yang paling terkenal diantaranya adalah
cendekiawan Jean Paul Sartre (1905-1980). Marxisme Strukturalis lahir petengahan
dasawarsa 1960-an juga di perancis. Mereka banyak memakai analisis interdisipliner
dengan mengikutsertakan sosiologi, filsafat, ekonomi serta sejarah, dan kebanyakan
beranjak dari tradisi intelektual di Eropa. Perlu disebut juga mereka jarang
menganalisis sistem politik dan ekonomi Uni Soviet, sehingga kadang-kadang
memberi kesan mereka menyetujuinya. Satu dua diantara mereka berusaha
menganalisis sistem politik dan ekonomi soviet dengan perangkat analisis system
politik dan ekonomi Uni Soviet dengan perangkat analisi Neo-Marxis sampai pada
kesimpulan bahwa sistem ekonomi Uni Soviet pada dasarnya adalah kapitalisme
negara (state capitalism).

4. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)


Teori ketergantungan adalah kelompok yang mengkhususkan penelitianmya
pada hubungan antara negara Dunia pertama dan Dunia ketiga. Kelompok ini
menarik perhatian besar pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an, tetapi sebenarnya
pada tahun 1960-an sudah mulai dirintis, antara lain oleh Paul Baran, yang kemudian
disusul oleh Andre Gunder Frank.
Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperialisme, kelompok ini berpendapat
bahwa imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi
dari negara-negar kaya terhadap negara-negara yang kurang maju (underdeveloped).
Negara-negara maju memang telah melepaskan tanah jajahannya, tetapi tetap
mengendalikan (mengontrol) ekonominya.
Pembagunan yang dilakukan oleh negara berkembang sering kali tidak dapat
berkembang dengan pesat karena selalu ada kepentingan yang dibuat oleh negara
maju. Pertama, didalam negara berkembang biasanya memiliki sumber daya alam
yang sangat melimpah, negara maju akan melakukan investasi besar – besaran karena
pada saat itu pasti harga tanah rendah, gaji dan upah yang kecil, dan bahan baku yang
murah. Kedua, negara berkembang selalu tidak berkembang karena hanya dijadikan
pasar produksi oleh negara barat karena negara itu selalu ingin membeli tanpa adanya
keinginan untuk memproduksi barang sendiri – sendiri.
Yang paling ekstrem adalah pemikiran pelopor Teori Ketergantungan, Andre
Gunder Frank (Tahun 1960-an) yang berpendapat bahwa penyelesaian masalah itu
hanyalah melalui revolusi sosial secara global. Sementara penulis lain seperti
Hanrique Cardoso (1979) menganggap bahwa penggunaan yang independen ada
kemungkinan terjadi, sehingga revolusi sosial tidak mutlak harus terjadi.
Yang menarik dari tulisan-tulisan kalangan pendukung Teori ketergantungan
(dependencia), yang pada awalnya memusatkan perhatian pada negar-negara
Amerika Selatan, adalah pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap
akibat dari dominasi ekonomi ini. Ini bisa terlihat dari menumpuknya utang negara
dan kesenjangan sosial ekonomi dari pembangunan di banyak negara dunia ketiga.

5. Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice)


Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah pertentangan
antara pendekatan-pendekatan yang dibicarakan diatas mencapai semacam konsesus
yang menunjukan adanya pluralitas dalam bermacam-macam pandangan. Berbagai
negara baru menyusun rencana-rencana pembangunan, sedangkan beberapa negara
kaya turut membantu melalui bemacam-macam oraganisasi Internasional atau secara
bilateral.
Pelaku Dalam ilmu politik pada umumnya, dikenal nama Pendekatan Pilihan
Rasional, sementara itu juga ada beberapa nama lain seperti Public Choice dan
Collective Choice. Akhir-akhir ini berbagai variasi analisis ini telah mengembangkan
satu bidang ilmu politik tersendiri, yaitu Ekonomi Politik (Political Ekonomy).
Pengikut pendekatan ini menimbulkan kejutan karena menmcananghkan bahwa
mereka telah meningkatkan ilmu politik menjadi satu ilmu yang benar-benar science.
Intinya dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam
dunia politik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan yang
mencemirkan apa yang diamggap kepentingan diri sendiri. Ia melakukan hal dalam
situasi terbatasnya sumber daya, dan karena itu ia harus membuat pilihan. Untuk
menetukan suatu sikap dan tindakan yang efesien ia harus memilih antara beberapa
alternatif mana yang akan membawa keuntungan dan kegunaan yang paling
maksimal baginya.
Rational Action ini, terutama politisi, birokrat, pemilih (dalam berbagai acara
pemelihan), dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois dan segala tindakannya
berdasarkan kecenderungan ini. Mereka selalu mencari cara yang efesien untuk
mencapai tujuannya. Optimalisasi kepentingan dan efisien merupakan inti dari teori
Rational Choice
Sekalipun berbagai penganut Rational Choice mempunyai penjelasan yang
berbeda-beda, substansi dasar dsari doktrin ini telah dirumuskan oleh James B. Rule,
sebagai berikut:
1. Tindakan manuasi (human action) pada dasarnya adalah “instrumen” (dalam
arti:alat bantu), agar perilaku ,manusia dapat dijelaskan sebagai sebagai usaha
untuk mencapai suatu tujuan yang sedikit banyak jarak jauh.
Untuk manusia, atau untuk kesatuan yang lebih besar, tujuan atau nilai
tersusun secara hierarkis yang mencermikan preferensinya mengenai apa yang
dikehendakinya atau diperlukannya. Hierarki preferensi ini relative stabil.
2. Para aktor merumuskan perilkunya melalui perhitungan rasional mengenai
aksi mana yang akan memaksimalkan keuntungannya. Informasi relevan yang
dimilki oleh aktor sangat memengaruhi hasil dari perhitunganya.
3. Proses-proses sosial berskala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi
dan praktik-pratik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu.
Aplikasi teori ini sangat kompleks. Model-model dan metode ekonomi
diaplikasikan terutama dalam penelitian mengenai pola-pola voting dalam pemilihan
umum, pembentukan kabinet, sistem pemerintahan parlementer, badan-badan
legislatif, dan pendirian patrai politik dan kelompok kepentingan. Mazhab inin sangat
dibentang oleh para penganut Structural-functionalism Karena diaggap tidak
memerhatikan kenyataan bahwa manusia dalam berperilaku poltiknya sering tidak
rasiuonal, bahwa manusia sering tidak mempunyai skala preferensi yang tegas dan
stabil, dan bahwa ada pertimbangan lain yang turut menetukan sikapnya, seperti
faktoir budaya, agama, sejarah, dan moralitas.
Pendekatan Institusionalisme Baru mengapa disebut Institusionalisme Baru?
Oleh karena ia merupakan penyimpangan dari Institusionalisme Lama.
Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat dipeebaiki
kearah suatu tujuan yang tertentu, spewrti misalnya membangun masyarakat yang
lebo9h makmur.
Institusionalisme Baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat
politik dan kebijhakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa,
dan pemerintah sebagai intitusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu.
Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh para aktor serta pilihanya. Dengan
demikian kedudukan sentral dari institusi-istitusi dalam membentuk kebijakan publik
dinomorduakan.
Apakah istitusi politik? Ada semacam konsesus bahwa inti dari institusi
politik adalah rules of the game (aturan main). Yang menjadi masalah ialah aturan
yang mana, dan bagaimana sifatnya, formal seperti perundang-undangan, atau
informal seperti kebiasaan, norma sosial dan kebudayaan. Institusi tidak hanya
merupakan refleksi dari kekuatan sosial. Institusi seperti pemerintah, parlemen, partai
politik, dan birokrasi mempunyai kekuatan sendiri, dan para aktor harus
menyesuaikan diri padanya.
Institusional Baru menjadi sangat penting bagi negara-negara yang baru
membebaskan diri dari cengkraman suatu rezim yang otoriterserta represif. Bagi
penganut Institusional Baru, pokok masalah ialah bagaimana membentuk institusi
yang dapat menghimpun secara efektif sebanyak mungkin prefensi dari para aktor
untuk membentuk kepentingan kolektif.
Perbedaannya dengan Instusionalisme yang lama ialah perhatian Instusional
Baru lebih tertuju pada analis ekonomi, kebijakan fisikal dan monoter, pasar dan
Globalisasi ketimbang pada masalah konstitusi yuridis.

Pendekatan Institusionalisme Baru


Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang lain, pendekatan ini lebih
mengenai ekonomi dan sosiologi. Mengapa disebut Institusionalisme Baru karena
mereka melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah seperti apa
yang statis. Mereka membuat sebuah rencana dan strategi yang praktis untuk
menentukan langkah – langkah untuk mencapai rakyat yang makmur.
Intitusisionalisme Baru melihat kebijakan politik sebagai hasil dari perilaku
kelompok besar dan massa. Bentuk dan sifat dari institusi itu dipengaruhi oleh orang
di dalamnya.
Institusi politik adalah organisasi yang tertata melalui pola dan perilaku yang
diatur oleh peraturan yang diterima oleh standart dan memiliki rule of game (aturan
main). Mengapa institusi ada? Karena manusia menyadari bahwa setiap warga negara
memiliki kepentingan sendiri akan tetapi ia menyakini bahwa ada kepentingan
bersama dibalik itu. Warga masyarakat menginginkan peraturan itu dilaksanakan dan
untuk itu mereka membentuk beberapa institusi untuk melaksanakan kepentingan
kolektif itu. Maka timbulah institusi seperti parlemen, konstitusi, birokrasi, sistem
partai, dan sistem peradilan yang semua termasuk ke dalam sistem politik.
Institusi – institusi memengaruhi dan menentukan cara para aktor yang
berusaha mencapai tujuanya. Institusi mempunyai kekuasaan sedikit banyak otonom
dan para aktor yang ingin mengubah institusi tertentu akan mempertimbangkan akibat
yang sering tidak diketahui. Inti dari Institusionalisme Baru menurut Robert E.
Goodin yaitu:
 Aktir dan kelompok melaksanakan sebuah kontrak yang dibatasi oleh kolektif.
 Pembatasan itu terdiri dari norma dan pola peran yang ada di dalam
kehidupan sosial.
 Pembatasan ini memberikan keuntungan kepada individu atau kelompok
dalam mengejar proyek mereka masing – masing
 Didalam pembatasan itu juga membentuk preferensi dan motivasi dari aktor
dan kelompok
 Pembatasan ini merupakan peninggalan yang sudah dilakukan waktu yang
lalu.
 Pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta
kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok.

Institusionalisme Baru sangat penting bagi perkembangan negara baru yang


ingin membebaskan dari suatu rezim otoriter. Bagi penganut Institusionalisme Baru,
pokok masalah ialah bagaimana membentuk institusi yang dapat menghipun secara
efektif semua preferensi untuk menentukan kepentingan kolektif. Dengan membentuk
suatu strategi dari suatu rencana aksi yang bernilai untuk negara – negara yang
sedang dalam transisi ke demokrasi, Institusinalisme Baru menjadi alat yang sangat
penting.
Daftar Pusaka

Budiharjo, Miriam, Prof. 2018. Pengantar Ilmu Politik. Penerbit Gramedia. Jakarta

Parmadisme. 2012. Konsep Ilmu Politik

Anda mungkin juga menyukai