Pendekatan Legal/Institusional
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih
sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan
ideal atau standar tertentu) dengan
mengasumsikan norma-norma demokrasi
Barat. Di samping itu, bahasan biasanya
terbatas pada negara-negara demokrasi Barat,
seperti Inggris, Amerika, Prancis, Belanda dan
Jerman. Pendekatan ini cenderung untuk
mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan
sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga
menjadi hanya salah satu dari sekian banyak
faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling
penting) dalam proses membuat dan
melaksanakan keputusan.
Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika
pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapun sebab-
sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama, sifat
desktiptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena
tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-
hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak
maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibanding dengan
ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max
Weber (1864-1920) dan Talcott Parson (1902-1979),
antropologi dan psikologi. Ketiga, di kalangan pemerintah
Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan sarjana
ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
Pendekatan Perilaku
Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa
tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena
pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai
proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk
mempelajari perilaku (behaviour) manusia karena merupakan gejala
yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini tidak menganggap
lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang
independent, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia.
Behavoralis
Sejumlah kalangan behavioralis menyadari
bahwa mereka telah gagal meramalkan
ataupun mengatasi keresahan yang
ditimbulkan oleh perang Vietnam. Maka dari
itu, gerakan Pasca-Perilaku ini malahan
mencanangkan perlunya relevansi dan
tindakan (relevance and action).
Gerakan ini tidak menolak Pendekatan
Perilaku seluruhnya, hanya mengecam skala
prioritasnya. Akan tetapi ia mendukung
sepenuhnya Pendekatan Perilaku mengenai
perlunya meningkatkan mutu ilmiah ilmu
politik.
Sementara para penganut Pendekatan
Perilaku sibuk menangkis serangan dari para
sarjana Pasca-Perilaku, muncullah kritik dari
kubu lain, yaitu dari kalangan Marxis. Para
Marxis ini, yang sering dinamakan Neo-
Marxis untuk memmbedakan mereka dari
orang Marxis klasik yang lebih dekat dengan
komunisme, bukan merupakan kelompok
yang ketat organisasinya atau mempunyai
pokok pemikiran yang sama.
Pendekatan Neo-Marxis
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah
cendekiawan yang berasal dari kalangan
“borjuis” dan seperti cendekiawan di
mana-mana, enggan menggabungkan diri
dalam organisasi besar seperti partai
politik atau terjun aktif dalam kegiatan
politik praktis. Hanya ada satu atau dua
kelompok yang militan antara lain
golongan Kiri Baru (New Left).
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-
Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam
keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx dan
Engels tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka
dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran
ini kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama
Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Selain itu karya Marx
dan Engels sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu
sehingga tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat
fragmentaris dan terpisah-pisah. Dengan demikian banyak
masalah yang oleh golongan Neo-Marxis dianggap masalah
pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak
disinggung sama sekali.
Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan
serta konflik yang terjadi dalam negara. Mereka
mengecam analisis struktural-fungsional dari
para behavioralis karena terlampau
mengutamakan harmoni dan keseimbangan
sosial dalam suatu sistem politik. Menurut
pandangan struktural-fungsional, konflik dalam
masyarakat dapat diatasi melalui rasio, iktikad
baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda
dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.
Kalangan lain yang juga berada dalam rangka
teori-teori kiri, yang kemudian dikenal sebagai
Teori Ketergantungan, adalah kelompok yang
menkhususkan penelitiannya pada hubungan
antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga.
Bertolak dari konsep Lenin mengenai
imperalisme, kelompok ini berpendapat bahwa
imperalisme masih hidup, tetapi dalam bentuk
lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara
kaya terhadap negara-negara yang kurang maju.
Pendekatan Ketergantungan
(Dependency Theory)
Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang
kurang maju atau Dunia Ketiga, hampir selalu
berkaitan erat dengan kepentingan pihak Barat.
Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan
sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua,
negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil
produksi negara maju, sedangkan produksi untuk
ekspor sering ditentukan oleh negara maju.
Yang menarik dari tulisan-tulisan kalangan pendukung
Teori Ketergantungan, yang pada awalnya
memusatkan perhatian pada negara-negara Amerika
Selatan adalah pandangan mereka yang membuka
mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini.
Ini bisa terlihat dari membubungnya utang dan
kesenjangan sosial-ekonomi dari pembangunan di
banyak negara Dunia Ketiga.
Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah
pertentangan antara pendekatan-pendekatan yang dibicarakan
di atas mencapai semacam konsensus yang menunjukkan
adanya plularitas dalam bermacam-macam pandangan. Ia juga
lahir dalam dunia yang bebas dari peperangan besar selama
empat dekade, di mana seluruh dunia berlomba-lomba
membangun ekonomi negaranya.
Berbagai variasi analisis telah mengembangkan satu bidang
ilmu politik tersendiri, yaitu Ekonomi Politik (Political Economy).
Dikatakan bahwa Manusia Ekonomi (Homo Economicus) karena
melihat adanya kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi,
terutama dalam penentuan kebijakan publik. Teknik-teknik
formal yang dipakai para ahli ekonomi diaplikasikan dalam
penelitian gejala-gejala politik.