Anda di halaman 1dari 10

Seorang sarjana politik terkemuka, Vernon dan Dyke mengatakan bahwa : Suatu pendekatan (approach) adalah kriteria untuk

menyeleksi masalah dan data yang relevan. Dengan kata lain, istilah pendekatan mencakup standar atau tolak ukuryang dipakai untuk memilih masalah, menentukan data mana yang akan diteliti dan data mana yang akan dikesampingkan. Ilmu politik mengalami perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai pendekatan (approachs). Pendekatan Legal (yuridis) dan Institusional telah disusun dengan Pendekatan Prilaku, Pasca-Prilaku, dan Pendekatan Neo-Marxis. Selanjutnya, muncul dan berkembang pendekatan-pendekatan lainnya seperti Pilihan Rasional (Rational Choice), Teori Ketergantungan (Dependency Theory), dan Institusional Baru (New Institutionalism). Berikut ini akan dijelaskan secara rinci pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan diatas. PENDEKATAN LEGAL / INSTITUSIONAL Pendekatan Legal/Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional yang mulai berkembang pada abad 19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat dari UUD, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen/legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan tradisional ini mencakup baik unsur legal maupun unsur institusional. Pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Menurut penglihatan ini, negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal. Contoh dari pendekatan ini adalah karya R.Kranenburg, yang berjudul Algemene Staatsleer, yang terjemahannya telah lama beredar di Indonesia dengan judul Ilmu Negara Umum. Disamping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika, Prancis, Belanda, dan Jerman. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan ini kurang memberi peluang bagi terbentuknya teori-teori baru. Pendobrakan terhadap pendekatan tradisional terjadi dengan tumbuhnya Pendekatan Prilaku (Behavioral Approach).

PENDEKATAN PRILAKU Pendekatan Prilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut : Pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parsons (1902-1979), antropologi dan psikologi. Ketiga, di kalangan pemerintah Amerika muncul telah muncul keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut Pendekatan Prilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain prilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap RUU tertentu (apakah pro atau kontra, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, giat-tidaknya memprakarsai RUU, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang solusinya. Pendekatan Prilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusiner yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep yaitu sebagai berikut : 1. Prilaku politik menampilkan keteraturan yang perlu dirumuskan sebagai generalisasigeneralisasi yang kemudian dibuktikan kebenarannya. 2. 3. 4. 5. Harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma dan fakta. Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti. Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori. Ilmu politik harus bersifat murni, akan tetapi ilmu politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Salah satu pelopor Pendekatan Prilaku ini ialah Gabriel Abraham Almond, di samping sarjana seperti David Easton, Karl Deutsch, Robert Dahl, dan David Apter.

KRITIK TERHADAP PENDEKATAN PRILAKU Dalam perkembangannya Pendekatan Prilaku pun tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai pihak, antara lain dari kalangan tradisionalis, dari kalangan penganut Pendekatan Prilaku sendiri, dan juga dari para Neo-Marxis. Kritiknya adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan Prilaku tidak mengusahakan mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai, seperti apakah sistem politik demokrasi yang baik, atau bagaimana membangun masyarakat yang adil, dsb. (Kalangan Tradisionalis) 2. Tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti survei mengenai prilaku pemilih, sikap politik, dan pendapat umum. (Neo-Marxis) 3. Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kritik juga tumbuh di kalangan behavioralis sendiri, yang mencapai puncaknya ketika Perang Vietnam berlangsung. Revolusi PascaPrilaku ini dipelopori oleh David Easton sendiri. Pada tahun 1969, David Easton, pelopor Pendekatan Pasca-Prilaku merumuskan pokokpokok sebagai berikut : 1. Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang dihadapi. 2. Pendekatan Prilaku secara terselubung bersifat konservatif, sebab terlalu menekankan keseimbangan dan stabilitas dalam suatu sistem dan kurang memerhatikan gejala perubahan yang terjadi dalam masyarakat. 3. Dalam penelitian, nilai-nilai tidak boleh dihilangkan; ilmu tidak boleh bebas nilai dalam evaluasinya. Malahan para cendekiawan mengemban tugas untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah-masalah sosial dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. 4. Mereka harus merasa committed untuk aktif mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik. Perlu dicatat bahwa, di satu pihak, kecaman para penganut Pendekatan Pasca-Prilaku dalam beberapa aspek mirip dengan kritik yang dilontarkan oleh sarjana tradisionalis. Perbedaannya ialah bahwa para tradisionalis ingin mempertahankan hal-hal yang lama, sedangkan kalangan Pasca-Prilaku melihat ke masa depan.

PENDEKATAN NEO-MARXIS Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan borjuis dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan, antara golongan Kiri Baru. Para Neo-Marxis ini, di satu pihak menolak komunisme dari Uni Soviet karena sifatnya yang represif, tapi di pihak lain mereka juga tidak setuju dengan banyak aspek dari masyarakat kapitalis di mana mereka berada. Begitu pula mereka kecewa dengan kalangan sosial-demokrat. Meskipun kalangan sosial-demokrat berhasil melaksanakan konsep Negara Kesejahteraan di beberapa negara di Eropa Barat dan Utara dan meningkatkan keadilan sosial untuk warganya, tetapi mereka dianggap gagal menghapuskan banyak kesenjangan sosial lainnya. Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx dan Engels meninggal pada tahun 1883 dan 1895. Kedua tokoh ini tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran ini yang kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Dengan demikian banyak masalah yang oleh golongan Neo-Marxis dianggap masalah pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak disinggung sama sekali. Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu sistem politik. Bagi kalangan Neo-Marxis, konflik antarkelas merupakan proses dialektis paling penting dalam mendorong perkembangan masyarakat dan semua gejala politik harus dilihat dalam rangka konflik antarkelas ini. Hal ini tidak berarti bahwa kalangan Neo-Marxis ini mengabaikan konflikkonflik lain dalam masyarakat, seperti konflik etnis, agama, maupun rasial. Tetapi konflikkonflik ini menurut keyakinan mereka, langsung maupun tidak, berasal dari atau berhubungan erat dengan konflik kelas. Kaum Neo-Marxis memperjuangkan suatu perkembangan yang revolusioner serta multilinear untuk menghapuskan ketidakadilan dan membentuk tatanan masyarakat yang menurut mereka memenuhi kepentingan seluruh masyarakat dan tidak hanya kepentingan kaum borjuis. Kritik yang dilontarkan oleh sarjana ilmu politik arus utamma ialah bahwa para NeoMarxis lebih cenderung mengecam pemikiran sarjana borjuis daripada membentuk atau
4

membangun teori baru sendiri yang mantap. Kritik lain yang dilontarkan adalah bahwa NeoMarxis kontemporer merupakan ciptaan dan teoritisi sosial yang berasal dari kampus, khususnya dari staf pengajar senior yang direkrut waktu terjadi perluasan universitas pada tahun 1960-an. Karena itu tidak dapat disangkal bahwa Marxisme ini mempunyai cap sosiologi borjuis, terutama bagian yang ada hubungan dengan tukisan Max Weber. Mulai tahun 1970-an pemikiran kelompok Neo-Marxis juga dicantumkan dalam kurikulum jurusan-jurusan ilmu politik di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Sekalipun tidak terintegrasi dalam pola pemikiran yang berlaku umum atau ilmu politik arus utama, sekurang-kurangnya pemikiran Neo-Marxis ini menimbulkan kepekaan terhadap hal-hal yang berada di bawah permukaan, hal-hal tang tidak mudah diamati dan diukur. Jatuhnya pamor komunisme dengan sendirinya mempunyai dampak negatif pada pemikiran Marx, baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat Neo-Marxis. Semua argumentasi yang tadinya dianggap sebagai suatu alternatif yang cukup tangguh, mulai disangsikan validitasnya. TEORI KETERGANTUNGAN (DEPENDENCY THEORY) Teori Ketergantungan adalah kelompok yang mengkhusukan penelitiannya pada hubungan antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga. Kelompok ini menarik perhatian besar pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an, tetapi sebenarnya pada tahun 1960-an sudah mulai dirintis, antara lain oleh Paul Baran, yang kemudian disusul oleh Andre Gunder Frank. Kelompok ini berpendapat bahwa imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju. Negara-negara maju memang telah melepaskan tanah jajahannya, tetapi tetap mengendalikan (mengontrol) ekonominya. Yang paling ekstrim adalah pemikiran pelopor Teori Ketergantungan, Andre Gunder Frank yang berpendapat bahwa penyelesaian masalah itu hanyalah melalui revolusi sosial secara global. Sementara penulis lain seperti Henrique Cardoso menganggap bahwa pembangunan yang independen ada kemungkinan terjadi, sehingga revolusi sosial tidak mutlak harus terjadi. Sekalipun pendapat dari kalangan Teori Ketergantungan itu sendiri ada perbedaan satu sama lain, tapi dapat disebut beberapa variasi dalam istilah yang dipakai untuk menunjuk pada perbedaan antara negara kaya dan negara miskin, seperti patron-client, centreperiphery, core-periphery, atau centre-hinterland, metropolitan-satellite. Sementara itu, istilah world systems model biasanya dihubungkan dengan nama Immanuel Wallerstein.
5

Mereka berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala seluruh dunia; mereka melihat adanya suatu rantai hubungan metropolitan-satelit dalam struktur sistem dunia yang melampaui batas-batas negara. Yang menarik dari tulisan-tulisan kalangan pendukung Teori Ketergantungan yang pada awalnya memusatkan perhatian pada negara-negara Amerika Selatan, adalah pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini. Ini bisa terlihat dari membubungnya utang dan kesenjangan sosial-ekonomi dari pembangunan di banyak negara Dunia Ketiga. PENDEKATAN PILIHAN RASIONAL Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah pertentangan antara pendekatan-pendekatan yang tekah diuraikan sebelumnya mencapai semacam konsensus yang menunjukkan adanya pluralitas dalam bermacam-macam pandangan. Ia juga lahir dalam dunia yang bebas dari peperangan besar selama hampir empat dekade, dimana seluruh dunia berlomba-lomba membangun ekonomi negaranya. Pengikut pendekatan ini menimbulkan kejutan karena mencanangkan bahwa mereka telah meningkatkan ilmu politik menjadi suatu ilmu yang benar-benar science. Mereka percaya bahwa kita dapat meramalkan perilaku manusia dengan mengetahui kepentingankepentingan dari aktor yang bersangkutan. Para penganut membuat simplifikasi yang radikal dan memakai model matematika untuk menjelaskan dan menafsirkan gejala-gejala politik. Inti dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri. Pelaku Pendekatan Rasional ini, termasuk politisi, birokrat, pemilih (dalam berbagai acara pemilihan), dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois dan segala tindakannya berdasarkan kecenderungan ini. Mereka selalu mencari cara yang efisien untuk mencapai tujuannya. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari pendekatan ini. Substansi dasar dari pendekatan ini telah dirumuskan oleh James B. Rule sebagai berikut: 1. Tindakan manusia pada dasarnya adalah instrumen (dalam arti: alat bantu), agar prilaku manusia dapat dijelaskan sebagai usaha untuk mencapai suatu tujuan yang sedikit banyak jarak jauh. Untuk manusia, atau untuk kesatuan yang lebih besar, tujuan atau nilai tersusun secara hierarkis yang mencerminkan preferensinya mengenai apa yang diinginkan atau diperlukannya. Hierarki preferensi ini relatif stabil.
6

2.

Para aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai aksi mana yang akan memaksimalkan keuntungannya. Informasi relevan yang dimiliki oleh aktor sangat memengaruhi hasil dari perhitungannya.

3.

Proses-proses sosial berskala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi dan praktikpraktik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu. Aplikasi teori ini sangat kompleks, model-model dan metode ekonomi diaplikasikan

terutama dalam penelitian mengenai pola-pola voting dalam pemilu, pembentukan kabinet, sistem pemerintahan parlementer, badan-badan legislatif, dan pendirian partai politik dan kelompok kepentingan. Akan tetapi ternyata dalam perkembangan selanjutnya analisis berdasarkan matematika ini menjadi demikian kompleksnya, sehingga kadang-kadang ahli matematika sendiri memerlukan keahlian tersendiri untuk memahaminya, sedangkan beberapa diantaranya malahan tidak dapat lagi menemukan unsur-unsur politiknya. Mazhab ini sangat ditentang oleh para penganut strukturak-fungsionalisme karena dianggap tidak memerhatikan kenyataan bahwa manusia dalam perilaku politiknya sering tidak rasional, bahwa manusia sering tidak mempunyai skala preferensi yang tegas dan stabil, dan bahwa ada pertimbangan lain yang turut menentukan sikapnya, seperti faktor budaya, agama, sejarah, dan moralitas. Tindakan manusia terinspirasi oleh apa yang baik dan apa yang mungkin. Kritik lain adalah bahwa memaksimalkan kepentingan sendiri cenderung secara tidak langsung mengabaikan kesejahteraan orang laiin dan kepentingan umum, dan seolah-olah mengabaikan unsur etika. Lagipula skala preferensi manusia dapat saja berubah sepanjang masa. Dikatakan bahwa pemikiran ini terlalu individualistik dan materialistik, seolah-olah manusia sama sekali tidak ada sifat altruism (peduli terhadap sesama manusia). Tetapi bagaimanapun juga pendekatan ini sangat berjasa untuk mendorong usaha kuantifikasi dalam ilmu politik dan mengembangkan sifat empiris yang dapat dibuktikan kebenarannya. Ia merupakan suatu studi empiris, ketimbang abstrak dan spekulatif.

PENDEKATAN INSTITUSIONAL BARU Institusional Baru merupakan suatu visi yang meiputi beberapa bidang ilmu pengetahuan lain seperti sosiologi dan ekonomi. Mengapa disebut Institusional Baru ? oleh karena ia merupakan penyimpangan dari Institusional Lama. Pendekatan ini sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari prilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Perbedaannya dengan Institusionalisme yang lama ialah perhatian Institusional Baru lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstitusi yuridis. Maka timbul keinginan untuk merenungkan kembali pandangan ini, dan kembali memandang negara, dengan berbagai institusinya, sebagai instansi utama yang merupakan faktor penting dalam menentukan dan membatasi berbagai aspek yang diutamakan oleh pendekatan behavioralis. Pendekatan ini menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan institusi berinteraksi. Pokok masalah dalam pendekatan ini ialah bagaimana membentuk institusi yang dapat menghimpun secara efektif sebanyak mungkin preferensi dari para aktor untuk menentukan kepentingan kolektif. Inti dari Institusional baru dirumuskan oleh Robert E. Goodin sebagai berikut : 1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif. 2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial; dan b) perilaku dari mereka yang memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan terus-menerus. 3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka masingmasing. 4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok, juga memengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok. 5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis, sebagai peninggalan dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.

6.

Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing. Institusional Baru menjadi sangat penting bagi negara-negara yang baru membebaskan

diri dari cengkeraman suatu rezim yang otoriter serta represif.

KESIMPULAN Tak dapat dipungkiri bahwa akibat dari perkembangan berbagai pendekatan terhadap gejala-gejala politik yang telah diuraikan diatas adalah terakumulasinya pengetahuan. Analisis dan polemik antara para sarjana yang kadang-kadang sengit sifatnya telah memperkaya khazanah analisis. Seperti sering terjadi dalam perdebatan intelektual, pihakpihak yang bersangkutan mempertajam alat analisis masing-masing dan meneliti kembali rangka, metode, dan tujuan dari ilmu politik. Dewasa ini telah terbentuk suatu kesadaran bahwa setiap pendekatan hanya menyingkap sebagaian saja dari tabir kehidupan politik dan bahwa tidak ada satu pun pendekatan yang secara mandiri dapat menjelaskan semua gejala politik. Kesadaran ini membuat para sarjana ilmu politik lebih toleran terhadap pandangan sarjana lain. Masing-masing paradigma tidak lagi bersaing, tetapi saling melengkapi dengan saling meminjam konsep dan alat analisis. Telah tumbuh suatu visi pluralis mengenai metode dan pendekatan, dan hal ini telah meningkatkan kredibilitas ilmu politik.

10

Anda mungkin juga menyukai