Anda di halaman 1dari 9

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Jl. Dr. Setiabudhi No 229 Bandung 40154 Tlp (022) 2013161-2013162 Fax
(022)2013651 Homepage:www.upi.edu E-mail: info@upi.edu
==================================================
UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP TAHUN
AJARAN 2019/2020
Mata Kuliah/Kode : Sosiologi Politik
Waktu : Take Home
Jurusan/Program : Pendidikan Sosiologi
Sifat Ujian : Open books
Dosen : Prof. Dr. Cecep Darmawan,
Muhamad Iqbal, M.Si.
Nama : Fadia Zahra
NIM : 1905558
Kelas : 4B

Asal mula dan perkembangan sosiologi politik


1. Sosiologi politik merupakan penggabungan antara Ilmu Sosologi dan Ilmu Politik.
Jelaskan perkembangan keilmuan lahirnya sosiologi politik?
2. Apa perbedaan antara sosialisasi politik masyarakat totaliter, primitif dan berkembang
dan bagaimana dampak dari pola sosialisasi tersebut?
3. Berikan analysis anda, dengan pendekatan teoritis dan empiris mengenai dinamika Partai
Demokrat dalam dimensi sosiologi politik?

Jawaban
1. Sosiologi politik berasal dari dua kata, yang secara terpisah mempunyai arti sendiri-
sendiri sebagai disiplin ilmu, yaitu sosiologi dan politik. Asal mula sosiologi politik
sebagai bidang suatu studi sulit ditetapkan secara pasti. Namun demikian, bisa ditelusuri
dari karyakarya sosiolog atau ilmuwan politik mengenai tema-tema sosiologi politik. Dua
tokoh besar yang bisa dianggap sebagai "bapak pendiri" sosiologi politik karena karyanya
yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosiologi politik, baik dalam hal teori
atau konsep maupun metodologi ialah Karl Marx dan Max Weber (Politik, n.d.). Lalu ada
pula beberapa tokoh lain yang turut menyumbangkan bebrapa teori sosiologi politik.
Berikut adalah penjabaran teori dari beberapa tokoh yang membuat sosiologi politik
berkembang hingga kini.
a. Karl Marx (1818-1883)
Pada dasarnya sumbangan Marx dapat digolongkan dalam tiga bidang teori umum,
teori khusus dan metodologi.
 Berdasarkan teori Hegel, Marx mengembangkan satu teori tentang “hal-hal
yang tidak bisa dielakkan secara histories” (Historical Inevitability) atas
landasan dari tesa, antitesis dan sintesis yang dikenal dengan sebutan
dialektika. Marx mendasarkan teorinya pada konflik material dari kekuatan
ekonomi yang saling bertentangan yang pada akhirnya menghancurkan sistem
kapitalisme dan menciptakan masyarakat tanpa kelas yang disebut masyarakat
komunis.
 Marx mengembangkan teori “nilai-kerja” dari David Hume menjadi teori
“nilai-lebih” (surplus value) dan eksploitasi terhadap kerja, yang kemudian
menjadi dasar bagi teori sosiologinya yang utama, yaitu perjuangan kelas.
 Marx mengembangkan teori keterasingan (alienasi) dengan argumentasi
bahwa kelas pekerja atau kelas proletariat menjadi semakin terasingkan dari
masyarakatnya. Kesadaran kelas ini kemudian menjadi prasyarat esensial bagi
konflik kelas antara kelas proletar dengan kelas borjuis untuk kemudian
menjadi pendorong bagi terjadinya perjuangan kelas bagi kelas proletar.
 Banyak kritik kepada teori Marx, mengenai pandangan Marx terhadap ide.
Menurut Marx yang paling menentukan kehidupan manusia adalah materi
bukan ide. Ide itu ada karena ada materi yang merangsang pikiran manusia
dan selanjutnya karena materilah manusia bekerja (berproduksi). Oleh karena
teori Marx ini bersandar pada materi (ekonomi) sebagai faktor tunggal yang
menentukan sejarah kehidupan manusia (histories materialism).
 Marx meramalkan bahwa pada fase terakhir dari sejarah kehidupan manusia
akan ditandai hancurnya sistem kapitalisme dan digantikan oleh sistem
komunisme masyarakat terakhir setelah terjadi konflik kelas yang
dimenangkan oleh kaum proletar melalui perjuangan kelas. Ternyata ramalan
ni tidak terbukti, ini yang menjadikan teori Marx diragukan.
 Sumbangan Marx : determinisme ekonomi, dialektika materialisme, teori-teori
khususnya mengenai perjuangan kelas, kesadaran kelas, aliertasi, dan nilai-
lebih semuanya merangsang pemunculan karya-karya lain. Metodologi
“sosialisme ilmiah” yang memberikan standar keilmuan dan metode-metode
yang menjadi pendorong bagi ilmuwanilmuwan berikutnya.
b. Max Weber (1864-1920)
 Factor non ekonomis dan ide-ide merupakan factor sosiologis yang penting
dalam melakukan tindakan social.
 Factor status social dan posisi individu dalam struktur kekuasaan menentukan
stratifikasi social.
 Weber dalam melihat politik dan negara sangat memperhatikan masalah
pelaksanaan kekuasaan dan legitimasi (keabsahan). Menurut Weber ada tiga
tipe legitimasi yang utama, yaitu dominasi tradisional, kharismatik, dan
kebijakan legalitas.
 Sumbangan Weber yang lain dalam bidang metodologis adalah konsep
tentang pemahaman simpatetis atau verstehen.
c. Alexis de Tocqueville (1905-1859)
 Revolusi Perancis 1789 itu bukan merupakan pemutusan yang menyeluruh
dengan masa silam, dan bahwa beberapa gerak kesinambungan pada akhirnya
tidak bisa dihindarkan, yang kemudian bisa mengantisipasi pemunculan ide-
ide di kemudian hari mengenai proses dan sifat-sifat dari perubahan sosial.
d. Walter Bagehot (1826-1877)
 Dalam karyanya The English Constitution (1867), ia menyatakan bahwa
lembagalembaga politik Inggris itu berasal dari bermacam-macam sifat dari
bangsa Inggris.
 Bagehot juga membedakan antara teori konstitusional dengan praktik, lalu
mengemukakan masalah bagian-bagian konstitusi (Undangundang Dasar)
yang “bermartabat” dan yang “efisien”
e. Gabriel Tarde (1843-1904)
 Kaitan antara sistem politik dengan struktur sosial masyarakat.
 Teori-teori mengenai peranan individu sebagai “opinion leader” dan
“komunikasi berarus dua langkah” (two-step flow communication).
f. Vilfredo Pareto
 Posisi kaum elit tidak ditentukan oleh supremasi ekonomi
 Perubahan social terjadi karena sirkulasi elit
g. Toqueville
 Kondisi dalam masa silam melahirkan ide tentang proses dan sifat perubahan
social
 Revolusi bukanlah pemutusan dengan masa silam
h. Robert Michaels
 Kecenderungan oligarki dalam organisasi (partai politik)
 Kontrol massa terhadap elit adalah mustahil dan semu
i. Stuart Rice
 Mengenai tingkah laku pemilih dalam pemilihan suara di Amerika Serikat dari
sejumlah sample dalam satu periode. Contoh lain adalah karya Rudolf Herbele
mengenai sumber-sumber bantuan Nazi menjelang pencapaian kekuasaan
tahun 1933.

2. Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan system politik


pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-
reaksinya terhadap gejala-gejala politik.
a. Sosialisasi politik masyarakat totaliter
Negara totaliter adalah negara berusaha untuk mengontrol semua aspek kehidupan
masyarakatnya. Dalam negara demikian ideologi negara menjadi basis resmi bagi
semua tindakan dan aktivitas. Sosialisasi politik tidak dapat mencari salurannya
sendiri, juga tidak dapat memberikan pengetahuan yang tidak terkontrol, nilai-nilai,
dan sikap yang mungkin dapat menentang ideology. Sehingga, pikiran manusia harus
direbut, dituntun, dan dikekang sesuai ideology.
Secara langsung tak langsung, semua pemerintah berusaha untuk
mensosialisasikan para anggota masyarakat sampai derajat-derajat yang berbeda,
dengan jalan mengontrol informasinya, akan tetapi dalam masyarakat totaliter
pengontrolan tersebut meliputi segala-segalanya( Rush & Althoff, 1971 : 82 ).
( Rush & Althoff, 1971 : 92 ) Contoh sosialisasi politik di negara totaliter yaitu di
negara Jerman pada masa kepemimpinan Adolf Hitler, sosialisasi politik ditempuh
melalui pendidikan formal, anak-anak diajarkan bahwa loyalitas pertama mereka
adalah kepada negara yang dipersonifikasikan oleh pemimpinnya. Dimana semua
pemuda pada masa itu diasuh dan di dalam keluarga serta sekolah-sekolah, secara
fisik, intelektual dan moral harus dididik dalam semangat Sosialisme Nasional lewat
pemuda Hitler. Pada tahun 1939, setiap anak diwajibkan menjadi anggota pemuda
Hitler, dan setiap orang tua yang menolak indokrinasi tersebut dapat ditindak dengan
jalan diambilnya anak-anak dari asuhan mereka.
Pola sosialisasi yang sama terdapat juga di Uni Soviet, dengan penekananya baik
pada pendidikan formal maupun pada gerakan-gerakan pemuda. Semua pengajaran
harus disesuaikan dengan ideoligi komunis, dan buku-buku teks digunakan sebagai
saran-sarana instruksi politik ( Rush & Althoff, 1971 : 97 )
Dampaknya, seluruh kegiatan kemasyarakatan dikendalikan pemerintah, sehingga
masyarakat tidak bisa bebas melakukan hal yang mereka inginkan. System politik
terstruktur dan disiplin.
b. Sosialisasi politik masyarakat primitive
Dalam masyarakat primitif peranan sosialisasi pasa umumnya tampak paling jelas,
khususnya dalam masyarakat yang tengah atau telah cukup lama berdiri untuk
menegakkan tradisi-tradisi kemasyarakatan yang kuat, yang menetapkan struktur dan
peranan-peranan masyarakat. Dalam proses sosialisasinya menekankan masalah
ritual, legitimasi peranan social, dan sering pula pencapaian status ( Rush & Althoff,
1971 : 100)
Betapapun juga, proses sosialisasi pada masyarakat primitif banyak sekali bedanya,
walaupun mereka, seperti yang telah diperlihatkan oleh Le Vine, memiliki ciri-ciri
umum tertentu yang sama. Le Vine menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku
bangsa di Kenya barat-daya, kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-
kelompok yang tidak tersentralisir dan sifatnya patriakis, mempunyai dasar
penghidupan yang sama yang ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan-berdarah.
Suku Neuer adalah egaliter sifatnya atau percaya semua orang sama derajatnya, dan
bersikap pasif. Suku Gusii bersifat otoriter dan agresif, anak mereka didorong
menghayati tradisi-tradisi.
Dampak pola sosialisasi ini adalah hanya menekankan nilai-nilai tradisional sehingga,
masyarakat primitive tidak bisa berkembang.
c. Sosialisasi politik masyarakat berkembang
Negara-negara berkembang pada umumnya adalah negara-negara bekas koloni atau
jajahan negara-negara barat. Pada saat penjajahan berlangsung, negara-negara
kolonial tersebut memperkenalkan lembaga-lembaga politik barat, birokrasi,
kubudayaan, dan pendidikan. Masalah sentral sosialisasi politik di masyarakat
berkembang ialah menyangkut perubahan.
Vine mengemukakan bahwa ada 3 faktor penting dalam sosialisai ditengah
masyarakat-masyarakat berkembang ( Rush & Althoff, 1971 : 108) :
1. Pertumbuhan penduduk dinegara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas
mereka untuk “memodernisir” keluarga tradisional lewat industrialisasi dan
pendidikan.
2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional
anatara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada yang disebut
belakangan ini, namun si ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat
sosialisasi dini dari anak.
3. Adalah mungkin bahwa pengaruh urbanisasi yang selalu dianggap sebagai satu
kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional, paling sedikitnya
secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai kedalam daerah-daerah
perkotaan, khusunya dengan pembentukan komunitas-komunitas kesukuan dan etnis
didaerah-daerah ini.
Le vine akhirnya menyimpulkan bahwa adalah menyesatkan untuk menganggap nilai-
nilai tradisional sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan atau diganti. Bukti yang
disajikan mengenai sosialisai politik, mengsugestikan bahwa beberapa proses
sedemikian itu memang perlu, bahwa mungkin tidak bisa dihindari. Tidak ada
pemutusan hubungan dengan masa lalu yang lebih sempurna. Suatu elemen
kesinambungan akan tetap ada, sekalipun telah menghasilkan perubahan-perubahan
yang fundamental dan bisa menjangkau masa jauh. Dalam uasahanya untuk
melupakan masa lampaunya, betapapun berbedanya masa depan itu dengan masa
yang telah lewat, masayarakat itu akan tetap dipengaruhi oleh masa lalunya. Oleh
karena itu sosialisasi politik jelas erat sekali terlibat dalam proses perubahan.
Dampak sosialisasi ini adalah pertumbuhan penduduk yang melampaui kapasitas,
pengaruh urbanisasi selalu dianggap untuk menghilangkan nilai tradisioal.

3. Dinamika Partai Demokrat terus berjalan seiring dengan berbagai fakta dan data
yang mulai terkuak ke ruang public. Permasalahan internal kelembagaan yang terus
bergejolak akhir-akhir ini. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) adalah ketua umum Partai
Demokrat yang menggantikan ayahnya terdahulu yaitu Susilo Bambang Yudhoyono.
Permasalahan ini disebabkan karena hasil dari Kongres Luar Biasa (KLB) yang
diselenggarakan oleh sejumlah mantan kader Partai Demokrat pada 5 Maret 2021.
Menurut Darmizal, KLB bertujuan untuk menggantikan posisi AHY sebagai ketua umum
dan meminta Moeldoko untuk mengisi posisi tersebut. Anggota Forum Pendiri Partai
Demokrat Hencky Luntungan bersama tujuh anggota lainnya mendesak partainya untuk
mengadakan KLB untuk mengatasi masalah dan konflik di internal partai, salah satunya
adalah kepemimpinan AHY yang mereka nilai kurang mampu dalam memimpin partai.
Hasil KLB yang menyatakan bahwa ketua umum digantikan oleh Moeldoko membuat
AHY dan beberapa pihak yang kontra tersebut memanas.
KLB diketahui diselenggarakan secara illegal. AHY menegaskan bahwa KLB
yang diselenggarakan sejumlah mantan kader Partai Demokrat tersebut tidak sah secara
konstitusional, terminologinya illegal dan abal-abal. Hal senada juga diungkapkan oleh
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya,
penyelenggaraan KLB tersebut tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam
AD/ART Partai Demokrat. SBY juga menegaskan bahwa usulan KLB dari DPD dan
DPC, harus mendapatkan persetujuan dari Ketua Majelis Tinggi Partai, posisi yang saat
ini dia jabat. AHY merasa dikudeta berbagai pihak yang terlibat di KLB.
Peristiwa ini membuktikan bahwa adalnya kelompok pro dan kontra dalam kelembagaan
partai. Ada kelompok yang ingin AHY digantikan sebgai ketua umum. Sehingga terjadi
perpecahan internal dalam partai ini.
Melalui pendekatan teoritis dalam dimensi sosiologi politik, peristiwa ini
menunjukkan bagaimana politik dapat mempengaruhi antar kelompok sebagaimana
dijelaskan dalam pendekatan pluralistik yaitu terjadinya perbedaan tujuan antar 2
kelompok dalam kelembagaan yang sama. Permasalahan ini juga menunjukkan keresahan
anggota partai yang menilai bahwa AHY dinilai kurang mampu memimpin partai ini,
sejalan dengan teori kekuasaan Michael Foucalt, bagi mereka yang ingin berkuasa
harus cerdas untuk memikirkan bagaimana mendapatkan kepatuhan daripada pihak
lainnya. Perlu ada permainan strategi untuk sukses mendapatkan kekuasaan. Sebaiknya
AHY menggunakan strategi lain untuk menarik kembali kepercayaan anggotanya.
Dinamika ini menunjukkan juga berbagai persaingan yang tidak sehat, dan berbagai
perbedaan pandangan yang menyebabkan konflik dan perpecahan internal, sesuai dengan
teori konflik yang dicetuskan Karl Max.
Pendekatan empiris dalam dinamika partai demokrat ini terlihat bahwa adanya
kudeta yang dilakukan Moeldoko terhadap AHY yang didukung kelompok forum KLB.
Dinamika partai demokrat adalah bagian dari pendewasaan kelembagaan partai yang baru
saja berlangsung dan sebuah tantangan bagi kepengurusan baru yaitu dibawah pimpinan
AHY.
Alternatif penyelesaian dinamika ini dapat menggunakan alternative yang
ditawarkan David Easton dalam bukunya “The Polidcal Sistem, A Frameworkfor
Polidcal Analysis and A Sistem Analysis of Poliical Life (1965)”. Alternatif ini
menawarkan analisis inputoutput. Secara khusus Easton memperhatikan masalah
bagaimana carunya suatu sistem politik bisa bertahan hidup dan faktor-faktor apakah
yeng menyebabkan perubahannya. Ia menyatakan bahwa orang perlu memberikan
sumbangansumbangan tertentu kepada sistem politik berupa masukanmasukan (input),
yang diwujudkan melalui pernyaraan tuntutan-tuntutan perubahan, melalui penyataan
dukungan atas sistem yangada. Dengan demikian akan dikeluarkan keputusankeputusan
otoritatif,, yang pada gilirannya akan mendapat umpan-balik (feedback) dari para warga
masyarakat yang bersangkutan (Dewi, n.d.).
Daftar Pustaka

Rush Michael,  Philip  Althoff,  Pengantar  Sosiologi Politik, diterjemahkan oleh Dr. Kartini
Kartono
Dewi, S. F. (n.d.). Susi Fitria.
Politik, H. S. (n.d.). Hakikat Sosiologi Politik. 1–44.
https://slideplayer.info/slide/2838693/

Anda mungkin juga menyukai