Anda di halaman 1dari 4

Farhan Mulya Pratama

2110853011
Review Dasar Ilmu Politik

Pendekatan Legal/Institusional
Jika ingin mempelajari Parlemen dengan pendekatan ini, diskusikan kekuasaan dan wewenang
Parlemen dalam teks resmi (Konstitusi, Undang-Undang, Peraturan). Hubungan formal dengan
badan eksekutif. Struktur organisasi (komite, pembagian ke dalam tingkat diskusi) atau hasil kerja
(berapa banyak undang-undang yang telah muncul). Peneliti tradisional, belum lagi alasan
kontradiksi antara struktur formal dan fenomena yang diamati sebenarnya, lembaga itu sebenarnya
lahir dan bekerja sebagaimana dirumuskan dalam teks resmi. Menurut visi ini, negara dimaknai
sebagai badan norma konstitusional formal (berbagai pendekatan dalam politik standar
konstitusional formal). R. Kranenburg telah lama beredar di Indonesia dengan judul Algemene
Staatsleer dan terjemahannya dengan judul General State Science. Sementara itu, pada
pertengahan tahun 1930-an, beberapa sarjana Amerika mulai mengungkapkan pandangan mereka
tentang politik sebagai suatu kegiatan atau proses dan sebagai sarana perebutan kekuasaan antara
kelompok-kelompok sosial yang berbeda.Landasan ilmu politik bersifat fungsional, dan
pendekatan ini mendorong gagasan kekuasaan keluar dari posisinya sebagai satu-satunya
determinan dan cenderung menjadi salah satu dari banyak. Mungkin determinan yang paling
penting) . Pengambilan keputusan dan eksekusi.

Pendekatan Perilaku
Pendekatan behavioral ini merupakan pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu
sistem sosial dan negara sebagai suatu sistem politik, yang merupakan subsistem dari sistem sosial
tersebut.
Selain itu, pendekatan behavioral memiliki karakteristik revolusioner. Dengan kata lain, itu adalah
orientasi yang kuat terhadap perkembangan politik ilmiah lebih lanjut. Orientasi ini mengandung
konsep utama , yang dijelaskan oleh David Easton (192) dan Albert (197) sebagai berikut: 1.
Tindakan politik memiliki undang-undang yang harus dirumuskan sebagai generalisasi dari , yang
dibuktikan atau diverifikasi. Proses verifikasi ini dilakukan antara lain dengan mengumpulkan dan
menganalisis data yang dapat diukur atau dikuantifikasi dengan statistik atau matematika. 2.2.
Perbedaan yang jelas harus dibuat antara norma (ideal atau standar sebagai pedoman perilaku) dan
fakta (yang dapat dibuktikan melalui pengamatan dan pengalaman). 3. Analisis kebijakan tidak
boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi peneliti. Semua analisa pastilah sia-sia, apakah nilai-
nilai demokrasi, persamaan, kebebasan, dll dapat diukur secara ilmiah atau tidak. 4. Penelitian
yang sistematis dan harus mengarah pada pembentukan teori (theory construction). 5. Ilmu politik
harus ilmu murni. Penelitian Terapan Mencari Pemecahan Masalah dan Perencanaan.
Pendekatan Neo-Marxis
Kebanyakan neo-Marxis adalah intelektual dari lingkaran "borjuis" dan, seperti intelektual
lainnya, enggan untuk bergabung dengan organisasi besar seperti partai politik atau benar-benar
terlibat dalam politik. Di satu sisi, kaum neo-Marxis ini menolak Komunisme Soviet karena
sifatnya yang menindas, tetapi di sisi lain, mereka juga tidak setuju dengan banyak aspek
masyarakat kapitalis di mana mereka berada. Mereka sama-sama kecewa dengan demokrasi
sosial14. Sosial demokrasi telah berhasil menerapkan konsep negara kesejahteraan di beberapa
negara Eropa Barat dan Utara dan meningkatkan keadilan sosial warganya, tetapi banyak
kesenjangan sosial lainnya diyakini telah gagalBerbagai Pendekatan Ilmu Politik Keunggulan ini
diakui sebagai fakta oleh orang Barat yang menyebut diri mereka Marxis15. Neo-Marxis, di sisi
lain, umumnya tidak mempertanyakan apakah interpretasi Lenin dan Stalin adalah satu-satunya
interpretasi yang tepat. Dapat diartikan. Segera setelah Perang Dunia II, sentimen anti-komunisme
dan anti-Soviet yang kuat muncul di Amerika Serikat, yang kemudian mengarah pada apa yang
disebut Perang Dingin. Di Amerika Serikat, ide-ide yang menyimpang dari apa yang diterima
secara umum karena berlakunya Internal Security Act yang dikenal sebagai McCarthy Act (1950)
dan tindakan Senator Joseph McCarthy dianggap destruktif dan dianggap destruktif. ). Namun,
pada tahun 190-an, Eropa Barat dan Amerika Serikat diganggu oleh berbagai konflik sosial,
ekonomi dan ras yang menyebabkan kecemasan yang meluas. Di satu sisi, mereka menolak
kapitalisme karena ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, tetapi di sisi lain, mereka juga menolak
komunisme karena penindasan dan adaptasi mereka. Dalam keadaan frustrasi ini, mereka beralih
ke tulisan-tulisan Marx, terutama yang dia tulis ketika dia masih muda, tulisan-tulisan awal yang
ditemukan dan tidak diterbitkan sampai sekitar tahun 1932. Dengan keretakan yang muncul pada
awal tahun 190-an, Mao Zedong terus mengembangkan detail Cina dengan idealisme komunis,
mengasingkan apa yang disebutnya revisionisme baru Khrushchev. Pada bulan Mei dan Juni
1998, ribuan mahasiswa dan sekitar 10 juta pekerja (baik pekerja kerah biru maupun pekerja kerah
putih) mengadakan apa yang dianggap sebagai Zenest terbesar dalam sejarah Prancis. Pekerja
terpaksa pindah karena tekanan dari kelompok fasis pra-Perang Dunia II dan polarisasi dari
Perang Dingin pasca-Perang Dunia II pertama kali muncul dalam politik. Banyak dari aktivis ini
memiliki kesempatan untuk mengajar di universitas pada tahun 1970-an dan mengambil
kesempatan ini untuk mempelajari dan mengembangkan pemikiran Marx dengan cara yang lebih
halus.

Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice)


Pendekatan ini terjadi setelah konflik antara pendekatan-pendekatan di atas mencapai konsensus
tertentu tentang kehadiran ganda dalam pandangan yang berbeda dan kemudian dikembangkan.
Dia juga lahir di dunia di mana tidak ada perang besar selama hampir 40 tahun. Pada tahun ,
seluruh dunia berjuang untuk membangun ekonominya sendiri. Negara-negara baru memiliki
rencana pembangunan, tetapi beberapa negara maju mendukung melalui berbagai organisasi
internasional atau secara bilateral. Tidak mengherankan bahwa ilmu ekonomi menjadi sangat
menonjol pada akhir 1980-an dan mempengaruhi ilmu-ilmu sosial lainnya. Beberapa ekonom
menggambarkan fenomena ini sebagai ekspansi imperialis ekonomi ke dalam disiplin tradisional
sosiologi, ilmu politik, antropologi, hukum dan sosiobiologi. Dalam ilmu politik pada umumnya,
dikenal nama Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice Approach), sementara itu juga ada
beberapa nama lain seperti Public Choice dan Collective Choice. Akhirakhir ini berbagai variasi
analisis ini telah mengembangkan satu bidang ilmu politik tersendiri, yaitu Ekonomi Politik
(Political Economy). Tokoh-tokoh analisisnya antara lain James Buchannan, Anthony Downs,
Gordon Tullock, dan Manchur Olsen. Mazhab ini terkenal sebagai Virginia School (Mazhab
Virginia), Amerika Serikat. Perlu juga disebut William Raker sebagai pelopor aliran ini. Orang-
orang yang percaya pada pendekatan ini kagum pada klaim mereka bahwa mereka telah
meningkatkan ilmu politik menjadi ilmu yang sebenarnya. Orang politik (Homo Politicus)
dikatakan pindah ke orang bisnis (Homo Ekonomi) karena melihat eratnya hubungan antara faktor
politik dan ekonomi, terutama dalam 4.444 keputusan kebijakan publik. Mereka percaya kita bisa
memprediksi perilaku Orang-orang melalui pengetahuan tentang kepentingan para aktor yang
terkena dampak (terlibat).

Pendekatan Institusionalisme Baru


Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu
tujuan tertentu, seperti misalnya membangun masyarakat yang lebih makmur.
Institusionalisme Baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan
kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai
institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu.

Pendekatan tersebut didasarkan pada logic of consequences, yaitu tindakan ditentukan oleh
kalkulasi rasional para aktor (Easton, 1975). Logika tersebut juga menempatkan faktor-faktor
materiel sebagai elemen utama dalam relasi antara negara dengan masyarakat. Dalam perspektif
yang kerap disebut sebagai neo-Weberian atau neoinstitusionalis, legitimasi negara dipandang
sebagai produk atau outcome dari bekerjanya institusi negara (Rotberg, 2004; Fukuyama, 2004).
Artinya, kuat atau lemah legitimasi negara tergantung pada kemampuan negara dalam
memproduksi political goods, seperti memberikan jaminan keamanan, penyediaan pelayanan
publik, penyediaan infrastruktur, dan penyediaan lapangan kerja bagi warganya (Chesterman,
2004; Rotberg, 2004) Performa negara dalam penyediaan hal-hal tersebut akan berdampak pada
persepsi publik terhadap negara (Ghani dan Lockhart, 2008; Zartman, 1995).
Pendekatan lain yang mulai berkembang dalam studi legitimasi adalah perspektif sosial atau
relasional. Perspektif tersebut memahami legitimasi dengan logika appropriateness atau kepatutan
yang memandang legitimasi lebih ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat imateriel, seperti
identitas, nilai-nilai kolektif, sejarah, dan kepercayaan akan kebenaran suatu otoritas. Berbeda
dengan legitimasi dalam perspektif institusional yang dapat dikuantifikasi secara universal,
legitimasi sosial merupakan fenomena kualitatif yang terikat pada konteks sosial tertentu
(Andersen, 2012). Legitimasi dalam perspektif tersebut bukan semata-mata produk dari
bekerjanya institusi negara, tetapi ditentukan oleh sejauh mana produk institusi negara selaras
dengan ekspektasi dan standar kepatutan yang berlaku di masyarakat dalam konteks sosial yang
berbeda (Beetham, 1991a; Stillman, 1974). Artinya, dalam perspektif ini, legitimasi lebih
ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap negara daripada kinerja institusi negara sendiri.
Meskipun berpijak pada paradigma yang berbeda dan dalam beberapa hal dipandang
bertentangan—misalnya, pandangan Weberian bahwa institusi birokrasi harus otonom dari aspek
sosial—tulisan ini berargumen bahwa legitimisasi melalui pendekatan institusional dan sosial
tidak harus ditempatkan dalam sekuen terpisah, tetapi dapat dilakukan secara simultan.
Studi di China, Burundi, Kongo, Nepal, dan Palestina mengindikasikan bahwa kolaborasi,
partisipasi, kerja sama, dan komunikasi yang lebih baik antara negara dengan masyarakat,
penyelenggaraan pelayanan publik dapat lebih efektif dan kontributif bagi penguatan legitimasi
negara (Stel dan Ndayiragije, 2014; Tsai, 2011). Pelayanan publik yang hanya berfokus pada
perkara supply dan demand cenderung tidak berdampak terhadap upaya penguatan kepercayaan
masyarakat terhadap negara.
Dalam konteks Indonesia, penggabungan pendekatan legitimasi institusional dan legitimasi sosial
menjadi relevan karena pemerintah pusat dan daerah masih dihadapkan pada berbagai tantangan
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik. Pada saat yang sama, di
beberapa daerah, pemerintah juga dihadapkan pada potensi konflik vertikal dan berbagai potensi
konflik sosial yang dapat menggerus kohesivitas antarkelompok masyarakat. Tulisan ini
mengusulkan kerangka bagaimana kedua cara pandang legitimasi tersebut dapat dipertemukan,
sekaligus menempatkan pemekaran daerah sebagai ilustrasi dari kedua proses tersebut. Riset-riset
tentang pemekaran daerah yang pernah dilakukan oleh DPP UGM, antara lain, di Adonara,
Puncak, dan Boven Digoel, menunjukkan bahwa di wilayah-wilayah tersebut minimnya legitimasi
terhadap pemerintah disebabkan oleh lemahnya kehadiran negara. Oleh karena itu, menghadirkan
negara menjadi salah satu strategi menumbuhkan legitimasi. Kehadiran negara yang dimaksud
tentu saja bukan hanya pembentukan pranata pemerintahan sipil dan/atau organisasi keamanan,
tetapi lebih pada kehadiran negara secara esensial oleh masyarakat.
Perspektif tentang legitimasi yang dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu perspektif
institusional dan perspektif sosial. Bagian tersebut juga menawarkan kerangka pikir bagi
penggabungan kedua perspektif. Bagian selanjutnya membahas dinamika legitimasi negara di
Indonesia dengan menekankan pada momen-momen sejarah: legitimasi negara mengalami
tantangan paling berat, termasuk yang hingga saat ini masih terus dihadapi khususnya di Papua.
Bagian keempat mengemukakan pemekaran sebagai salah satu strategi legitimisasi yang
mengakomodasi kedua perspektif legitimasi, baik legitimasi institusional maupun legitimasi
sosial.
Bagian terakhir menggaris bawahi pentingnya rekonseptualisasi legitimasi, sekaligus
reorientasi kebijakan pemekaran yang selama ini cenderung lebih menekankan pada aspek
administratif menjadi sebuah proses legitimisasi yang mencakup aspek institusional dan aspek
sosial. Bagian terakhir juga memberikan indikasi tema-tema riset lebih lanjut terkait dengan
legitimasi negara.

Anda mungkin juga menyukai