Anda di halaman 1dari 18

BAB 3

BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Politik

Dosen : Drs. Primus Lake, M.Si

Oleh :

1.Maria N. Dappa (1903010102)


2.Apriana K. Asa (1903010104)
3.Lidya S.K Soares (1903010105)
4.Jessica Bistolen (1903010084)
5.Elisabeth U. Mayangsari (1903010088)
6. Nazzah N. Embulayla (1903010089)

KELAS C
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


 Pengantar

Ilmu Politik mengalami perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai pendekatan
(approaches). Pendekatan Legal (yuridis) dan Institusional telah disusul dengan Pendekatan
Perilaku, Pasca-Perilaku, dan Pendekatan Neo-Marxis.

Vernon van Dyke mengatakan bahwa:”Suatu pendekatan (approach) adalah kriteria untuk
menyeleksi masalah dan data yang relevan.” Istilah pendekatan mencakup standar atau tolok
ukur yang dipakai untuk memilih masalah, menentukan data mana yang akan diteliti dan data
mana yang akan dikesampingkan.

Dalam sejarah perkembangannya, ilmu politik telah mengenal beberapa pendekatan.


Belakangan ini berkembang beberapa pendekatan lain, tulisan ini hanya membatasi diri pada
pendekatan-pendekatan tersebut.

 Pendekatan

Pendekatan Legal/Institusional

Pendekatan Legal/Institusional, sering dinamakan pendekatan tradisional, berkembang abad


19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Negara menjadi fokus pokok, terutama segi
konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat dari undang-
undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari
lembaga-lembaga keneragaan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif.

Hubungan formal dengan badan eksekutif struktur organisasi (pembagian dalam komisi,
jenjang-jenjang pembicaraan) atau hasil kerjanya (beberapa undang-undang telah dihasilkan).

Pendekatan tradisional tidak menghiraukan organisasi-organisasi informal, seperti


kelompok kepentingan dan kelompok lainnya, dan media komunikasi. Pendekatan tradisional
lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan
mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari
norma-norma konstitusional yang formal (a body of formal constitusional norms). Contoh
dari pendekatan ini adalah karya R. Kranenburg, yang berjudul Algemene Staattsleer,yang
terjemahannya telah lama beredar di Indonesia dengan judul Ilmu Negara Umum. Bahasan
biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika, Prancis,
Belanda, dan Jerman.
Pada pertengahan dasawarsa 1930-an beberapa sarjana di Amerika Serikat mulai
mengemukakan suatu pandangan yang lebih melihat politik sebagai kegiatan atau proses, dan
negara sebagai sarana perebutan kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
Sarjana-sarjana dari Mazhab Chicago (Chicago School) antara lain Charles E. Merriam
dengan karyanya, Political Power: Its Composition and Incidense(1934), dan Harold D.
Laswell dengan bukunya, Politics: Who Gets What, When, How (1936). Esensi dari politik
adalah kekuasaan, terutama kekuasaan untuk menentukan kebijakan publik.

Kedatangan bermacam-macam kelompok etnis dari Eropa secara bergelombang,


menjadikan para sarjana lebih terbuka untuk mengembangkan suatu visi yang tidak hanya
membatasi diri pada penelitian lembaga-lembaga formal.

Pandangan untuk memusatkan perhatian pada kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya
pendekatan lain yang bersifat fungsional, dan pendekatan ini cenderung untuk mendesak
konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi
hanya salah satu dari sekian banyak faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling penting)
dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan.

 Pendekatan Perilaku

Mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai perang dunia II.

Sebab-sebab kemunculannya:

1. Sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan
sangat berbeda kenyataan sehari-hari
2. Ada kekhawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan
ketinggalan dengan ilmu-ilmu lainnya.
3. Dikalangan pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan para
sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.

Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak adanya gunanya
membahas lembaga-lembaga formal, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku(behavior)
manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati.
Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai
aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia.
Meraka pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan
juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu. Maka pendekatan ini cenderung untuk bersifat
interdisipliner.
Disamping itu, pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusional yaitu
suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik, oleh David Easton(1962) dan
Albert Somit(1967), diuraikan sebagai berikut:
1. Perilaku politik menampilkan keteraturan(regularities) yang perlu dirumuskan
sebagai generalisasi-generalilsasi yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi
kebenarannya.
2. Harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma(ideal atau standar sebagai
pedoman untuk perilaku) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan
pegamatan dan pengalaman).
3. Analisis politik tidak tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti.
4. Peneliti harus sistematis dan menuju pembentukan teori (theory building).
5. Ilmu politik harus bersifat murni ( pure science), kajian terapan untuk mencari
penyelesaian masalah (problem solving) dan menyusun rencana perbaikan perlu di
hindarkan. Akan tetapi ilmu politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan
ilmu-ilmu lainnya.

Dengan pendekatan baru ini usaha untuk mengumpulkan data maju dengan pesat.
Pendekatan perilaku adalah karya Gabriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture
(1962), suatu studi yang mempelajari kebudayaan politik di lima negara demokrasi. Dua puluh
tahun kemudian studi ini ditinjau kembali oleh sarjana-sarjana yang sama dan hasilmya
diterbitkan dengan judul Civic Culture Revisited(1980).

Salah satu ciri khas Pendekatan Perilaku ini ialah pandanagan bahwa masyarakat dapat
dilihat sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial.

Gabriel Almond berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau
lembaga), dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Konsep ini
sering disebut pandangan structural-functional.

Sistem politik menyelenggarakan dua fungsi, yaitu fungsi masukan (input) dan keluaran
(output). Keduanya terpengaruh oleh sifat kecenderungan para aktor politik. Menurut
Almond ada lebih dari empat fungsi input dan tiga fungsi output. Input ialah sosialisasi
politik dan rekrutmen, artikulasi kepentingan, himpunan kepentingan (interest aggregation),
dan komunikasi politik. Kemudian dalam perkembangannya Almond mengubah istilahnya
menjadi tiga fungsi. Konsep ini dijabarkan lagi oleh David Easton (1965) khusus untuk
sistem politik melalui analisis sistem, dalam bukunya A Systems Analysis of Political Life.

Ia mengutarakan bahwa dalam suatu sistem politik (atau negara) selalu ada suatu aliran
(flow) terus-menerus dari input ke output dan bolak-balik. Di kemudian hari, David Easton
mengaku bahwa pemerintah tidak hanya menerima desakan dari luar, tetapi juga dari sistem
itu sendiri yang dinamakan with input, misalnya desakan dari partai politik atau departemen
kabinet.

Para structural-funtionalists berpendapat bahwa, sekalipun berbagai sistem politik berbeda


satu sama lain dalam cara mengatur institusi, tetapi ada fungsi-fungsi tertentu yang
diselenggarakan dalam setiap sistem politik. Kecenderungan ini telah mempertajam
penelitian mengenai politik di negara-negara baru dan dengan demikian telah memajukan
bidang studi Perbandingan Politik (Comparative Politics).

Tabel berikut dapat memperjelas perbedaan dalam peristilahan:

Tabel 1

Perbedaan Istilah State dan Negara

Political System State Negara


Function Power Kekuasaan, kewibawaan
Roles Offices Jabatan
Structure Institution Institusi (lembaga)
Political culture Public opinion Budaya politik, Opini publik
Political socialization Citizenship structure Sosialisasi politik

 Kritik Terhadap Pendekatan Perilaku

Para sarjana tradisionalis seperti Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowell
menyerang Pendekatan Perilaku dengan argumentasi bahwa pendekatan itu terlalu steril
karena menolak masuknya nilai-nilai (value-free) dan norma-norma dalam penelitian politik.

Juga dilontarkan kritik bahwa Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan
realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting,
seperti survei mengenai perilaku pemilih, sikap politik, dan pendapat umum.
Perbedaan antara para tradisional dengan para behavioralis dapat disimpulkan sebagai
berikut. Jika para tradisionalis menekankan nilai-nilai dan norma-norma, maka para
behavioralis menekankan fakta.

Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kritik juga bertumbuh di kalangan behavioralis


sendiri, yang mencapai puncaknya ketika perang Vietnam berlangsung. Revolusi Pasca-
Perilaku (Past-Behavioral Revolution) ini dipelopori oleh David Easton sendiri. Sejumlah
kalangan behavioralis menyadari bahwa mereka telah gagal meramalkan atau mengatasi
keresahan yang ditimbulkan oleh perang Vietnam. Maka dari itu, gerakan Pasca-Perilaku ini
malahan mencanangkan perlunya relevansi dan tindakan (relevance and action). Gerakan ini
tidak menolak Pendekatan Perilaku seluruhnya.

Pada tahun 1969 David Easton, pelopor Pendekatan Perilaku yang kemudian mendukung
Pendekatan Pasca-Perilaku, dalam tulisannya The New Revolution in Political Science,
merumuskan pokok-pokoknya dalam suatu Credo of Relevance sebagai berikut:

1. Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi
terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang dihadapi. Padahal
menangani masalah sosial lebih mendesak ketimbang mengejar kecermatan dalam
penelitian.
2. Pendekatan Perilaku secara terselubung bersifat konservatif, sebab terlalu
menekankan keseimbangan dan stabilitas dalam suatu sistem dan kurang
memerhatikan gejala perubahan (change) yang terjadi dalam masyarakat.
3. Dalam penelitian, nilai-nilai tidak boleh dihilangkan; ilmu tidak boleh bebas nilai
(value-free) dalam evaluasinya. Malahan para cendekiawan mengemban tugas untuk
melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah-masalah sosial dan mempertahankan
nilai-nilai kemanusiaan.
4. Mereka harus merasa committed untuk aktif mengubah masyarakat agar menjadi lebih
baik. Sarjana harus berorientasi pada tindakan (action-oriented).

Para penganut Pendekatan Pasca-Perilaku juga dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh


Marxis, seperti Herbert Marcuse (1898-1979) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980). Mereka
sendiri tetap beroriontasi non-Marxis, sekalipun diantara mereka ada beberapa sarjana yang
kemudian dikenal karena mengembangkan suatu orientasi sosialis di kalangan non-Marxis.

Pendekatan Neo-Marxis
Para Marxis ini, yang sering dinamakan Neo-Marxis untuk membedakan mereka dari orang
Marxis klasik yang lebih dekat dengan komunisme, bukan merupakan kelompok yang ketat
organisasinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama. Cikal bakal orientasi ini adalah
tulisan-tulisan sarjana Hongaria, Georg Lukacs (1885-1971), terutama dalam karyanya yang
berjudul History and Class Consciousness.

Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan


“borjuis” dan seperti cendekiawan dimana-mana, enggan menggabungkan diri dalam
organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis.

Para Neo-Marxis ini, di satu pihak menolak komunisme dari Uni Soviet karena sifatnya
yang represif, tapi di pihak lain mereka juga tidak setuju dengan banyak aspek dari
masyarakat kapitalis di mana mereka berada. Begitu pula mereka kecewa dengan kalangan
sosial-demokrat.

Pada awal dasawarsa 1960-an, di Eropa Barat telah timbul perhatian baru terhadap tulisan
Marx. Selama tiga puluh tahun berkuasanya Stalin (1924-1953), tafsiran Lenin mengenai
pemikiran Marx oleh Stalin dibakukan dan dinamakan Marxisme-Leninisme atau
Komunisme. Doktrin ini menjadi dominan, karena berhasil mendirikan suatu tatanan sosial
dan ekonomi baru di Uni Soviet.

Sedangkan para Neo-Marxis pada umumnya tidak mempermasalahkan apakah tafsiran


Lenin dan Stalin merupakan satu-satunya tafsiran yang layak, ataukah mungkin ada
interpretasi lainnya.

Di Amerika Serikat, tidak lama sesuai Perang Dunia II, timbul perasaan anti-Komunis dan
anti-Soviet yang kuat, yang kemudian terjelma menjadi apa yang dinamakan Perang Dingin.
Di Amerika, dengan diterimanya Internal Security Act atau lebih terkenal dengan sebutan
McCarren Act (1950) dan aksi-aksi yang dilontarkan oleh senator Joseph-McCarthy, setiap
pemikiran yang berbeda dengan apa yang berlaku umum dicurigai dan dianggap subversif
(McCarthyism).

Tetapi pada tahun 1960-an Eropa Barat dan Amerika mulai dilanda berbagai konflik sosial,
ekonomi, dan rasial sehingga membangkitkan keresahan yang luas. Di satu pihak mereka
menolak kapitalisme dengan kesenjangan-kesenjangan sosial dan ekonominya, tapi di pihak
lain mereka juga menolak komunisme dengan represi dan konformitasnya.
Pertama, perubahan yang mendasar di dunia komunis internasional sesudah Stalin
meninggal pada tahun 1953. Dalam kongres Partai Komunis Uni Soviet ke-20 tahun 1956,
untuk pertama kali dilontarkan kritik terhadap Stalin oleh Nikita Khrushchev (1894-1971).

Kedua, munculnya China (Republik Rakyat China) sebagai penantang terhadap dominasi
Uni Soviet dalam dunia komunis. Mao Zedong (1893-1975) menolak mentah-mentah
gerakan destalinisasi yang sedang giat diselenggarakan oleh kelompok Khrushchev

Ketiga, terjadinya proses dekolonisasi di belahan-belahan dunia yang selama ini dijajah.
Keempat, muncul berbagai gerakan sosial, seperti gerakan perempuan, gerakan lingkungan,
gerakan mahasiswa, dan gerakan anti-rasialisme.

Pada bulan Mei dan Juni 1968 ribuan mahasiswa dan hampir sepuluh juta pekerja (baik
buruh maupun pegawai) mengadakan pemogokan umum yang dianggap paling besar dalam
sejarah Prancis. Pemogokan ini akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah Prancis di bawah
presiden De Gaulle (1890-1970) dan kejadian ini mengisyaratkan kegagalan gerakan baru ini.

Akan tetapi kegagalan ini mendorong sejumlah aktivis untuk merenungkan kembali dasar
pemikiran dari aktivitas mereka serta mencari sebab-sebab kegagalannya.

Pada awal 1960-an dan bersamaan dengan itu bangkitnya berbagai gerakan sosial seperti
gerakan anti-diskriminasi ras (terutama terhadap golongan kulit hitam, Indian, dan orang
keturunan Meksiko), gerakan pembebasan perempuan (women`s lib), dan gerakan
mahasiswa.

Karena mahasiswa banyak mengadakan gebrakan melalui tindakan menduduki kampus


(Sit-in), kadang-kadang dengan kekerasan. Gebrakan-gebrakan ini dipimpin oleh para aktivis
mahasiswa yang sedikit banyak terorganisasi dan yang bernaung di bawah gerakan Kiri Baru
(New Left), seperti SDS (Students for a Democratic Society), dan sebagainya.

Pada dasawarsa 1970-an, sesudah perang Vietnam berakhir pada tahun 1975 kampus
menjadi tenang kembali, dan mulailah suatu periode di mana Marxisme menjadi bagian dari
kurikulum perguruan tinggi.

Ada dua unsur dalam pemikiran Marx yang bagi mereka sangat menarik. Pertama,
ramalannya tentang runtuhnya kapitalisme yang tidak terelakan. Kedua, etika humanis yang
meyakini bahwa manusia pada hakikatnya baik, dan dalam keadaan tertentu yang
menguntukan akan dapat membebaskan diri dari lembaga-lembaga yang menindas,
menghina, dan menyesatkan.

Marx dan Engles meninggal pada tahun 1883 dan 1895. Kedua tokoh ini tidak mengalami
bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran ini
yang kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme atau
Komunisme. Fasisme dan teror yang diselenggarakan oleh Stalin atas nama Komunisme.
Selain dari itu karya Marx dan Engles sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu sehingga
tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat fragmentaris dan terpisah-pisah.

Tahun 1960-an dan 1970-an dunia sudah sangat berbeda dengan dunia pada abad ke-19
yang merupakan kerangka acuan Marx dan Engles. Ramalan Marx ternyata banyak yang
meleset.

Karena karang-karangan Marx begitu fragmentaris, dan sering hanya merupakan bagian
dari uraian-uraian lain, maka tafsirannya juga bermacam-macam dan kadang-kadang
bertentangan satu sama lain. Menurut Raplh Miliband, seorang cendikiawan Neo-Marxis
terkenal, tidak ada interpretasi yang otentik.

Dalam bukuThe Left Academy, yang diedit oleh dua sarjana Neo-Marxix Amerika, Bertell
Ollman dan Edward Vernoff. Menurut mereka: “Sarjana Neo-Marxis adalah mereka yang
meyakini sebagaian pandangan Marx mengenai kapitalis dan sejarah, dan memakai metode
analisisnya.

Dalam rangka analisis holistik, mereka berpendapat bahwa keseluruhan gejala sosial
merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang
tersendiri, seperti politik terlepas dari ekonomi, ekonomi terlepas dari kebudayaan, dan
sebagainya.

Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara.
Menurut pandangan sturktural-fungsional, konflik dalam masyarakat dapat diatasi melalui
rasio, itikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik tolak pemikiran Neo-
Marxis.

Bagi kalangan Neo-Marxis, konflik antarkelas merupakan proses dialektis paling penting
dalam mendorong perkembangan masyarakat dan semua gejala politik harus dilihat dalam
rangka konflik antarkelas.
Kalangan Neo-Marxis memberi perumusan yangt lebih fleksibel dan luas dengan
mencanangkan adanya dua himpunan massa (aggregates) yang sedikit banyak kohesif serta
memiliki banyak fasilitas (the advantage) dan mereka yang tidak mempunyai fasilitas (the
disadvantage).

Dominan berasal dari latar belakang sosial dan pendidikan yang sama dan mempunyai
kepentingan politik dan ekonomi yang sama pula. Dominasi mereka hanya dapat diakhiri
dengan transformasi total dari keadaan yang menimbulkannya yaitu tatanan sosial politik
yang ada. Neo-Marxis memperjuangkan suatu perkembangan yang revolusioner serta multi-
linier untuk menghapuskan ketidakadilan dan membetuk tatanan masyarakat yang, menurut
mereka, memenuhi kepentingan seluruh masyarakat dan tidak hanya kepentingan kaum
borjuis.

Di bidang politik praktis mereka menginginkan desentralisasi kekuasaan dan partisipasi


dalam politik oleh semua komunitas. Demikianlah secara umum pandangan dari golongan
Neo-Marxis dalam memahami secara umum pandangan dari golongan Neo-Marxis dalam
memahami sosial-politik dan ekonomi.

Di Eropa Barat dan Amerika telah timbul bermacam-macam mazhab, yang paling terkenal
adalah Frankfurter Schule (Mazhab Frankfurt) dengan tokohnya seperti Marx Horkheimer
(1895-1973), Theodor Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979). Herbert
Marcuse melahirkan bukunya One Dimensional Man (1964), yang menjadi sangat terkenal
saat itu. Dari generasi kedua mazhab ini, kita kenal Jurgen Habermas (1929). Mazhab ini
didirikan pada tahun 1923 di Jerman, tetapi dalam masa berkuasanya Hitler kegiatannya
berpindah ke New Work (1936).

Tokohnya yang paling terkenal di antarnya adalah cendikiawan Jean Paul Sartre (1905-
1980). Marxisme Strukturals lahir pertengahan dasawarsa 1960-an juga di Prancis.
Diantaranya cendikiawan yang perlu disebut ialah pemikir Prancis, Louis Althusser (1918-
1990). Sarjana-sarjana lain yang patut disebut ialah Ralph Milliband, Steven Lukacs, Nicolas
Poulantzas, dan sarjana Amerika, J. O`Connor.

Perlu disebut bahwa mereka jarang menganalisis sistem politik dan ekonomi Uni Soviet,
sehingga kadang-kadang memberi kesan mereka menyetujuinya. Satu dua di antara mereka
yang berusaha menganalisis sistem politik dan ekonomi Uni Soviet dengan perangkat analisis
Neo-Marxis sampai pada kesimpulan bahwa sistem ekonomi Uni Soviet pada dasarnya
adalah kapitalisme negara (state capitalism).

Para sarjana radikal banyak bicara mengenai berbagai arus yang penting untuk mengerti
realitas politik, tetapi yang tidak nampak dari luar (the unseen).

Kritik lain yang dilontarkan ialah bahwa Neo-Marxis kontemporer merupakan ciptaan dari
teoretisi sosial yang berasal dari kampus, khususnya dari staf pengajar senior yang direkrut
waktu terjadi perluasan universitas pada tahun-tahun 1960-an. Karena itu tidak dapat
disangkal bahwa Marxisme ini mempunyai cap sosiologi borjuis, terutama bagian yang ada
hubungan dengan tulisan Max Weber.

Mulai tahun 1970-an pemikiran kelompok Neo-Marxis juga dicantumkan dalam kurikulum
jurusan-jurusan ilmu politik di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Sekurang-kurangnya
pemikiran Neo-Marxis ini menimbulkan kepekaan terhadap hal-hal yang berada di bawah
permukaan, hal-hal yang tidak mudah diamati dan diukur.

Pada awal dasawarsa 1990-an situasi politik telah banyak berubah. Komunisme di negara-
negara Eropa Timur terbukti gagal untuk menjelmakan surga di dunia yang telah lama
dijanjikannya. Tahun 1970 yang oleh Khrushchev dengan penuh optimisme dicananggkan
sebagai saat ini Uni Soviet akan melampaui Amerika Serikat di bidang perekonomian,
ternyata telah berlalu. Yang terjadi malahan jatuhnya perekonomian Uni Soviet dan
terpecahnya negara itu menjadi beberapa negara pada tahun 1989.

Jatuhnya pamor komunisme dengan sendirinya mempunyai dampak negatif pada pemikiran
Marx, baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat Neo-Marxis. Semua argumentasi yang
tadinya dianggap sebagai suatu alternatif yang cukup tangguh, mulai disangsikan
validitasnya.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)

Kalangan lain yang juga berada dalam rangka teori-teori kiri, yang dikenal sebagia Teori
Ketergantungan, adalah kelompok yang mengkhususkan penelitiannya pada hubungan antara
negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga. Pada tahun 1960-an mulai dirintis, oleh Paul Baran,
yang disusul oleh Andre Gunder Frank.

Kelompok ini berpendapat bahwa imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu
dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju
(underdeveloped).

Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang kurang maju atau Dunia Ketiga,
berkaitan dengan kepentingan pihak Barat. Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan
sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua, negara kurang maju dapat menjadi
pasar untuk hasil produksi negara maju, sedangkan produksi untuk ekspor ditentukan oleh
negara maju. Hal ini menyebabkan negara kurang maju mengalami kemiskinan terus-
menerus.

Yang paling ekstrim adalah pemikiran pelopor Teori Ketergantungan, Andre Gunder Frank
(tahun 1960-an) yang berpendapat penyelesaian masalah itu hanya melalui revolusi sosial
secara global. Menurut Henrique Cardoso (1979) menganggap bahwa pembanguanan yang
independen ada kemungkinan terjadi, sehingga revolusi sosial tidak mutlak harus terjadi.

Istilah yang dipakai untuk menunjuk pada perbedaan antara negara kaya dan negara miskin,
seperti patron-client, center-periphery, core-peripher, atau centre-hinterland, metropolitan-
satellite. Istilah world systems model biasanya dihubungkan dengan nama Immanuel
Wallerstein. Mereka berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala seluruh dunia;
mereka melihat adanya suatu rantahubungan metropolitan-satellite (chain of metropolitan-
satellite) dalam struktur sistem dunia yang melampaui batas-batas negara.

Pada awalnya memusatkan perhatian pada megara-negara Amerika Selatan, adalah


pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi.

Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice)

Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah pertentangan antara


pendekatan-pendekatan yang dibicarakan di atas mencapai semacam konsensus yang
menunjukkan adanya pluralitas dalam bermacam-macam pandangan.

Tidak heran jika ekonomi pada akhir tahun 1980-an menjadi sangat penting dan juga
memengaruhi ilmu-ilmu sosial lainnya. Oleh beberapa ekonom gejala ini dijelaskan sebagai
Ekspansi imperialistik ekonomi ke dalam wilayah-wilayah tradisional sosiologi, ilmu politik,
antropologi, hukum, dan biologi sosial (Imperialistic expansion of economics into the
traditional domains of sociology, political science, anthtopology, law, and social biology).

Dalam ilmu politik pada umumnya, dikenal nama Pendekatan Pilihan Rasional (Rational
Choice Approach), sementara itu juga ada beberapa nama lain seperti Public Choice dan
Collective Choice. Akhir-akhir ini berbagai variasi analisis ini telah mengembangkan satu
bidang ilmu politik tersendiri, yaitu Ekonomi Politik (Political Economy). Tokoh-tokoh
analisisnya antara lain James Buchanan, Anthony Downs, Gordon Tullock, dan Manchur
Olsen. Mazhab ini terkenal sebagai Virgina School (Mazhab Virgina), Amerika Serikat. Perlu
juga disebut William Raker sebagai pelopor aliran ini.

Manusia Polotik (Homo Politicus) sudah menuju ke arah Manusia Ekonomi (Homo
Economics) karena melihat adanya kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi, terutama
dalam penentuan kebijakan publik. Para penganut membuat simplifikasi yang radikal dan
memakai model matematika untuk menjelaskan dan menafsirkan gejala-gejala politik.

Inti dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia
politik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan (goal-seeking atau
goal-oriented) yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri. Untuk
menetapkan sikap dan tindakan yang efisien ia harus memilih antara beberapa alternatif dan
menentukan alternatif mana yang akan membawa keuntungan dan kegunaan yang paling
maksimal baginya.

Pelaku Rational Action ini, terutama politisi, birokrat, pemilih (dalam berbagai acara
pemilihan), dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois dan segala tindakannya berdasarkan
kecenderungan ini. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari teori Rational
Choice.

Berbagai penganut Rational Choice mempunyai penjelasan yang berbeda-beda, telah


dirumuskan oleh James B. Rule, sebagai berikut (terjemahannya dipersingkat) :

1. Tindakan manusia (human action) pada dasarnya adalah "instrumen" (dalam arti:alat
bantu), agar perilaku manusia dapat dijelaskan sebagai usaha untuk mencapai suatu
tujuan yang sedikit banyak jarak jauh. Untuk manusia, atau untuk kesatuan yang lebih
besar, tujuannya atau nilai tersusun secara hierarkis yang mencerminkan
preferensinya mengenai apa yang diinginkan atau diperlukannya. Hierarki preferensi
ini relatif stabil.
2. Para aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai aksi mana
yang akan memaksimalkan keuntungannya. Informasi relevan yang dimiliki oleh
aktor sangat memengaruhi hasil dari perhitungannya.
3. Proses-proses sosial berskala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi dan
praktik-praktik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu. Mungkin akibat dari pilihan
kedua, pilihan ketiga, atau pilihan N perlu dilacak.

Model-model dan metode ekonomi diaplikasikan terutama dalam penelitian mengenai pola-
poal voting dalam pemilihan umum, pembentukan kabinet, sistem pemerintahan parlementer,
badan-badan legislatif, dan pendirian partai politik dan kelompok kepentingan.

Mazhab ini sangat ditentang oleh para penganut structural-functionalism karena dianggap
tidak. memerhatikan kenyataan bahwa manusia dalam perilaku politiknya sering tidak
rasional, bahwa manusia sering tidak mempunyai skala preferensi yang tegas dan stabil, dan
bahwa ada pertimbangan lain yang turut menentukan sikapnya, seperti faktor budaya, agama,
sejarah, dan moralitas.

Kritik lain ialah bahwa memaksimalkan kepentingan sendiri cenderung secara tidak
langsung mengabaikan kesejahteraan orang lain dan kepentingan umum, dan seolah-olah
mengabaikan unsur etika. Ada cukup individu yang bertindak untuk kepentingan individu
lain. Sarjana lain yang kurang pedas kritknya mengatakan bahwa pendekatan ini sebaiknya
dianggap sebagai suatu teori khusus.

Pendekatan Rational Choice sangat berjasa untuk mendorong usaha kuantifikasi dalam
ilmu politik dan mengembangkan sifat empiris yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Salah satu reaksi terhadap pendekatan Rational Choice adalah timbulnya perhatian kembali
pada karya John Rawls, A Theory of Justice (1971) yang mengargumentasikan bahwa nilai-
nilai seperti keadilan, persamaan hak, dan moralitas merupakan sifat manusia yang perlu
diperhitungkan dan dikembangkan. Ia mendambakan suatu masyarakat yang mempunyai
konsensus kuat mengenai asas-asas keadilan yang harus dilaksanakan oleh institusi-institusi
politik.

Sementara para structural-functionalistmelihat negara sebagai salah satu sistem dari sekian
banyak sistem, maka para Neo-Marxis memandang negara (yang mereka selalu maksudkan
negara kapitalis) sebagai faktor negatif dalam konstelasi politik, karena sifatnya yang
represif.
Kedua pandangan ini mendorong beberapa sarjana untuk meninjau kembali peran negara di
masa modern.

Theda Skocpol juga menolak pandangan Neo-Marxis bahwa negara (kapitalis) hanya
instrumen untuk penindasan kelas atau suatu gelanggang untuk perjuangan antarkelas.

Pendekatan Institusionalisme Baru

Institusionalisme Baru (New Institusionalisme) berbeda dengan pendekatan-pendekatan


yang diuraikan sebelumnya. Ia lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa
pendekatan lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain seperti sosiologi,
Institusionalisme Baru ekonomi, dan sebagainya.

Institusionalisme Lama mengupas lembaga-lembaga kenegaraan (aparatur negara) seperti


apa adanya secara statis. Berbeda dengan itu, Institusionalisme Baru melihat institusi negara
sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu, misalnya membangun
masyarakat yang lebih makmur.

Institusionalisme Baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik
dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa. Bentuk dan sifat
dari institusi ditentukan oleh para aktor serta pilihannya. Dengan demikian kedudukan sentral
dari institusi-institusi dalam membentuk kebijakan publik dinomor duakan.

Sebagai instansi utama, yang merupakan faktor penting dalam menentukan dan membatasi
berbagai aspek yang diutamakan oleh pendekatan behavioralis. Pendekatan Institusionalisme
Baru menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran
dan bagaimana peran dan institusi berinteraksi.

Institusi politik adalah rules of the game (aturan main). Intitusi tidak hanya merupakan
refleksi dari kekuatan sosial. Institusi seperti pemerintah, parlemen, partai politik, dan
birokrasi mempunyai kekuatan sendiri, dan para aktor harus menyesuaikan diri padanya.

Menurut Jan-Erik Lane dan Svante Ersson, institusi mencakup (1)Struktur fisik, (2)Struktur
demografis, (3)Perkembangan historis, (4)Jaringan pribadi, dan (5)Struktur sementara (yaitu
keputus-keputusan sementara).Institusi adalah peraturan-peraturan yang stabil, yang
memungkinkan orang yang sebenarnya hanya mementingkan diri sendiri untuk bekerja sama
dengan orang lain untuk tujuan bersama.
Mulai masa Yunani Kuno (± 500 S.M), baik Athena (Draco) maupun Sparta (Lycurgus),
mempunyai law givers (penyusun undang-undang) untuk mengatur kehidupan mereka. Oleh
karena itu ada yang menyatakan "Politik adalah cara bagaimana manusia mengatur diri
sendiri." Maka timbulah bermacam-macam institusi; ada yang membuat peraturan, ada yang
melaksanakan peraturan, ada yang memberi hukuman kepada mereka yang melanggar
peraturan itu.

Institusi-institusi memengaruhi dan menentukan cara para aktor berusaha mencapai


tujuannya. Institusi memberi stabilitas, sebab tidak dapat diubah begitu saja. Institusi
mempunyai kekuasaan yang sedikit banyak otonom dan para aktor yang ingin mengubah
institusi tertentu akan mempertimbangkan akibat-akibat yang sering tidak dapat diramalkan.

Negara memiliki otonomi sendiri dan dapat mengadakan tindakan sendiri, terutama dalam
masa krisis. Tidak hanya menerima input dari lingkungan, tetapi atas dasar itu membuat
keputusan-keputusan dan kebijakan yang otoratif.

Para penganut pendekatan Rational Choice,yang tadinya berasumsi bahwa masyarakat


terdiri dari individu-individu yang egois, juga mulai menyadari bahwa dalam menghadapi
suatu institusi tertentu, keputus-keputusan yang diambil oleh manusia juga dipengaruhi faktor
lain. Dengan demikian manusia dari manusia yang tadinya hanya rational (yang memakai
akal) untuk kepentingan sempit, menjadi manusia yang reasonable (yang memikirkan apa
yang layak) untuk kepentingan bersama.

Inti dari Institusionalisme Baru dirumuskan oleh Robert E. Goodin sebagai berikut :

1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyknya dalam suatu konteks yang dibatasi
secara kolektif.
2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola
peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial, dan b) perilaku dari mereka
yang memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami
perubahan terus-menerus.
3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasanini dalam banyak hal juga memberi
keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka masing-
masing.
4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan
kelompok, juga memengaruhi pembentuk preferensi dan motivasi dari aktor dan
kelompok-kelompok.
5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis, sebagai peninggalan dari
tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
6. Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta
kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing.

InstitusionalismeBaru menjadi sangat penting bagi negara-negara yang baru


membebaskan diri dari cengkeraman suatu rezim yang otoriter serta represif. Sistem
pemerintahan yang mana yang lebih baik, parlementer atau presidensial. Sistem pemilu mana
yang lebih demokratis, sistem distrik atau proporsional.

Bagi penganut Institusionalisme Baru, pokok masalah ialah bagaimana membentuk institusi
yang dapat menghimpun secara efektif sebanyak mungkin preferensi dari para aktor untuk
menentukan kepentingan kolektif. Suatu design adalah ciptaan dari suatu rencana aksi untuk
meraih hasil-hasil yang bernilai dalam konteks tertentu (Design is a creation of an actionable
form to promote valued outcomes in a particular context).

Perbedaannya dengan Institusionalisme yang lama ialah perhatian Institusional Baru lebih
tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fisikal dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang
pada masalah konstitusi yuridis.

 Kesimpulan
Tak dapat dipungkiri bahwa akibat dari perkembangan berbagai pendekatan terhadap
gejala-gejala politik yang diuraikan di atas adalah terakumulasinya pengetahuan. Analisis dan
polemik anatar para sarjana yang kadang-kadang sengit sifatnya telah memperkaya khazanah
analisis. Seperti sering terjadi dalam perdebatan intelektual, pihak-pihak yang bersangkutan
mempertajam alat analisis (tools of analysis) masing-masing dan meneliti kembali rangka,
metode, dan tujuan dari ilmu politik. Interaksi dengan ilmu-ilmusosial lainnya juga telah
memperluas cakrawala. Hasil dari dialog ini sangat mendorong berkembangnya ilmu politik
itu sendiri, baik di bidang pembinaanteori(thory building), maupun dibidang penelitian
perbandingan antara negara-negara berkembang.

Dewasa ini telah terbentu suatu kesadaran bahwa setiap pendekatan hanya menyingkap
sebagian saja tabir kehidupan politik dan bahwatidak ada satupunpendekatan yang secara
mandiri dapat menjelaskan semua gejala politik. Kesadaran ini membuat para sarjana ilmu
politik lebih toleran terhadap pandangan sarjana lain. Masing-masing paradigma tidak lagi
bersaing, tetapi saling melengkapi dengan saling meminjam konsep dan alat analisis. Telah
tumbuh suatu visi pluralis mengenai metode dan pendekata, dan hal ini telah meningkatkan
kredibilitas ilmu politik.

Anda mungkin juga menyukai