Kelas, bagi Marx, selalu ddidefinisikan dari segi potensinya untuk konflik. Para individu
membentuk kelas sejauh mereka berada dalam konflik bersama dengan orang-orang lain
mengenai nilai surplus. Di dalam kapitalisme ada konflik kepentingan yang mendasar di antara
orang-orang yang membayar buruh upahan dan orang-orang yang bekerja diubah menjadi nilai
surplus. Konflik alami itulah yang menghasilkan kelas-kelas (Ollmann,1976).
Bagi Marx, suatu baru ada bila orang-orang menjadi sadar atas hubungan mereka yang berkonflik
dengan kelas-kelas lainnya. Tanpa kesadaran itu mereka hanya membentuk apa yang oleh Marx
disebut suatu kelas dalam dirinya sendiri.
Didalam kapitalise, analisis Mark menemukan dua kelas utama: borjuis dan proletariat. Borjuis
adalah nama yang di berikan Mark untuk kaum kapitalis di dalam ekonomi modern. Kaum
borjuis memiliki alat-alat produksi dan kaum poletariat adalah contoh lain kontradiksi material
yang nyata.
Karl Marx dikenal sebagai pencetus teori kelas. Sementara teori alienasi adalah bagian dari
teorinya mengenai dampak kapitalisme dalam masyarakat modern. Berikut adalah
penjelasannya.
Teori kelas
Menurut Karl Marx, terdapat dua kelas utama dalam masyarakat kapitalis, yaitu kelas
majikan dan kelas buruh. Pendapat Karl Marx tersebut dikenal dengan istilah teori kelas. Di
dalam teori tersebut, menurut Marx, perbedaan kedua kelas sosial tersebut terletak pada
kepemilikan alat produksi. Contohnya adalah tanah. Kelas borjuis adalah mereka yang
memiliki alat produksi dan menjadi pemilik modal, sementara kaum proletar tidak memiliki
modal. Perbedaan ini yang menjadi dasar sistem kapitalisme.
Teori alienasi
Dalam kehidupan modern, masyarakat semakin terasing dari kehidupan sosial. Waktu yang ia
miliki habis untuk bekerja dan menghasilkan produksi. Ini membuatnya terasing dari
kehidupannya sendiri dan mengurangi waktu untuk kehidupan sosial. Ini terjadi di
masyarakat industri dan sebagian besar masyarakat modern. Inilah dampak dari kapitalisme
yang membuat masyarakat semakin individualis dan tersekat-sekat. Contohnya dialami
semua orang bekerja dalam sistem ekonomi kapitalis.
Elit dan kekuasaan
Penggalan kutipan C. Wright Mills di atas menggambarkan bahwa konsep elite tidak pernah lepas
dari politik. Jika politik identik dengan urusan kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik,
dan alokasi maka elite adalah sekelompok kecil orang-orang yang terlibat di dalam urusan-urusan
tersebut. Dalam studi ilmu politik, seberapa besar pengaruh elite dapat terlihat dari perdebatan
antara teori elite dan pluralisme. Teori elite membantah pandangan pluralisme klasik yang
menganggap bahwa kekuasaan didistribusikan dengan setara. Menurut para ilmuwan yang
mencetuskan teori elite klasik (Pareto, Mosca, Michels hingga Weber), kekuasaan justru
terkonsentrasi di dalam sedikit kelompok atau individu. Dalam kasus Indonesia, studi tentang elite
dan kontrol terhadap kekuasaan sering kali membahas perubahan arena elite di era Reformasi. Elite
Orde Baru yang pada awalnya bersaing di Jakarta sebagai pusat pemerintahan kemudian
berkompetisi di tingkat regional melalui ruang-ruang baru yang disediakan oleh desentralisasi (Hadiz
2003). Salah satu ilustrasi yang dapat dijadikan contoh untuk melihat praktek perebutan kekuasaan
antara elite pusat dan daerah . Artikel-artikel yang dimaksud antara lain berbicara tentang proses
tarik menarik kepentingan dalam tata kelola hutan di era desentralisasi (dalam artikel Ali Muhyidin),
upaya mempertahankan kekuasaan Erdoğan di Turki (dalam artikel Abdul Hafizh Karim dan Hamdan
Basyar), kekalahan elite dalam pemilihan kepala desa (dalam artikel Endik Hidayat
Pemikiran Michel Foucault Tentang Kekuasaan. Bagi Foucault, kekuasaan tidak dipahami sebagai
sebuah kepemilikan layaknya properti atau posisi, melainkan dipahami sebagai sebuah strategi
dalam masyarakat yang melibatkan relasi-relasi yang beragam, Kekuasaan tidak berpusat pada
satu subjek atau lembaga, melainkan tersebar dimana-mana (omnipresent) dalam setiap relasi
sosial.
Kekuasaan bukan sesuatu yang diraih lalu berhenti, melainkan dijalankan dalam berbagai
relasi dan terus bergerak. Dalam masyarakat modern, bentuk kekuasaan bukanlah sovereign
power melainkan disciplinary power. Disciplinary power bukan konsep kekuasaan
berdasarkan otoritas untuk melakukan penghukuman dan kontrol secara represif seperti
dalam sovereign power, melainkan bekerja untuk menormalisasi kelakuan di berbagai relasi
sosial.
Proses normalisasi ini akan diendapkan dan diinternalisasikan melalui proses pembiasaan dalam
tubuh untuk kemudian memengaruhi sikap dan perilaku subjek, sehingga posisi subjek ketika telah
dinormalisasi adalah sebagai kendaraan bagi kekuasaan (vehicle of power).
Dalam istilah lain, Foucault menyebut pengetahuan sebagai episteme, yaitu bentuk pengetahuan
yang otoritatif atau pengetahuan yang telah dimantapkan sebagai pemaknaan terhadap situasi
tertentu pada suatu zaman.