Anda di halaman 1dari 3

ini konsep-konsep ilmu politik yang baru berangsur-angsur mulai dikenal, dan sudah diterima baik oleh

masyarakat. Sementara itu perkembangan ilmu-ilmu politik di negara-negara Eropa Timur


memperlihatkan bahwa pendekatan tradisional dari segi sejarah, filsafat, dan yuridis yang sudah lama
digunakan, masih berlaku hingga dewasa ini. Terdorong oleh tidak adanya keseragaman dalam
terminologi dan metodologi dalam Ilmu Politik, UNESCO pada tahun 1948 menyelenggarakan suatu
survei mengenai kedudukan ilmu politik di kira-kira 30 negara. Ebenstein dari Princeton University
Amerika Serikat, kemudian dibahas oleh beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan
menghasilkan buku Contemporary Political Science (1948).

Sebagai tindak lanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang
didirikan pada tahun 1949, menyelenggarakan suatu penelitian mendalam yang mencakup kira-kira
sepuluh negara, di antaranya negara-negara Barat besar, di samping India, Mexico, dan Polandia. Pada
tahun 1952 laporan-laporan ini dibahas dalam suatu konferensi di Cambridge, Inggris, dan hasilnya
disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The
University Teaching of Social Sciences: Political Sciences.

Buku ini merupakan bagian dari suatu rangkaian penerbitan UNESCO mengenai pengajaran beberapa
ilmu sosial (termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini
merupakan usaha internasional untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan
pandangan yang berbeda-beda. Pada masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan
penemuan dari antropologi, psikologi, ekonomi, dan sosiologi, dan dengan demikian ilmu politik telah
dapat meningkatkan mutu dengan banyak meng- ambil model dari cabang-cabang ilmu sosial lainnya.
Adakalanya dipersoalkan apakah ilmu politik merupakan suatu ilmu pengeta- huan (science) atau tidak,
dan disangsikan apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan.

Karakteristik ilmu pengeta- huan (science) ialah tantangan untuk menguji hipotesis melalui eksperimen
yang dapat dilakukan dalam keadaan terkontrol (controlled circumstances) misalnya laboratorium. Jika
definisi ini dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu- ilmu sosial lainnya belum memenuhi
syarat, karena sampai sekarang belum ditemukan hukum-hukum ilmiah seperti itu. Dengan kata lain
perilaku manusia tidak dapat diamati dalam keadaan terkontrol. Oleh karena itu pada awalnya para
sarjana ilmu sosial cenderung untuk merumuskan definisi yang umum sifatnya, seperti yang terlihat
pada per- temuan para sarjana ilmu politik yang diadakan di Paris pada tahun 1948.

Mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah keseluruhan dari pengetahuan yang
terkoordinasi mengenai pokok pemikiran tertentu (the sum of coordinated knowledge relative to a
determined subject). 1 Apabila perumusan ini dipakai sebagai patokan, maka memang ilmu politik boleh
dinamakan suatu ilmu pengetahuan. Akan tetapi pada tahun 1950-an ternyata banyak sarjana ilmu
politik sendiri tidak puas dengan perumusan yang luas ini, karena tidak mendorong para ahli untuk
mengembangkan metode ilmiah. Munculnya pendekatan perilaku (behavioral approach) dalam dekade
1950-an, merupakan gerakan pembaruan yang ingin meningkatkan mutu ilmu politik dan mencari suatu
new science of politics.

Gerakan baru ini, yang dapat disebut sebagai revolusi dalam ilmu politik, merumuskan pokok pemikiran
sebagai berikut: Sekalipun perilaku manusia adalah kompleks, tetapi ada pola-pola berulang (recurrent
patterns) yang dapat diidentifikasi. Pola-pola dan keteraturan perilaku ini dapat dibuktikan
kebenarannya melalui pengamatan yang teliti dan sistematis. Kritik yang dikemukakan ialah bahwa
pendekatan perilaku (behavioral approach) terlalu kuantitatif dan abstrak, sehingga tidak mencerminkan
realitas sosial. Berbeda dengan para behavioralis yang berpendapat bahwa nilai tidak boleh masuk
dalam analisis keadaan sosial, kelompok post-behavioralist berpendapat bahwa nilai-nilai boleh masuk
dalam analisis keadaan sosial.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul pendapat bahwa pendekatan behavioralis, dalam usaha
meneliti perilaku manusia, terlalu meremehkan negara beserta lembaga-lembaganya padahal
pentingnya lembaga-lembaga itu tidak dapat dinafikan. Aliran baru ini dipelopori antara lain oleh Theda
Skocpol yang menjadi tersohor karena tulisannya yang berjudul “Bringing the State Back In: Strategies of
Analysis in Current Research. ”2 Selain itu pengaruh Jadi jelaslah bahwa dewasa ini ada keterkaitan yang
erat antara ilmu po- litik dan ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti antropologi, sosiologi, dan ekonomi. Para
sarjana ilmu politik yang terkenal karena pendekatan perilaku politik ini adalah Gabriel A.

Salah satu pemikiran pokok dari para pelopor pendekatan perilaku adalah bahwa perilaku politik harus
lebih menjadi fokus pengamatan daripada lembaga- lembaga politik, atau kekuasaan, atau keyakinan
politik. 1. Perilaku politik memperlihatkan keteraturan (regularities) yang dapat dirumuskan dalam
generalisasi-generalisasi. 2.

Generalisasi-generalisasi ini pada asasnya harus dapat dibuktikan kebenarannya (verification) dengan
menunjuk pada perilaku yang relevan. 6. Penelitian politik mempunyai sifat terbuka terhadap konsep-
konsep, teori-teori, dan ilmu sosial lainnya. Dalam proses interaksi dengan ilmu- ilmu sosial lainnya
misalnya dimasukkan istilah baru seperti sistem politik, Berkat timbulnya pendekatan perilaku, telah
berkembang beberapa macam analisis yang mengajukan rumusan-rumusan baru tentang kedudukan
nilai-nilai (value) dalam penelitian politik serta satuan-satuan sosial yang hendak diamati.

Kedua analisa yang terakhir tadi erat berhubungan dan pada intinya berpangkal tolak pada meneropong
masyarakat dari segi keseluruhan (macro analysis) berdasarkan adanya hubungan erat antara unsur
masyarakat yang satu dengan unsur masyarakat lainnya yang akhirnya cenderung untuk mencapai
adanya keseimbangan dalam masyarakat. Pendekatan perilaku mempunyai beberapa keuntungan,
antara lain memberi kesempatan untuk mempelajari kegiatan dan susunan politik di beberapa negara
yang berbeda sejarah perkembangan, latar belakang kebudayaan, serta ideologinya, dengan
mempelajari bermacam-macam mekanisme yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu, yang memang
merupa- kan tujuan dari setiap kegiatan politik di mana pun terjadi. Sementara itu para pelopor
pendekatan tradisional tidak tinggal diam, dan terjadilah polemik yang sengit antara pendekatan
perilaku dan pendekatan tradisional. Juga dilontarkan kritik bahwa tidak ada relevansi dengan politik
praktis dan menutup mata terhadap masalah-masalah sosial yang ada.

Seperti sering terjadi dalam konflik intelektual, kedua belah pihak meningkatkan dan mempertajam alat
analisa (tools of analysis) masing- masing untuk meneliti kembali rangka, metode, dan tujuan dari ilmu
politik.

Anda mungkin juga menyukai