Anda di halaman 1dari 20

Pendekatan-Pendekatan

dalam Ilmu Politik

Evida Kartini
(evida.kartini@gmail.com)

Pendekatan dan Perkembangan


Ilmu Politik

Ilmu Politik mengalami perkembangan seiring dengan


munculnya berbagai pendekatan (approaches)
Mengamati kegiatan politik dapat dilakukan dengan berbagai
cara, tergantung perspektif atau kerangka acuan yang dipakai
Pendekatan adalah kriteria untuk menyeleksi masalah atau data
yang relevan (Vernon van Dyke).
Pendekatan mencakup standar atau tolak ukur yang dipakai
untuk memilih masalah, menentukan data mana yang akan
diteliti atau dikesampingkan.

Pendekatan Legal/Institusional

Merupakan pendekatan tradisional


Berkembang pada abad ke-19 sebelum Perang Dunia II

Isi Kajian:
Filsafat.

Normatif: Menjelaskan yang seharusnya, bukan keadaan


sebenarnya.
Preskriptif: Paduan mana yang baik dan buruk.
Sejarah.
Historis: Kajiannya tentang masa lampau.
Deskriptif: Bersifat paparan.
Hukum.
Legal konstitusional: Lembaga formal.

Pendekatan Legal/Institusional

Metode:

Kualitatif: Tidak memakai bantuan statistik dan matematika.


Metode kuantitatif dimulai sejak 1932.
Sarat Nilai: Syarat-syarat baik dan buruk dalam masyarakat.
Pendekatan tradisional gagal dalam pembangunan teori.
Namun banyak menghasilkan filsafat politik atau acuan
hukum atau etika politik.
Teori adalah penjelasan yang berasal dari fakta empirik.
Filsafat adalah penjelasan yang tidak berasal dari fakta
empirik.

Contoh:
Algemene Staatleer (Ilmu Negara) oleh R. Krannenburg.
The Web of Government oleh McIver.

Kelemahan Pendekatan Legal/Institusional

Adanya kekecewaan bahwa:


Ilmu politik tidak banyak membahas kekuasaan.
Terasing dari proses kebijakan.
Metodologi ilmu sangat terbelakang.
Kekecewaan itu muncul dari:
Mazhab Chicago, yang dipelopori oleh Charles E. Miriam dan
Harold D. Laswell.
Mazhab Chicago tidak setuju dengan pendekatan tradisional
yang:

membahas struktur dan bukannya proses


membahas lembaga dan bukannya perilaku (individu).

perlunya metode kuantifikasi.

Pendekatan Tingkah Laku/Behavioural

Berkembang di tahun 1950-an


Isi Kajian:
Sosiologi
Psikologi
Antropologi

Empirik.
Analitis.
Perilaku individu dan kelompok (non formal).
Bebas nilai.
Berhasil theory building.
Metode kuantitatif.

Pada pendekatan perilaku ini:


Pembahasan struktur berubah menjadi pembahasan proses.
Pembahasan lembaga berubah menjadi pembahasan perilaku.

Pendekatan Tingkah Laku/Behavioural

1.
2.

3.
4.
5.
6.

Konsep Pokok Pendekatan Tingkah Laku


Adanya regularities atau keteraturan dari prilaku
politik yang dapat diverifikasi kebenarannya.
Ada usaha untuk membedakan secara jelas antara
norma (ideal atau standar) sebagai pedoman prilaku
dengan fakta
Perlu tekhnik penelitian yang cermat dan
menggunakan pengukuran serta kuantifikasi.
Value-free
Theory building
Pure science

Pendekatan Tingkah Laku/Behavioural


Salah

satu ciri khas pendekatan ini adalah


pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat
sebagai suatu sistem sosial dan negara
sebagai suatu sistem politik yang menjadi
sub-sistem dari sistem sosial.
Dipelopori oleh:

Gabriel A. Almond (struktural fungsional)


David Easton (analisa sistem)

Pendekatan Tingkah Laku/Behavioural

1.
2.

3.

4.

Kritik terhadap Pendekatan Tingkah Laku


Pendekatan tingkah laku terlalu steril karena bersifat valuefree.
Tidak ada upaya mencari jawaban atas pertanyaan yang
mengandung nilai, misalnya apakah apakah sistem politik
demokrasi yang baik, bagaimana membangun masyarakat
yang adil, dsb.
Tidak memiliki relevansi dengan realitas politik karena terlalu
banyak memusatkan perhatian terhadap masalah yang kurang
penting (survei perilaku memilih, sikap politik, opini publik)
Tidak peduli terhadap masalah-masalah sosial yang gawat
seperti konflik dan pertentangan.

Pendekatan Pasca Tingkah Laku


Beberapa ciri:
Dalam usaha mengadakan penelitian empirik dan kuantitatif, ilmu politik
menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah-masalah
sosial. Revolusi pada masalah-masalah masyarakat lebih penting
daripada kecermatan.
Bersifat konservatif, karena terlalu menekankan keseimbangan dalam
sistem dan kurang memberi peluang-peluang pada perubahan.
Dalam penelitian, nilai-nilai tidak boleh dihilangkan. Ilmu tidak boleh
value free dalam evaluasinya.
Cendekiawan mempunyai tugas historis melibatkan diri dalam usaha
mengatasi masalah-masalah sosial dan mempertahankan nilai-nilai
kemanusiaan.
Sarjana harus action oriented. Membentuk masyarakat yang lebih baik.
Cendekiawan tidak boleh menghindari perjuangan dan harus turut
mempolitisasi organisasi-organisasi profesi dan lembaga-lembaga
ilmiah.

Pendekatan Pasca Tingkah Laku


Hasilnya:
Pendekatan membaur satu sama lain.
Pendekatan deskriptif dilengkapi dengan
analisis pelaku-pelakunya.
Nilai-nilai dan norma didudukan kembali
pada tempatnya yang terhormat.

Pendekatan Neo-Marxis

Merupakan kelompok yang terinspirasi dari tulisan-tulisan Karl


Marx saat muda.
Neo-marxis ini menolak komunisme, tidak setuju dengan banyak
aspek dari masyarakat kapitalis dan kecewa dengan kalangan
sosial demokrat.
Fokus analisis neo-marxis adalah kekuasaan serta konflik yang
terjadi dalam negara.
Neo-marxis mengkritik pendekatan tingkah laku karena terlalu
mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu
sistem politik.
Konflik antar kelas dalam pendekatan ini merupakan proses
dialektis paling penting yang mendorong perkembangan
masyarakat. Semua gejala politik harus dilihat dalam rangka
konflik antar kelas.

Pendekatan Neo-Marxis

Konflik-konflik lain dalam masyarakat seperti konflik


etnis, agama dan rasial secara langsung maupun tidak
langsung berhubungan erat dengan konflik antar kelas.
Misal Mazhab Frankfurt dan Marxisme Eksistensialis
Kritik terhadap pendekatan neo-marxis:

Cenderung mengecam pemikiran sarjana borjuis daripada


membangun teori yang mantap.
Neo-marxis kontemporer merupakan ciptaan dari teoritisi
sosial kampus (cap sosiologi borjuis).
Argumentasi yang tidak valid karena pemikiran Marx yang
tidak terbukti dengan jatuhnya pamor komunisme.

Teori Ketergantungan

Kelompok ini berpendapat bahwa imperialisme


masih ada dalam bentuk lain yaitu dominasi
ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negaranegara kurang maju.
Negara maju meskipun telah melepaskan tanah
jajahannya tetapi tetap mengendalikan
perekonomian negara eks jajahannya tersebut.
Pembangunan yang dilakukan di negara-negara
kurang maju atau dunia ketiga dianggap memiliki
keterkaitan erat dengan kepentingan negara maju
atau dunia pertama.

Teori Ketergantungan

1.

2.

Hal ini ditunjukkan dengan:


Negara dunia ketiga selalu menyediakan sumber daya baik
manusia dan alam dengan harga yang sangat murah untuk
kepentingan negara dunia pertama.
Negara dunia ketiga menjadi pasar untuk hasil produksi negara
maju, sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh
negara maju.
Negara dunia pertama mendapat surplus atas hal di atas.
Hal di atas menunjukkan posisi lemah negara dunia ketiga
sehingga mereka cenderung sukar untuk maju karena
mengalami ketergantungan.
Ini yang menjadi perhatian para ilmuwan teori ketergantungan
dalam kritik terhadap pendekatan tingkah laku yang rigid dan
terlalu fokus pada apa yang terjadi di negara dunia pertama.

Pendekatan Pilihan Rasional

1.

2.
3.
4.
5.

Menganggap bahwa pendekatan ini telah menjadikan ilmu


politik sebagai suatu ilmu yang benar-benar science, dengan
pemikiran:
Manusia politik (homo politicus) sudah menuju ke arah
manusia ekonomi (homo economicus) karena melihat adanya
kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi terutama dalam
penentuan kebijakan publik.
Perilaku manusia dapat diramalkan dengan mengetahui
kepentingan-kepentingan dari aktor yang bersangkutan.
Adanya simplifikasi radikal dan memakai metode matematika
untuk menjelaskan dan menafsirkan gejala-gejala politik.
Teknik-teknik formal yang dipakai para ahli ekonomi
diaplikasikan dalam penelitian gejala-gejala politik.
Metode induktif akan menghasilkan model-model untuk
berbagai tindakan politik.

Pendekatan Pilihan Rasional

Inti dari politik menurut pendekatan ini adalah


Individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik memiliki
tujuan (goal-seeking dan goal-oriented) yang mencerminkan apa
yang dianggapnya sebagai kepentingan diri sendiri.
Ini dilakukan dalam situasi terbatasnya sumber daya (resource
restraint).
Oleh karenanya individu perlu membuat pilihan atas beberapa
alternatif untuk keuntungan dan kegunaan yang paling maksimal
baginya (adanya rangking preferensi)
Para pelaku pilihan rasional ini terutama politisi, birokrat, voters
dan aktor ekonomi pada dasarnya egois dan segala tindakannya
berdasarkan kecenderungan ini. Selalu mencari cara yang
efisien untuk mencapai tujuannya. Adanya optimalisasi
kepentingan dan efisiensi.

Pendekatan Pilihan Rasional

1.

2.

3.
4.

Pendekatan ini mendapat kritik tajam terutama dari kalangan


behaviouralis:
Dianggap tidak memperhatikan kenyataan bahwa manusia
dalam perilaku politiknya sering tidak rasional, bahwa manusia
sering tidak memiliki skala preferensi yang tegas dan stabil.
Ada pertimbangan lain yang turut menentukan sikapnya seperti
faktor sejarah, agama, budaya dan moralitas.
Memaksimalkan kepentingan sendiri secara tidak langsung
mengabaikan kesejahteraan orang lain, mengabaikan
kepentingan umum dan unsur etika.
Skala preferensi manusia cenderung berubah-ubah sepanjang
masa.
Pendekatan ini terlalu individualistik dan materialistik dan
manusia dianggap tidak memiliki sifat altruism.

Pendekatan Institusionalisme Baru

Merupakan penyimpangan dari pendekatan kelembagaan atau


tradisional. Pendekatan ini menjadi penting bagi negara-negara
yang baru membebaskan diri dari rezim otoriter/totaliter.
Pendekatan ini melihat institusi negara sebagai hal yang dapat
diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu, mislanya membangun
masyarakat yang lebih makmur. Ini perlu rencana atau design.
Memandang negara dengan berbagai institusinya sebagai
instansi utama, merupakan faktor penting dalam menentukan
dan membatasi berbagai aspek yang diutamakan oleh
pendekatan behaviouralis.
Pendekatan ini menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu,
apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan
institusi berinteraksi.

Pendekatan Institusionalisme Baru

1.
2.

3.

4.

5.
6.

Inti dari Institusionalisme Baru (Robert E. Goodin)


Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang
dibatasi secara kolektif.
Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu (a) pola
norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial,
(b) perilaku dari mereka yang memegang peranan itu. Peran itu telah
ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan secara terus
menerus.
Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal
memberikan keuntungan bagi individu dan kelompok dalam mengejar
proyek masing-masing .
Ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan
kelompok juga mempengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi dari
aktor dan kelompok-kelompok.
Pembatasan-pembatasan ini memiliki akar historis sebagai peninggalan
dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
Pembatasan ini mewujudkan , memelihara dan memberi peluang serta
kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai