Anda di halaman 1dari 6

Sifat dan Definisi Partisipasi Politik

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara
langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Herbert
Mc Closky seorang tokoh masalah partisapi berpendapat : partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian
dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum (The term political participation will refer to those voluntary
activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the formatian of public policy). Samuel P. Hungtinton dan Joan M. Nelson
dalam No Easy Choice: Participation in Developing Countries memberi tafsiran: Partisipasi
politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
memengaruhi pembuatan keputusan-keputusan oleh pemerintah. Bisa bersifat individual atau
kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.
Di negara-negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat, jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari
penyelenggaran kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Anggota masyarakat yang
berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, dan
bahwa mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang
untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan
mereka mempunyai efek politik. Perasaan kesadaran seperti ini dimulai dari orang yang
berpendidikan, mulanya di Eropa hanya elite masyarakat seja yang diwakili di dalam
perwakilan. Di amerika, perempuan baru mempunyai hak suara setelah adanya Amandemen
ke- 19 pada tahun 1920. Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih
banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Hal itu juga menunjukkan bahwa rezim yang
bersangkutan memiliki kadar keabsahan (legitimacy) yang tinggi. Sebaliknya, tingkat
partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena
dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruhperhatian terhadap masalah kenegaraan.
Selain itu, para sarjana mengamati masyarakat demokrasi barat juga cenderung berpendapat
bahwa yang dinamakan partisipasi politik hanya terbatas pada kegiatan sukarela, yaitu
kegiatan yang dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari siapa pun. Beberapa sarjana yang
banyak mempelajari negara-negara komunis dan berbagai negara berkembang, cenderung
berpendapat bahwa kegiatan yang tidak sukarela pun tercakup, karena sukar dan kegiatan
yang dipaksakan secara terselubung, oleh penguasa maupun kelompok lain. Huntington dan
Nelson membedakan antara partisipasi yang bersifat otonom (autonomous participation) dan
partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized participation). Ada
juga yang menamakan gejala terakhir ini sebagai regimented participation. Dalam hubungan
ini mungkin dapat dikatakan bahwa dalam hampir setiap kegiatan partisipasi ada unsur
tekanan atau manipulasi, tetapi di negara-negara demokrasi Barat tekanan semacam ini jauh
lebih sedikit dibanding dengan negara-negara otoriter. Huntington dan Nelson menganggap
bahwa kegiatan yang ada unsur destruktifnya seperti demonstrasi, teror, pembunuhan politik,

dan lain-lain, merupakan suatu bentuk partisipasi. Mc Closky dalam tulisannya tersebut
mengemukakan bahwa sikap apati ini malahan dapat diartikan sebagaihal yang positif karena
memberi fleksibilitas kepada sistem politik, dibanding dengan masyarakat yang mengalami
partisipasi berlebih-lebihan dan dimana warganya terlalu aktif, sehingga menjurus ke
pertikaian, fragmentasi, dan instabilitas sebagai manifestasi ketidakpuasan. Jadi, apatis
dalam pandangan ini tidak menunjuk rasa kecewa atau frustasi, tetapi malahan sebagai
manifestasi rasa puas dan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada. Galen A. Irwin
dalam tulisannya political efficacy, satisfaction and participation menyimpulkan bahwa
dalam beberapa keadaan tertentu, perasaan puas menyebabkan partisipasi yag lebih rendah.
Akan tetapi semua sarjana tersebut sependapat bahwa yang lebih penting adalah meneliti
sebab-sebab mengapa seseorang tidak memberikan suaranya.

Partisipasi Politik di Negara Demokrasi

Kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik menunjukkan pelbagai


bentuk dan intensitas. Dibawah ini dipaparkan dua pola paramida partisipasi. Partisipasi I
menurut Milbarth dan Goel, dibagikan dalam tiga kategori: a. Pemain (Gladiators), b.
Penonton (Spectators), dan c. Apatis (Apathetics).
Bagan I
Piramida Partisipasi Politik

Piramida partisipasi politik II, oleh David F Roth dan Frank L. Winson, terbagi dalam
empat kategori: a. Aktitivis (Activists), b. Partisipan (Perticipants), c. Penonton
(Onlookers), dan d. Apolitis (Apoliticals). Piramida menurut Roth dan Wilson menarik
untuk disimak karena memasukkan perilaku menyimpang (the deviant).
Bagan II
Piramida Partisipasi Politik II

Penelitia
n lain yang dilakukan oleh Verba dan Nie dari sejumlah orang amerika yang diteliti:
a. Dua puluh persen dari masyarakat Amerika sama sekali tidak aktif dalam kehidupan
politik, memberikan suara pemilihan pun tidak.
b. Dua puluh satu persen- disebut spesialis pemilih hanya aktif dalam memberikan
suara, tetapi tidak mengadakan kegiatan politik lainnya.
c. Empat persen- disebut partisipan parokial hanya aktif mengontak pejabat baik di
pemerintahan maupun di partai, apabila mereka menemui persoalan tertentu.
d. Dua puluh persen- disebut komunalis mengontak pejabat partai dan pemerintahan
mengenai banyak isu, dan mereka bekerja sama untuk menangani isu-isu tersebut.
Kebayakan dari mereka memilih, tetapi tidak mau melibatkan diri dalam kampanye
pemilu.
e. Lima belas persen- disebut aktivis kampanye selalu memberikan suara dalam
pemilihan dan aktif dalam kampanye pemilihan.

f. Sebelas persen- disebut aktivis penuh. Kelompok ini merupakan aktivis dalam arti
aktif melakukan segala macam kegiatan politik termasuk berkampanye, menjadi
pimpinan partai sepenuh waktu, dan sebagainya.
Di Amerika Serikat voter turnout umumnya lebih rendah daripada negara-negara Eropa
Barat. Di Amerika presentase tahun 1995 kurang dari 50%, sementara di negara-negara
Eropa lebih baik. Contohnya: Prancis dan Jerman. Pemilu 1990 di Prancis angka
partisipasi mencapai 86%, sedangkan di Jerman pemilu 1992 mencapai 90%. Di Inggris
pemilu 1992 cukup tinggi mencapai 77%. Di Belanda angkanya sama dengan Prancis
86%. Perkembangan pemilu berikutnya. Di Inggris pemilu 2001 turun menjadi 59,2%,
pada 2005 meningkat menjadi 61,3%. Sedangkan di Jerman, pemilu 1994, jumlah yang
menggunakan hak pilih adalah 47.105.174. pada pemilu 1998 meningkat menjadi
49.308.512 orang. Pada pemilu 2002 berkurang menjadi 47.980.340 orang. Di Australia
voter turnout tinggi (karena wajib), yaitu hampir 95%. Presentasi voter turnout yang
paling tinggi adalah uni soviet dalam masa jayanya. Beralih ke profil partisipasi,
memperoleh data partisipasi di negara-negara berkembang ternyata tidak mudah, di India
misalnya, pemilu yang dilaksanakan pada bulan November 1993, presentase yang
memberi suara adalah kira-kira 50%. Berubah sedikit pada pemilu selanjutnya. Tahun
1999 yang memberikan suara 57,7% dan pemilu 2004 presentase suaranya kurang dari
60%. Sedangkan di Singapura, presentase pemilih dalam pemilu 1999 warga yang
menggunakan hak suaranya 69,5%. Di Indonesia presentase pemilih sangat tinggi
mencapai 90%. Pemilu 1955 yang diselenggarakan dalam suasana yang khidmat karena
merupakan pemilu pertama yang pernah diadakan, presentasenya mencapai 91%, yaitu 39
juta dari total warga yang berhak memilih sejumlah 43 juta. Presentase partisipasi pada
tahun 1992 dalam masa otoriter adlah 95% atau 102,3 juta yang memakai hak pilihnya.
Di masa Reformasi pemilu 1999, dan tahun 2004 partisipasi menurun. Partisipasi
legislatif 2004 turun menjadi 84% dan untuk pemilu presiden putaran kedua turun
menjadi 77,4%. Penelitian mengenai partisipasi politik di luar pemberian suara dalam
pemilu dilakukan oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Dari hasil penelitiannya
yang dituangkan dalam karya klasik Civic Culture ditemukan beberapa hal yang menarik.
Dibanding denga warga di beberapa negara Eopa Barat, orang Amerika tidak terlalu
bergairah untuk memberi suara dalam pemilu.

Sesudah pertanyaan mengenai presentase pemilih, timbul pertanyaan apakah faktor


(sosial-ekonomis misalnya)yang memengaruhi sikap pemilih. Sudah ada kajian
komparatif mengenai hal ini, pda masa 1970-an hingga 1980-an. Berikut ini disampaikan
karakteristik sosial pada pemilihan umum Amerika.

Anda mungkin juga menyukai