Anda di halaman 1dari 74

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan sarana untuk terjalinnya hubungan antar

seseorang dengan orang lain, dengan adanya komunikasi maka terjadilah

hubungan social antara satu dengan yang lainnya, atau terjadinya interaksi

timbal balik. Aktivitas komunikasi dalam kehidupan manusia mencakup

spektrum yang sangat luas. Komunikasi menjadi wahana yang penting dalam

menyampaikan pikiran, perasaan, ide-ide dan masalah kehidupan yang

dihadapi seseorang kepada orang lain.


Komunikasi bisa berlangsung dalam bentuk komunikasi verbal dan

atau nonverbal. Komunikasi nonverbal melibatkan pesan bersifat simbolik.

simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang

digunakan dan dipahami suatu komunitas. Sedangkan komunikasi nonverbal

memiliki pesan makna bersifat simbolik. Komunikasi yang menggunakan

pesan-pesan nonverbal bersifat simbolik, misalnya, gerak-gerik tarian.


Tarian merupakan gerakan-gerakan khusus yang berirama untuk

menyampaikan kisah, perasaan dan atau maksud tertentu. Selain gerakan,

pakaian adat dan musik pada tarian menjadi unsur yang tidak terlepaskan yang

berguna untuk menyampaikan pesan atau untuk menjelaskan identitas diri.

Tarian merupakan sebuah cara yang dapat digunakan untuk menyatakan atau

mengkomunikasikan tentang identitas dan kebudayaan.


Budaya adalah hal yang sangat penting dan sakral untuk dijaga dan

dipelihara keberadaannya. Budaya yang dikemukakan Koentjaraningrat (2002)

yang mendefinisikan sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya
2

manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa

dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Definisi tersebut

mendominasi pemikiran dalam kajian-kajian budaya di Indonesia sejak tahun

70-an, sejak buku ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ diterbitkan.


Dapat dilihat bahwa ada hubungan yang mutlak antara manusia dan

kebudayaannya sehingga manusia pada hakikatnya dapat disebut makhluk

budaya. Kebudayaan itu sendiri merupakan kesatuan dari gagasan simbol-

simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia,

sehingga tidaklah berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya

kebudayaan dan simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia, sehingga

manusia disebut sebagai Homo Simbolicum. Berdasarkan hal tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa karya manusia penuh dengan simbolisme, sesuai

dengan tata pemikiran atau paham yang mengarahkan pola-pola kehidupan

sosialnya. Sobur (2006)


Demikian halnya Tari Kajangki dan budaya Luwu (To luwu) yang ada

di Kabupaten Luwu Timur khususnya dikecamatan Wotu, Sulawesi Selatan.

Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia

Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang

mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao), Sulawesi Selatan, Kolaka

(Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Disebutkan raja pertama

yang mendirikan Kerajaan Ware’ (luwu) di Wotu bernama Batara Guru. Ia

digambarkan seorang anak laki-laki tertua To Palanroe, maha dewa di langit,

nama lainnya ada Patotoe.


Sejarah peradaban Luwu banyak meninggalkan peninggalan-

peninggalan prasejarah dan budaya yang hingga kini dapat kita saksikan.
3

Selain beberapa bangunan bekas kerajaan serta hasil kerajinan pandai besi di

Rongkong, Ada juga sejumlah tari-tarian Luwu, salah satunya yang paling

terkenal dan tertua adalah Tari Kajangki di Wotu.


Tari Kajangki pada umumnya dipertunjukkan oleh pemuda-pemudi

Wotu. Tarian ini sangat menarik karena menampilkan gerakan yang sangat

spritualis dan kompak, memadukan kelincahan penari dalam melompat dan

berputar dengan intrumen tari berupa kawali/badik dan instrument musik

berupa gendang dan gong. Tari Kajangki merupakan tarian sukacita, yang

biasa ditampilkan dalam perayaan pesta pernikahan, memasuki rumah atau

penjemputan tamu yang dihormati serta perayaan kemenangan perang.

Dengan pakaian adat lengkap, Tari Kajangki dipentaskan oleh 5 orang.


Untuk mengerti simbol-simbol yang terdapat dalam suatu masyarakat

tradisional yang mungkin berkaitan dengan mitos dan spirit religius, maka

dibutuhkan pengetahuan mengenai sistem budaya yang berlaku dalam

masyarakat itu, termasuk pandangan hidupnya. Demikian halnya simbolisme

pada tiap gerakan Tari Kajangki yang hanya dipahami secara menyeluruh

tanpa terlebih dahulu dimengerti sistem budaya masyarakatnya.


Sebelumnya banyak penelitian serupa yang berusaha

menginterpretasikan makna simbolik dari berbagai tradisi dan budaya di

Indonesia, namun hanya sedikit yang berbicara tentang budaya Luwu. Dalam

penelitian ini, makna simbolik Tari Kajangki dikaji menggunakan pendekatan

semiotika untuk menganalisis makna dari tiap gerakan Tari Kajangki yang

hanya dipahami secara menyeluruh tanpa terlebih dahulu di mengerti sistem

budaya masyarakatnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, penulis

tertarik menganalisis makna-makna simbolik dan pesan yang tersirat dalam


4

setiap gerakan Tari Kajangki dalam masyarakat Luwu khusunya di Wotu.

Maka, penulis mengangkat penelitian yang berjudul : “Makna Simbolik Tari

Kajangki dalam Upacara Pernikahan di Wotu Kabupaten Luwu Timur”.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang uraikan di atas, maka perumusan

masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana representasi pesan simbolik Tari Kajangki dalam

Upacara Pernikahan di Wotu Kabupaten Luwu Timur?


2. Bagaimana makna pesan simbolik Tari Kajangki dalam Upacara

Pernikahan di Wotu Kabupaten Luwu Timur?


C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui makna pesan simbolik dalam Tari Kajangki

pada Upacara Pernikahan di Wotu Kabupaten Luwu Timur.


2. Untuk Memahami refresentasi pesan simbolik Tari Kajangki pada

Upacara Pernikahan di Wotu Kabupaten Luwu Timur.


D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Sebagai masukan dan pengembangan ilmu pengetahuan umumnya

dan ilmu komunikasi pada khususnya kajian analisis semiotika.


b. Bahan referensi untuk kajian-kajian penelitian yang serupa, terutama

berkaitan dengan kajian semiotika.


2. Kegunaan Praktis
a. Menambah wawasan masyarakat tentang budaya Luwu khusus dalam

memahami makna Tari Kajangki.


b. Diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah daerah setempat dan

mempromosikan budaya Luwu melalui Tarian Kajangki yang serat

nilai makna simbolik


5

c. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada jurusan

Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Hasanuddin.
E. Kerangka Konseptual Penelitian
Komunikasi adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara

si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku.

(Muhammad,2009:4). Komunikasi terdiri atas 2 jenis, yaitu komunikasi

verbal dan nonverbal. Pesan verbal adalah semua jenis simbol yang

menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat didefinisikan sebagai

seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol

tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Sedangkan

komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan pesan-pesan

nonverbal.
Komunikasi nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua

peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Secara teoritis

komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal dapat dipisahkan, namun dalam

kenyataannya, kedua jenis komunikasi ini saling jalin menjalin, saling

melengkapi dalam komunikasi yang kita lakukan sehari-hari.

Tarian merupakan salah satu sarana bagi manusia berkomunikasi dan

menyampaikan pesan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Pesan verbal

terwujud dalam tanda-tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang

dihasilkan oleh alat bicara dan sebagainya. Sedangkan pesan nonverbal

merupakan pesan yang terwujud atau berupa tanda yang menggunakan

anggota badan, lalu diikuti dengan lambang, suara, tanda yang diciptakan
6

oleh manusia untuk menghemat waktu, tenaga, menjaga kerahasiaan, dan

benda-benda yang bermakna kultural dan ritual (Danesi, 2004:47).

Komunikasi berperan dalam proses pemaknaan dari simbol-simbol

yang terdapat dalam budaya (Donsbach, 2008:1127). Seperti di dijelaskan

Griffin (2012 :6) mendefinisikan komunikasi sebagai “ The relational

process of creating and interpreting massager that elicit a response”.

Definisi tersebut dapat dikatakan bahwa komunikasi bukan hanya sebuah

proses pengiriman pesan saja namun juga suatu proses interpretasi terhadap

suatu pesan yang menghasilkan suatu respon (feeback).


Komunikasi dalam kebudayaan memiliki keterkaitan yang sulit untuk

dipisahkan. Clifford Geerts dalam (Budi, 1992:5) berpendapat bahwa

kebudayaan merupakan jaringan-jaringan makna yang dibentuk oleh

manusia. Jaringan-jaringan makna yang di maksud oleh Geerts disini adalah

sistem-sistem yang saling terkait dengan tanda-tanda yang ditafsirkan

(simbol-simbol). (Budi,1992 : 17).


Dalam konsep Peirce, simbol atau lambang merupakan suatu kategori

dari tanda (sign). Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan

dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam

semesta. Kita mempunyai kemungkinan yang luas dalam keanekaragaman

tanda-tanda, dan di antaranya tanda-tanda linguistik merupakan kategori yang

penting, tetapi bukan satu-satunya kategori.

Simbol dan makna merupakan unsur penting dalam komunikasi,

simbol merupakan suatu bentuk yang menandai sesuatu yang lain diluar

perwujudan bentuk simbol itu sendiri. Simbol merupakan kata atau suatu
7

yang bisa dianalogikakan sebagai kata yang terkait dengan penafsiran

pemakai, kaida pemakain sesuatu dengan jenis wacananya, kreasi

memberikan makna sesuai dengan intens pemakainya (Sobur, 2013 :156).


Sebuah simbol merupakan sebuah tanda yang mewakili suatu objek

berdasarkan persetujuan dalam konteks tertentu (Danesi, 2014:27). Simbol

memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan

simbol dengan objek rujukannya sebab hubungan keduanya bersifat

konfensional (Sobur, 2013:156-160).


Brown dalam (Sobur, 2013:256) mendefinisikan makna sebagai

kecenderungan total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk

bahasa. Makna pada umumnya merupakan hasil dari persetujuan dalam suatu

budaya atau masyarakat dan bersifat dinamis atau dapat berubah (Dosnbach,

2008:2804). Makna merupakan sebuah konsep yang membingungkan bagi

para ahli Ogden dan Ricshards dalam bukunya The Meaning of Meaning

mengemukakan sulitnya menangkap pemikiran kompleks dari konsep makna

(Donsbach, 2008:2803).
Ada beberapa pandangan mengenai makna yang mencoba untuk

memudahkan dalam mengerti konsep makna. Salah satu pandangan mengenai

makna berasal dari pemikiran Alston dalam (Sobur, 2013:259). Teori alston

mencakup tiga teori yaitu :


1. Teori acuan (referential theory). Menurut alston, teori acuan merupakan

salah satu teori makna yang mengenali atau mengidentifikasikan makna

suatu ungkapan dengan apa yang diacukannya atau dengan hubungan

acuan itu.
2. Teori ideasional (ideantional theory). Teori ini suatu jenis teori yang

mengenali atau mengidentifikaasi makna ungkapan dengan gagasan-


8

gagasan yang berhubungan dengan ungkapan tersebut. Pada dasarnya

teori ideasional meletakan gagasan (ide) sebagai titik sentral yang

menentuka makna suatu ungkapan.


3. Teori tingkah laku (behavioral theory). Menurut alston, teori tingkah laku

merupakan salah satu teori makna mengenai makna suatu kata atau

ungkapan bahasa dengan rangsangan-rangsangan (stimuli) yang

menimbulkan ucapan tersebut, dan atau tanggapan-tanggapan (responses)

yang timbulkan oleh ucapan tersebut, makna menurut teori ini merupakan

rangsangan untuk menimbulkan perilaku tertentu sebagai respon kepada

rangsangan itu tadi.


Dalam komunikasi, proses interaksi antara pengirim dan penerima

pesan diantarai oleh penggunaan atau interpretasi simbol-simbol. Proses

interpretasi adalah proses berfikir yang merupakan kemampuan khas yang

dimiliki manusia (Sihabudin, 2013:74). Pesan tidak menafsirkan maknanya

sendiri melainkan manusia sebagai pengirim dan penerima pesan yang

menafsirkannya (Griffin, 2012:7). Simbol-simbol dalam kebudayaan merupakan

pesan yang memiliki arti baik bagi pengirim maupun penerima pesan tersebut.
Makna bisa dikatakan sebagai produk interaksi simbolik (Sihabudin,

2013:73). Interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas

manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Mulyana

dalam (Sobur, 2013:197). Blumer dalam (Sobur, 2013:199) mengembangkan

tiga teori interaksionisme simbolis yang bertempu pada tiga premis utama:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkaan makna – makna yang ada

pada sesuatu itu bagi mereka.


2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang

lain.
9

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang

berlangsung.

Di dalam budaya terdapat beberapa unsur yang terdiri atas bahasa,

sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,

sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian. Tiap unsur budaya

tersebut terbagi dalam tiga wujud yaitu wujud sistem budaya, wujud sistem

sosial dan wujud keadaan fisik (Koentjaranigrat, 2009: 165,167). Berdasarkan

unsur kebudayaan dan wujudnya, tarian dapat dikatakan sebagai wujud

kebudayaan fisik dari unsur kesenian.

Tarian merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapan dengan

gerak-gerak ritmis yang indah. Pada zaman dahulu, manusia primitive

mengekspresikan emosinya dengan menari. Dalam berbagai situasi yang

mempengaruhi perasaan mereka, hal ini menjadi alasan mengapa banyak tarian

yang digunakan dalam berbagai situasi seperti kelahiran, kematian, pernikahan,

pertambahan usia, kesuburan, perang dan wabah penyakit, pengusiran setan, dan

penyembuhan penyakit (Martin,1989 : 8).

Tarian merupakan bentuk visual kompleks yang berkomunikasi

melalui gerakan dalam ruang waktu, biasanya berhubungan dengan musik dan

puisi tari- tarian menyampaikan makna-makna yang diterima sebagai suatu

kesepakatan kultural dalam suatu konteks sosial. Melalui suatu tari-tarian kita

dapat melihat perwujudan kecil dari sebuah struktur mendalam atau filosofi

mendasar dari sebuah masyarakaat. Sulit untuk memahami maupun


10

menyampaikan pesan dalam suatu tarian secara lintas budaya tanpa memahami

tradisi dari tarian itu sendiri dalam suatu kebudayaan (Donsbach, 2008:1165).

Tari Kajangki sebagai tindakan dan hasil karya masyarakat di masa

lalu merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Luwu. Masyarakat Luwu

masih mempertahankan kebudayaan tersebut karena adanya proses pembelajaran

dari generasi ke generasi proses pembelajaran ini dilakukan melalui proses

komunikasi. Simbol-simbol kebudayaan masyarakat Luwu yang berasal dari

tindakan maupun hasil karya para leluhur di masa lalu mampu bertahan sampai

saat ini karena adanya respon dari masyarakat Luwu. Respon tersebut dapat

dilihat dari usaha masyarakat Luwu dalam memaknai dan mempertahankan

kebudayaan dari generasi ke generasi.

Tari Kajangki adalah tarian yang dipertunjukan oleh pemuda-pemudi

Luwu. Tarian ini sangat menarik karena menampilkan gerakan yang dinamis

dan kompak, memadukan kelincahan penari dalam Gerakan dengan permainan

istrumen music berupa gendang dan gong. Dalam penelitian ini penulis berfokus

pada Makna Simbolis dan Pesan yang tersirat dalam setiap gerakan Tari

Kajangki.

Di dalam sebuah tarian terkandung makna-makna, baik yang mudah

dimengerti maupun makna simbolis yang memerlukan kesadaran manusia untuk

menafsirkannya (Sudarsono,1933:35). Untuk mengetahui makna-makna

simbolik dalam sebuah tarian maka diperlukan analisis terhadap tanda-tanda

yang terdapat dalam tarian tersebut. (Geerst, 1992:5) meyakini bahwa


11

kebudayaan terdiri atas simbol-simbol pembawa makna dan untuk

menganalisisnya diperlukan Semiotik sebagai ilmu yang bersifat interpretatif.

Semiotik adalah metode yang dipakai untuk menganalisis tanda-tanda

atau signs (Rachmah, 2014:75). Semiotika adalah kajian ilmu mengenai tanda

yang ada dalam kehidupan manusia serta makna dibalik tanda tersebut.. Menurut

Peirce semiotika didasarkan pada logika, karena logika mempelajari bagaimana

orang bernalar, sedangkan penalaran menurut Peirce dilakukan melalui tanda-

tanda. Peirce berpandangan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek

menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda

atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. (Van Zoest, 1978,

dalam Rusmana, 2005 dalam Nawiroh, 2014)

Di dalam Teori Semiologi (sebutan lain dari semiotika) yang

dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure yang dikenal dengan istilah konsep

dyadic, tanda tersusun atas dua bagian yaitu Signifier (penanda) dan Signified

(petanda). Penanda merupakan aspek material sedangkan petanda merupakan

gambaran mental, fikiran, atau konsep. Menurut Saussure, petanda dan penanda

merupakan suatu kesatuan bagaikan dua sisi bagi sehelai kertas (Vera, 2014:46).

Pierce memperkenalkan istilah semiotik dengan hubungan segitiga

triadic. Bagi Peirce tanda “is something which stands to somebody for

something in some respect or capacity.” (Pateda, 2001:44 dalam Sobur,

2003:41). Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut

ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam

hubungan triadik, yakni Sign, object,dan interpretant.


12

Jika membandingkan dalam semiotika Saussure yang menawarkan

konsep dyadic, maka dalam konsep Pierce menawarkan model dengan apa yang

disebut triadic dan konsep trikonominya yang terbagi menjadi tiga, yakni

sebagai berikut:

Sign

Interpretan Object
Gambar 1.1
Segi Tiga Semiotika C.S.Pierce
(Sumbo Tinarbuko, 2008, dalam buku semiotika komunikasi visual)

Model gambar diatas seringkali disebut juga sebagai teori segitiga

makna (triangle meaning semiotics). Menurut Nawiroh Vera (2014), dalam

pandangan Pierce, fungsi tanda merupakan proses konseptual yang akan terus

berlangsung dan tak terbatas. Kondisi tersebut dinamakan “Semiosis tak

terbatas”, yaitu rantai makna keputusan oleh tanda-tanda baru menafsirkan tanda

sebelumnya atau seperangkat tanda-tanda. Proses tersebut tidak ada awal dan

tidak ada akhir karena semuanya saling berhubungan. Selanjutnya salah satu

bentuk tanda (sign) adalah kata. Sedangkan sesuatu dapat disebut representamen

(tanda) apabila memenuhi dua syarat diantaranya adalah pertama, bisa

dipersepsi, baik dengan panca-indera maupun dengan pikiran atau perasaan.


13

Kedua, berfungsi sebagai tanda (mewakili sesuatu yang lain). Disisi lain

Interpretant bukanlah penginterpretasi atau penafsir (walaupun keduanya kadang

kala tumpang tindih dalam teori Pierce). Interpretant adalah apa yang

memastikan dan menjamin validitas tanda, walaupun penginterpretasi tidak

ada. Interpretant adalah apa yang diproduksi tanda di dalam kuasa pikiranlah

yang jadi penginterpretasi, namun dia juga dapat dipahami representamen.

Menurut Umberto Eco (2011) hipotesis yang paling baik adalah yang

memandang interpretant sebagai representasi yang lain yang dirujukan kepada

objek yang sama. Dengan kata lain, untuk menentukan apakah yang jadi

interpretant sebuah tanda, yang harus dilakukan adalah menamai interpretant itu

dengan tanda lain yang juga memiliki interpretan lain yang harus dinamai

dengan tanda lain dan begitu seterusnya (Umberto Eco, 2011:29).

Kajian Peirce tentang tanda bahwa tanda-tanda berkaitan dengan

objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab

akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda

tersebut. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index

(indeks), dan symbol (simbol) :

• Ikon untuk kesamaannya

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat

bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda

dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto.


14

• Indeks untuk hubungan sebab akibat

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara

tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda

yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya

api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol.

• Simbol untuk asosiasi konvensional

Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara

penanda dengan petandanya.

Peirce dalam mengembangkan semiotika memusatkan perhatian pada

berfungsinya tanda pada umumnya. Ia memberi tempat yang penting pada

linguistik, namun bukan satu-satunya. Hal yang berlaku bagi tanda pada

umumnya berlaku pula bagi tanda linguistik, tapi tidak sebaliknya. Dengan

demikian sebenarnya Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda.

Peirce mengkhendaki agar teorinya yang bersifat umum ini dapat diterapkan

pada segala macam tanda, dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia memerlukan

konsep-konsep baru. Untuk melengkapi konsep itu ia menciptakan kata-kata

baru yang diciptakannya sendiri (Kaelan, 2009: 166).


15

Berdasarkan pemaparan di atas, maka digambarkan kerangka

konseptual sebagai berikut :


Tari Kajangki
Dalam Prosesi
Pernikahan

Segi Tiga Makna


C.S. Peirce

SIGN
OBJEK INTERPRETANT
(TANDA)

Representasi Budaya Wotu

Gambar 1.2 Kerangka konseptual


(Sumber Data Primer 2018)

F. Definisi Operasional

Budaya yang dimaksud disini adalah budaya Luwu yang berkembang

dalam masyarakat Luwu.

1. Tari Kajangki

Tari Kajangki Merupakan tari tradisional kerajaan Luwu.


2. Upacara Perkawinan
Dalam penelitian ini, pesta perkawinan sesudah akad nikah, pada

perkawinan yang disebut Nikka Datu Balua, yaitu perkawinan yang

terjadi antara pasangan turunan Bawalipu, Oragi dan Anre Guru


3. Komunikasi Nonverbal Tari Kajangki.
Komunikasi nonverbal Tari Kajangki adalah gerakan-gerakan

tubuh dan atribut-atribut yang digunakan dalam tari


4. Analisis Semiotika
16

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis tanda-tanda dalam

Tari Kajangki.

5. Makna Simbolik

Makna yang diperoleh setelah menganalisis makna dari tanda-

tanda yang terdapat dalam Tari Kajangki.

G. Metode Penelitian
1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanakan kurang lebih dua bulan mulai dari

bulan April sampai Mei 2018. Penelitian dilakukan dengan melakukan

observasi awal di lapangan terlebih dahulu.Lokasi penelitian yaitu

kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Timur. Peneliti memilih kecamatan

wotu sebagai daerah penelitian karena tradisi kerajaan luwu masih sangat

kuat di daerah ini.

2. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan

semiotika untuk mengetahui makna simbolik dari Tari Kajangki pada

masyarakat Luwu di Kabupaten Luwu Timur khususnya di daerah Wotu.

3. Teknik Menentukan Informan

Informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive yaitu

teknik pengambilan informan berdasarkan pertimbangan tertentu. Selain

itu peneliti informan lainnya berdasarkan informasi dari informan yang

telah diwawancarai. Penelitian ini mengunakan perspektif semiotika

sehingga informan hanya berfungsi koder yang memberikan makna tarian


17

yang disesuaikan dengan makna yang diberikan penulis melalui

semiotika.

4. Teknik Pengumpulan Data


Beberapa metode pengumpulan data yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah:


a) Wawancara (Indept Interview)
Pengumpulan data dilakukan dengan interview mendalam

terhadap informan yang dianggap memahami permasalahan yang

diteliti. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk mendapatkan

jawaban yang lengkap dan mendalam dari para informan. Peneliti

memberikan pertanyaan pertanyaan kepada informan mengenai sejarah

dalam Tari Kajangki, pandangan mereka seputar simbol-simbol dan

kebudayaan kerajaan Luwu khususnya di wilayah Wotu


b) Observasi
Pengamatan dilakukan terhadap objek yang diteliti. Peneliti

melihat langsung persiapan penari sebelum menampilkan Tari

Kajangki, ketika penari menampilkan Tari Kajangki, dan perilaku

keseharian masyarakat kerajaan Luwu.


c) Dokumentasi
Pengumpulan data dengan mendokumentasikan secara visual Tari

Kajangki dalam bentuk beberapa foto maupun rekaman video.

d) Studi Pustaka
Data yang diperoleh dengan melakukan studi pustakaan yaitu

mengkaji buku-buku, hasil penelitian dan literatur - literatur lain yang

berhubungan dengan penelitian tersebut.


5. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data model interaktif

Miles dan Huberman. Analisis data ini terdiri atas tiga proses yaitu reduksi
18

data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan

kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing atau verification). Proses

pertama adalah proses reduksi data. Proses ini meliputi proses merangkum

memilih hal-hal yang pokok, mengfokuskan pada hal-hal yang penting,

kemudian dicari tema dan polanya. Dalam proses reduksi, data mengalami

proses pemilihan dan memusatan perhatian pada penyederhanaan data-data

yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan.


Proses kedua adalah proses pengkajian data. Dalam proses ini, data

yang dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya disajikan atau ditampilkan.

Penyajian bisa berupa tabel, grafik, phie chard, pictogram dan sejenisnya.

Proses ketiga adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi. Dalam proses ini,

dilakukan proses penarikan kesimpulan awal yang belum kuat, masih

terbuka dan skeptic. Kesimpulan akhir akan dilakukan setelah pengumpulan.


data terakhir (Sugiyono, 2014:246).

Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif Dari Milles dan Huberman
(Sumber : Sugiyono, 2014 :247)
19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Komunikasi
Komunikasi memiliki peranan yang penting dalam kehidupan

manusia. Ashley Montagu (Rakhmat, 2009: 2), seorang antropolog terkenal

berkata: “The most important agency through which the child learns to be

human is communication, verbal also nonverbal.” Komunikasi sama

pentingnya dengan kepentingan manusia lainnya seperti makan, minum,

maupun bernafas. Bila tidak ada komunikasi, manusia sebagai makhluk sosial

akan terisolasi dari masyarakat. Komunikasi merupakan alat bagi manusia

untuk berinteraksi dengan sesamanya.

Istilah komunikasi berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin

“Communis” yang berarti membuat kebersamaan atau membangun

kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar

kata dalam bahasa Latin “Communico” yang berarti membagi (Cangara, 2012:

20). Sebagai sebuah bidang ilmu yang multidisipliner, ada banyak perspektif

mengenai pengertian dari komunikasi. Griffin, seorang professor di bidang

komunikasi mendefinisikan komunikasi sebagai “the relational process of

creating and interpreting messages that elicit a response” (Griffin, 2012: 6).

Griffin berpendapat bahwa komunikasi bukan hanya sebuah proses mengirim

pesan namun juga suatu proses interpretasi terhadap suatu pesan yang

menghasilkan suatu respon (feedback).


20

Sedangkan Hovland, Janis, and Kelly yang merupakan psikolog

mendefinisikan komunikasi sebagai “proses transaksional yang meliputi

pemisahan, dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa

sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya

sendiri arti atau respons yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber”

(Rakhmat, 2009: 3).

Melihat kurangnya kesamaan pendapat mengenai sifat dasar dari ilmu

komunikasi, John Fiske mengemukakan asumsinya sendiri mengenai

komunikasi dalam bukunya, introduction to Communication Studies:

“Saya berasumsi bahwa komunikasi mungkin untuk dipelajari, namun

kita membutuhkan sejumlah pendekatan-pendekatan disiplin (ilmu) untuk bisa

mempelajarinya secara komprehensif.

Saya berasumsi bahwa semua komunikasi melibatkan tanda dan kode.

Tanda adalah objek atau tindakan yang mengacu pada sesuatu selain tanda itu

sendiri; yang berarti, tanda tersebut dikonstruksi untuk memunculkan makna

tertentu. Kode adalah sistem dimana tanda diorganisasikan dan menentukan

bagaimana tanda-tanda tersebut mungkin saling terkait satu sama lain.

Saya juga berasumsi bahwa tanda dan kode tersebut ditransmisikan

dan dibuat tersedia untuk yang lain; dan bahwa mentransmisikan atau

menerima tanda/kode/komunikasi adalah praktik hubungan-hubungan sosial.

Saya berasumsi bahwa komunikasi sentral bagi kehidupan budaya

kita: tanpa komunikasi budaya apapun pasti mati. Konsekuensinya


21

mempelajari komunikasi melibatkan kajian terhadap budaya yang

diintegrasikan dengan komunikasi.

Inti dari asumsi-asumsi ini adalah sebuah definisi umum yang

menyatakan komunikasi sebagai ‘interaksi sosial melalui pesan’.” (Fiske,

2014:2)

Terdapat dua mazhab utama dalam ilmu komunikasi (Fiske, 2014: 2).

Mazhab yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Kelompok

ini fokus kepada pengirim dan penerima menggunakan saluran dan media

komunikasi dalam mengirimkan dan menerima pesan. Pandangan ini

memperhatikan hal-hal seperti efesiensi dan akurasi. Kelompok ini melihat

komunikasi sebagai proses mempengaruhi pemikiran dan perilaku seseorang.

Pandangan ini dikenal sebagai pandangan ‘proses’.

Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran

makna. Mazhab ini berfokus kepada bagaimana pesan atau teks berinteraksi

dengan manusia dalam rangka memproduksi makna. Pandangan ini juga

memperhatikan peranan teks dalam budaya kita. Pandangan ini tidak melihat

kesalahpahaman yang muncul dalam komunikasi sebagai kegagalan dalam

komunikasi, melainkan terjadi karena adanya perbedaan kebudayaan antara

pengirim dan penerima pesan. Komunikasi merupakan kajian teks dan budaya

bagi mazhab ini. Pandangan ini disebut juga mazhab semiotika karena metode

Utama dalam pandangan ini adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna).

(Fiske, 2014:3).
22

Semiotika melihat komunikasi sebagai penciptaan atau pemunculan

makna di dalam pesan, baik oleh pengirim maupun penerima. Pesan yang

disampaikan oleh pengirim pesan kepada penerima pesan dalam proses

komunikasi terdiri dari berbagai tanda. Tanda-tanda dalam pesan tersebut

kemudian distimulasi oleh penerima pesan sehingga tercipta makna bagi diri

penerima pesan. Makna yang diciptakan penerima pesan berkaitan dengan

makna yang diciptakan oleh pengirim pesan. Semakin banyak pengirim dan

penerima pesan berbagi tanda yang sama, maka ‘makna’ yang diciptakan oleh

pengirim dan penerima pesan akan semakin mirip satu sama lain.

B. Pesan, Simbol, dan Makna


Pesan adalah unsur yang sangat penting dalam komunikasi. Robert

Craig, professor komunikasi di Universitas Colorado mengatakan bahwa

komunikasi melibatkan “berbicara dan mendengar, menulis dan membaca,

mempertunjukkan dan menyaksikan, atau lebih umumnya adalah melakukan

apapun yang melibatkan ‘pesan’ dalam media maupun situasi apapun”

(Griffin, 2012: 6).


Sebagai bidang ilmu yang multidisipliner, komunikasi biasanya

digunakan oleh disiplin ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi,

ilmu politik, literatur, dan filsafat dalam mengkaji aktivitas simbolik manusia.

Perbedaan antara disiplin ilmu tersebut dengan ilmu komunikasi sendiri

adalah ilmu komunikasi berfokus kepada pesan, sedangkan disiplin ilmu

lainnya memiliki tujuan lain terlepas dari pesan itu sendiri (Griffin, 2012: 7).
Dalam bukunya yang berjudul Theories of Human Communication,

Littlejohn (2008: 137) mengemukakan lima poin penting dalam mengkaji

pesan :
23

1. Penggunaan simbol sangat penting bagi kehidupan manusia. Banyak

teori yang menyebut simbol sebagai unsur yang penting dalam sebuah

pesan. Dalam teori-teori semiotika, tanda dan simbol merupakan bentuk

yang mewakili realitas yang ada. Teori bahasa menunjukkan bagaimana

manusia memanipulasi kode-kode kompleks untuk mengekspresikan dan

memahami pengalamannya sendiri. Sedangkan teori komunikasi

nonverbal memperlihatkan bahwa bahasa dan perilaku berfungsi

bersama dalam perwujudan makna. Simbol-simbol mempunyai fungsi

yang lebih dari pada hanya merepresentasikan bentuk-bentuk. Simbol-

simbol juga mempunyai fungsi lebih dari pada hanya

mengkomunikasikan makna. Simbol-simbol menciptakan dunia sosial

kita.
2. Makna sebuah pesan bergantung pada fitur-fitur yang mendasarinya

dan proses penafsiran. Pengaruh sebuah pesan – maknanya dan efeknya

sebagian ditentukan oleh tanda-tanda, simbol-simbol, kata-kata, dan

tindakan-tindakan dalam pesan tersebut; dan selebihnya ditentukan oleh

proses pemaknaan dari penerima pesan.


3. Kita berkomunikasi dengan kode-kode pesan yang kompleks. Dalam

komunikasi sehari-hari, kita ditantang oleh sebuah kerumitan kode-kode

bahasa dan perilaku. Dimana kita berdiri, bagaimana penampilan kita,

dan apa yang kita lakukan dengan pandangan kita, semuanya merupakan

perpaduan kode-kode yang membentuk sebuah pesan.


4. Produksi pesan dimungkinkan oleh adanya proses-proses mikrokognitif

dan makrokognitif. Banyak teori-teori komunikasi yang berfokus kepada

proses kognitif manusia yang membuat keputusan rasional mengenai apa


24

yang ingin mereka capai dan selanjutnya merencanakan strategi untuk

melakukannya. Proses kognitif tersebut terdiri atas proses sadar (proses

makrokognitif) dan proses yang hampir benar-benar otomatis dan diluar

kesadaran (proses mikrokognitif).


5. Pesan-pesan diciptakan untuk memenuhi tujuan-tujuan dan dirancang

untuk mencapai beberapa tingkat pemaknaan. Para perilaku komunikasi

menggunakan pesan-pesan untuk mengatur pemaknaan pada banyak

tingkatan pada waktu yang sama.


Pesan tidak dapat dipisahkan dari simbol maupun kode, karena di

dalam pesan terkandung rangkaian simbol dan kode (Cangara, 2012: 111).

Kode merupakan rangkaian simbol yang terstruktur dan memiliki arti. Kode

pada dasarnya dibagi atas dua macam yaitu kode verbal dan kode nonverbal.

Kode verbal dalam penggunaannya menggunakan bahasa, sedangkan kode

nonverbal menggunakan bahasa isyarat atau bahasa diam.


Simbol adalah kata-kata yang arbitrer dan tanda-tanda nonverbal tidak

mempunyai hubungan alami dengan hal-hal yang mereka sebutkan; makna-

makna mereka dipelajari dalam budaya tertentu (Griffin, 2012: 41). Suatu

simbol tidak memiliki arti yang tetap pada satu hal mutlak melainkan dapat

memiliki makna lain yang bersifat konvensional dalam suatu budaya.


Teori milik Susanne Langer merupakan teori yang sering digunakan

dalam membahas simbol. Dalam teorinya, Langer menggambarkan simbol

sebagai “sebuah instrument pemikiran”. Binatang merespon tanda, namun

manusia mampu untuk menggunakan simbol-simbol yang melampaui tanda-

tanda sederhana. Simbol bekerja dalam proses yang kompleks dengan


25

mengijinkan seseorang untuk berpikir tentang sesuatu yang berbeda dari

tampilan utama hal tersebut (Littlejohn, 2008: 105).


Dalam konsep Peirce, simbol atau lambang merupakan salah satu

kategori dari tanda (sign). Sebuah simbol merupakan sebuah tanda yang

mewakili suatu objek berdasarkan persetujuan dalam konteks tertentu (Danesi,

2004: 27). Pada dasarnya simbol dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (Sobur,

2013: 157) :
1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur

sebagai lambang kematian.


2. Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu.
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks

keseluruhan karya seorang pengarang.


Simbol merupakan konseptualisasi manusia terhadap hal lain diluar

simbol tersebut. Berdasarkan teori Langer, sebuah simbol atau sebuah kode

(kumpulan simbol-simbol) mengkomunikasikan sebuah konsep dimana

sebuah makna didiskusikan oleh para pelaku komunikasi. Makna yang

dipahami bersama merupakan makna denotatif, sedangkan hasil interpretasi

personal merupakan makna konotasi. Langer melihat makna sebagai hubungan

kompleks antara simbol, objek, dan manusia, yang mengikutsertakan baik

denotasi (makna yang dipahami bersama) maupun konotasi (hasil interpretasi

personal) (Littlejohn, 2008: 106).


Makna merupakan sebuah konsep yang membingungkan bagi para

ahli. Makna umumnya dikenal sebagai suatu hal yang tinggal dalam pesan dan

pikiran (Donsbach, 2008: 2806). Menurut Blumer, (Aksan, 2009: 903)

manusia membentuk makna dengan dua cara : (1) makna adalah sesuatu yang

diatribusikan kepada objek, peristiwa, fenomena, dan sebagainya; (2) makna


26

adalah “pelengkap fisik” yang ditetapkan oleh manusia terhadap peristiwa dan

objek-objek. Blumer melihat bahwa makna adalah sebuah kondisi yang

muncul sebagai hasil dari interaksi anggota grup dan bukan sebuah fitur

intrinsik dari sebuah objek. Oleh karena itu, makna diciptakan sebagai sebuah

hasil interaksi antar manusia dan makna mengijinkan manusia untuk

menghasilkan beberapa fakta yang membentuk dunia panca indera. Fakta-

fakta ini berhubungan dengan bagaimana manusia membentuk makna.


Para ahli mencoba untuk membicarakan konsep makna dalam lingkup

yang lebih besar yaitu dengan membedakan antara makna denotatif dan makna

konotatif. Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh

kata-kata (Sobur, 2013: 263). Makna denotatif merupakan makna yang biasa

kita temukan dalam kamus. Sedangkan makna konotatif merupakan makna

denotatif yang ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang

ditimbulkan suatu kata. Makna denotatif adalah definisi objektif suatu kata,

dan makna konotatif merupakan makna subjektif atau emosionalnya (Devito,

2012: 98).
C. Pesan Nonverbal
Komunikasi verbal tidak akan lengkap tanpa adanya komunikasi

nonverbal. Komunikasi nonverbal mencakup seluruh tindakan manusia yang

tidak terbatas pada bahasa namun menyampaikan makna (misalnya kumpulan

tindakan-tindakan) dengan merujuk pada nilai acuan yang jelas dan memiliki

fungsi (Hall, 2013: 69).


Kita tidak dapat mengerti dan mendefinisikan komunikasi nonverbal

kecuali kita telah berpikir bahwa (a) sebuah konsep akan kekurangan konten

yang spesifik tanpa pasangannya (verbal), dan (b) pernyataan sebelumnya


27

tidak didasarkan hanya pada permainan kata-kata (Hall, 2013: 84).

Komunikasi nonverbal tidak mencakup bahasa verbal, namun kehadirannya

melengkapi bahasa verbal.


Ekman & Friesen mengidentifikasi enam hubungan antara

komunikasi verbal dan nonverbal yaitu (Matsumoto, 2013: 9-10) :


1. Untuk menggantikan. Komunikasi nonverbal dapat menggantikan pesan

verbal. Misalnya, menganggukkan kepala tanpa perlu mengatakan “ya”.


2. Untuk mengulangi. Kode nonverbal dapat mengulangi atau merumuskan

ulang makna dari pesan verbal. Misalnya, menyertai pernyataan verbal

“tidak” dengan menggeleng-gelengkan kepala. Mengulangi dan

menggantikan terlihat seperti ide yang sama, namun keduanya berbeda.

Menggantikan berarti seseorang tidak mengucapkan satu kata pun ketika

melakukan gerakan nonverbal, sedangkan mengulangi berarti gerakan

nonverbal mengulangi kata yang diucapkan.


3. Untuk menunjukkan kontradiksi. Manusia dapat secara sengaja

mempertentangkan pesan verbal dengan gerakan nonverbal. Seseorang

dapat mengatakan “hal ini akan terasa sangat menyenangkan” namun raut

wajahnya menunjukkan rasa jijik ketika mengatakannya. Hal ini biasanya

disebut sarkasme, dimana kata-kata yang diucapkan positif namun

ekspresi wajahnya berkata negatif.


4. Untuk melengkapi. Manusia menggunakan komunikasi nonverbal untuk

memperkuat sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan verbal.

Misalnya tersenyum ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-

gelengkan kepala ketika seseorang bercerita tentang orang yang tidak

disukainya.
28

5. Untuk menekankan. Terkadang komunikasi nonverbal menonjolkan atau

menekankan beberapa bagian dari pesan verbal, misalnya memukulkan

tangan ke meja untuk menekankan suatu hal tertentu.


6. Untuk mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau

mengisyaratkan keinginan untuk mengatur pesan verbal. Misalnya,

seseorang yang mengangkat tangannya untuk menunjukkan keinginan

mengatakan sesuatu.
Pesan dalam komunikasi nonverbal terdiri atas kode-kode dan simbol-

simbol nonverbal. Kode nonverbal adalah rangkaian-rangkaian atas tindakan-

tindakan yang digunakan untuk menyampaikan makna. Sistem-sistem kode

nonverbal adalah kelompok-kelompok perilaku yang digunakan untuk

mengkomunikasikan makna. Kode nonverbal pada umumnya dikelompokkan

dalam beberapa bentuk (Devito, 2012: 121) :


1. Kinesics
Kinesics lebih dikenal dengan sebutan bahasa tubuh. Kinesik merupakan

kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan tubuh.


2. Parabahasa
Parabahasa atau paralanguage mengacu pada dimensi vokal tetapi

nonverbal dari pembicaraan. Parabahasa adalah isyarat yang ditimbulkan

dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami

sesuatu dibalik apa yang diucapkan. Terkadang kesalahpahaman terjadi

apabila komunikasi terjadi antara pelaku-pelaku komunikasi dengan etnis

yang berbeda.
3. Sentuhan (haptics)
Komunikasi sentuhan dapat mengomunikasikan beragam makna, yang

terpenting adalah afeksi positif, bercanda, mengendalikan, ritual, dan

keterkaitan dengan tugas.


4. Proksemik
29

Proksemik mengacu pada fungsi komunikatif ruang dan hubungan

spasial. Empat jarak proksemik yang utama adalah jarak intim, jarak

pribadi, jarak sosial, dan jarak publik.

5. Waktu (chronemics)
Komunikasi temporal (kronemik) mengacu pada pesan-pesan yang

terkomunikasikan karena perlakuan kita terhadap waktu.


6. Diam
Sikap diam mengomunikasikan berbagai macam arti, mulai dari pesan

yang bertujuan menyakiti orang lain (dengan diam) hingga menunjukkan

respon emosional yang mendalam.


7. Gerakan wajah
Gerakan wajah dapat mengomunikasikan beragam emosi. Yang paling

sering ditelaah adalah kebahagiaan, keterkejutan, kemarahan, kesedihan,

dan kesebalan.
8. Gerakan mata
Gerakan mata dapat berfungsi untuk mencari umpan balik, meminta

orang lain untuk berbicara, mengisyaratkan sifat hubungan, dan

mengompensasi jarak fisik yang menjauh. Ukuran pupil mata membesar

apabila seseorang tertarik kepada sesuatu atau bila seseorang terangsang

secara emosional dan positif.


9. Bau
Bau mampu mengomunikasikan ketertarikan, rasa, ingatan, dan identitas.
10. Artefak
Komunikasi artifactual terdiri atas pesan-pesan yang disampaikan

melalui benda-benda hasil karya manusia. Misalnya pakaian, warna,

maupun dekorasi ruangan.


Ekman dan Friesen (Devito, 2012: 12) berfokus pada makna dalam

gerakan tubuh dan wajah sebagai bentuk pesan nonverbal. Di dalam teori
30

mereka yang dikenal dengan teori struktur kumulatif, Ekman dan Friesen

membagi lima kelompok gerakan nonverbal yaitu :


1. Emblim. Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung

menerjemahkan kata atau ungkapan. Misalnya, isyarat untuk “oke” dan

“jangan rebut”. Emblim adalah pengganti nonverbal untuk kata-kata atau

ungkapan tertentu.
2. Ilustrator. Ilustrator adalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara

harfiah “mengilustrasikan” pesan verbal. Illustrator bersifat lebih alamiah,

kurang bebas, dan lebih universal daripada emblem.


3. Affect display. Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang

mengandung makna emosional. Gerakan ini memperlihatkan rasa marah

dan takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan. Affect

display dapat tidak disengaja tetapi mungkin juga disengaja.


4. Regulator. Regulator adalah perilaku nonverbal yang “mengatur”,

memantau, memelihara, atau mengendalikan pembicaraan orang lain.

Regulator terikat pada kultur dan tidak universal.


5. Adaptor. Adaptor adalah perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara

pribadi berfungsi memenuhi kebutuhan tertentu dan dilakukan sampai

selesai.

D. Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik adalah sebuah cara berpikir mengenai pikiran,

pribadi, dan masyarakat dan cara ini telah memberikan kontribusi besar

terhadap tradisi sosial budaya pada teori komunikasi (Littlejohn, 2008: 82).

Hasil yang penting dari interaksi adalah ide tertentu tentang diri, siapa kita

sebagai seorang pribadi. Interaksi simbol berfokus kepada bagaimana manusia

membentuk makna dan struktur dalam masyarakat melalui percakapan.


31

Barbara Ballis Lal mengemukakan premis-premis dari interaksi

simbolik sebagai berikut (Littlejohn, 2008: 159) :


1. Manusia membuat keputusan-keputusan dan bertindak sesuai dengan

pemahaman subjektif terhadap situasi yang mereka sedang alami.


2. Kehidupan sosial mencakup proses-proses interaksi dan bukannya

struktur interaksi tersebut; oleh karenanya kehidupan sosial berubah

secara konstan (selalu berubah-ubah).


3. Manusia mengerti tentang apa yang dialaminya melalui makna-makna

yang didapatkan dalam simbol-simbol yang ada dikelompok-kelompok

primer mereka dan bahasa adalah sebuah bagian penting dari kehidupan

sosial.
4. Dunia terdiri dari objek-objek sosial yang telah diberi nama dan

mempunyai arti-arti yang telah ditentukan melalui proses sosial atau

hubungan dalam masyarakat.


5. Tindakan manusia didasarkan pada interpretasi mereka dengan

memperhitungkan dan mendefinisikan objek-objek dan tindakan yang

relevan dengan situasi tersebut.


6. Bentuk pribadi seseorang adalah objek yang penting dan seperti semua

objek-objek sosial lainnya, bentuk pribadi tersebut didefinisikan melalui

hubungan sosial dengan orang lain.


George Herbert Mead dikenal sebagai penggagas dari teori interaksi

simbolik. Namun, Herbert Blumer, murid mead, yang pertama kali

menemukan dan menggunakan istilah interaksi simbolik, istilah yang belum

pernah digunakan oleh mead. Blumer menyebut istilah interaksi simbolik

sebagai “a somewhat barbaric neologism that l coined in an offhand way….

The term somehow caught on” (sebuah kata baru kasar yang aku peroleh tanpa

pemikiran…. Istilah yang terjadi begitu saja) (Sobur, 2013: 195).


32

Mead memusatkan penelitiannya tehadap bagaimana manusia

berinteraksi dalam kehidupannya sehari-hari dengan metode-metode interaksi

simbolik dan bagaimana menciptakan ketertiban dan makna (Korgen & White

in Aksan, 2009: 902). Tiga konsep dasar dari teori Mead mengenai interaksi

simbolik terdiri atas society, self, dan mind (Littlejohn, 2008: 160). Konsep

pertama dari teori Mead adalah society atau masyarakat. Masyarakat terdiri

atas jaringan interaksi-interaksi sosial dimana para partisipannya (anggota

masyarakat) menetapkan makna melalui tindakan-tindakan mereka melalui

penggunaan simbol-simbol.
Konsep kedua adalah konsep diri atau self. Konsep diri adalah sebuah

hubungan yang saling mempengaruhi antara menanggapi orang lain dan

menanggapi diri itu sendiri. Konsep diri berawal dari proses diri manusia

melihat dirinya sendiri dan mengambil peran orang lain atau mengasumsikan

bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya.


Konsep yang ketiga dari teori Mead adalah mind atau pikiran. Konsep

pikiran merupakan proses berpikir dan berinteraksi dengan orang lain. Proses

berpikir mencakup tindakan skeptis (menunda tindakan secara terbuka) pada

saat manusia menginterpretasikan situasi tersebut (Littlejohn, 2008: 162).

Ketika berinteraksi dengan orang lain, pikiran menginterpretasikan situasi

yang terjadi sebelum memberi respon atas situasi tersebut. Dalam pikiran kita,

kita cenderung mendefinisikan sesuatu berdasarkan bagaimana kita bertindak

terhadap hal tersebut. Konsep ini berhubungan dengan cara manusia

menggunakan kemampuannya untuk menggunakan simbol-simbol signifikan,

lalu mengembangkan dalam pikirannya melalui interaksi dengan orang lain.


33

Selanjutnya, Blumer mengemukakan interaksi simbolik berdasarkan

kepada tiga premis (Sobur, 2013: 199) :


a. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang

ada pada sesuatu itu bagi mereka.


b. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan

orang lain.
c. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial

sedang berlangsung.
Interaksi simbolik adalah sebuah proses yang disemarakkan oleh

makna dan nilai-nilai timbal balik dengan bantuan simbol-simbol yang ada

dipikiran manusia. Makna-makna terbentuk dari hubungan timbal balik

antarmanusia. Objek, manusia, keadaan, dan peristiwa tidak memiliki makna

intrinsik didalamnya, sehingga elemen-elemen tersebut dikaitkan dengan

makna melalui interaksi manusia. Objek memperoleh maknanya melalui

aktor-aktor sosial. Sebagai hasilnya, interaksi simbolik merupakan proses

“interpretasi sebuah tindakan”. Interaksi simbolik merupakan proses yang

melibatkan interpretasi tindakan-tindakan karena makna-makna simbolik yang

dimaknai setiap manusia bisa berbeda satu sama lain (Aksan, 2009: 902).

E. Tarian sebagai Komunikasi


Manusia adalah makhluk budaya yang tidak dapat dilepaskan dari

kebudayaan. Gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai yang dihasilkan

dari tindakan manusia merupakan bagian dari kebudayaan (Sobur, 2013: 177).

Semua yang dilakukan dan dipahami manusia dalam kehidupannya diperoleh

dari kebudayaan. Kebudayaan merupakan sebuah pola dari makna-makna

yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.

Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan


34

diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui dimana manusia

berkomunikasi, mengekalkan dan mengembangkan pengetahuan tentang

kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini (Sobur, 2013: 178).
Di dalam budaya terdapat beberapa unsur yang terdiri atas bahasa,

sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,

sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Tiap unsur budaya

tersebut terbagi kembali dalam tiga wujud yaitu wujud sistem budaya, wujud

sistem sosial, wujud kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 2009: 165-167).

Berdasarkan unsur kebudayaan dan wujudnya, tarian dapat dikatakan sebagai

wujud kebudayaan fisik dari unsur kesenian.


Tarian merupakan suatu aktivitas yang tidak terpisahkan dari

kehidupan manusia. Tarian adalah sebuah upaya untuk melibatkan

keseluruhan tubuh untuk mencari arti terhadap hidup (Danesi, 2004: 63).

Seorang sejarawan tari bernama Jack Anderson mengatakan bahwa “dance is

movement that has been organized so that it is rewarding to behold; dance

communicates because it prompts responses within us. Dance is not simply a

visual art, it is kinesthetic as well; it appeals to our inherent sense of motion”

(Smyth, 1984: 19). Menurut Anderson, tarian bukan hanya satu bentuk

kesenian melainkan juga suatu bentuk komunikasi kinestetik yang memicu

respon dari orang yang menyaksikan. Namun, tarian merupakan komunikasi

visual dalam bentuk kesenian. Langer mengemukakan bahwa bentuk-bentuk

kesenian adalah bentuk-bentuk presentasional, yang memungkinkan terjadinya

berbagai macam interpretasi. Bentuk presentasional tidak seperti bentuk

diskursif yang ditemukan dalam ilmu pengetahuan dan bahasa pada umumnya,
35

dimana bentuk-bentuk tersebut memiliki pengertian yang dapat ditemukan

dalam kamus. Menurut Langer, gerakan-gerakan indah dalam tarian tidak

memiliki tujuan yang spesifik melainkan untuk memancing naluri manusia

akan keindahan dan keagungan dimana keduanya merupakan sesuatu yang

universal.
Tarian sendiri memiliki lima fungsi Utama (Danesi, 2004: 61) dalam

kehidupan manusia :
1. Sebagai bentuk dari komunikasi estetik, untuk mengekspresikan emosi,

perasaan, atau ide-ide, atau menyampaikan suatu cerita.


2. Sebagai bagian dari sebuah ritual yang menjalankan fungsi-fungsi

komunal atau masyarakat.


3. Sebagai bentuk rekreasi atau sebagai pengalaman yang menyenangkan

bagi yang melakukannya.


4. Memegang peranan penting dalam fungsi-fungsi sosial. Setiap masyarakat

pada umumnya memiliki karakteristik tarian tersendiri yang berperan

dalam kesempatan-kesempatan formal (misalnya upacara adat) maupun

pertemuan-pertemuan informal.
5. Tarian sering digunakan sebagai cara untuk menarik perhatian pasangan,

khususnya bagi orang-orang muda, dalam masa berpacaran.


Tarian sebagai bagian dari kebudayaan merupakan salah satu sarana

bagi manusia dalam menyampaikan pesan dalam bentuk nonverbal. Tari

merupakan bentuk visual kompleks yang berkomunikasi melalui gerakan

dalam ruang dan waktu, biasa berhubungan dengan musik dan puisi. Tari-

tarian menyampaikan makna-makna yang diterima sebagai suatu kesepakatan

kultural dalam bentuk konteks sosial. Melalui tarian dapat menyampaikan

makna-makna yang diterima sebagai suatu kesepakatan kultural dalam suatu

konteks sosial. Melalui tari-tarian kita dapat melihat perwujudan kecil dari
36

sebuah struktur mendalam atau filosofi mendasar dari sebuah masyarakat.

Sulit untuk memahami maupun menyampaikan pesan dalam suatu tarian

secara lintas budaya tanpa memahami tradisi dari tarian itu sendiri dalam suatu

kebudayaan (Donsbach, 2008:1165).


Tarian adalah salah satu bentuk kebudayaan sekaligus bagian dari

komunikasi nonverbal. Di dalam sebuah tarian terkandung makna-makna, baik

yang mudah dimengerti maupun makna simbolis yang memerlukan kesadaran

manusia untuk menafsirkannya (Sudarsono, 1933:35). Untuk mengetahui

makna-makna simbolik dalam sebuah tarian maka diperlukan analisis terhadap

tanda-tanda yang terdapat dalam tarian tersebut. Geerts dalam esainya (Geertz,

1992:5). Meyakini bahwa kebudayaan terdiri atas simbol-simbol pembawa

makna dan untuk menganalisisnya diperlukan semiotik sebagai ilmu yang

bersifat interpretatif.

F. Semiotika
Semiotika atau semiologi adalah metode yang dipakai untuk

menganalisis tanda-tanda atau signs (Rachmah, 2014:75). Dalam ilmu

komunikasi, Tanda-tanda adalah bagian dari pesan atau rangkaian kode.

Menurut Ferdinand De Saussure, tanda berhubungan dengan realitas hanya

melalui konsep-konsep dari orang-orang yang menggunakannya (Fiske,

2014:69). Tanpa adanya konsep dalam fikiran manusia, maka sebuah tanda

tidak memiliki makna. Melalui semiotika, kita dapat mempelajari bagaimana

manusia memaknai hal-hal atau tanda-tanda disekitarnya.


Dalam kajian komunikasi terdapat dua jenis semiotika yaitu semiotika

komunikasi dan semiotika signifikan. Semiotika komunikasi menekankan

pada teori tentang produksi tanda. Semiotika komunikasi mengasumsikan


37

adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem

tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan).

Sedangkan komunikasi signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan

pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Pada semiotika signifikasi yang

diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya

pada penerima tanda lebih diperhatikan dari pada proses komunikasi (Sobur,

2013:15).

Salah satu tokoh penting semiotika adalah Ferdinand De Saussure.

Saussure merupakan seorang ahli bahasa, sehingga dia lebih berfokus pada

bagaimana tanda-tanda (dalam konteks Saussure adalah kata-kata) terkait

dengan tanda-tanda lain. Di dalam teori semiologi yang dikemukakan oleh

Ferdinand De Saussure, tanda tersusun atas dua bagian yaitu signifier

(penanda) dan signified (petanda). Penanda merupakan aspek material

sedangkan petanda merupakan gambaran mental, pikiran atau konsep.

Menurut Saussure, petanda dan penanda merupakan suatu kesatuan bagian dua

sisi dari sehelai kertas (Vera, 2014:46). Jadi tanda merupakan kesatuan dari

suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified).

Sedangkan Menurut Teori Semiotika Charles Sander Peirce, semiotika

didasarkan pada logika, karena logika mempelajari bagaimana orang bernalar,

sedangkan penalaran menurut Peirce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-

tanda ini menurut Peirce memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan

orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
38

Dalam hal ini manusia mempunyai keanekaragaman akan tanda-tanda

dalam berbagai aspek di kehidupanya. Dimana tanda linguistik menjadi salah

satu yang terpenting. Dalam teori semiotika ini fungsi dan kegunaan dari suatu

tanda itulah yang menjadi pusat perhatian. Tanda sebagai suatu alat

komunikasi merupakan hal yang teramat penting dalam berbagai kondisi serta

dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek komunikasi. Menurutnya setiap

tanda secara umum berlaku juga pada tanda linguistik, tapi belum tentu tanda

linguistik berlaku pula untuk tanda lainya. Menurut Peirce tanda-tanda

berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki

hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional

dengan tanda-tanda tersebut. Oleh karenanya secara umum Peirce justru

mengemukakan bahwa teorinya ini berlaku secara umum.

Oleh karenanya tanda linguistik ini dalam teori Peirce suatu hal yang

penting namun bukan berarti satu-satunya yang terpenting. Berbagai tanda

yang terujat dengan objek-objeknya menjadi suatu bahasan yang umum

sebagaimana ingin diungkapkan Peirce dalam teorinya ini. Bahwa berbagai

tanda-tanda yang diciptakan manusia dalam rangka untuk berkomunikasi

merupakan representasi atas bahasa linguistik atau tanda linguistik yang

berlaku secara umum.

BAB III

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Timur


39

Wotu sebagai sebuah Masyarakat adat, memiliki struktur

pemerintahan sendiri yang pembagian tugasnya sedemikian maju. Wotu,

sebagai komunitas dan sebagai pemukiman secara administratif berada di

Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur atau berjarak sekitar 513 km dari

kota Makassar ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Penduduk traditional yang

mendiami terdiri dari dua etnik besar yaitu Wotu dan orang Bugis, disamping

etnik lain seperti Makassar, jawa, lombok, sunda dan bali, yang merupakan

pendatang yang bermukim disana. Aktivitas ekonomi bergerak dibidang

pertanian, perikanan dan perdagangan. Didalam pergaulan masyarakatnya,

berlaku dua bahasa pengantar yaitu bahasa Wotu yang dituturkan oleh orang

Wotu Asli dan bahasa Bugis. Bahasa Wotu merupakan grup linguistic, Muna-

Buton dan Konjo Sulawesi Selatan (Bulukumba). Dahulu kala bahasa Wotu

alat komunikasi pada sebahagian daerah Sulawesi Selatan pada sepanjang

pesisir Teluk Bone – Bulukumba dan sebagian Sulawesi Tengah, dan sekitar

Buton Tenggara.
Potensi sejarah dan kekunoan Luwu belum banyak dikaji, sehingga

pengetahuan tentang Wotu masih terbatas, salah satu yang terakhir dilakukan

oleh Ian Caldwel dan D.Bulbeck (2000) dalam final report proyek OXIS,

Land of Iron. Yang menarik adalah bahwa keberadaan arkeologis Wotu sekitar

1500 tahun lebih tua dari Malangke, yang diyakini sebagai pusat perdagangan

Luwu di abad ke XII – XIV, semua ini didasarkan pada temuan keramik dan

hasil Fotocarbon terhadap lapisan kandungan tanah dari berbagai situs yang

ada di Luwu. Berbagai bukti penemuan arkeologi, tradisi lisan maupun naskah

mendukung hal tersebut seperti bukit Lampenai dan Mulaitoe (Mulataue)


40

dimana diyakini merupakan areal pertanian, dimana dikisahkan Batara Guru

sebagai Tomanurung berdiam dan memperkenalkan ladang untuk pertama

kalinya kepada manusia di Luwu. Demikian pula situs Benteng tua serta Serre

Bessue dimuara sungai Wotu, tempat para Bissu menari untuk suatu acara

ritual. Berdasarkan potensi sejarah, antropologi yang dimiliki daerah Wotu,

adalah menarik untuk mengangkat potensi budaya yang ada dalam masyarakat

seperti ritual dan kesenian.


1. Visi dan Misi
a) Visi

“Mewujudkan Kemandirian Masyarakat Wotu Yang Mampu

Mensejahterakan dan Meningkatan Mutu Kehidupan Sosial”

b) Misi

Misi Kecamatan Wotu dalam mewujudkan Visi Kecamatan Wotu

sebagai berikut :

1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi desa dan kesejahteraan sosial

masyarakat yang berbasis sumber daya dan didukung oleh stabilitas

keamanan wilayah dan nilai nilai budaya

2) Memanfaatkan ruang sesuai dengan tata ruang wilayah untuk

menjamin kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup


3) Meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan dalam

mencapai kualitas manusia yang tinggi


4) Memberdayakan infrastruktur serta sarana dan prasarana wilayah

untuk menunjang percepatan pelayanan daerah.


41

5) Mendorong reformasi birokrasi untuk tata kelola perkantoran yang

baik
6) Mendorong berkembangnya masyarakat yang religius dan kerukunan

intra dan antar umat beragama


7) Meningkatkan koordinasi dan kerja sama antar desa

2. Letak Geografis Kecamatan Wotu

Gambar 2.1 Peta Kecamatan Wotu


Kecamatan Wotu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten

Luwu Timur. Luas wilayahnya 130,52 km2 atau meliputi 1,88 persen dari luas

Kabupaten Luwu Timur. Desa Lampenai merupakan desa yang memiliki

wilayah yang terluas yaitu 22,31 km2 atau meliputi 17 persen dari luas

Kecamatan. Secara administrasi Wotu terbagi menjadi 16 desa yaitu, Desa

Lera, Bawalipu, Lampenai, Bahari, Kalaena, Karambua, Kanawatu, Maramba,

Tarengge, Cendana Hijau, Balo-Balo, Pepuro Barat, Rinjani, Madani,

Tarengge Timur dan Tabaroge.


42

Secara Astronomis Kecamatan Wotu terletak di sebelah barat ibukota

Kabupaten Luwu Timur tepatnya terletak diantara 2 31’ 58” - 2 39’ 57”

Lintang Selatan dan 120 45’ 20” - 120 55’ 38” Bujur Timur. Kecamatan

Wotu berbatasan dengan Kecamatan Tomoni di sebelah utara, Kecamatan

Angkona sebelah timur, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Bone dan di

sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Burau. Kecamatan Wotu terdiri

dari 16 desa yang seluruhnya berstatus desa definitive dengan 70 dusun dan

191 RT. Sebagian wilayah Kecamatan Wotu merupakan daerah pesisir. Lima

dari 16 desanya merupakan wilayah pantai dan 11 desa merupakan wilayah

bukan pantai. Secara topografi wilayah Kecamatan Wotu merupakan daerah

datar, karena keenambelas desanya merupakan daerah datar dan tidak ada

yang daerah yang tergolong daerah berbukit-bukit.

3. Penduduk
Kepadatan penduduk di Kecamatan Wotu tergolong tinggi yaitu

sekitar 233 orang per kilometerpersegi. Desa yang terpadat penduduknya

adalah Desa Lera dengan kepadatan 692 orang per kilometer persegi, sedang

paling rendah adalah Desa Balo-Balo dengan kepadatan sebanyak 83 orang

per kilometer persegi. Pada tahun 2016, jumlah penduduk di Kecamatan Wotu

sebanyak

30.386 jiwa yang terbagi kedalam 6.894 rumahtangga, dengan rata-

rata penduduk dalam satu rumah tangga sebanyak 4 orang.

Rasio jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih

banyak dibandingkan laki-laki. Jumlah Penduduk laki-laki sebanyak 15.377


43

orang dan perempuan sebanyak 15.009 orang, sehingga rasio jenis kelaminnya

sebesar 102 yang artinya dari 100 wanita terdapat sekitar 102 orang laki-laki.

4. Pendidikan

Salah satu komponen dalam pembangunan manusia adalah

peningkatan dalam bidang pendidikan. Pendidikan adalah sarana untuk

meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia, oleh karena itu

pemerintah harus menjamin mutu pendidikan denganmeningkatkan kualitas

guru dan melengkapi sarana dan prasarana sekolah.

Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Wotu termasuk kategori memadai.

Sarana pendidikan informal (TamanKanak-Kanak/TK) dan sarana pendidikan

formal dari tingkat SD sampai SLTA telah tersedia dan terdistribusi di setiap

desa. Pada tahun 2016, jumlah TK di Kecamatan Wotu sebanyak 19 sekolah

dan SD sebanyak 22 sekolah. Selanjutnya jumlah SLTP dan SLTA masing-

masing sebanyak 8 dan 3 unit.

Rasio murid guru memberikan gambaran rata-rata banyaknya murid

yang diajar oleh seorang guru. Angka rasio ini dapat digunakan untuk

mengukur tingkat efektifitas guru dalam proses belajar mengajar. Semakin

kecil angka rasio maka semakin efektif proses belajar mengajar. Pada tahun

ajaran 2015/2016 rasio murid guru SD dan SLTP berturut-turut sebesar 17 dan

13 murid setiap guru. Sementara untuk rasio siswa guru untuk pendidikan

SLTA sebesar 18 siswa setiap guru.

5. Kesehatan
44

Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Wotu dapat dikategorikan lengkap.

Rumah sakit umum daerah dibangun di Kecamatan ini yaitu di Desa

Bawalipu. Selain itu terdapat satu puskesmas yang terletak di Desa Bawalipu,

sebelas Puskesmas Pembantu, delapan unit Poskesdes, enam tempat prakter

dokter, tiga praktek bidan, 32 unit posyandu serta lima apotek.

Kasus Penyakit yang sering terjadi dengan pasien terbanyak dapat

menjadi bahan perencanaan untuk melakukan upaya pencegahan penyakit.

Pada tahun 2016 penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah kasus

penyakit yang memiliki pasien terbanyak. Di urutan kedua dan ketiga

berturut- turut adalah kecelakaan dan rudapaksa serta dermatitis alergi.

Salah satu cara untuk menekan laju pertumbuhan penduduk adalah

melalui program KB Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Petugas KB

Kecamatan Wotu alat kontrasepsi suntik paling diminati oleh akseptor KB di

Kecamatan Wotu yaitu sebanyak 1.440 orang, sedangkan alat kontrasepsi lain

seperti pil sebanyak 862 orang, Implant 921 orang, IUD 187 orang, MOW 159

orang dan kondom 122 orang.

6. Perumahan dan Lingkungan

Pada umumnya masyarakat Kecamatan Wotu menggunakan LPG

untuk memasak. Sementara itu, kondisi pembuangan sampah keluarga relatif

baik, karena 16 desa di kecamatan ini sebagian besar penduduknya telah

membuang sampah dalam lubang dan dibakar. Tempat buang air besar pada

umumnya sudah menggunakan jamban sendiri. Listrik PLN belum


45

sepenuhnya masuk di Kecamatan Wotu. Tersisa satu desa yang belum

menggunakan listrik PLN yakni Desa Tabaroge.

7. Agama

Mayoritas penduduk Kecamatan Wotu beragama Islam. Kondisi ini

antara lain dapat dilihat dari banyaknya tempat ibadah bagi umat Islam seperti

masjid sebanyak 40 unit dan mushallah/langgar sebanyak 18 unit. Selain itu

penduduk Kecamatan Wotu terdapat komunitas masyarakat yang memeluk

agama Kristen dan Hindu dengan jumlah tempat ibadah berupa gereja

sebanyak 21 unit dan Pura sebanyak 15 unit.

8. Pertanian dan Perkebunan

Pada tahun 2016, luas lahan sawah di Kecamatan Wotu seluas 4.254

hektar yang terdiri dari dari 4.177 hektar sawah irigasi teknis dan 77 hektar

sawah tadah hujan. Nilai produksi palawija yang tertinggi di kecamatan Wotu

adalah jagung dengan jumlah produksi sebesar 3.026 ton dari luas panen

sebesar 456 hektar, diikuti oleh Ubi Kayu dengan produksi sebanyak 373 ton

dari luas panen seluas 21 hektar.

Di sub sektor perkebunan, Kecamatan Wotu memiliki potensi empat

komoditi perkebunan antara lain, kelapa sawit, kelapa, lada dan kakao.

Tanaman Kelapa Sawit merupakan tanaman perkebunan paling potensial

dengan luas tanam sebesar 380 ha menghasilkan produksi sebesar 4.579,22

ton selama tahun 2016.

9. Peternakan dan Perikanan


46

Sapi potong merupakan ternak besar terbanyak yang terdapat di

Kecamatan Wotu, yaitu sebanyak 1.858 ekor. Sementara itu, ternak kecil yang

paling banyak adalah ternak babi yaitu 4.134 ekor, kemudian kambing

sebanyak 855 ekor. Selanjutnya ternak unggas yang terbanyak adalah ayam

pedaging sebanyak 177.519 ekor, disusul ayam kampung sebanyak 31.252

ekor serta ayam petelur sebanyak 8.060 ekor.

Kecamatan Wotu adalah salah satu kecamatan yang berada di pesisir

Teluk Bone, sehingga daerah ini potensi terhadap perikanan laut dan budidaya.

Selama tahun 2016 tercatat produksi perikanan tangkap mencapai 1.932,52

ton sedangkan perikanan budidaya mencapai 129.265,2 ton.

10. Perdagangan dan Hotel

Untuk menunjang kegiatan perekonomian penduduk Kecamatan

Wotu, pada tahun 2016 terdapat sebanyak 4 pasar dengan bangunan, 3 pasar

tanpa bangunan, 71 buah rumah makan/warung makan minum dan sebanyak

22 Koperasi nonKUD. Sarana akomodasi penginapan telah tersedia dua unit

di Desa Bawalipu.

11. Komunikasi dan Informasi

Fasilitas komunikasi dan informasi sangat erat hubungannya dengan

kondisi sosial ekonomi sebuah masyarakat. Dari 16 desa di Kecamatan Wotu

terdapat satu unit kantor pos yang terdapat di Desa Bawalipu, kemudian 4 unit

tower telepon seluler yang telah menjangkau seluruh desa di Kecamatan Wotu.

Selain itu terdapat satu usaha warnet yang terdapat di Desa Bawalipu.
47

B. Sejarah Singkat Suku Wotu (To Luwu)


Kata Wotu berasal dari kata Fotu atau rumpun keluarga dan

terjemahan lain yaitu Ibu Kota tercinta. Wotu dalam berkomunikasi memiliki

bahasa tersendiri dalam suatu rumpun bahasa Kaili, Buton dan Selayar.

Orang Wotu dahulu menyebut dirinya sebagai Suku luwu, dan kadang juga

menyebut dirinya sebagi suku Wotu, orang Wotu bukan bahagian dari suku

Bugis tetapi dia berdiri sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan adat di

Wotu dipimpin oleh seorang Macoa yang bergelar Macoa Bawalipu.


Dalam silsilah orang Wotu yang terpelihara dengan baik, bahwa

Macoa Bawalipu yang pertama bernama Bau Jala memiliki tiga orang

saudara kandung masing-masing bernama Bau Leko di Palu, Bau Kuna di

Buton dan Bau Cina di Palopo. Secara khusus Bahasa Wotu, Kaili dan Buton

sekitar 70% hampir sama, walaupun ketiga daerah ini berjarak ribuan

kilometer.

Bahasa Wotu merupakan grup linguistic, Muna-Buton dan Konjo

Sulawesi Selatan Bulukumba. Dahulu kala bahasa Wotu merupakan alat

komunikasi pada sebahagian daerah Sulawesi Selatan pada sepanjang pesisir

Teluk Bone dan sebagian Sulawesi Tengah, dan sekitar Buton Tenggara.

Bahasa Wotu menurut Petras (ibid) adalah salah satu bahasa asli daerah Luwu

dan penuturnya adalah merupakan pewaris budaya Luwu yang sesungguhnya,

demikian pula dalam struktur hirarkhi Kerajaan Luwu , yang kadang kala ada

sekelompok golongan ingin mengaburkan atau menghilangkan sejarah ini,

yang lebih ironis justru dari kelompok generasi Luwu pada periode-periode

akhir, mereka tidak menyadari bahwa Wotu bukan merupakan palili (vassal)
48

tetapi merupakan Domain yang menghubungkan kekuasaan Luwu dengan

yang lain dengan Lembah Poso yang mendiami tanah Datu.

Didalam kebudayaan suku Wotu terdapat beberapa warisan adat

istiadat yang masih berjalan hingga saat ini, salah satunya yaitu tari Kajangki

yang dilakukan pada acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan, yang masih

berjalan hingga saat ini di beberapa Desa di Kecamatan Wotu, yang mayoritas

penduduknya masih keturunan asli Anre Guru.

C. Asal usul Tari Kajangki


Kabupaten Luwu Timur merupakan salah satu Kabutapen di Sulawesi

Selatan yang terluas wilayahnya. Luwu berarti “Tanah karunia Tuhan yang

Kaya”. Sejak dulu kekayaan alam daerah ini berlimpah ruah, sehingga tidak

mengherankan kalau pada zaman penjajahan belanda, daerah ini salah satu

yang dikuasainya. Sejak zaman kemerdekaan daerah ini hanya sebagai satu

kabupaten, namun dari waktu ke waktu seiring dengan semakin kompleksnya

permasalahan dan bagaimana memanfaatkan segala sumber daya alam dan

sumber daya manusia yang ada, maka Kabupaten Luwu secara berhadap telah

dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten.


Salah satu Kabupaten hasil pemekaran Luwu adalah Luwu Timur.

Kabupaten Luwu Timur pada mulanya merupakan Desa kecil sunyi yang

terletak dibibir danau Matano. Daerah ini berjarak 600 km sebelah timur laut

kota Makassar, Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Saat ini Luwu Timur

terdiri dari delapan kecamatan salah satunya adalah Wotu. Melalui sejarah

kebudayaan Sulawesi Selatan ini dikenal ada beberapa jenis kesenian yang
49

menunjang terwujudnya kebudayaan bangsa dan daerah, salah satu kesenian

tersebut adalah tari Kajangki di Kecamatan Wotu Luwu Timur.

Tari Kajangki adalah tari asli dari suku Wotu (To Luwu) yang berdiam

di kabupaten Luwu Timur. Tari Kajangki berasal dari kata Jangki yang berarti

kemenangan, yang dimaksud adalah kemenangan Luwu yang dicapai oleh

perajurit dalam menghadapi musuh-musuhnya. Berdasarkan keterangan yang

diperoleh, bahwa keberadaan Tari Kajangki di Wotu adalah sejak adanya ade”

atau adaptasi yang mengharuskan adanya norma yang berlaku bagi yang

melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka dikenakan

sanksi yang dinamakan “Eja-Eja”. Hal ini memberi penjelasan bahwa Tari

Kajangki dilaksanakan sebagai realisasi rasa syukur atas kemenangan yang

dicapai dalam medan perang atau mendapat rezeki dalam kehidupan. Karena

itu siapa yang melakukan pelanggaran dalam melaksanakan Tari Kajangki

dianggap melanggar norma adat dan akan diberikan sanksi sesui ketentuan

yang berlaku.

Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa Tari Kajangki merupakan

kesenian asli Luwu seperti yang dikukuhkan dalam surah Mulataue dalam

epos La Galigo yang berbunyi” Kajangki ri Luwu, Masengo-sengo ri

Mengkoka, Mabbadong ri Toraja, sementara berdasarkan pengetahuan yang

ada, bahwa semua wilayah Luwu Tari Kajangki hanya diketemukan di Wotu.
50

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 2 bulan, dimana lokasi

penelitian bertempat disebuah kabupaten yaitu Luwu Timur, dan khususnya

dilaksanakan pada Kecamatan Wotu. Data yang diperoleh dalam penelitian ini

dilakukan melalui proses observasi dan wawancara pada kalangan masyarakat

yang dijadikan informan. Informan dipilih berdasarkan kemampuan dan

pemahaman terkait tarian Kajangki dalam Upacara Pernikahan di Wotu.


1. Identitas informan
Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai informan yang

berdomisili di wilayah Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur. Hal ini

berdasarkan pertimbangan bahwa mereka lebih mengerti dan memahami


51

kehidupan masyarakat To Luwu di Kecamatan Wotu. Informan dalam

penelitian ini terdiri atas 5 (lima) informan yaitu sebagai berikut:


1) Amiruddin
Amiruddin adalah seorang pensiunan yang sejak muda hingga saat ini

berperan sebagai Toko Adat. Menurut Beliau Tarian ini dari kata Jangki

yang berarti menang, sedangkan jika disebut Kajangki yang berarti

Kemenangan. Beliau berkata:

Saya juga melihat tari Kajangki sebagai bentuk syukuran, kegembiraan

dan sukacita dari masyarakat Luwu. Tari Kajangki Juga merupakan salah

satu kebudayaan yang gunanya untuk merekatkan hubungan masyarakat

yang terkesan sudah modern. Beliau berharap agar kebudayaan tetap hadir

dalam kehidupan masyarakat agar tetap diingat oleh generasi saat ini

maupun dikemudian hari.


2) Rustam Laluka
Beliau berumur 60 tahun dan bertempat tinggal di jalan dua (Jalur Dua),

No.12, kecamatan Wotu. Semasa muda beliau adalah seorang penari dan

sering melatih anak-anak muda di Desa Tabarano. Bukan hanya sebagai

penari, Beliau juga merupakan salah satu pemuka agama di Kecamatan

Wotu.
3) Asrul
Beliau adalah seorang wiraswasta. Beliau mengenal dan mulai bergabung

dalam tari Kajangki sejak tahun 2005, pada saat itu beliau berumur 22

tahun dan berprofesi sebagai penari, juga pemain gendang. Beliau

mendalami tarian tersebut, hingga beliau diangkat sebagai pelatih tari

Kajangki. Bagi beliau, tari Kajangki merupakan salah satu tarian adat suku

Wotu yang harus dilestarikan kebudayaannya.


4) M. Atas Abdi (Macoa Bawalipu)
52

Beliau merupakan kepala suku adat Wotu, beliau melihat tari Kajangki

adalah tarian andalan dalam kaum suku Wotu. Tarian Kajangki

ditampilkan pada saat acara syukuran sebelum melaut, pernikahan, acara

adat, masuk rumah dll. Dari arti Kajangki itu sendiri yaitu “Sebuah

Kemenangan”, Beliau juga berharap, agar tari Kajangki tetap

dipertahankan demi kelestarian budaya Wotu (To Luwu).


5) Bapak Arsyad
Beliau adalah seniman. Selain itu, beliau juga berprofesi sebagai

Budayawan. Beliau melihat tari Kajangki sebagai bentuk Kemenangan,

syukur, kegembiraan dan suka cita dari masyarakat suku Wotu. Tari

Kajangki merupakan salah satu kebudayaan yang gunanya untuk

merekatkan hubungan masyarakat yang terkesan sudah modern. Beliau

juga berharap agar kebudayaan tetap hadir dalam kehidupan masyarakat

agar tetap diingat oleh generasi saat ini maupun di kemudian hari.

Tabel Profil Informan

No Nama Umur Peran Pekerjaan


1 Amiruddin 69 tahun Toko Adat Nelayan
2 Rustam Laluka 60 tahun Budayawan Pensiunan
3 Asrul 35 tahun Penari Wiraswasta
4 M. Atas Abdi 56 tahun Kepala Suku Petani
5 Bapak Arsyad 58 tahun Penari Pensiunan
(Sumber : Hasil olahan data primer penelitian, 2017)

Informan dalam penelitian ini berjumlah lima orang, Informan

diambil berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dipaparkan dalam Bab

I. Informan terdiri atas satu toko adat, satu budayawan, dua pemain dan satu

kepala suku. Informan yang merupakan toko adat adalah Amiruddin yang

berusia 69 tahun. Informan yang merupakan budayawan adalah Rustam


53

Laluka. Informan yang merupakan penari dalam tari Kajangki adalah Asrul

yang berusia 35 tahun dan Bapak Arsyad 58 tahun. Informan yang merupakan

kepala suku Wotu adalah M. Atas Abdi yang berusia 56 tahun.

2. Representasi Simbolik Tari Kajangki


Tari Kajangki adalah salah satu bentuk kebudayaan sekaligus bagian

dari komunikasi nonverbal. Tari Kajangki dalam upacara pernikahan

keturunan Anre Guru sarat akan makna. Untuk menganalilis makna pesan

simbolik non verbal di dalam tari Kajangki, Penelitian ini menggunakan

model analilis semiotika segi tiga makna Charles Sanders Peirce

Dalam analisis semiotika Charles Sanders Peirce berpandangan bahwa

tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek menyerupainya, keberadaannya

memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional

dengan tanda-tanda tersebut. Pierce menawarkan model dengan apa yang disebut

triadic dan konsep trikonominya yang terbagi menjadi tiga, yakni Sign, Object

dan Intrepretant.

Dalam pandangan Pierce, fungsi tanda merupakan proses konseptual

yang akan terus berlangsung dan tak terbatas. Kondisi tersebut dinamakan

“Semiosis tak terbatas”, yaitu rantai makna keputusan oleh tanda-tanda baru

menafsirkan tanda sebelumnya atau seperangkat tanda-tanda. Proses tersebut

tidak ada awal dan tidak ada akhir karena semuanya saling berhubungan.

Selanjutnya salah satu bentuk tanda (sign) adalah kata. Sedangkan sesuatu dapat

disebut representamen (tanda) apabila memenuhi dua syarat diantaranya adalah

pertama, bisa dipersepsi, baik dengan panca-indera maupun dengan pikiran atau
54

perasaan. Kedua, berfungsi sebagai tanda (mewakili sesuatu yang lain). Disisi

lain Interpretant bukanlah penginterpretasi atau penafsir (walaupun keduanya

kadang kala tumpang tindih dalam teori Pierce). Interpretant adalah apa yang

memastikan dan menjamin validitas tanda, walaupun penginterpretasi tidak

ada. Interpretant adalah apa yang diproduksi tanda di dalam kuasa pikiranlah

yang jadi penginterpretasi, namun dia juga dapat dipahami representamen.

Berikut ini adalah analisis makna dari unsur-unsur nonverbal

dalam tari Kajangki.

1) Atribut Dalam Tari Kajangki


Atribut merupakan artefak atau hasil karya manusia merupakan pesan

nonverbal yang memiliki makna. Selain itu, salah satu elemen penting lainnya

dari tari adalah atribut, yaitu kelengkapan tari yang dimainkan, yang

dimanipulasi hingga menjadi bagian dari gerak. Atribut adalah suatu hal yang

penting dalam suatu garapan tari.

Tari Kajangki bukan hanya diadakan sebagai pesta perang, namun

seringkali diadakan saat acara pernikahan atau acara adat lainya. Tari Kajangki

juga diyakini bahwa rintangan-rintangan sudah ada didepan mata dan

bagaimana kita bisa mengatasi rintangan tersebut untuk meraih sebuah

kemenangan, setiap teriakan penari yang berirama memanggil atau

memberitahu kepada warga sekitar bahwa pertanda adanya kemenangan yang

telah diraih. Amiruddin mengungkapkan :


55

“Atribut dalam tari kajangki merupakan atribut yang mewakili

eksistensi suku wotu yang gagah perkasa dari dulu hingga sekarang, walaupun

secara harfiah pada masa silam tidak ada yang mengetahui pakaian asli yang

dipakai oleh batara guru ketika turun “menaklukkan” tanah wotu (Luwu), akan

tetapi menurut kitab I laga ligo pakaian yang dipakai memiliki kemiripan

dengan pakain yang dipakai oleh sultan hasanuddin”

Gambar 3.0 Pemakaian atribut oleh Penari Kajangki

Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah tabel analisis dari atribut yang

digunakan dalam tarian Kajangki :


56

Tanda (sign)
Waju Maeta

Baju Hitam
Objek (object)
Interpretasi Mengandung makna gagah perkasa
(interpretant)

Tanda (sign)
Lipa’ Maeja

Objek (object) Sarung merah kotak kotak hitam


Interpretasi Mengandung makna keberanian yang menyala
(interpretant) menyala yang tampil dengan gagah perkasa
57

Tanda (sign)
Lara’ Rate Maeta

Celana Panjang Hitam


Objek (object)
Interpretasi Mengandung Makna Gagah Perkasa
(interpretant)
58

Tanda (sign)
Kawali

Senjata berupa pisau


Objek (object)
Interpretasi Mengandung makna pelindung dan penjaga
(interpretant)

Tanda (sign)
Genderange’

Gendang pengiring tari


Objek (object)
Interpretasi Mengandung makna pertanda memulai
(interpretant) peperangan
59

Tanda (sign)
Tongko Ulu’

Penutup kepala berwarna merah


Objek (object)
Interpretasi (interpretant) Mengandung makna Wibawa dan Derajat
yang tinggi

Tabel : Analisis Makna Atribut Tari Kajangki


(Sumber : hasil Olahan Data Primer Penelitian, 2018)
60

2) Gerakan Tubuh (Body Language)


Pada bab sebelumnya telah dijelaskan sejarah dari tarian Kajangki.

Berdasarkan sejarah dari tari Kajangki dalam upacara pernikahan, Kajangki

memiliki gerakan yang mutlak. Terdapat aturan yang menjadi patokan dalam

membuat gerakan yang serentak. Bapak Arsyad menjelaskan bahwa:


“Dalam tari Kajangki ada beberapa variasi gerakan, berjalan melingkar,

berjalan sambal menyerang, dan bergerak seakan sedang menyeberangi

sungai. Tari ini pergerakannya lambat ke cepat, kecepatan tarian diikuti

dengan pukulan genderang yang dimainkan pemain gendang.” (hasil

wawancara 20 juli 2018)


Tarian Kajangki mengharuskan seluruh penarinya melakukan gerakan

yang sama dan serentak. Hal yang paling penting dalam gerakan tari Kajangki

adalah gerakan ini dapat menunjukkan semangat, kelincahan dan kekompakan

dari penarinya.

Gambar 3.1 Tari Kajangki Gerak Berjalan Memutar


61

Gambar 3.2 Tari Kajangki Gerak Ketangkasan

Gambar 3.3 Tari Kajangki Gerak serangan


62

Gambar 3.4 Tari Kajangki Gerak Menyeberang Sungai

Berikut ini adalah analisis makna gerakan-gerakan dalam tari

Kajangki :
I. Gerakan Berjalan

Tanda (sign)

Gerakan Berjalan Memutar


Objek (object)
Interpretasi (interpretant) Sebagai symbol bahwa To Luwu saling
melindungi satu dengan lainnya

II. Gerak Ketangkasan


63

Tanda (sign)
Gerakan Ketangkasan
Objek (object)
Interpretasi (interpretant) Sebagai Symbol bahwa To Luwu adalah
orang yang lincah dan tangkas dalam
menghadapi musuh

III. Gerakan Serangan

Tanda (sign)

Gerakan Serangan
Objek (object)
Interpretasi (interpretant) Sebagai symbol bahwa to luwu adalah orang
yang tidak takut untuk terus maju menyerang
demi membela diri

IV. Gerakan Menyeberangi Sungai


64

Tanda (sign)

Gerakan Menyeberang Sungai


Objek (object)
Interpretasi (interpretant) Sebagai symbol bahwa tidak ada yang bisa
menghalangi niatan dan keteguhan to luwu
walau rintangan menghadang

Menurut M. Atas Abdi (Macoa Bawalipu) Tari Kajangki yang digunakan

dalam upacara Pernikahan dengan upacara adat lainnya pada hakekatnya

adalah sama yang bertujuan untuk menunjukkan kemenangan yang dalam hal

ini memenangkan hati mempelai wanita untuk dipersunting dan dijadikan

pendamping (istri).

3. Makna Simbolik Tari kajangki


Dalam analisis makna simbol-simbol tari Kajangki diatas, terdapat

makna dari setiap tanda yang terdapat dalam tari Kajangki ini. Dapat dilihat

bahwa makna-makna pada tanda-tanda dalam tari Kajangki memperlihatkan

gambaran budaya masyarakat suku Wotu, tentang keyakinan kekuatan sejati,

keteguhan dan kesungguhan, rintangan-rintangan yang dihadapi saat ingin

mencapai kemenangan, keyakinan mereka akan adat yang sudah berjalan

sekian lama.
65

Seperti pada acara pernikahan yang dimana memantaskan tari

Kajangki yang menunjukan kemenangan pria yang telah berhasil mendapatkan

hati mempelai wanita dengan kekuatan sejati, keteguhan dan kesungguhan.

Masyarakat wotu percaya bahwa tiada perjuangan sia-sia dan tiada perjuangan

yang tidak akan mendapat kemenangan karena mereka percaya akan

kemampuan mereka bahwa segalanya bisa dicapai ketika kita bersungguh

sungguh.
Pandangan masyarakat Suku Wotu di masa lalu terhadap Tari kajangki

yang dianggap sebagai Penyemangat hidup bagi kehidupan masyarakat

diungkapkan oleh Rustam Laluka sebagai berikut:

“Tari Kajangki ini adalah warisan budaya yang telah berjalan sekian lama

dari nenek moyang kita terdahulu. Berasal dari kepercayaan orang jaman

dulu yang percaya bahwa Tari Kajangki adalah Kepercayaan diri atas

sebuah kemenangan yang dicapai. Maka dari itu, tari Kajangki sebagai

simbol rasa syukur para pejuang pria akan keberhasilan dan rasa syukur

karena telah melewati banyak rintangan, namun, tidak mematahkan

semangat mereka untuk terus berusaha dan bekerja keras.”. (hasil

wawancara 30 september 2017)

Setiap simbol-simbol baik itu dari atribut-atribut maupun gerakan

tubuh (Body Language) memiliki makna tersendiri dari setiap simbol tersebut.

Dari pemaparan makna sebelumnya dapat dikatakan bahwa simbol dalam tari

Kajangki, tidak semata-mata hanya hadir dan menjadi penghibur bagi


66

masyarakat setempat. Namun, dibalik itu semua memiliki arti dan makna

tersendiri.

Masyarakat suku Wotu di masa lalu sangat menghargai dan

menghormati para pejuang. Usaha para leluhur dalam mengingatkan generasi-

generasi selanjutnya untuk tetap melestarikan budaya mereka, terlihat dari apa

yang mereka gunakan dan lakukan seperti penggunaan atribut-atribut yang

digunakan pada saat tari Kajangki dipentaskan.

B. Pembahasan
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dilepaskan dari

kebudayaan, sehingga manusia pada hakikatnya dapat disebut makhluk

budaya. Kebudayaan itu sendiri merupakan kesatuan dari gagasan simbol-

simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia,

sehingga tidak berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya

kebudayaan dan simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia. Oleh sebab itu,

manusia disebut sebagai homo simbolicum.


Tarian adalah salah satu bentuk kebudayaan yang diturunkan secara

turun-temurun, yang bisa berkembang dari asal mulanya namun tetap

menghormati akar budaya atau asal muasal dibentuknya tarian. Sebagai salah

satu bentuk kebudayaan, tarian juga merupakan bagian dari aktivitas yang

melibatkan tubuh, pikiran, jiwa, serta komunikasi nonverbal. Di dalam sebuah

tarian terkandung makna-makna, baik yang mudah dimengerti maupun makna

simbolis yang memerlukan kesadaran manusia untuk mengartikannya.


Pada Bab II dijelaskan bahwa simbol adalah tanda-tanda nonverbal

yang tidak mempunyai hubungan alami dengan hal-hal yang disebutkannya.


67

Makna-makna dalam simbol dipelajari dalam budaya tertentu. Di dalam tari

Kajangki terdapat simbol-simbol nonverbal yang terlihat dari gerakan tubuh

para pemain, atribut-atribut dalam tarian, serta gerakan-gerakan yang

terkandung di dalam tarian ini. Simbol-simbol dalam tari Kajangki merupakan

kultural karena dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu. Simbol-

simbol tersebut tidak memiliki hubungan alami dengan apa yang disebutkan

sehingga dibutuhkan proses pemaknaan dengan mempelajari budaya dari suku

Wotu untuk memahaminya.

Melalui simbol-simbol dalam tarian Kajangki, masyarakat Wotu dapat

melihat identitas mereka sebagai anggota To Luwu. Akan tetapi, kini

kebudayaan suku wotu semakin terkikis oleh perkembangan zaman yang

semakin modern. Bahkan pengetahuan mereka tentang makna yang

terkandung dalam tari Kajangki mulai berkurang. Hal ini terlihat dari hasil

wawancara peneliti terhadap para informan berkaitan dengan makna dari

atribut dan gerakan dalam tari Kajangki, dan hanya beberapa informan yang

memiliki pengetahuan tentang makna-makna dari artefak-artefak dan Body

Language (gerakan tubuh) yang terdapat dalam tarian ini.

Adanya simbol-simbol ini tidak akan ada dan memberi makna tanpa

keinginan manusia untuk menginterpretasikannya. Usaha yang dilakukan

untuk mempertahankan kebudayaan masih terlihat dalam masyarakat suku

Wotu, Contohnya dengan di adakannya pentas tarian dalam acara pernikahan

atau Nikka Datu Balua. Hal ini dilakukan guna menjaga agar kebudayaan dan

seni tari Kajangki berjalan terus dan dipertahankan keberadaannya.


68

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
69

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Makna Pesan

Simbolik tarian Kajangki dalam upacara pernikahan di Wotu, Kabupaten

Luwu Timur, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :


1. Representasi Makna Pesan Simbolik tari Kajangki dalam upacara

pernikahan, dapat dilihat sebagai berikut :


a. Artefak
Artefak pada tari Kajangki terdiri atas beberapa bagian yaitu :
1) Atribut-atribut : Waju Maeta, Lara’ Rate Maeta, Lipa’ Maeja,

Kawali, Genderange’, Tongko Ulu


b. Gerakan tubuh (body language)
Gerakan tubuh pada tari Kajangki terdiri atas beberapa bagian yaitu

sebagai berikut :
1) Gerak Berjalan Memutar
2) Gerak Ketangkasan
3) Gerak Serangan
4) Gerak Bagaimana Menyeberangi Sungai
2. Makna simbolik yang terdapat pada atribut-atribut dan gerakan tubuh

dalam tari Kajangki adalah gambaran karakter masyarakat suku Wotu,

keyakinan mereka akan kekuatan , Kepercayaan diri akan kemenangan ,

serta rintangan-rintangan yang dihadapi saat perjuangan memenangkan

“peperangan” hingga mendapatkan kemenangan mutlak. Sehingga, lahirnya

tari Kajangki sebagai pentas syukuran kemenangan sebagai ungkapan rasa

syukur dan memanjatkan doa agar pada hari hari berikutnya tetatp

memenangkan perjuangan hidup. Selain itu, tarian Kajangki juga

memperlihatkan kebersamaan dalam bergotong royong, menjalankan

silaturahmi, dan alat pemersatu antar masyarakat tanpa adanya perbedaan

baik itu dari segi ras, suku, maupun agama.


B. Saran
70

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan yaitu

sebagai berikut :
1. Semakin maju arus globalisasi, rasa cinta terhadap budaya semakin

berkurang dan ini sangat berdampak tidak baik bagi masyarakat asli

Indonesia. Banyaknya kehidupan asing yang masuk ke Indonesia,

masyarakat kini berkembang menjadi masyarakat modern. Oleh karena

itu, diharapkan kepada generasi muda khususnya pemuda-pemudi suku

Wotu (To Luwu) sekarang ini, agar tidak terbawa arus modernisasi dan

melupakan budaya asli Indonesia, termasuk budaya dan adat sendiri di

tanah kelahiran mereka.


2. Untuk mempertahankan kebudayaan dan adat istiadat suku Wotu (To

Luwu), sekiranya masyarakat setempat memahami dan mengetahui

makna-makna dari setiap unsur di dalam tari Kajangki, dan

memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat luar.

DAFTAR PUSTAKA

Aksan, Nilgun. 2009. ‘Symbolic Interaction Theory’. Procedia Social and


Behavioral Sciences. Vol 1 : 902-904
Budi, Francisco. 1992. Tafsir Kebudayaan (Clifford Geertz – Edisi Terjemahan).
Yogyakarta: Kanisius.
Donsbach, Wolfgang (Editor). 2008. The International Encyclopedia Of
Communication. United Kingdom: Blackwell Publishing.
Danesi, Marcel. 2004. Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in
Semiotics and Communication. 3rd ed. Toronto: Canadian Scholars’ Press
Inc
Hall, Judith dkk. 2013. Nonverbal Communication Germany: The Deutsche
Nationalbibliothek.
Griffin, EM. 2012. A First Look At Comunication Theory. 8th ed. New York: Inc.
71

Fiske, John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Terjemahan oleh Hapsari


Dwiningtyas. 2014. Jakarta: Rajawali Pers.
Koentjaraningrat, 2009.“Pengantar Ilmu Antropologi”. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Liliweri, Alo. 2003.“Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya”. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Langan, Nolvianti N. 2013. Makna Pesan Tari Ma’randing dalam Upacara Adat
Rambu Solo’ Di Tana Toraja.Skripsi tidak diterbitkan. Makassar:Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik universitas Hasanuddin.
Martin, John. 1989. The Modern Dance. Hightstown: Princeton Book Company.
Racmah, Ida. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta:
Prenada Media Group.
Rakhmat, Puspitasari. 2016. Makna Pesan Simbolik Non Verbal Tradisi
Mappadendang di Kabupaten Pinrang. Skripsi Tidak Diterbitkan.
Makassar: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Sobur, Alex. 2013.Semiotika Komunikasi. Terbitan ke-5, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Sihabudin, Ahmad. 2013. Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif
Multidimensi. Terbitan Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Terbitan ke-
21 . Bandung: Alfabeta.
Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika Dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia
Indonesia.

RUJUKAN DARI INTERNET

Alwi Asis.2009.Kajangki dan Sumajo, Tarian Asli Luwu


https://wotuwijatoluwu.wordpress.com/2009/07/07/sinopsis-tarian-kajangki-luwu/
(diakses 21 Februari 2018 pukul 12.16 WITA)

Nawawi. S . Kilat.2010. Sepenggal Kisah Dari Luwu


http://kerajaanluwu.blogspot.co.id/
(diakses 22 Februari 2018 pukul 02.09 WITA)
72
73
74

semua yang menggunakan pakaian adat Luwu adalah Pemain dari Tarian
Kajangki.

Para penari Kajangki dan Kepala suku wotu (Macoa Bawalipu)

Anda mungkin juga menyukai