Anda di halaman 1dari 4

Nama : Mahamanal Noufara

Prodi / Off : PIPS / A

ANALISIS BUKU

Judul : Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan


Aktualitas Pancasila
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011

BAB 1
PENDAHULUAN

Pancasila adalah warisan dari jenius nusantara, yang merefleksikan “negara kesatuan” ini sesuai dengan
karakteristik lingkungan alamnya, yakni sifat lautan yang mampu menampung segala jenis keberagaman dan sifat tanah
yang mampu menerima dan menumbuhkan. Prinsip-prinsip dasar negara Indonesia merdeka yang telah dirumuskan oleh para
pendiri bangsa itu tidaklah dipungut dari udara, melainkan digali dari bumi sejarah keindonesiaan. Digali kembali dari
kekayaan kerohanian, kepribadian, dan wawasan kebangsaan yang terpendam dalam lumpur sejarah bangsa. Untuk itu,
meskipun rumusan dasar negara baru dikemukakan selama masa persidangan BPUPKI namun bahan-bahan pemikirannya
telah dipersiapkan sejak awal pergerakan kebangsaan Indonesia.

FASE “Pembuahan”

Pada tahun 1924, Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda mulai merumuskan konsepsi ideologi politik, bahwa tujuan
kemerdekaan haruslah didasarkan pada empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandiriaan (self
help). Bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai mengidealisasikan suatu sintesis antara Islam, sosialisme, dan
demokrasi. Dalam pandangan Soekarno, pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat yakni ‘nasionalistis, islamistis,
dan marxistis’. Uraian di atas membuktikan bahwa, nilai-nilai dalam Pancasila sudah ada sejak 1920-an meskipun pada saat
itu masih dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan.

FASE “Perumusan”

Dimulai pada sidang pertama BPUPKI dengan pidato Soekarno sebagai crème de la crème –nya yang memunculkan istilah
Pancasila (1 Juni). Meskipun demikian, untuk diterima sebagai dasar negara, Pancasila memerlukan persetujuan kolektif.
Oleh karenanya, Pancasila digodok kembali melalui pertemuan Chuo Sangi In dengan membentuk “Panitia Sembilan.”
Alhasil, penyempurnaan Pancasila diatas telah tercantum dalam rumusan Piagam Jakarta (yang masih mengandung “dengan
kewajiban menjalankan syar’iat islam bagi pemeluk-pemeluknya”)

Fase “Pengesahan”

Rumusan Pancasila sebagai dasar negara bukanlah pancasila versi 1 Juni (lahirnya pancasila) atau 22 Juni (perumusan
piagam jakarta), melainkan versi 18 Agustus 1945 yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan.
Pancasila sebagai Karya Bersama

Setiap fase konseptualisasi Pancasila diatas, telah melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan. Oleh karena itu,
Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri, bahwa ada beberapa
individu yang memainkan peranan penting. Dalam hal ini, individu dengan peranan yang paling menonjol adalah Soekarno.
Meskipun demikian, Soekarno menolak dirinya disebut sebagai pencipta Pancasila, “Saya sekedar penggali Pancasila dari
bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa
Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa penggalian dari Pancasila ini adalah pemberian Tuhan kepada saya.”

Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila

Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila merupakan dasar statis yang mempersatukan
sekaligus Leitstar dinamis yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. “Pancasila adalah satu alat
Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu,” (Soekarno:1958). Demikianlah, para pendiri
bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah, suatu dasar pandangan hidup negara yang memiliki landasan
ontologis, epistimologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas dan aktualitasnya,
yang jika dipahami secara mendalam, diyakini secara teguh, dan diamalkan secara konsisten dapat mendekati perwujudan
“Negara Paripurna.”

BAB 2
KETUHANAN YANG BERKEBUDAYAAN

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat suatu pengakuan yang rendah hati dan penuh rasa syukur
bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Dengan pengakuan ini,
pemenuhan cita-cita kemerdekaan dalam mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur mengandung kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa Indonesia, bukan saja di
hadapan sesama tetapi juga di hadapan Tuhan YME.
Perspektif Historis
Sejak zaman purbakala hingga sampai pada pintu gerbang kemerdekaan, masyarakat nusantara telah melewati
ribuan pengaruh agama-agama. Sistem kepercayaan tersebut berkembang dan menyebar seiring dengan kemajuan zaman.
Oleh karenannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak dulu kala Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik nusantara
Negosiasi antara Sekularisasi dan Religiosasi Negara
Respons terhadap penjajahan dan intervensi pemerintah kolonial terhadap kehidupan keagamaan mengarah pada
politisasi agama yang membangkitkan usaha-usaha “religiosasi” ruang publik.
Sekularisasi Politik Indonesia
Sejak awal, Islam telah disalahpahami oleh pihak Belanda, sehingga dalam praktiknya islam selalu dipisahkan dari
politik. Hal tersebut juga terjadi pada masa kependudukan Jepang.
Religiosasi Politik Indonesia
Proyek sekularisasi masyarakat dan politik nusantara oleh rezim kolonial pada kenyataannya tidak menyurutkan
peran publik agama. Rangkaian panjang pemberontakan pribumi berbasis keagamaan yang diikuti oleh tumbuhnya
kesadaran sosio-politik menjadi lahan subur bagi penanaman ideologi baru yang mengarah pada bangkitnya kesadaran
nasionalisme.
Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi
Menjelang akhir penjajahan jepang, kekuatan politik terbelah menjadi 2 yakni golongan kebangsaan dan golongan
islam. Kedua golongan ini sepakat memandang pentingnya nilai-nilai ketuhanan dalam negara Indonesia, namun berselisih
mengenai hubungan negara dengan agama. Untuk itu, Hatta mengungkapkan “kita tidak akan mendirikan Negara dengan
dasar perpisahan antara agama dan negara, melainkan kita akan mendirikan negara modern di atas dasar perpisahan urusan
antara agama dengan negara.” Meskipun banyak terjadi diferensiasi pendapat dalam penetapan dasar negara, namun setiap
perwakilan politik sesungguhnya secara substansi memiliki titik temu dalam meyakini pentingnya dasar ketuhanan untuk
kehidupan publik. Titik temu diantara keduanya diikat pada alenia ketiga pembukaan UUD “atas berkat rahmat Allah yang
mahakuasa..” dan ujung kompromi bermuara pada prinsip ketuhanan yang dipindah dari sila terakhir ke sila pertama serta
perubahan “tujuh kata” menjadi “ketuhanan yang maha esa.” Dengan ini negara telah memperkokoh fundamennya, yakni
fundamen moral yang menjadi landasan dari fundamen politik.
Perspektif Teoritis-Komparatif
Betapapun titik kompromi dalam hubungan agama dan negara di Indonesia dicapai melalui konfrontasi pemikiran
yang sengit dan pengorbanan yang sulit, tetapi dalam perkembangan waktu, hal itu membawa berkah tersembunyi berupa
“titik tengah keemasan” yang memberi prasarat bagi Indonesia untuk menjadi negara modern demokratis.
Koreksi terhadap Tesis “Separasi” Agama dan Negara
Kunci menuju demokratisasi terletak pada konstruksi dan rekonstruksi politik yang secara konstan
mengembangkan apa yang disebut sebagai “twin tolerations.” Toleransi kembar yang dimaksud adalah situasi ketika
institusi agama dan negara menyadari batas otoritasnya untuk kemudian mengembangkan toleransi terhadap fungsinya
masing-masing.
Koreksi terhadap Tesis “Privatisasi” Agama
Ketika agama tersudut dari ruang publik ke ruang privat, yang muncul adalah ekspresi spiritualitas yang terputus
dari kehidupan politik. Sebaliknya, politik tanpa nilai-nilai agama (sekuler) menyebabkan pengabaian signifikasi moral
ketuhanan. Akibat dari situasi saling mengabaikan ini adalah munculnya spiritualitas tanpa pertanggungjawaban sosial dan
politik tanpa jiwa. Untuk itu, hubungan agama dan negara perlu menemukan konteks relasi baru yang dapat menjamin
perwujudan “toleransi kembar.” Konteks baru tersebut bernama “diferensiasi.”
Dari Separasi dan Privatisasi ke Diferensiasi
Istilah “differentiation” harus dipahami sebagai “distinction” (pembedaan). Dengan adanya diferensiasi, agama
bisa mengembangkan otonomi relatif dalam menyediakan landasan moralitas, baik untuk menopang kehidupan politik atau
menentang kekuasaan politik. Tersedianya kerangka diferensiasi inilah yang akan memberi peluang bagi pengembangan
“toleransi kembar” antara agama dan negara (karena masing-masing menemukan konteks keterlibatan yang tepat).
Membumikan Ketuhanan dalam Kerangka Pancasila
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan
kehidupan publik-politik yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dan budi pekerti luhur. “negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan Beradab” pokok pikiran pembukaan UUD ini mengandung isi
yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Dalam mengamalkan komitmen etis ketuhanan ini, Pancasila harus
didudukkan secara proporsional bahwa ia bukanlah agama, karena hal itu akan membawa tirani keagamaan yang mematikan
pluralitas kebangsaan.
Dalam ungkapan Bung Hatta “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita,
yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik.” Ketuhanan dalam kerangka
Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang
kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas ketuhanan. Dalam kerangka pencarian titik temu ini perlu digaris bawahi
bahwa, Indonesia bukanlah negara sekuler namun juga bukan negara agama, melainkan sebagai negara yang
mengakomodasikan kepentingan agama.

Tentang Buku ini


Buku ini menceritakan proses para pendiri bangsa dalam merumuskan dasar negara Indonesia merdeka. Pembahasan yang
dikupas secara rinci, dan ulasan yang dikemas secara apik serta cakupan materi yang kompleks merupakan point utama dari
penulis. Meskipun demikian, narasi dalam penulisan buku ini saya rasa terlalu panjang dan tidak langsung pada intinya
sehingga menyulitkan pembaca dalam memahami isi dan kandungan dari sisi pengetahuan, hakikat, dan kemanfaatannya.
Sebenarnya masih banyak ragam hal yang menarik dari buku tebal ini. Tetapi yang saya rasa paling mengagumkan adalah
bahwa semua bagian dan detil dari isi buku, seluruhnya padat dengan dokumen sejarah dan tawaran solusi yang cerdas.

Di akhir tulisan ini, saya menyitir barisan kata-kata indah “Indonesia adalah satu-satunya negeri yang menyebut negaranya
dengan tanah air, selama masih ada lautan yang bisa dilayari, dan selama masih ada tanah yang bisa ditanamai, selama itu
pula masih ada harapan.” Harapan kedepannya adalah semoga buku ini dapat menularkan semangat ketulusan, tanggung
jawab, etos kejuangan, kebijaksanaan dan optimisme para pendiri bangsa kepada para generasi penerus untuk meraih
kejayaan dimasa depan

Anda mungkin juga menyukai