Anda di halaman 1dari 26

PEMELIHARAAN AL-QUR’AN SEJAK ERA KENABIAN

HINGGA ZAMAN KONTEMPORER


Upaya Menjaga Orisinalitas & Validitas Al-Qur’an
Oleh : Didik Darmadi

Abstrak
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai penutup kenabian dan penyempurna
kitab-kitab agama samawi yang diturunkan sebelumnya.
Posisinya sangat fundamental dalam kehidupan seorang muslim
karena seluruh doktrin ke-Islaman yang diajarkan berasal
darinya dan kepercayaan penuh kepadanya merupakan salah satu
syarat keimanan. Karena itu jaminan atas orisinalitas dan
validitas Al-Qur‟an merupakan suatu keniscayaan. Dengan sebab
itulah umat Islam sejak era pertama kemunculannya hingga
periode modern ini berupaya untuk menjaga teks Al-Qur‟an dari
segala bentuk perubahan dengan cara tulisan (Al-Hifdzu fi As-
Shutuur) dan hafalan (Al-Hifdzu fi As-Shuduur). Dimulai dari
masa kenabian dengan menulis dan menghafal Al-Qur‟an. Lalu
masa khulafaur rasyidin dengan pembukuan, kodifikasi, dan
pemberian titik (Nuqath Al-I‟jam). Lalu pada masa setelahnya
lahirlah berbagai disiplin ilmu seperti ilmu qiraat, tajwid, nuqath,
rasm, dan lain sebagainya. Yang mana keseluruhannya dapat
menjadi pembuktian atas orisinalitas teks dan validitas isinya.
Dan pada era modern ini berdirilah lembaga-lembaga pusat studi
Al-Qur‟an dan penerbitan Al-Qur‟an yang juga memberi andil
dalam menjaga teks dan isi Al-Qur‟an serta menjawab serangan-
serangan dari kalangan orientalis terhadap orisinalitas dan
validitas Al-Qur‟an.

LATAR BELAKANG
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang menjadi pedoman bagi umat
Islam sejak masa awal turunnya Islam di masa Rasulullah ‫ ﷺ‬hingga era
modern sekarang ini. Posisinya sangat sakral dan absolut bagi umat Islam
karena dia adalah wahyu yang diturunkan Allah ‫ ﷻ‬Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
melalui perantaraan Malaikat Jibril „alaihissalam.
Terdapat beberapa alasan yang menegaskan urgensi Al-Qur‟an selain
karena dia adalah wahyu Allah, diantaranya adalah karena Al-Qur‟an

[1]
merupakan petunjuk hidup bagi manusia secara umum, dan kaum
mukminin secara khusus, sebagaimana firman Allah ‫ ﷻ‬:
ۡ ِ‫ضا َن ٱلَّ ِذ ٓي أُن ِز َل فِ ِيو ۡٱل ُق ۡرءا ُن ى ًدى ل‬ ۡ
‫ت ِّم َن ٱۡلَُد َٰى‬
ٍ َ‫َّاس وب يَِّٰن‬
ََ ِ ‫ن‬ ‫ل‬ّ ُ َ َ ‫م‬
ََ ُ ‫َش‬
‫ر‬ ‫ر‬ ‫ه‬
﴾ٔ٨١﴿...‫ان‬ ِ َ‫و ۡٱل ُف ۡرق‬
َ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil).... (Q.S. Al-Baqarah / 2 : 581)
Allah ‫ ﷻ‬juga menegaskan bahwa kondisi manusia itu adalah sesat
sebelum Al-Qur‟an diturunkan, oleh karena itulah diturunkan Al-Qur‟an
dengan maksud agar manusia itu tidak sesat lagi, sebagaimana firman
Allah ‫ ﷻ‬:
‫ب‬ َٰ
‫ت‬ ِ ‫وً ِم ۡن ه ۡم ي ۡت لُواْ عَلَ ۡي ِه ۡم ءايَٰتِ ِوۦ وي َزّكِي ِه ۡم وي علِّمهم ۡٱل‬
‫ك‬ ً ُ ‫ر‬ ‫ن‬ ِ‫ي‬ ِۧ ‫ث ِِف ۡٱۡل‬
‫ُم‬ َ ‫ُى َو ٱلَّ ِذي بَ َع‬
َ َ ُ ُ ُ ََُ َُ َ َ َ ُ ّ ُ َ َ ّّ
ۡ ۡ ۡ
﴾ٕ﴿ ‫ي‬ ٍ ِ‫ض َٰلَ ٍل مب‬َ ‫َوٱۡلِك َمةَ َوإِن َكانُواْ ِمن قَ ب ُل لَ ِفي‬
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. (Q.S. Al-Jumu‟ah / 62 : 2)
Alasan lainnya yang menegaskan urgensi Al-Qur‟an adalah bahwa
Al-Qur‟an merupakan salah satu penghubung antara manusia dengan
Allah ‫ ﷻ‬sekaligus menjadi sebuah ikon persatuan. Sebagaimana
tercantum dalam Al-Qur‟an :
َِّ ‫صمواْ ِِب ۡب ِل‬ ۡ
َِ ‫ٱَّلل‬
﴾ٖٔٓ﴿ ...ْ‫َج ًيعا َوًَ تَ َف َّرقُوا‬ َ ُ ِ َ‫َوٱعت‬
Bersatulah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai
berai…. (QS. Ali Imran / 3 : 103)
Rasulullah ‫ ﷺ‬kemudian menjelaskan makna tali Allah yang terdapat
dalam ayat tersebut sebagai berikut :
1
‫كتاب هللا ىو حبل هللا املمدود من السماء إىل اۡلرض‬
“Kitabullah itulah tali Allah yang terulur dari langit hingga ke bumi.”2

1
Ibnu Jarir At-Thabari, Jaami‟ Al-Bayaan fii Ta‟wil Al-Qur‟aan, Beirut: Muassasat
Ar-Risalah, 2000, vol. 7, hal. 72.
2
Dalam catatan kaki Tafsir At-Thabari Ahmad Syakir menyebutkan bahwa sanad
hadits ini lemah dikarenakan adanya periwayat bernama „Athiyah Al-„Aufi. Namun

[2]
Setidaknya tiga hal ini menegaskan pentingnya posisi Al-Qur‟an bagi
setiap muslim. Oleh karena pentingnya posisi Al-Qur‟an inilah kemudian
Allah ‫ ﷻ‬memberikan jaminan atas otentisitas Al-Qur‟an dan menegaskan
bahwa kemurnian Al-Qur‟an akan terus terjaga semenjak diturunkan
hingga hari kiamat. Allah ‫ ﷻ‬berfirman :
ۡ ۡ ۡ
﴾٩﴿ ‫إِ ََّّن ََن ُن نَ َّزلنَا ٱل ِّذك َر َوإِ ََّّن لَوُۥ َۡلََِٰفظُو َن‬
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)
Imam At-Thabari kemudian menjabarkan makna penjagaan tersebut
dalam tafsirnya :
‫ أو ينقص منو ما ىو منو من‬،‫وإَّن للقرآن ۡلافظون من أن يزاد فيو ابطل َّما ليس منو‬
‫أحكامو وحدوده وفرائضو‬
Dan sesungguhnya Kami akan senantiasa menjaga (Al-Qur‟an) agar
tidak dimasuki suatu hal yang bathil yang bukan berasal darinya, atau
dari pengurangan isi kandungannya baik berupa hukum-hukum, batasan-
batasan, atau kewajiban-kewajibannya.3
Namun pada perkembangannya kemudian muncul berbagai
argumentasi dari beberapa kalangan yang berimplikasi pada pelemahan
terhadap validitas Al-Qur‟an.4 Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut
mungkin saja menimbulkan keraguan dalam diri seorang muslim, padahal
mereka diwajibkan untuk mengimani dan meyakini Al-Qur‟an sebagai
sebuah entitas yang bernilai benar secara absolut. Bahkan kemudian hal
tersebut dijadikan syarat keimanan bagi setiap muslim.
Oleh karena itu tulisan ini dibuat untuk mendeskripsikan penjagaan
dan pemeliharaan terhadap Al-Qur‟an serta sejarah proses pemeliharaan
tersebut yang berlaku dari masa ke masa. Termasuk juga mengutip
pendapat dan argumentasi yang melemahkan validitas Al-Qur‟an serta
jawaban atas argumentasi tersebut.

beliau menyebutkan pula bahwa terdapat hadits lain yang berstatus shahih yang
menguatkan hadits ini, di antaranya adalah potongan hadits yang diriwayatkan oleh
ُ ‫ أ َ َح ُدهُ َوا ِكت‬:‫أ َ ََل َوإِنِّي ت َِاركٌ فِيكُ ْن ثَقَلَي ِْن‬
Muslim No. 6048 : ِ‫ ه َُو َح ْبلُ هللا‬،َّ‫َاب هللاِ ع ََّز َو َجل‬
3
Ibid, vol. 17, hal. 68.
4
Abdul Muhsin Al-Muthairi, Da‟awa At-Tha‟iniin fii Al-Qur‟an Al-Kariim fii Al-
Qarn Ar-Raabi‟ „Asyar Al-Hijri wa Ar-Radd „alaiha, Beirut: Daar Al-Basyaair Al-
Islamiyah, 2006, hal. 32.

[3]
PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
1. Definisi Pemeliharaan Al-Qur’an
Pemeliharaan Al-Qur‟an terdiri dari dua kata, yaitu pemeliharaan dan
Al-Qur‟an. Pemeliharaan sendiri berasal dari kata pelihara yang berarti
jaga atau rawat, yang diberi imbuhan pe- dan -an yang berarti proses,
cara, dan perbuatan memelihara.5
Adapun definisi Al-Qur‟an secara istilah yang disepakati oleh ulama
ushul, fikih, dan bahasa, yaitu :
،‫ املنقول عنو ابلتواتر‬،‫الكالم املعجز املنزل على النيب ملسو هيلع هللا ىلص املكتوب ِف املصاحف‬
‫املتعبد بتالوتو‬
Firman (Allah) yang merupakan mu‟jizat, yang diturunkan kepada Nabi
(Muhammad) ‫ﷺ‬, dituliskan di dalam mushaf, diriwayatkan secara
mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.6
Sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
“Pemeliharaan Al-Qur‟an” di sini adalah segala proses dan cara yang
dilakukan untuk menjaga dan memelihara kitab suci Al-Qur‟an sehingga
tetap terjaga orisinalitas, otentisitas, dan validitasnya dari segala bentuk
perubahan baik berupa penambahan maupun pengurangan.
Selain pemeliharaan dalam konteks fisik Al-Qur‟an, makalah ini
membahas pula pemeliharaan berupa upaya menjaga validitas Al-Qur‟an
dari upaya kritik yang melemahkannya, dan juga upaya membumikan Al-
Qur‟an dalam diri umat Islam sebagai wujud eksistensi Al-Qur‟an di
tengah-tengah umat Islam.
Namun karena banyaknya usaha dan upaya tersebut terutama dalam
hal membumikan Al-Qur‟an, maka penyusun hanya akan melakukan
sampling sehingga hanya akan membahas satu atau dua contoh secara
acak agar dapat memberikan gambaran umum mengenai upaya
pemeliharaan Al-Qur‟an.
2. Bentuk-Bentuk Pemeliharaan Al-Qur’an
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa pemeliharaan Al-
Qur‟an bisa dilakukan dengan berbagai bentuk yang pada intinya menjaga

5
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia
Daring : Pelihara”, dalam https://kbbi.web.id/pelihara. Diakses pada 9 Oktober 2018
pukul 07.30.
6
Subhi As-Shalih, Mabaahits fii „Uluum Al-Qur‟an, Beirut : Daar Al-„Ilm li Al-
Malaayiin, 2000, cet. 4, hal. 21.

[4]
dan mempertahankan orisinalitas, otentisitas, dan validitas Al-Qur‟an
sebagai kitab suci umat Islam.
Maka dalam pembahasan ini dapat dibagi proses pemeliharaan
tersebut menjadi beberapa jenis kegiatan yang berlangsung semenjak
diturunkannya Al-Qur‟an hingga masa modern, sebagai berikut :
a) Hafalan Al-Qur‟an
Menghafal Al-Qur‟an seringkali disebut sebagai Al-Hifdzu fii As-
Shuduur yang berarti pemeliharaan dalam dada. Sejak awal diturunkan
Al-Qur‟an sudah mulai dijaga dalam bentuk hafalan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬
maupun umat Islam lainnya. Rasulullah ‫ ﷺ‬membacakan Al-Qur‟an secara
perlahan kepada para sahabat agar mereka bisa menghafalnya. 7
Terutama lagi bangsa arab kala itu memiliki tradisi menghafal yang
sangat kuat. Hal ini juga terjadi dikarenakan tradisi baca tulis belum
begitu populer bagi bangsa arab. Karena itulah dalam beberapa tempat
dalam Al-Qur‟an mereka disebut sebagai kaum Ummiyin (orang-orang
yang buta huruf), di antaranya adalah firman Allah ‫ ﷻ‬dalam surat Al-
Jumu‟ah ayat 2.
Namun walaupun zaman sekarang baca tulis telah populer, bahkan
Al-Qur‟an telah dibukukan menjadi satu mushaf, umat Islam pada
umumnya masih tetap berbondong-bondong untuk menghafalkan Al-
Qur‟an.
Salah satu hal yang mendorong umat Islam untuk menghafalkan Al-
Qur‟an adalah banyaknya motivasi dalam hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬untuk
menghafalnya, diantaranya yaitu :
،ُ‫ َوَمثَ ُل الَّ ِذي يَ ْق َرأ‬،‫الك َر ِام البَ َرَرِة‬
ِ ‫الس َف َرِة‬ ٌ ِ‫ َو ُى َو َحاف‬،‫َمثَ ُل الَّ ِذي يَ ْق َرأُ ال ُق ْرآ َن‬
َّ ‫ظ لَوُ َم َع‬

‫َج َران‬ ِ ِ
ْ ‫ َو ُى َو عَلَْيو َشدي ٌد فَ لَوُ أ‬،ُ‫اى ُده‬َ ‫َو ُى َو يَتَ َع‬
Permisalan orang yang membaca Al-Qur‟an dan dia telah menghafalnya,
maka dia akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti. Dan
perumpamaan yang membaca (Al-Qur‟an) dan dia selalu menekuninya
padahal dia merasa berat di dalam (membaca)nya, maka dia memperoleh
dua pahala. (H.R. Bukhari(
Hadits di atas menjelaskan tingginya derajat seorang penghapal Al-
Qur‟an, bahkan disejajarkan dengan derajat malaikat yang selalu taat pada
7
Muhammad Az-Zurqani, Manahil Al-„Irfan fii „Uluum Al-Qur‟an, Kairo: Mathba‟ah
„Isa Al-Baab Al-Halabi wa Syurakahu, 1367 H, cet. 3, vol. 1, hal. 240.
8
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Jaami‟ Al-Musnad As-Shahih Al-Mukhtashor
min Umuuri Rasulillah ‫ ﷺ‬wa Sunanihi wa Ayyaamihi, Beirut: Daar Thauq An-Najaat,
1422 H, vol. 6, hal. 166.

[5]
perintah Allah ‫ﷻ‬. Bahkan masih banyak hadits lainnya yang memotivasi
untuk menjadi ahli dan penghapal Al-Qur‟an.
b) Penulisan Al-Qur‟an
Menuliskan Al-Qur‟an disebut juga Al-Hifdzu fi As-Shuthuur yaitu
menjaga Al-Qur‟an dalam bentuk baris-baris tulisan. Selain menghafal
Al-Qur‟an, beberapa orang sahabat adapula yang terbiasa menuliskan ayat
Al-Qur‟an pada lembaran kulit yang disamak, pelepah kurma, tulang,
ataupun sarana lain yang memungkinkan. Diantara para sahabat penulis
wahyu yaitu 4 Khulafaur Rasyidin, Abdullah bin Abi Sarh, Zubair bin
Awwam, Muawiyah, Khalid bin Sa‟id bin Al-„Ash bin Umayah, Abaan
bin Sa‟id bin Al-„Ash bin Umayah, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit,
Syurahbil bin Hasanah, Abdullah bin Rawahah, Amru bin Al-„Ash,
Khalid bin Walid, Arqam bin Abil Arqam, Tsabit bin Qais, Abdullah bin
Arqam, Handzalah bin Rabi‟, dan Mu‟aiqib bin Abi Fatimah.9
Ayat Al-Qur‟an pada periode kenabian tersebut tidaklah ditulis
secara menyeluruh per surat dan berurutan, karena masing-masing
sahabat mencatat hasil pendiktean Rasulullah ‫ ﷺ‬berdasarkan kapan
wahyu itu turun kepada beliau.
Salah satu kisah yang menguatkan adanya pencatatan wahyu Al-
Qur‟an ini adalah kisah masuk Islamnya Umar bin Khattab radiyallahu
„anhu karena mendengar bacaan Al-Qur‟an surat Thaha di rumah adiknya
yang bernama Fatimah, bahkan Umar sempat ingin memegang Shahifah
(lembaran) Al-Qur‟an tersebut namun dicegah oleh adiknya hingga Umar
mandi dan bersuci terlebih dahulu.10
Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dalam kitab beliau dalam
beberapa tempat, sebuah hadits yang menceritakan kejadian tatkala
diturunkannya surat An-Nisa ayat 95. Saat itu Rasulullah ‫ﷺ‬
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mencatatnya dan beliau ‫ﷺ‬
membacakan ayat tersebut kepadanya. 11
c) Pembukuan Al-Qur‟an
Bila pada saat dituliskan Al-Qur‟an masih terpisah-pisah dan tidak
berurutan, maka pembukuan Al-Qur‟an adalah proses penulisan ulang

9
Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal lii Dirasat Al-Qur‟an Al-Kariim, Kairo:
Maktabah As-Sunnah, 2003, hal. 335.
10
Abdul Malik bin Hisyam, Sirat Ibni Hisyam, Kairo: Mathba‟ah Mushtafa Al-Baabi
Al-Halabi wa Aulaaduhu, 1955, vol. 1, hal. 345.
11
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Op. Cit., vol. 4, hal. 24-25/vol.6, hal.47-48,
hal.184.

[6]
seluruh isi Al-Qur‟an yang terpisah tersebut menjadi satu mushaf dan
disusun secara berurutan mulai dari surat Al-Fatihah dan An-Naas sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬kepada para sahabat.
Pembukuan Al-Qur‟an ini dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq radiyallahu „anhu sebagaimana yang akan dijelaskan pada
pembahasan mengenai pemeliharaan Al-Qur‟an pada masa khulafaur
rasyidin.
Perbedaan antara penulisan dan pembukuan Al-Qur‟an terletak pada
keadaan Al-Qur‟an ketika dicatatkan. Adapun penulisan hanya berupa
pencatatan teks semata, sedangkan pembukuan lebih kepada proses
penyatuan catatan-catatan maupun hafalan Al-Qur‟an menjadi satu. Oleh
karena itu dalam hal ini sering digunakan kata Al-Jam‟u yang berarti
pengumpulan dalam menamai proses ini.
d) Kodifikasi Al-Qur‟an
Kodifikasi bermakna menghimpun, menggolongkan, mencatat, atau
memberi nomor atau lambang.12 Sehingga kodifikasi Al-Qur‟an dapat
dimaknai sebagai usaha atau upaya menghimpun, menggolongkan,
mencatat, dan atau memberi kode dalam penulisan teks Al-Qur‟an.
Kodifikasi sering dimaknai dengan kata Al-Jam‟u yang bermakna
pengumpulan. Begitupun proses pemeliharaan Al-Qur‟an sejak masa
Rasulullah ‫ ﷺ‬hingga Khulafaur Rasyidin sering disebut dengan satu
istilah yaitu Al-Jam‟u. Menurut Dr. Ali Al-„Ubaid bahwa dalam Ulumul
Qur‟an sendiri kata Al-Jam‟u sendiri memiliki dua makna, yaitu
menghafalnya dan menulisnya. 13
Karena itulah kadang terjadi kerancuan dalam membedakan proses
pemeliharaan Al-Qur‟an sejak masa Rasulullah ‫ ﷺ‬hingga Khalifah
Utsman bin Affan radiyallahu „anhu.
Oleh karena itulah penyusun kemudian memisahkan istilah kodifikasi
untuk proses penulisan ulang Al-Qur‟an yang terjadi pada masa Utsman
bin Affan radiyallahu „anhu berupa penetapan satu macam tulisan untuk
berbagai macam bacaan atau qira‟ah Al-Qur‟an. Adapula ulama yang

12
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia
Daring : Kodifikasi”, dalam https://kbbi.web.id/pelihara. Diakses pada 9 Oktober 2018
pukul 19.55.
13
Ali bin Sulaiman Al-„Ubaid, Jam‟u Al-Qur‟an Al-Kariim Hifdzan wa Kitaabatan,
Madinah: Majma‟ Al-Malik Fahd, t.th, hal. 5.

[7]
menyebutnya sebagai proses Naskhul Qur‟an atau penggandaan teks Al-
Qur‟an.14
Tujuan dari kodifikasi Al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Utsman
bin Affan radiyallahu „anhu adalah untuk mencegah terjadinya konflik
antar umat Islam yang disebabkan karena perbedaan bacaan (qiraat) Al-
Qur‟an.15 Juga untuk mencegah terjadinya penyelewengan bacaan yang
disebabkan berbagai faktor semisal „ajamiyah atau ketidak fasihan bahasa
karena bukan berasal dari arab. Adapun penejelasan lebih lanjut akan
disebutkan dalam pembahasan pemeliharaan Al-Qur‟an pada masa
Utsman bin Affan.
e) Penyempurnaan Tulisan Al-Qur‟an & Kaidah Tajwid
Penyempurnaan tulisan Al-Qur‟an yaitu penambahan titik, harakat,
dan tanda baca dalam Al-Qur‟an yang bertujuan untuk menjaga kefasihan
bacaan terhadap Al-Qur‟an. Juga mencegah terjadinya kesalahan dalam
mempelajari atau menghafal Al-Qur‟an karena faktor „ajamiyah.
Adapun pada periode awal Al-Qur‟an dituliskan tanpa ada tanda baca
seperti titik huruf dan juga harakat. Namun umat Islam saat itu masih
mampu untuk membaca Al-Qur‟an yang notabene berbahasa arab
dikarenakan bahasa arab adalah bahasa yang mereka gunakan sehari-hari,
disamping itu banyak dari mereka menyandarkan bacaan Al-Qur‟an pada
hafalannya.
Namun ketika Islam semakin menyebar hingga memasuki negeri non
arab (ajam) sehingga terkadang muncul kesalahan dialek atau pengucapan
dalam bahasa arab. Oleh karena itulah kemudian muncul tanda baca untuk
mencegah terjadinya kesalahan tersebut.16
Selain itu kemudian disusunlah kaidah tajwid dengan konsep yang
lebih sederhana berdasarkan qiraat yang digunakan dalam rangka menjadi
patokan-patokan dasar dalam membaca Al-Qur‟an. Karena pada awalnya
ilmu tajwid hanyalah konsumsi para Qari‟ yang mutqin hafalannya dan
juga mereka yang memiliki sanad Qira‟ah Al-Qur‟an.17

14
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fii „Uluum Al-Qur‟an, Kairo:
Daar Ihya Al-Kutub Al-„Arabiyyah „Isa Al-Baabi Al-Halabi wa Syurakahu, 1957, vol. 1,
hal. 235.
15
Ibid., hal. 236.
16
Muhammad Tahir Al-Kurdi, Taarikh Al-Qur‟an Al-Kariim, Jeddah: Mathba‟ah Al-
Fath, 1946, hal. 179.
17
Muhammad Sayyidi Al-Amin, Al-Wajiz fii Hukmi Tajwiidi Al-Kitab Al-„Aziiz,
Madinah: Maktabat Al-„Uluum wa Al-Hikam, 2002, hal. 19.

[8]
f) Pembelaan Terhadap Otentisitas Al-Qur‟an
Yang penyusun maksud dengan pembelaan terhadap otentisitas Al-
Qur‟an yaitu berupa penelitian ataupun pembahasan mengenai
argumentasi yang menguatkan Al-Qur‟an, dengan membantah
argumentasi yang melemahkannya. Penyusun memasukan pembahasan
ini karena hal ini termasuk dalam kategori menjaga dan memelihara Al-
Qur‟an, yaitu menjaga status keabsahan Al-Qur‟an bagi Umat Islam. Hal
ini berbeda dari bentuk-bentuk pemeliharaan Al-Qur‟an sebelum ini yang
lebih bersifat konkrit berupa tulisan ataupun bacaan Al-Qur‟an.
Kebanyakan argumentasi kritis yang melemahkan Al-Qur‟an datang
dari kalangan orientalis dan sekuler dengan berbagai motif dan latar
belakangnya masing-masing.18 Sehingga upaya menjawab pertanyaan
serta argumentasi tersebut merupakan salah satu wujud penjagaan
terhadap Al-Qur‟an.

SEJARAH PEMELIHARAAN AL-QUR’AN


1. Masa Kenabian
Pada masa Rasulullah pemeliharaan Al-Qur‟an dimulai dengan
menghafal Al-Qur‟an dan mencatat atau menuliskan ayat-ayat yang turun.
Yang mana Al-Qur‟an itu sendiri turun secara berangsur-angsur selama
lebih dari 22 tahun. Dan selama itu pula proses penghapalan dan
penulisan terus berlangsung. Bahkan dalam hal penulisan Al-Qur‟an
mendapatkan tempat khusus dalam hal pengecualian izin untuk
menuliskan suatu hal dari Rasulullah ‫ﷺ‬. Beliau bersabda :
‫ َوَم ْن‬،‫ َوًَ َح َر َج‬،‫ َو َح ِّدثُوا َع ِّّن‬،ُ‫آن فَ لْيَ ْم ُحو‬ ِ ‫ ومن َكتَب َع ِّّن غَْي ر الْ ُقر‬،‫ًَ تَ ْكتُ بوا َع ِّّن‬
ْ َ َ ْ ََ ُ
19
‫ ُمتَ َع ِّم ًدا فَ لْيَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬- ‫ال‬
َ َ‫َح ِسبُوُ ق‬ْ ‫ أ‬:‫َّام‬
ٌ ‫ال ََه‬
َ َ‫ ق‬- ‫ب َعلَ َّي‬َ ‫َك َذ‬
Janganlah kalian menuliskan dariku, barangsiapa yang menuliskan
dariku selain Al-Qur‟an maka hendaknya dia menghapusnya. Akan tetapi
ucapkanlah hadits dariku dan jangan merasa sungkan. Dan barangsiapa
yang berdusta atas namaku –Hammam (periwayat hadits) berkata: Aku
kira beliau berkata– secara sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan
tempat duduknya dalam neraka.

18
Abdul Muhsin Al-Muthairi, Op. Cit.
19
Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Al-Musnad As-Shahih Al-Mukhtashar bi Naqli Al-
„Adli „an Al-„Adli ilaa Rasulillahi Shallallahu „alaihi wasallam, Beirut: Daar Ihya At-
Turats Al-„Arabi, t.th, vol. 4, hal. 2298.

[9]
Hadits ini bukan bermakna Rasulullah ‫ ﷺ‬melarang menuliskan hadits
dari beliau secara mutlak, karena para sahabat sepakat bahwa dibolehkan
untuk menuliskan hadits walau ada yang memandangnya sebagai perkara
yang kurang disukai (makruh).20 Karena Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri pernah
memberikan perintah kepada sahabat untuk menuliskan khutbah beliau
kepada Abu Syah pada peristiwa Fathu Mekkah.21 Selain itu terdapat pula
hadits dari Abdullah bin Amru, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :
22
‫اكتب فوالذي نفسي بيده ما خيرج منو إً حق‬
Tulislah (ucapanku-red)! Demi (Tuhan) yang mana jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, tidaklah keluar darinya (lisan Rasulullah) kecuali
kebenaran.
Lalu bagaimana mungkin ada dua perintah Rasulullah ‫ ﷺ‬yang seolah-
olah berlawanan? Ibnu Sholah menyebutkan bahwa alasan diizinkannya
melakukan penulisan adalah khawatir seseorang yang hafalannya tidak
kuat akan melupakan hadits tersebut. Adapun bagi orang yang ingatannya
kuat beliau tetap melarangnya karena khawatir nantinya orang tersebut
akan bersandar pada tulisan. Dan alasan kedua adalah karena khawatir
teks Al-Qur‟an tercampur dengan teks hadits, karena itu bila percampuran
teks ini tidak dimungkinkan maka diperbolehkan untuk melakukan
penulisan hadits.23
Penulisan Al-Qur‟an sendiri pada masa Rasulullah ‫ ﷺ‬dilakukan
dengan media seadanya, mengingat saat itu tulis menulis di arab bukanlah
suatu hal yang sering dilakukan. Ada ayat yang ditulis dengan sarana
pelepah kurma, kulit kayu, papan batu, kulit hewan, kertas, dan tulang.24
Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika turun suatu ayat atau surat
kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬maka beliau memanggil orang yang mampu menulis
lalu beliau memerintahkan, “Letakanlah surat ini di tempat yang
menyebutkan hal ini dan hal ini!”25 Begitulah penulisan Al-Qur‟an sejak
awal telah menerangkan tempat ayat dan surat secara tauqifi (ketentuan
baku) dari Rasulullah ‫ ﷺ‬sebagaimana Jibril „alaihissalam ajarkan.
Pada masa ini banyak para sahabat yang menuliskan Al-Qur‟an
namun disesuaikan dengan kadar kemampuan mereka masing-masing,

20
Jalaludin As-Suyuthi, Tadrib Ar-Raawi fii Syarhi Taqriib An-Nawaawi, Riyadh:
Daar Thayyibah, t.th., vol. 1, hal. 492.
21
Ibnu Shalah, Muqaddimat Ibn As-Shalaah, Beirut: Daar El-Fikr, 1986, hal. 182.
22
Abu Dawud As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Al-Maktabat Al-„Ashriyah,
t.th., vol. 3, hal. 318.
23
Ibnu Shalah, Op. Cit.
24
Muhammad Az-Zurqani, Op. Cit., hal. 247.
25
Ibid.

[10]
baik kemampuan menyediakan alat tulis ataupun kemampuan dalam hal
menuliskan ayat. Namun banyak dari mereka yang tidak menulis surat
tersebut secara berurutan, mungkin hal ini dikarenakan ayat Al-Qur‟an
juga tidak turun secara berurutan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh
ketidak hadiran mereka pada saat turunnya ayat karena sebab
perdagangan atau peperangan, sehingga ketika mereka kembali ke
Madinah barulah menuliskan ayat atau surat yang terlewatkan tersebut.26
Pada masa kenabian ini Al-Qur‟an memang dituliskan oleh para
sahabat ridwanullah „alaihim, akan tetapi tulisan tersebut terpencar-
pencar dan terpisah-pisah, serta belum ada satu mushaf khusus yang
menggabungkan seluruh surat Al-Qur‟an.
2. Masa Khulafaur Rasyidin
Pemeliharaan Al-Qur‟an pada masa Khulafaur Rasyidin dimulai dari
masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq radiyyalhu „anhu. Di masa awal
kepemimpinannya banyak kelompok yang membangkang dan menolak
membayar zakat, selain itu ada pula kelompok nabi palsu dan orang-orang
yang murtad serta kembali kepada agama pagan.
Abu Bakar memilih bersikap tegas dengan memerangi ketiga
kelompok tersebut secara keseluruhan, maka peperangan-peperangan
tersebut dinamai dengan Huruub Ar-Riddah yaitu perang yang terjadi
untuk melawan kemurtadan. Dan perang yang paling berat saat itu adalah
perang melawan pasukan nabi palsu Musailamah Al-Kadzab yang disebut
sebagai Perang Yamamah. Pada Perang inilah banyak umat Islam yang
gugur, jumlah mereka sekitar 500 orang dan di antaranya terdapat 30 atau
50 penghafal Al-Qur‟an.27
Umar bin Khattab radiyallahu „anhu menganggap fenomena
gugurnya segolongan besar penghafal Al-Qur‟an ini sebagai ancaman
terhadap eksistensi Al-Qur‟an. Karena itu beliau mengajukan usul kepada
Khalifah Abu Bakar agar membukukan Al-Qur‟an menjadi satu kitab.
Walau sempat mengalami penolakan oleh Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit
namun pada akhirnya ide tersebut disetujui dan dilakukanlah pembukuan
Al-Qur‟an oleh tim yang diketuai Zaid bin Tsabit. Atas jasa Khalifah
Abu Bakar inilah kemudian Ali bin Abi Thalib radiyallahu „anhu berkata
:

26
Ibid.
27
Khalifah bin Khayyath, Taarikh Khalifat Ibn Khayyath, Beirut: Muassasat Ar-
Risalah, 1397 H, cet. 2, hal. 111.

[11]
28
‫أعظم الناس أجرا ِف املصاحف أبو بكر‬
Orang yang paling besar jasanya dalam (menyusun) mushaf adalah Abu
Bakar.
Sumber penulisan Al-Qur‟an adalah para penghapal Al-Qur‟an yang
mutqin dan juga catatan-catatan Al-Qur‟an yang ada sejak masa
Rasulullah ‫ﷺ‬. Bahkan untuk menguatkan validitas teks tersebut panitia
pembukuan mensyaratkan harus ada minimal dua orang saksi atas
benarnya teks tersebut.29
Lalu Al-Qur‟an yang telah ditulis dalam satu mushaf tersebut
dipegang oleh Abu Bakar As-Shiddiq hingga beliau wafat. Setelah itu
mushaf tersebut diwariskan kepada Khalifah Umar bin Khattab. Dan
ketika Umar wafat maka mushaf itu dipegang oleh Hafsah, istri
Rasulullah ‫ ﷺ‬yang juga anak Umar bin Khattab.30
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab radiyallahu „anhu
pembebasan wilayah Islam terjadi sangat gencar sehingga wilayah Islam
sudah mencakup mayoritas wilayah Persia, Syam, Palestina, Mesir,
hingga Libya. Yang mana kebanyakan wilayah itu bukanlah wilayah yang
menggunakan bahasa arab sebagai bahasa sehari-harinya.
Khalifah Umar bin Khattab lantas mengeluarkan kebijakan untuk
mengutus para sahabat yang memiliki bekal ilmu mumpuni ke berbagai
wilayah tersebut untuk mengajarkan Islam, termasuk di antaranya adalah
mengajarkan Al-Qur‟an.
Maka masing-masing daerah memiliki guru Al-Qur‟annya masing-
masing. Di Syam terdapat Ubay bin Ka‟ab, di Iraq terdapat Abdullah bin
Mas‟ud, di Homs terdapat Miqdad bin Amru, dan di Basrah terdapat Abu
Musa Al-Asy‟ari. Di antara mereka pun kadang terdapat perbedaan dalam
pembacaan Al-Qur‟an.31
Hingga pada masa Utsman bin Affan radiyallahu „anhu menjadi
khalifah dan wilayah Islam semakin meluas ke wilayah „ajam (non arab),
munculah potensi masalah baru dalam hal bacaan Al-Qur‟an yang bisa
menyebabkan perbedaan mencolok dalam bacaan Al-Qur‟an yang
dikhawatirkan bisa membuat umat Islam berpecah belah.

28
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi, Taarikh Al-Islam wa Wafiyaat Al-Masyaahir
wa Al-A‟laam, Beirut: Daar Al-Kitab Al-„Arabi, 1993, cet. 2, vol. 3, hal. 115.
29
Nuruddin Muhammad „Ithr Al-Halabi, „Uluum Al-Qur‟an Al-Kariim, Damaskus:
Mathba‟ah As-Sabaah, 1993, hal. 171.
30
Ibid., hal. 169.
31
Sami bin Abdullah Al-Maghluts, Athlas Al-Khalifah Utsman ibn „Affan radiyallahu
„anhu, Riyadh: Maktabat Al-„Abeekan, 2006, cet. 1, hal. 281.

[12]
Masalah ini mengemuka pada saat pembebasan wilayah Armenia,
dimana pasukan muslim saat itu terdiri dari masyarakat dari berbagai
wilayah. Saat itu terjadi perselisihan dan pertentangan ketika ada
segolongan di antara mereka yang membaca Al-Qur‟an dan yang lain
mendengar bacaan tersebut berbeda dengan bacaan mereka. Bahkan
mereka masing-masing saling mengklaim bahwa bacaan merekalah yang
benar.32
Hudzaifah bin Yaman menangkap hal ini sebagai pertanda bahaya
bagi persatuan umat Islam, maka dia bersegera menuju ke Madinah untuk
menemui Khalifah Utsman bin Affan untuk mengutarakan masalah
tersebut kepada Utsman dan memintanya untuk bersikap. Maka Utsman
bin Affan meminta mushaf Al-Qur‟an yang disimpan oleh Hafsah dan
kemudian melakukan penyalinan serta penggandaan teks Al-Qur‟an.33
Dasar penyalinan atau penggandaan ini adalah mushaf Al-Qur‟an
yang telah ditulis secara lengkap pada masa Abu Bakar. Selain itu panitia
penyalinan Al-Qur‟an yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa‟id bin Al-„Ash, dan Abdurrahman bin Harits,34 juga
memanggil para penghapal Al-Qur‟an untuk mendeteksi dan
menginventarisir bentuk perbedaan riwayat bacaan yang ada. Maka
mushaf yang ditulis ulang saat itu adalah mushaf yang mengakomodir
perbedaan riwayat bacaan tersebut dalam satu tulisan, yaitu tulisan
Quraisy.35
Dr. Nuruddin „Ithr menyebutkan setidaknya terdapat empat kaidah
penulisan yang diberlakukan dan dijadikan kaidah penulisan mushaf
utsmani, yaitu: Ditulis dengan lughat Quraisy, bila tidak memungkinkan
menulis perbedaan bacaan dalam satu mushaf maka dibuatkan mushaf
lainnya yang mengakomodir bacaan tersebut, menyingkirkan unsur
lainnya yang bukan termasuk Al-Qur‟an, dan menetapkan standar
tertinggi dalam melakukan verivikasi terhadap tulisannya.36
Mushaf ini kemudian dinamakan sebagai Mushaf „Utsmani dan
digandakan menjadi tujuh salinan, enam lainnya disebar ke berbagai
wilayah sedangkan satu salinan sendiri dipegang oleh khalifah yang
disebut sebagai mushaf Al-Imam. Enam wilayah tersebut yaitu : Syam,
Kufah, Basrah, Mekkah, Bahrain, dan Yaman.37 Namun Az-Zarkasyi

32
Ibid.
33
Nuruddin Muhammad „Ithr Al-Halabi, Op. Cit., hal. 172.
34
Muhammad Khudari Bek, Tarrikh At-Tasyrii‟ Al-Islami, Jakarta: Daar Al-Kutub
Al-Islamiyah, 2007, cet. 1, hal. 73.
35
Sami bin Abdullah Al-Maghluts, Op. Cit.
36
Nuruddin Muhammad „Ithr Al-Halabi, Op. Cit., hal. 174-175.
37
Ibid., hal. 282.

[13]
menyebutkan dan menguatkan pendapat bahwa salinan tersebut hanya
berjumlah empat buah yang disebar ke Kufah, Basrah, Syam, dan
Madinah.38
Adapun mushaf lainnya selain mushaf dari Hafsah kemudian dibakar
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perpecahan, karena seluruh
perbedaan riwayat bacaan Al-Qur‟an telah diakomodir ke dalam mushaf
utsmani. Di tambah lagi mungkin saja terdapat tulisan-tulisan tambahan
dalam teks tersebut yang bukan merupakan Al-Qur‟an semisal catatan
makna atau tafsir ayat, yang bila tidak dihilangkan dikhawatirkan akan
memunculkan tambahan terhadap teks Al-Qur‟an.
Adapun pada penghujung masa Khulafaur Rasyidin, yaitu masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radiyallahu „anhu hampir sulit
menemukan peran yang signifikan dalam berbagai literatur kalsik yang
ada. Karena kebanyakan mengakhiri pembahasan mengenai Jam‟ul
Qur‟an hanya hingga periode Utsman bin Affan radiyallahu „anhu.
Namun ini juga tidak berarti bahwa tidak ada peran Khalifah Ali bin
Abi Thalib dalam menjaga Al-Qur‟an, karena beliau sendiri merupakan
salah satu orang yang hafal Al-Qur‟an secara keseluruhan.39 Bahkan Ibnu
Nadim mengutip riwayat dari Al-Munadi bahwa setelah wafatnya
Rasulullah ‫ ﷺ‬Ali bin Abi Thalib radiyallahu „anhu sempat menuliskan
Al-Qur‟an secara lengkap dari hafalan beliau selama tiga hari karena
khawatir akan hilangnya Al-Qur‟an.40 Namun tentu kadar validitas tulisan
ini masih belum begitu kuat dibandingkan mushaf yang ditulis oleh tim
penulisan Al-Qur‟an yang dibentuk Khalifah Abu Bakar, karena
menggunakan persaksian minimal dua orang saksi.
Disinyalir kuat pula bahwa dimulainya pemberian tanda baca Al-
Qur‟an dimulai pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib radiyallahu „anhu,
yaitu ketika beliau meminta Abul Aswad untuk menyusun kaidah bahasa
arab untuk memperbaiki kesalahan bicara masyarakat saat itu. Maka
beliau membuat harakat pada mushaf Al-Qur‟an dengan kode titik, yang
mana warna titik tersebut dibuat berbeda dengan warna tulisan pada
mushaf Al-Qur‟an.
Beliau membuat tanda harakat fathah dengan satu titik di atas huruf,
harakat kasrah dengan satu titik di bawah huruf, harakat dhummah
dengan satu titik di depan huruf, dan harakat tanwin dengan membuatnya

38
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Op. Cit., hal. 240.
39
Abu Bakar bin Abi Dawud, Kitaab Al-Mashaahif, Beirut: Daar Al-Basyaair Al-
Islamiyyah, 1995, cet. 2, vol. 1, hal. 170.
40
Ibnu Nadim, Al-Fihrisat, Beirut: Daar Al-Ma‟rifat, 1997, hal. 46.

[14]
menjadi dua titik. Beliau mengharakati seluruh isi Al-Qur‟an dari awal
surat Al-Fathihah hingga akhir surat An-Naas.41
3. Fase Setelah Khulafaur Rasyidin
Penulisan Al-Qur‟an secara lengkap dari awal hingga akhir dengan
urutan surat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah ‫ ﷺ‬telah selesai
dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin. Termasuk mengakhiri
perbedaan penulisan mushaf yang dapat berakibat pada perpecahan di
antara kaum muslimin. Maka hal selanjutnya yang banyak dilakukan oleh
umat adalah menyempurnakan penulisan mushaf dan meneruskan
periwayatan Al-Qur‟an dari generasi sebelumnya kepada generasi
setelahnya.
Adapun dalam hal periwayatan Al-Qur‟an kemudian muncul banyak
sekali qiraat bacaan Al-Qur‟an, karena Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri mengajarkan
qiraat yang berbeda-beda kepada para sahabat. Qiraat tersebut mulai dari
yang paling lemah hingga paling kuat riwayatnya, yaitu maudhu‟, syadz,
ahad, masyhur, dan mutawatir. Adapun yang boleh dibaca hanyalah
qiraat mutawatir dan masyhur. 42
Adapun qiraat yang mutawatir riwayatnya dan bisa dipastikan berasal
dari Rasulullah ‫ ﷺ‬karena banyaknya priwayat disebutkan oleh Ibnu
Mujahid ada tujuh riwayat, yaitu riwayat Ibnu Katsir, Ibnu „Amir,
„Ashim, Abu „Amru, Hamzah, Nafi‟, dan Al-Kisaai. Dr. Nuruddin „Ithr
menyebutkan tambahan terhadap jumlah qiraat mutawatir ini sejumlah
tiga riwayat sehingga seluruhnya menjadi sepuluh riwayat, yaitu qiraat
Abu Ja‟far, Ya‟qub bin Ishaq, dan Khalaf bin Hisyam.43
Lalu kemudian munculah Imam Qiraat pada generasi setelahnya,
diantara yang terkenal yaitu Al-Bizzi dan Qonbul yang berasal dari
riwayat Ibnu Katsir, Hisyam bin Ammar dan Ibnu Dzakwan dari riwayat
Ibnu „Amir, Syu‟bah dan Hafsh dari riwayat „Ashim, Ad-Duuri dan As-
Suusi dari Abu „Amru, Khalaf dan Khalad dari riwayat Hamzah, Qalun
dan Warsy dari riwayat Nafi‟, Abul Harits dan Ad-Duuri dari riwayat Al-
Kisaai, Ibnu Wardan dan Ibnu Jamaz dari riwayat Abu Ja‟far, Ruwais dan
Ruuh dari Ya‟qub, dan yang terakhir yaitu Ishaq dan Idris dari riwayat
Khalaf.44

41
Abu Amru Ad-Daani, An-Nuqat, Kairo: Maktabat Al-Kulliyaat Al-Azhariyah, t.th.,
hal. 129.
42
Nuruddin Muhammad „Ithr Al-Halabi, Op. Cit., hal. 148.
43
Ibid., hal. 150.
44
As-Sayyid Ahmad, Asaanid Al-Qurra Al-„Asyrah wa Ruwaatihimu Al-Bararah:
Rusumaat Taudhihiyyah fii „Awaali Thuruq Asaaniidihim ilaa Rasulillah Shallallahu
„alaihi wasallam, Riyadh: Maktabat Al-Malik Fahd Al-Wathaniyaa, 2005, cet. 2.

[15]
Demikianlah periwayatan qiraat Al-Qur‟an terus berlangsung dari
generasi ke generasi hingga era kontemporer sekarang ini. Diantara
periwayat yang masyhur pada era kontemporer yaitu Al-„Allamah Abdul
Fattah Al-Qadhi (1403 H), Asy-Syaikh „Amir As-Sayyid „Utsman (1408
H), dan Al-„Allamah Hussein Khitab (1408 H). 45
Dalam hal penulisan Al-Qur‟an, Marwan bin Hakam menghapuskan
mushaf yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar yang berada pada
Hafsah setelah Hafsah wafat dengan tujuan agar tidak memunculkan
dualisme atau anggapan bahwa mushaf utsmani tidak sempurna, atau ada
bagian yang kurang darinya. 46
Lalu untuk menjaga orisinalitas tulisan teks Al-Qur‟an sejak
kodifikasi masa Utsman bin Affan radiyallahu „anhu, digunakanlah rasm
ustmani sebagai standar penulisan mushaf. Banyak ulama yang
mengharuskan penulisan mushaf menggunakan rasm ustmani. Bahkan
Imam Ahmad mengharamkan penulisan Al-Qur‟an dengan selain rasm
utsmani.47
Selanjutnya dalam hal penulisan teks Al-Qur‟an dirumuskanlah tanda
baca yang lebih sistematis untuk menjaga agar bacaan Al-Qur‟an tetap
benar walau dibaca oleh orang-orang „ajam. Setelah perumusan titik
harakat yang digagas oleh Abul Aswad Ad-Duali, kemudian
disempurnakan oleh Khalil Al-Farahidi dengan menjadikan tanda harakat
berupa ‫( و‬wawu) kecil di atas huruf sebagai tanda dhummah, ‫( ي‬yaa) kecil
di bawah huruf sebagai tanda kasrah, dan ‫( ا‬alif) kecil di atas huruf
sebagai tanda fathah. Akan tetapi banyak yang menolak konsep Al-
Farahidi dikarenakan kekhawatiran terjadi penambahan huruf pada teks
Al-Qur‟an.48 Namun di kemudian hari konsep harakat Al-Farahidi inilah
yang menjadi dasar dari pengembangan harakat sehingga menjadi
sebagaimana yang digunakan dalam mushaf Al-Qur‟an sebagaimana
sekarang.49
Dalam penulisan Al-Qur‟an yang tidak kalah pentingnya adalah
tanda titik pada huruf yang disebut juga Nuqath Al-I‟jam. Yang dimaksud
dengan Nuqath Al-I‟jam adalah tanda titik yang terdapat pada huruf yang

45
Nabil bin Muhammad Alu Ismail, Al-„Inayat bi Al-Qur‟an Al-Kariim wa „Uluumihi
min Bidayat Al-Qarn Ar-Raabi‟ Al-Hijri ila „Ashrina Al-Haadhir, Madinah: Majma‟ Al-
Malik Fahd, t.th., hal. 43-46.
46
Ibrahim Al-Ibyari, Taarikh Al-Qur‟an, Beirut: Daar Al-Kutub Al-Lubnaani, 1991,
cet. 3, hal. 105.
47
Muhammad Abu Syuhbah, Op. Cit., hal. 344.
48
Ahmad Muhammad Abu Bilal, „Inayat Al-Muslimiin bi Al-Lughat Al-„Arabiyyah
Khidmatan li Al-Qur‟an Al-Karim, Madinah: Majma Al-Malik Fahd, t.th., hal. 54-55.
49
Ibid., hal. 56.

[16]
berbentuk sama agar bisa dibedakan antara satu dengan yang lain, semisal
huruf ‫ ج‬,‫ خ‬,‫( ح‬jim, kho, kha). Hal ini dikarenakan pada awal mulanya
huruf-huruf dalam mushaf Al-Qur‟an tidak memiliki tanda apapun
(mujarradan), lalu dibuatlah titik untuk bisa membedakan antara huruf ‫ي‬
(yaa) dan ‫( ت‬taa).50
Adapun yang pertama kali merumuskan Nuqath Al-I‟jam menurut Dr.
Ahmad Abu Bilal yaitu Abul Aswad Ad-Duali dan murid-muridnya:
Nashr bin „Ashim, Abdurrahman bin Hurmuz, Yahya bin Ya‟mar,
„Anbasah Al-Fiil, dan Maimun Al-Aqran.51
Dalam hal penulisan mushaf Al-Qur‟an memasuki babak baru
dengan ditemukannya alat percetakan oleh bangsa eropa pada abad 15
masehi. Cetakan mushaf Al-Qur‟an pertama kali hadir di eropa pada abad
16 di Italia, kemudian disusul pencetakan Al-Qur‟an yang dilakukan oleh
Hinkelmann di Jerman dan Maracci di Italia pada abad ke 17. Namun
dalam cetakan tersebut terdapat banyak kekeliruan fatal.52
Adapun di dunia Islam, awal mula pencetakan Al-Qur‟an dilakukan
Maulaya Utsman di Santo Petersburg, Rusia pada abad ke 18. Disusul
oleh pencetakan Al-Qur‟an di Teheran dan Tibriz pada abad ke 19. Lalu
pada awal abad ke 20 Raja Mesir Fuad I meminta para Syaikh Al-Azhar
membentuk komite pencetakan mushaf Al-Qur‟an. Setelah melalui proses
penelitian dan tahqiq akhirnya mushaf Al-Qur‟an yang lebih sempurna
dari sebelumnya berhasil dicetak pada tahun 1923. Mushaf ini
menggunakan kaidah penulisan rasm utsmani dengan menambahkan
jumlah ayat dalam setiap surat dan memberi penomoran pada setiap ayat,
keterangan makkiyah atau madaniyah, tanda-tanda waqaf, juz, hizb,
rubu‟, dan ayat sajadah.53
Setelah itu muncul pencetakan mushaf Al-Qur‟an di madinah oleh
Majma‟ Al-Malik Fahd yang dipelopori oleh Kerajaan Saudi. Dibentuklah
panitia yang terdiri dari para ulama yang ahli di bidang Al-Qur‟an dan
tulisannya pada tahun 1983. Dengan penerapan standar penulisan serta
pengecekan yang ketat dari panita serta evaluasi yang berjalan secara
berkesinambungan membuat kualitas mushaf yang dicetak menjadi sangat
baik. Mushaf hasil cetakan Majma‟ ini kemudian disebut Mushaf
Madinah.54

50
Abu Amru Ad-Daani, Op. Cit., hal. 35.
51
Ahmad Muhammad Abu Bilal, Op. Cit.
52
Fahd Abdurrahman Ar-Rumi, Diraasat fii „Uluum Al-Qur‟an Al-Karim, Riyadh:
Maktabat Al-Malik Fahd Al-Wathaniyya, 2005, cet. 4, hal. 501-502.
53
Ibid., hal. 504.
54
Ibid., hal 505.

[17]
Selain menyempurnakan penulisan Al-Qur‟an, juga dilakukan
penyederhanaan terhadap konsep tajwid Al-Qur‟an yang mulanya
dipelajari melalui jalur hafalan menjadi tertulis dan lebih konkrit serta
tersusun secara sistematis.
Pengertian tajwid yaitu : Memberikan hak setiap huruf yang dibaca
baik berupa sifat yang melekat pada huruf tersebut, ataupun hukum-
hukum yang muncul dari sifat huruf tersebut.55
Dari sisi praktik sendiri tajwid sebenarnya telah diajarkan oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika mengajarkan bacaan Al-Qur‟an kepada para
sahabatnya, begitu juga para sahabat ketika mengajarkan bacaan Al-
Qur‟an kepada murid-muridnya. Namun dari sisi susunan teoritis ilmu
tajwid sendiri baru dimulai setelah periode sahabat.
Adapun peletak dasar ilmu tajwid diperselisihkan, ada yang
menyebut bahwa peletaknya adalah Khalil bin Ahmad Al-Farahidi,56
Abul Aswad Ad-Duali, ada yang menyebut Abu Ubaid Al-Qasim bin
Salam, Khalil bin Ahmad, dan adapula yang menyebut beberapa imam
qiraat lainnya.57 Al-Khaqani juga disebut-sebut sebagai peletak dasar
ilmu tajwid karena dialah yang mula-mula menyusun kitab dalam ilmu
tajwid.58
Setelah Khaqani kemudian banyak bermunculan kitab-kitab yang
membahas ilmu tajwid semisal kitab At-Tahdid fi Al-Itqan wa At-Tajwiid
karya Ad-Daani (444 H) dan At-Tamhiid fii Ilm At-Tajwiid karya Ibnul
Jazari (833 H). Bahkan kemudian ilmu tajwid tersebut di nadzamkan
dalam bentuk syair semisal Matan Jazari dan Tuhfatul Athfal.

VALIDITAS DAN OTENTISITAS AL-QUR’AN


Sebelum ini telah dibahas pemeliharaan Al-Qur‟an dari segi
penjagaan teks dan bacaannya, dan pada pembahasan ini akan
terkonsentrasi pada penjagaan status Hujjiyat Al-Qur‟an (kehujjahan Al-
Qur‟an). Yang dimaksud dengan Hujjiyat Al-Qur‟an di sini yaitu validitas
dan otentisitas Al-Qur‟an.

55
Abdul Aziz Al-Qari‟, Qawaa‟id At-Tajwiid „ala Riwaayat Hafsh „an „Ashim bin
Abi An-Najud, Beirut: Muassasat Ar-Risalah, t.th., hal. 39.
56
Muhammad Ali Al-Mishri, Al-„Amiid fii „Ilmi At-Tajwiid, Iskandariyah: Daar Al-
„Aqidah, 6440, cet. 1, hal. 7.
57
Abdul Fattah Al-Mishri, Hidaayat Al-Qaari ilaa Tajwiid Kalaam Al-Baari,
Madinah: Maktabat Thayyibah, t.th., cet. 2, vol. 1, hal. 46.
58
Ghanim Qaduri, Abhats fii „Uluum At-Tajwiid, Oman: Daar „Ammaar, 2002, cet. 1,
hal. 10.

[18]
Sudah sejak lama muncul tuduhan-tuduhan yang dapat berimplikasi
pada validitas dan otentisitas Al-Qur‟an yang bersumber dari berbagai
kalangan, semisal tuduhan yang berkaitan dengan i‟rab Al-Qur‟an
(gramatikal Al-Qur‟an). Maka kemudian munculah bantahan semisal
yang disusun oleh Dr. Yusuf Khalaf Al-„Isawi dalam bukunya Radd Al-
Buhtan „an I‟raabi Aayaati min Al-Qur‟an Al-Karim.
Selanjutnya adapula tuduhan yang berkaitan dengan validitas Al-
Qur‟an sebagai wahyu ilahi yang pada intinya menuduh Rasulullah ‫ﷺ‬
yang mengarang isi daripada Al-Qur‟an tersebut. Maka kemudian muncul
bantahan sebagaimana yang disusun oleh Dr. Muhammad Sa‟id
Jamaluddin dalam bukunya Asy-Syubuhaat Al-Maz‟uumat Haula Al-
Qur‟an Al-Karim fii Daairat Al-Ma‟aarif Al-Islamiyyah wa Al-
Bariithaniyyah. Adapula Syaikh Su‟ud bin Abdul „Aziz Khalaf dengan
karyanya Dahdhu Da‟wa Al-Mustasyriqiin anna Al-Qur‟an min „Indi An-
Nabiy Shallallahu „alaihi wasallam.
Adapula Dr. Abdul Muhsin Al-Muthiri yang menyusun disertasi
untuk membantah terhadap Al-Qur‟an yang muncul pada zaman
kontemporer dalam bukunya Da‟awa At-Thaa‟iniin fii Al-Qur‟an Al-
Kariim fi Al-Qarn Ar-Raabi‟ „Asyar Al-Hijri wa Ar-Radd „alaiha.
Selain itu ada juga Dr. Abdul Fattah Syalbi yang mengarang kitab
Rasm Al-Mushaf Al-„Utsmani wa Auhaam Al-Mustasyriqiin fi Qiraat Al-
Qur‟an Al-Kariim yang membahas mengenai tuduhan yang diarahkan
kepada rasm Al-Qur‟an dan qiraatnya.
Dalam menjawab tuduhan misionaris dan salah interpretasi terhadap
Al-Qur‟an kemudian Dr. Abdur Radhi menyusun Al-Gharat At-
Tanshiriyah „ala Ashalat Al-Qur‟an Al-Kariim dan Dr. Shalah Abdul
Fattah dengan karyanya Al-Qur‟an wa Naqdhu Mathaa‟in Ar-Ruhbaan.
Dalam membahas tuduhan orientalis secara khusus Dr. Muhammad
Maher Ali kemudian menyusun Mazaa‟im Al-Mustasyriqiin Haula Al-
Qur‟an Al-Kariim.
Kesemua karya di atas merupakan hasil penelitian para cendikiawan
muslim yang dapat digolongkan juga sebagai salah satu upaya
pemeliharaan terhadap Al-Qur‟an dengan menjaganya dari tuduhan-
tuduhan yang dapat mengakibatkan jatuhnya validitas serta otentisitasnya.
Penyusun akan mengutip beberapa saja dari contoh-contoh
argumentasi tersebut beserta jawabannya secara ringkas. Bagi yang ingin
untuk menambah informasi bisa langsung merujuk kepada kitab-kitab
yang telah penyusun sebutkan sebagai contoh sebelum ini.
Yang pertama adalah terkait masalah gramatikal bahasa yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 196. Pada ayat tersebut terdapat
kalimat yang berbunyi :

[19]
ۡ ِ ۡۗۡ ۡ ۡ ِ ۡ ۡ
ۗۡۗ ٌ‫ك َع َش َرةٌ َك ِاملَة‬‫ل‬ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ت‬‫ع‬ ‫ج‬‫ر‬ ‫ا‬‫ذ‬ِ
‫إ‬ ‫ة‬ ‫ع‬ ۡ ُ‫ٱۡلج و‬
َ ُ َ َ َ َ َ َ ِّ َ ‫ام ثَ َٰلَثَ ِة أ َََّّيٍم ِِف‬
ٍ ‫ب‬ ُ َ‫فَ َم ْن ََّّل ََِيد فَصي‬
...Barangsiapa yang tidak mendapatkan (hadyu) maka dia (wajib)
berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kalian
kembali. Itulah jumlah sepuluh (hari) yang sempurna...
Kemudian muncul tuduhan bahwa gramatikal ayat di atas salah,
tepatnya pada kata ٌ ‫عش ََرة‬
َ yang secara garmatikal merupakan kata bilangan.
Karena kata bilangan („adad) selalu menyelisihi benda yang terbilang
olehnya (ma‟dud) dalam hal mudzakkar dan muannats. Contohnya dalam
kata : empat masjid. Kata bilangannya adalah empat, dan kata yang
terbilang olehnya yaitu masjid. Masjid dalam bahasa arab berjenis
mudzakkar, maka kata empat haruslah muannats dan menggunakan ta‟
marbuthah (‫)ة‬, menjadi ‫أربعت هساجد‬.
Penuduh menyebut bahwa kata ٌ‫عش ََرة‬
َ („asyaratun) seharusnya adalah
‫عش ٌَر‬ َ („asyarun) tanpa ta‟ marbuthah (‫)ة‬ karena kata setelahnya adalah
ٌ‫َاهلَت‬
ِ ‫( ك‬kaamilatun) yang berjenis muannats, sehingga menjadi („asyarun
kaamilatun).
Maka jawabannya adalah sebetulnya kata ma‟dud-nya bukanlah ٌ ‫َاهلَت‬
ِ ‫ك‬
(kaamilatun) melainkan ‫( أَيَّا ٌم‬ayyaamun). Hanya saja ma‟dud-nya dihapus
karena telah dipahami dalam makna tersirat, dan ini biasa digunakan
dalam penggunaan bahasa arab. Jadi ada kesalah pahaman dari penuduh
dikarenakan ilmu bahasa atau gramatikalnya yang masih sangat awam. 59
Yang ke dua adalah tuduhan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak melakukan
penulisan teks Al-Qur‟an pada periode Mekkah dan penulisan teks Al-
Qur‟an juga belum sempurna semasa kehidupan beliau. Pada intinya
tuduhan ini menimbulkan keraguan apakah benar seluruh firman Allah
telah dicatat secara sempurna dan tidak ada yang tertinggal? Bila ada
yang tertinggal maka mungkin juga ada yang ditambah atau dirubah.
Dr. Muhammad Sa‟id Jamaluddin menyebutkan bahwa tuduhan
tersebut tidak memiliki dasar baik berupa logika atau sumber teks yang
menguatkannya. Kemudian beliau mengutip ucapan Dr. Ibrahim „Iwadh
bahwa mustahil Al-Qur‟an yang dipandang penting oleh umat Islam,
bahkan mereka rela mengorbankan diri mereka untuknya, namun tidak
mereka perhatikan dan tidak mereka tuliskan. 60
Ditambah lagi telah lewat pembahasan sebelumnya mengenai sebab
masuk Islamnya Umar bin Khattab yang mana saat itu Umar membaca
59
Yusuf Khalaf Al-„Isawi, Radd Al-Buhtaan „an I‟rabi Aayaati min Al-Qur‟an Al-
Kariim, Dammam: Daar Ibn Al-Jauzi, 2010, cet. 1, hal. 64.
60
Muhammad Sa‟id Jamaluddin, Asy-Syubuhaat Al-Maz‟uumah Haula Al-Qur‟an Al-
Kariim fii Daairat Al-Ma‟aarif Al-Islamiyyah wa Al-Barithuniyyah, Madinah: Majma‟
Al-Malik Fahd, t.th., hal. 47.

[20]
tulisan Al-Qur‟an surat Taha. Dan Umar masuk Islam pada periode
Mekkah. Maka ini membatalkan pendapat dan tuduhan tersebut.
Tuduhan ini juga seolah mencampur adukan istilah penulisan dan
pengumpulan Al-Qur‟an. Memang betul bahwa di masa Rasulullah ‫ ﷺ‬Al-
Qur‟an belum dikumpulkan menjadi satu mushaf. Namun dalam hal
penulisan Al-Qur‟an sudah dilakukan secara sempurna sebagaimana telah
dibahas sebelumnya, hanya saja tulisan tersebut terpencar pada berbagai
sahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬yang ditugaskan untuk mencatat wahyu.61
Adapun alasan mengapa pada pembukuan Al-Qur‟an pada masa Abu
Bakar juga mengumpulkan para penghafal Al-Qur‟an, ini karena syarat
diterimanya mushaf atau tulisan Al-Qur‟an saat itu adalah dipersaksikan
keabsahannya oleh minimal dua orang saksi. Maka fungsi mereka adalah
sebagai validasi teks dan bukan merupakan sumber satu-satunya dari
penulisan tersebut.
Yang ke tiga adalah tuduhan bahwa Al-Qur‟an menceritakan
kedustaan dengan menyebut matahari terbenam dalam sumur, tepatnya
pada surat Al-Kahfi ayat 86 :
ٍ ۡ ‫ب ِِف َع‬ ۡ ۡ
...ً‫َحئَ ٍة َوَو َج َد ِعن َد َىا قَ ۡوما‬
َِ ‫ي‬ ِ ‫ٱلش ۡم‬
ُ ‫س َو َج َد َىا تَ غ ُر‬ َّ ‫ب‬َ ‫ّت إِذَا بَ لَ َغ َمغ ِر‬
ََّٰٓ ‫َح‬
Hingga ketika dia (Dzulkarnain) telah sampai pada tempat matahari
tenggelam, dia melihatnya (matahari) terbenam di laut yang berlumpur
hitam...
Kemudian yang melontarkan tuduhan ini menyebutkan sebuah
kutipan yang disandarkan kepada Tafsir Al-Baidhawi bahwa Rasulullah
‫ ﷺ‬menyebutkan maksud dari ‫ ع َۡي ٍن َح ِوئ َ ٍت‬adalah sumur yang berlumpur
hitam.
Namun ternyata tuduhan ini adalah dusta dan khianat ilmiah karena
Al-Baidhawi tidak pernah meriwayatkan ucapan seperti itu dari
Rasulullah ‫ﷺ‬.62 Yang ada dalam Tafsir Baidhawi adalah beliau
menggambarkan makna kata Ham‟ah (tanah atau lumpur hitam) dengan
menggunakan ibarat sumur:
‫ من َحئت البئر‬,‫ ذات َحأ‬,‫َحئَ ٍة‬
َِ ‫ي‬
ٍ ْ ‫ب ِِف َع‬ ِ ‫الش ْم‬
ُ ‫س َو َج َدىا تَ غْ ُر‬ َّ ‫ب‬َ ‫َح َّّت إِذا بَ لَ َغ َمغْ ِر‬
63
‫إذا صارت ذات َحأة‬

61
Ibid., hal. 48.
62
Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi, Al-Qur‟an wa Naqdhu Mathaa‟in Ar-Ruhbaan,
Damaskus: Daar Al-Qolam, 2007, cet. 1, hal. 21.
63
Abdullah bin Umar Al-Baidhawi, Anwaar At-Tanziil wa Asraar At-Ta‟wiil, Beirut:
Daar Ihyaa‟ At-Turaats Al-„Arabi, 1418 H, cet. 1, vol. 3, hal. 291.

[21]
Hingga ketika dia (Dzulkarnain) telah sampai pada tempat matahari
tenggelam, dia melihatnya (matahari) terbenam di laut yang berlumpur
hitam.. (Yaitu) yang memiliki lumpur hitam dari (kata) hamiat al-bi‟ru
(sumur menjadi hitam tanahnya) apabila jadi berlumpur hitam.

KESIMPULAN
1. Allah ‫ ﷻ‬Menjaga Kemurnian Al-Qur’an
Melalui makalah ini kita menjadi lebih tahu mengenai proses
pemeliharaan Al-Qur‟an dari masa ke masa, sejak masa Rasulullah ‫ﷺ‬
hingga zaman kontemporer sekarang ini. Sungguh banyak sekali umat
Islam yang Allah ‫ ﷻ‬libatkan untuk menjaga orisinalitas, validitas, dan
otentisitas firman-Nya. Karena inilah janji-Nya di dalam Al-Qur‟an
bahwa Dia akan senantiasa menjaga firman-Nya dari segala bentuk
perubahan, baik pengurangan ataupun penambahan.
Yang mana secara garis besar proses penjagaan ini terbagi menjadi
dua, yaitu penjagaan dalam bentuk hafalan (al-hifdzu fi as-shuduur) dan
penjagaan dalam bentuk tulisan (al-hifdzu fi as-sutuur). Dan kedua proses
ini terus berlangsung sejak masa Rasulullah ‫ ﷺ‬hingga era kontemporer.
Maka apa yang diterima oleh umat Islam zaman ini adalah sama dengan
apa yang ditulis pada masa kodifikasi Khalifah Utsman bin Affan
radiyallahu „anhu.
Bahkan Al-Qur‟an diriwayatkan oleh para periwayat secara mutawatir
atau dengan jumlah periwayat yang sangat banyak sehingga mustahil
mereka bersepakat atas suatu kedustaan atas Al-Qur‟an. Dan secara tidak
langsung ini juga menjadi proses validasi Al-Qur‟an karena diperiksa
secara berkesinambungan oleh para Qari Al-Qur‟an yang kuat hapalannya
(mutqinuun fi al-qur‟an).
Perkembangan ilmu yang berkaitan dengan mushaf, rasm, dan ilmu
tajwid juga semakin menguatkan proses pemeliharaan terhadap Al-
Qur‟an. Ditambah dengan banyaknya madrasah-madrasah Al-Qur‟an
yang muncul di berbagai negeri Islam yang ikut memiliki andil besar
dalam menjaga eksistensi Al-Qur‟an dalam diri umat Islam.
2. Manfaat Pemeliharaan Terhadap Al-Qur’an
Pemeliharaan Al-Qur‟an tentu memiliki banyak manfaat dalam diri
seorang muslim, setidaknya hal ini menghilangkan keraguan atas
keabsahan Al-Qur‟an yang menjadi pedoman hidupnya. Selain itu hal ini
juga dapat menguatkan keimanan seorang muslim karena pemeliharaan

[22]
terhadap Al-Qur‟an ini menjadi bukti benarnya firman Allah ‫ ﷻ‬bahwa Dia
akan selalu menjaga Al-Qur‟an dari penambahan ataupun pengurangan.
Manfaat lainnya dari mengetahui proses pemeliharaan Al-Qur‟an
sepanjang zaman ini yaitu membuat seorang muslim menjadi lebih
menghargai hasil karya dan jerih payah para pendahulu dalam
memelihara Al-Qur‟an. Maka menjadi tanggung jawab umat Islam pada
masa setelahnya untuk meneruskan tongkat estafeta pemeliharaan dan
penjagaan terhadap Al-Qur‟an.
Pemeliharaan Al-Qur‟an pun dapat dilakukan dengan beragam cara,
yang mana seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan maka
akan ada metode atau sarana baru yang dapat digunakan dalam hal ini.
Oleh karena itu menjadi tanggung jawab bagi seorang muslim untuk
memelihara Al-Qur‟an sesuai dengan kadar kemampuannya masing-
masing.

[23]
DAFTAR PUSTAKA

Ad-Daani, Abu Amru. An-Nuqat. Kairo: Maktabat Al-Kulliyaat Al-


Azhariyah, t.th..
Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Taarikh Al-Islam wa Wafiyaat Al-
Masyaahir wa Al-A‟laam. Beirut: Daar Al-Kitab Al-„Arabi, 1993.
Cet. 2.
Ahmad, As-Sayyid. Asaanid Al-Qurra Al-„Asyrah wa Ruwaatihimu Al-
Bararah: Rusumaat Taudhihiyyah fii „Awaali Thuruq Asaaniidihim
ilaa Rasulillah Shallallahu „alaihi wasallam. Riyadh: Maktabat Al-
Malik Fahd Al-Wathaniyaa, 2005. cet. 2.
Al-Amin, Muhammad Sayyidi. Al-Wajiz fii Hukmi Tajwiidi Al-Kitab Al-
„Aziiz. Madinah: Maktabat Al-„Uluum wa Al-Hikam, 2002.
Al-Baidhawi, Abdullah bin Umar. Anwaar At-Tanziil wa Asraar At-
Ta‟wiil. Beirut: Daar Ihyaa‟ At-Turaats Al-„Arabi, 1418 H. Cet. 1.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Al-Jaami‟ Al-Musnad As-Shahih Al-
Mukhtashor min Umuuri Rasulillah ‫ ﷺ‬wa Sunanihi wa Ayyaamihi.
Beirut: Daar Thauq An-Najaat, 1422 H.
Al-Halabi, Nuruddin Muhammad „Ithr. „Uluum Al-Qur‟an Al-Kariim.
Damaskus: Mathba‟ah As-Sabaah, 1993.
Al-Ibyari, Ibrahim. Taarikh Al-Qur‟an. Beirut: Daar Al-Kutub Al-
Lubnaani, 1991. Cet. 3.
Al-„Isawi, Yusuf Khalaf. Radd Al-Buhtaan „an I‟rabi Aayaati min Al-
Qur‟an Al-Kariim. Dammam: Daar Ibn Al-Jauzi, 2010. Cet. 1.
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Al-Qur‟an wa Naqdhu Mathaa‟in Ar-
Ruhbaan. Damaskus: Daar Al-Qolam, 2007. Cet. 1.
Al-Khayyath, Khalifah bin. Taarikh Khalifat Ibn Khayyath. Beirut:
Muassasat Ar-Risalah, 1397 H. Cet. 2.
Al-Maghluts, Sami bin Abdullah. Athlas Al-Khalifah Utsman ibn „Affan
radiyallahu „anhu. Riyadh: Maktabat Al-„Abeekan, 2006. Cet. 1.
Al-Mishri, Abdul Fattah. Hidaayat Al-Qaari ilaa Tajwiid Kalaam Al-
Baari. Madinah: Maktabat Thayyibah, t.th. Cet. 2.

[24]
Al-Mishri, Muhammad Ali. Al-„Amiid fii „Ilmi At-Tajwiid. Iskandariyah:
Daar Al-„Aqidah, 6440. Cet. 1.
Al-Muthairi, Abdul Muhsin. Da‟awa At-Tha‟iniin fii Al-Qur‟an Al-
Kariim fii Al-Qarn Ar-Raabi‟ „Asyar Al-Hijri wa Ar-Radd „alaiha.
Beirut: Daar Al-Basyaair Al-Islamiyah, 2006.
Al-„Ubaid, Ali bin Sulaiman. Jam‟u Al-Qur‟an Al-Kariim Hifdzan wa
Kitaabatan. Madinah: Majma‟ Al-Malik Fahd, t.th.
Al-Qari‟, Abdul Aziz. Qawaa‟id At-Tajwiid „ala Riwaayat Hafsh „an
„Ashim bin Abi An-Najud. Beirut: Muassasat Ar-Risalah, t.th..
An-Naisaburi, Muslim bin Hajjaj. Al-Musnad As-Shahih Al-Mukhtashar
bi Naqli Al-„Adli „an Al-„Adli ilaa Rasulillahi Shallallahu „alaihi
wasallam. Beirut: Daar Ihya At-Turats Al-„Arabi, t.th..
Ar-Rumi, Fahd Abdurrahman. Diraasat fii „Uluum Al-Qur‟an Al-Karim.
Riyadh: Maktabat Al-Malik Fahd Al-Wathaniyya, 2005. Cet. 4.
As-Shalih, Subhi. Mabaahits fii „Uluum Al-Qur‟an. Beirut : Daar Al-„Ilm
li Al-Malaayiin, 2000. Cet. 4.
As-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Beirut: Al-Maktabat Al-
„Ashriyah, t.th..
As-Suyuthi, Jalaludin. Tadrib Ar-Raawi fii Syarhi Taqriib An-Nawaawi.
Riyadh: Daar Thayyibah, t.th..
At-Thabari, Ibnu Jarir. Jaami‟ Al-Bayaan fii Ta‟wil Al-Qur‟aan. Beirut:
Muassasat Ar-Risalah, 2000.
Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah. Al-Burhan fii „Uluum Al-Qur‟an.
Kairo: Daar Ihya Al-Kutub Al-„Arabiyyah „Isa Al-Baabi Al-Halabi
wa Syurakaahu, 1957.
Az-Zurqani, Muhammad. Manahil Al-„Irfan fii „Uluum Al-Qur‟an. Kairo:
Mathba‟ah „Isa Al-Baab Al-Halabi wa Syurakaahu, 1367 H. Cet. 3.
Bek, Muhammad Khudari. Tarrikh At-Tasyrii‟ Al-Islami. Jakarta: Daar
Al-Kutub Al-Islamiyah, 2007. Cet. 1.
Bilal, Ahmad Muhammad Abu. „Inayat Al-Muslimiin bi Al-Lughat Al-
„Arabiyyah Khidmatan li Al-Qur‟an Al-Karim. Madinah: Majma
Al-Malik Fahd, t.th..
Dawud, Abu Bakar bin Abi. Kitaab Al-Mashaahif. Beirut: Daar Al-
Basyaair Al-Islamiyyah, 1995. Cet. 2.

[25]
Hisyam, Abdul Malik bin. Sirat Ibni Hisyam. Kairo: Mathba‟ah Mushtafa
Al-Baabi Al-Halabi wa Aulaaduhu, 1955.
Ismail, Nabil bin Muhammad Alu. Al-„Inayat bi Al-Qur‟an Al-Kariim wa
„Uluumihi min Bidayat Al-Qarn Ar-Raabi‟ Al-Hijri ila „Ashrina Al-
Haadhir. Madinah: Majma‟ Al-Malik Fahd, t.th..
Jamaluddin, Muhammad Sa‟id. Asy-Syubuhaat Al-Maz‟uumah Haula Al-
Qur‟an Al-Kariim fii Daairat Al-Ma‟aarif Al-Islamiyyah wa Al-
Barithuniyyah. Madinah: Majma‟ Al-Malik Fahd, t.th..
Nadim, Ibnu. Al-Fihrisat. Beirut: Daar Al-Ma‟rifat, 1997.
Shalah, Ibnu. Muqaddimat Ibn As-Shalaah. Beirut: Daar El-Fikr, 1986.
Syuhbah, Muhammad Abu. Al-Madkhal lii Dirasat Al-Qur‟an Al-Kariim.
Kairo: Maktabah As-Sunnah, 2003.
Qaduri, Ghanim. Abhats fii „Uluum At-Tajwiid. Oman: Daar „Ammaar,
2002. Cet. 1.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa


Indonesia Daring : Pelihara”, dalam https://kbbi.web.id/pelihara.
Diakses pada 9 Oktober 2018 pukul 07.30.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa
Indonesia Daring : Kodifikasi”, dalam
https://kbbi.web.id/kodifikasi. Diakses pada 9 Oktober 2018 pukul
19.55.

[26]

Anda mungkin juga menyukai