Anda di halaman 1dari 4

Negara kebangsaan (bahasa Inggris: nation state) adalah suatu istilah politik yang berarti warga

negara yang tinggal di suatu negara juga merupakan bangsa yang sama. Jadi,suku
bangsanya hanya satu.

Nation-state adalah terbentuknya sebuah negara yang didahului dengan adanya bangsa. Jadi,
dalam konsep nation-state, bangsa telah terbentuk sebelum adanya pernyataan berdirinya
sebuah negara. Salah satu contoh negara yang termasuk dalam nation-state adalah Indonesia.
Masyarakat Indonesia mengakui sebagai satu-kesatuan sebuah bangsa sebelum Indonesia
meraih kemerdekaan, yaitu pada tahun 1908 dengan adanya peristiwa Budi Utomo yang
mengacu terhadap pendidian dan persatuan bangsa Indonesia, setelah itu pada peristiwa
Sumpah Pemuda tahun 1928 yang lebih memfokuskan akan persatuan bangsa Indonesia.
Barulah setelah adanya pengakuan mengenai kesatuan bangsa, seluruh lapisan rakyat
Indonesia mengupayakan bebas dari penjajah dan akhirnya dapat meraih kemerdekaan pada
tahun 1945 sehingga dapat dikatakan sebagi negara seutuhnya.
Menurut Nurcholis Madjid, negara bangsa/nation state adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk
seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan
[2]
kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Menurut
Guibernau, Nation state merupakan hasil sejarah alamiah yang semi kontraktual karena ia muncul secara artifisal
dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang
berbentuk hak dan kewajiban antar negara bangsa dengan warganya di mana nasionalisme merupakan landasan
[3]
bangunannya yang paling kuat. Sebuah negara bangsa adalah suatu jiwa, sebuah prinsip kerohanian, dengan
landasan nasionalisme yang merupakan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi harus
diserahkan kepada negara kebangsaan yang did alamnya terdapat unsur etnisitas, bahasa dan agama sebagai
identitas bersama (common identity). Karena ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak
sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar negara
bangsa dengan warganya.

Beberapa Contoh Kasus Peran Sentral Nation State sebagai Perwujudan Nasionalisme
Indonesia[16]
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara multietnis yang paling problematis sejak pertama kali
didirikan. Ide bahwa Indonesia merupakan sebuah teritori yang kita ketahui hari ini tidak ada pada masa prakolonial, sampai akhirnya Belanda mematok Sabang sampai Merauke sebagai wilayah koloninya sebagai sebuah
unit tunggal. Sayangnya, meskipun secara administratif 'lndonesia' ditangani dengan baik, kesetiaan dan relasi etnis
sama sekali tidak diperhatikan bahkan dipecahbelah demi kepentingan dagang. Jika hari ini kita masih dapat
merasakan beberapa konflik sosial dan etnis, maka penyebabnya dapat ditarik sejauh masa kekuasaan kolonial
Belanda.
Seperti pada kasus Turki, bahasa Indonesia juga menjadi salah satu instrumen utama untuk menyatukan
[17]
bangsa yang dibayangkan para pendiri negara ini.
Usaha jangka panjang menuju penciptaan 'bangsa Indonesia'
dimulai dari perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan dari itu terciptalah berbagai cita-cita mulia Indonesia
sebagai sebuah satuan masyarakat. Sayangnya, nasionalisme etnis Jawa pada awal perkembangan negara yang
dijustifikasi oleh jumlahnya yang memang mayoritas menjadi salah satu kelemahan usaha penyatuan Bhineka

Tunggal Ika ini. Politik Indonesia yang selama ini dikontrol orang Jawa (pada masa Orde Baru) tidak mentoleransi
perbedaan mendasar, non-konformitas, serta alternatif regional. Ketidakinginan Jakarta pada masa itu untuk
mengabulkan hak politik dan ekonomi minoritas etnis memperbesar tensi dan kekerasan antar-etnis yang sudah
mulai berlangsung bahkan sejak tahun 1945. Hasilnya, kebanyakan warga Indonesia masih sering mengidentifikasi
dirinya sebagai bagian dari etnis tersebut daripada dirinya sebagai 'bangsa Indonesia'.

Nasionalisme Etnis di Nigeria[18]


M. A. O. Alulo memiliki pendekatan lain dalam membedakan nasionalisme etnis dan nasionalisme sipil.
Menurutnya, nasionalisme etnis merupakan sebuah fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, ia dapat diartikan
sebagai seperangkat kepercayaan mengenai superioritas dan perbedaan antara sebuah kelompok etnis serta
melahirkan keinginan membela kepentingannya di atas hal-hal lainnya. Pada saat yang bersamaan, istilah tersebut
juga mengacu kepada identifikasi individu terhadap kelompok etnis tertentu, kebudayaan, kepentingan, serta
tujuannya. Etnosentrisme lah yang memutuskan kesetiaan dari hal-hal lain kecuali satu kelompok etnis.
Penjelasan terhadap ini diberikan oleh Hofstede (1994) yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki
tendensi kuat untuk memperjuangkan etnis atau bahasanya sendiri sampai mendapatkan kemerdekaan atau
setidaknya pengakuan terhadap identitas mereka. Alih-alih penurunan, keecenderungan ini telah menunjukkan
peningkatan sejak abad ke-20 dimulai.
Stavenhagen (1994) kemudian berargumen bahwa nasionalisme etnis menjadi sesuatu yang umum dalam
masyarakat plural dan dapat dijelaskan dalam dua school ofthoughts yang berbeda: primordialis dan instrumentalis.
Kelompok pertama melihat adanya 'primordial bond' yang menentukan identitas personal mereka dan secara alamiah
membentuk kelompok yang lebih matang dari bangsa atau sistem kelas modern. Para instrumentalis, sementara itu,
melihat identitas etnis sebagai sebuah langkah bagi masyarakat khususnya para pemimpin untuk mengejar tujuannya
sendiri, seperti mobilisasi dan manipulasi kelompok untuk tujuan politis.
Dalam opini Lijiphart (1984), seluruh bangsa multietnis "...profoundly divided along religious, ideological,
linguistic, cultural, ethnic or racial lies." Apa yang disebutnya sebagai 'kebohongan' dijelaskan oleh para antropolog
modern sebagai instrumen stale-building. Dia juga percaya bahwa dalam masyarakat yang tcrdiri dari berbagai submasyarakat dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda, fleksibilitas yang dibutuhkan untuk sebuah demokrasi
modern tidak mungkin tercipta. Dalam situasi yang seperti ini, penggunaan aturan mayoritas bukan saja menjadi
tidak demokratis tapi juga berbahaya karena akan terjadi eksklusi terhadap kelompok minoritas yang mungkin
berujung pada usaha melawan pemerintahan.
Dalam kasus Nigeria dan berbagai negara Afrika serupa, terdapat pola berulang sehubungan dengan masalah
nasionalisme etnis di negaranyaantara lain kesetiaan, komitmen, dan patriotisme dari warga negaranya. Menurut
Ekeh (1975), akar historis dari krisis tersebut berdasar pada fakta bahwa negara-negara Afrika tidak lahir dari dalam
masyarakatnya (seperti kebanyakan negara Eropa Barat), tetapi dari luarsebagai sebuah imposisi dari otoritas
kolonial. Proses penciptaan struktur asing ini berbasis pada formasi politik yang bersifat artifisial dan menyatukan
sub-nasionalisme yang berbeda di dalam teritori tersebut secara semu, ketika sebenarnya kelompok tersebut masih
merupakan dua publik yang berbeda.
Publik yang pertama terisi dari pemerintah dan institusi modern yang sifatnya instrumental bagi negara
militer, birokrasi, pengadilan, partai politik dan sebagainya. Publik kedua adalah masyarakat primordial yang

terbentuk secara sosial selama berpuluh-puluh tahun, termasuk melalui proses colonial yang tumbuh untuk
memuaskan peimintaan personal dan kelompok yang tidak dapat dipenuhi pemerintah kolonial maupun poskolonial. Publik ini yang kemudian disebut Joseph (1987) sebagai nasionalisme etnis dan menjadi asal dari politik
prebedal di Nigeria. Prebendalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai proses untuk menggunakan posisi
pemerintahan untuk mencapai kepentingan personal, parokial, maupun kelompokspektrum ekstrim dari
pelaksanaan politik identitas. Sayangnya, dualitas ini yang kemudian menjadi sumber masalah dan ketidakstabilan
politik di Nigeria.
[2] Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, 2004), cet. 3, hal. 42-43
[3] Guibernau, M., Nationalisms, The Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century, (Polity Press:
London, 2005), p. 47
[17] Damien Kingsbury, "Diversity in Unity," dalam Damien Kingsbury dan Harry Aveling (eds.), Autonomy and
Disintegration in Indonesia,(London: RoutledgeCurzon, 2004), hlm. 111.
[18] M. A. O. Alulo, "Ethnic Nationalism and the Nigerian Democratic Experience in the Fourth Republic"
dalam Anthropologist, 5 (4),Kamla-Raj, 2003: 253259, lihat http://www.krepublishers.com/02-Journals/TAnth/Anth-05-0-000-000-2003-Web/Anth-05-4-217-303-2003-Abst-PDF/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-MA-O/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O-Text.pdf, diakses 21 September 2012, pkl. 13.03 WIB. Dikutip
dari makalah kelompok satu Nasonlaisme dan Resolusi konflik Etnis, Teori-Teori Nasionalisme hal. 8 10.

Konsep Negara Bangsa (Nation State) adalah konsep tentang negara modern yang terkait erat dengan
paham kebangsaan atau nasionalisme. Negara bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang di
dirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan
kesepakatan itu. kepentingan nasional adalah nilai-nilai dasar yang terpelihara dan dipertahankan oleh
suatu negara dalam mencapai tujuannya. Kepentingan nasional menyangkut beberapa unsur yaitu:
keutuhan wilayah dan bangsa, menjaga SDA dan SDM,berbagai aspek seperti
ekonomi,politik,sosial,budaya,hankam,serta peranan suatu negara dalam lalu lintas hubungan antar
Negara.
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_kebangsaan

Nation, dalam Bahasa Indonesia berarti bangsa. Bila mendengar kata bangsa, maka hal yang
terbesit dalam kepala adalah kesamaan bahasa, ciri-ciri fisik biologis, historis, dan lain
sebagainya. Hal tersebut memang benar adanya, seperti yang dituliskan oleh Nenad Miscevic
(2001), ... speak the same languange, live in similar conditions, and have a great deal of shared
history.... Berbeda dengan Misecvic, Benedict Anderson (1983) memandang nationsebagai
imajinasi komunitas politik. Contoh dari bangsa antara lain, bangsa Arab, bangsa India, dan
bangsa Cina. Selanjutnya, yang dimaksud dengan state atau negara adalah pengelompokan
masyarakat berdasarkan sturktur kekuasaan yang memerintah di wilayah tersebut (Surbakti,
2010: 52). State dapat terdiri dari beberapa suku bangsa dan ras. Selain itu, state juga
menggambarkan suatu organisasi yang menggambarkan kekuasaan yang menerapkan paksaan
fisik yang sah terhadap masyarakat yang mendiami wiilayah dengan batas-batas yang jelas.
Bila menemui istilah nation dan state, maka akan menemui pula istilah nation-state dan statenation. Sekilas memang nampak sama. Namun bila dilihat dari proses pembentukkannya, dua hal
tersebut memiliki perbedaan yan cukup siginifikan. Nation-state, sesuai artinya : negara-bangsa,
merupakan pembentukan suatu negara yang didahului dengan pembentukan negara dan
kemudian diikuti oleh terbentuknya bangsa (Surbakti, 2010: 53). Salah satu contoh nationstate adalah Singapura. Sebaliknya, state-nation atau bangsa-negara merupakan pembentukan
suatu negara yang diawali dengan pembentukan suatu bangsa yang lambat laun menjadi sebuah
kesatuan yang disebut negara (Surbakti, 2010: 53). Contoh dari state-nation adalah tanah air
tercinta, Indonesia. Seperti yang kita ketahui, Indonesia sudah ada sejak dahulu sebagai sebuah
bangsa. Akan tetapi, Indonesia baru menjadi sebuah negara sejak diproklamasikan kemerdekaan
RI. Karena itulah Indonesia termasuk sebagai state-nation.
Miscevic, Nenad.2001.Nationalism and Beyond.CEU Press.
Surbakti, Ramlan.2010.Memahami Ilmu Politik.Jakarta:Grasindo

Anda mungkin juga menyukai