Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kepustakaan antropologi, terdapat tiga spesifikasi kajian (dengan konsep/item
masing-masing) berkaitan hubungan masyarakat manusia dengan laut. Pertama, ialah
antropologi maritim yang penekanannya pada aktivitas kepelayaran dan pengetahuan serta
teknologi dan infrastruktur berkaitan pelayaran. Kedua, antropologi marin yang kajiannya
menekankan pada aktivitas pemanfaatan sumber daya laut, terutama penangkapan ikan, serta
berbagai pranata yang berkaitan dengannya antara lain agama dan kepercayaan, mitologi dan
cerita rakyat, seni dan seremoni. Ketiga, antropolgi penangkapan ikan/perikanan yang
menekankan studinya pada aktivitas, pengetahuan, kelompok kerja, dan sarana prasarana
serta berbagai pranata berkaitan dengannya. spesifikasi kajian seperti ini mengikuti arah
pengembangan yang ditempuh oleh setiap bidang ilmu yang dimaksudkan untuk pedalaman
pemahaman pada fenomena yang dikaji serta penajaman pendekatan teoritis yang diterapkan
dan dikembangkan. Adapun konsep-konsep budaya maritim atau

budaya perikanan serta

unsur-unsur yang ada didalamnya perlu dikaji lebih dalam lagi, oleh karena itu kami menulis
makalah ini untuk mengkaji masalah kebudayaan maritim.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Apa yang dimaksud dengan konsep masyarakat?


Apa yang dimaksud dengan konsep masyarakat maritim?
Bagaimana karakteristik sosial masyarakat maritim?
Bagaimana dinamika struktural masyarakat maritim?

BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Pengertian Masyarakat
1

Kalau kita memperbincangkan masalah yang berkaitan dengan definisi masyarakat maka
sangat erat hubungannya dengan faktor yang ada di suatu wilayah mengenai kebudayaannya.
Dengan alasan apapun dalam sebuah perkumpulan atau komunitas pada manusia akan
melakukan aktivitas berupa interaksi antara satu sama lain yang nantinya pasti akan ada
kebudayaan yang dihasilkan dari kelompok itu. Berikut beberapa pengertian masyarakat dari
beberapa ahli :
1. Menurut Mac Iver masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tatacara, dari
wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari
pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keselurhan yang
selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan
hubungan sosial. Dan masyarakat selalu berubah,
2. Menurut Ralph Linton: Masyarakat merupakan setiap kelomok manusia yang telah
hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri
mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batasbatas yang dirumuskan dengan jelas.
3. Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Pada dasarnya, unsur-unsur yang mencakup masyarakat yaitu:
1.
2.
3.
4.

Manusia yang hidup bersama.


Bercampur untuk waktu yang cukup lama.
Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
Mereka merupakan suatu sistem yang hidup bersama.

B. Pengertian Maritim
Maritim adalah sesuatu yang berkenaan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran
dan perdagangan di laut. didalamnya juga mengatur tentang dinamika struktural masyarakat

Pengertian kata maritim menurut KBBI adalah maritim berkenaan dengan laut;
berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut (Setiawan). Karena kajian kita
mengenai masyarakat maritim, maka salah satu aspek yang penting untuk dikaji
adalah daerah yang terdiri dari kepulauan dan perairan yang luas serta berkehidupan
melalui hasil laut.
Sebagai negara yang memiliki banyak pulau, baik yang memiliki nama maupun yang
belum memiliki nama, maka budaya kemaritiman telah menjadi pemandangan yang sering
disaksikan.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Konsep Masyarakat
Konsep kelompok dicontohkan pada kelompok kekerabatan (keluarga inti, keluarga luas,
keluarga persepupuan, marga, dan lain-lain), kelompok kerja produktif (nelayan, petani,
3

pedagang, olahraga, neni, bela diri), dan lain-lain. Konsep golongan dicontohkan antara lain
pada golongan pemuda, golongan agamawan, dan seniman/budayawan.
Konsep komunitas mengacu pada kesatuan hidup manusia dengan jumlah anggota
besar dan keterikatan pada wilayah geografi tertentu seperti komunitas-komunitas petani,
nelayan, dan komunitas masyarakat kota yang hidup dari berbagai sektor ekonomi jasa,
industri, perdangan baik formal maupun informal. Akhir-akhir ini juga sudah sering digunakan
konsep komunitas akademisi, komunitas agama, dan lain-lain. Dalam hal ini, komponen ruang
tidak menjadi prasyarat lagi bagi konsep komunitas tersebut.
Konsep suku bangsa mengacu pada kestauan hidup manusia yang memiliki dan
dicirikan dengan serta sadar kesamaan budaya (sistem-sistem pengetahuan, bahasa,
organisasi sosial, pola ekonomi, teknologi, seni, kepercayaan). Contoh dari kesatuan hidup
manusia yang disebut suku bangsa seperti suku bangsa jawa, Sunda, Minangkabau Batak dan
lain-lain. Di Indonesia, menurut macam bahasa yang diucapkan, terdapat kurang lebih 600
buah suku bangsa. Bagian terbesar di antaranya terdapat di Irian, Sulawesi, Maluku, dan NTT.
Interaksi kontinyu yang menandai masyarakat ialah sistem pergaulan dan hubungan
kerja sama yang terus menerus menurut polar-polar sosial budaya atau hubungan adat-istiadat
yang dianut dalam berbagai bentuk kesatuan hidup manusia tersebut. Pola-pola sosial budaya
seperti tata cara secara alamiah, manusia lahir dan menjadi anggota atau warga masyarakat
dalam berbagai bentuk kesatuan hidup, kemudian pada akhirnya meninggal dunia, dan
demikian seterusnya. Sebaliknya, secara sosial (berkehidupan bersama), manusia dari
generasi ke generasi selalu mengikuti pola-pola budaya (pedoman kehidupan) yang sudah ada
dan bersifat relatif bertahan (persistent/continuety) yang tidak mudah berubah. Masyarakat dan
kebudayaan, karena itu, merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, meskipun dapat diuraikan
untuk dipahami kesatuan fungsionalnya. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusianya,
budaya adalah isi kesatuan hidup itu berupa pikiran dan perasaan sebagai pedoman hidup
bermasyarakat

dengan

kebudayaan,

maka

makhluk

manusia

menjadi

masyarakat

beradab/manusiawi (humanity). Sebaliknya, hanya masyarakat manusia yang memiliki


kebudayaan mealui proses belajar untuk pedoman hidupnya.

B. KONSEP MASYARAKAT MARITIM

Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat bahwa


Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non
hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam
dan komprehensif. Dengan mengacu kepada konsep masyarakat yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka masyarakat maritime dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia
berupa kelompok-kelompok kerja, komunitas sekampung, kesatuan suku bangsa, kesatuan
administratif, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggangtungkan kehidupan ekonominya
secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan
nonhayati) dan jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudyaan
baharinya.
1. Masyarakat Maritim Ideal di Indonesia
Berbicara tentang masyarakat maritim di Nusantara, maka secara ideal dapat dikatakan
semua masyarakat Indonesia termasuk masyarakat maritim. Dikatakan demikian karena
penduduk Negara kepulauan ini pada umumnya memiliki wawasan dan gambaran dunia laut
yang luas, pulau-pulau besar dan kecil yang menaburi lautan tersebut, dan penduduk dengan
keragaman etnis menghuni pulau-pulau yang berjejer dari Sabang sampai Merauke.
Kebanyakan kelompok suku bangsa di kawasan pantai dan pedalaman mempunyai
cerita rakyat dan mitologi tentang peradaban laut. Sungai-sungai tertentu diceritakan oleh
penduduk lokal sebagai yang pernah menjadi rute-rute pelayaran masuk ke luarnya perahu dan
kapal-kapal besar di zaman mitologi tersebut. Di beberapa daerah pedalaman Sulawesi
Selatan, antara lain Duri Enrekang, terdapat jejeran bukit tanah dan gunung batu yang
membentuk formasi armada kapal diceritakan sebagai kapal sawerigading yang terdampar
sejak zaman mitologi tersebut. Di daerah ini, gambaran dunia kebaharian dalam pikiran
sebagian rakyat dapat ditunjukkan lewat komponen perahu (terbuat dari daun pisang) dalam
beberapa untuk ritual tradisional.
Mitologi asal usul orang Toraja mengandung cerita kedatangan nenek moyangnya dari
Rura (Duri-Enrekang), yang pada mulanya berasal dari daerah perairan pesisir Sulawesi Barat
dengan kemnudian masuk ke daerah pedalaman melalui sungai saddang. Berbagai cerita dan
tulisan menyebutkan bahwa Tongkonan meniru bentuk arsitektur perahu.
Gambaran masyarakat pedalaman akan kegiatan ekonomi kebaharian tumbuh dari
pengetahuan dan apresiasi mereka terhadap jasa-jasa postif dan nyata masyarakat maritim
5

terhadap mereka. Dari sejak dahulu, hamper semua penduduk perkotaan dan pedalaman
mengkonsumsi ikan kering, terasi, dan garam yang dihasilkan oleh penduduk nelayan. Berikut
ketika sudah digunakan sarana pengawetan modern berupa es untuk hasil laut, tangkapan
nelayan terutama berupa ikan segar sudah menjangkau konsumen di pedalaman.
Jasa kemaritiman yang tak kalah pentingnya bagi masyarakat pedalaman ialah jasa
pelayaran antar pulau. Dari sejak dahulu para pengembara/perantau dan pedagang antar pulau
selalu memanfaatkan jasa perhubungan laut. Pada kenyataannya dari waktu ke waktu peranan
jasa pelayaran di Indonesia semakin penting dimungkinkan daya tampungnya lebih besar dan
tariff angkutan laut masih selalu lebih rendah dari pada tariff pesawat.
Pemanfaatan jasa perikanan dan pelayaran pada gilirannya melibatkan hubungan
fungsional yang timbal balik antara masyarakat pedalaman dan masyarakat bahari (nelayan
dan pelayar). Masing-masing pihak sadar akan fungsi atau peranan dari yang terhadapnya,
sebab bukan hanya penduduk desa dan kota pedalaman memanfaatkan jasa masyarakat
nelayan dan pelayar berupa hasil laut dan pulau-pulau memperoleh bahan pangan, sandang,
dan papan dari masyarakat petani dan industry di pedalaman dan kota. Pada pihak masyarakat
desa dan kota pedalaman, hubungan timbal balik yang intensif tentu memberi keluasan
pengetahuan dan kesadaran akan peranan penting sektor kehidupan kemaritiman bagi mereka.
Wawasan kelautan masyarakat pedalaman juga tumbuh dari kenyataan bahwa dari
waktu ke waktu semakin banyak pula orang pedalaman yang terlibat dalam sektor kebaharian
(pelayaran, perikanan, pertambangan, industry pariwisata bahari, angkatan laut) melalui
lembaga pendidikan di sekolah-sekolah kelautan dan perikanan.

2. Masyarakat Maritim Aktual di Indonesia


Berbeda halnya dengan masyarakat maritime pada tatanan ideal, konsep masyarakat
maritime yang aktual merujuk pada kesatuan-kesatuan social yang sepenuhnya atau sebagian
besar menggantungkan kehidupan social ekonominya secara langsung atau tidak langsung
pada pemanfaatan sumber daya laut dan jasa-jasa laut.
Kesatuan-kesatuan social masyarakat maritime tersebut kebanyakan berasal dari
daerah pedesaan dan perkotaan pantai dan sebagian lainnya berasal dari pedesaan dan
perkotaan pedalaman. Mereka yang berasal dari daerah pedalaman pada umumnya menjadi
6

anak buah kapal pelayaran dan perikanan besar, pekerja tambang, karyawan industry
pariwisata, angkatan laut, dosen dan peneliti, mahasiswa dan pelajar dari lembaga pendidikan
kejujuran. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa mereka dapat merebut peluang kerja
dan pendidikan tersebut karena berasal dari keluarga-keluarga berkecukupan.
Sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia dalam kelompok kerja, satuan tugas,
komunitas, departemen, dll, tentu memiliki sistem social budaya masing-masing (gagasan, nilai,
norma, keyakinan, moral, dan etika) yang berfungsi sebagai pedoman perilaku hubungan
kerjasama dan praktik pengelolaan pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa laut. Acuan sistem
social budaya inilah yang menentukan dan mencirikan adanya kesatuan-kesatuan social
manusia untuk disebut masyarakat, termasuk masyarakat maritim di mana-mana.

3. Cikal Bakal Masyarakat Maritim di Indonesia


Diasumsikan bahwa dalam semua masyarakat maritim di dunia, termasuk Indonesia,
ada kelompok cikal bakal yang menjadi pemula atau perintis tumbuh kembangnya kebudayaan
dan peradaban kemaritimannya itu. Dari kelompok-kelompok masyarakat cikal bakal tersebut,
tersebarlah unsur-unsur kebudayaan maritime secara lambat atau cepat ke kelompok-kelompok
masyarakat lainnya yang bukan atau belum layak dikategorikan masyarakat maritim. Karena
terjadinya respons positif oleh masyarakat yang menjadi tujuan pesebaran unsur-unsur budaya
maritim. Baru oleh komunitas-komunitas yang terlibat dalam pesebaran budaya tersebut. Dalam
konteks Indonesia, misalnya, adalah keliru beranggapan bahwa masyarakat maritmnya, apakah
pada tataran faktual atau ideal, secara bersamaan muncul dan berkembang pada semua
daerah pesisir dan pulau-pulaunya. Dengan asumsi difusionisme (teori pesebaran kebudayaan)
seperti ini, bukan berarti kita mengabaikan kemampuan kreatif-inovatif lokal dalam memodifikasi
dan mengembangkan unsur-unsur asli yang tersebar dari pusat-pusat penciptaannya pertama
kali.
Kalau melacak cikal bakal masyarakat maritim di Nusantara ini, maka di antara sekian
banyak kelompok-kelompok suku bangsa pengelola dan pemanfaat sumber daya dan jasa-jasa
laut yang ada (nelayan dan pelayar), menurut Adrian Horridge, suku bangsa suku bangsa
Bajo (Sea Gypsies) di Asia Tenggara, Bugis (Teluk Bone), Makassar (Galesong, Tallo,
Pangkep), Mandar (Sulawesi Barat), Buton (Sulawesi Tenggara), dan Madura (Jawa Timur)
dianggap sebagai pewaris kebudayaan maritim (pembuat perahu dan pelayar ulung) dari ras
7

Melayu-Polinesia perintis dan pengembang kebudayaan maritim di Asia Tenggara sejak liburan
tahun silam (Horridge, 1986). Berikut menurut Adrian Horridge, muncul juga kelompokkelompok etnis lain, seperti komunitas-komunitas nelayan dari pulau-pulau Bawean,
Masalembo dan Sapudi (Jawa), pedagang-pedagang bonerate dan pulau polue di laut Flores,
pemburu paus di Lamalerap (Lomblen di Selat Timor, orang luang di sebelah barat daya), dan
berbagai koloni bugis di Nusantara (antara lain : Flores, Bima, Riau, Lampung) yang menguasai
jaringan perdagangan luas untuk berbagai jenis komoditi ekspor dan impor.
Sejak beberapa dekade terakhir bukan hanya kelompok-kelompok suku bangsa tersebut
dianggap sebagai masyarakat pewaris dan pendukung kebudayaan maritime di Indonesia,
tetapi tidak terkecuali bagi semua komunitas pesisir dan pulau-pulau dari Sabang sampai
Merauke yang telah menggagas dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi berkaitan sumber
daya dan jasa-jasa laur di sekelilingnya. Dari perspektif difusionisme komunitas-komunitas
nelayan dan pelayar Nusantara yang baru ini banyak meniru pada dan dipengaruhi oleh
kelompok-kelompok suku bangsa cikal bakal masyarakat maritime pendahulunya. Kelompok
dan komunitas maritime Indonesia baru bukan hanya berasal dari daerah pesisir dan pulaupulau kecil tetapi sebagian lainnya berasal dari penduduk perkotaan dan pedesaan pedalaman
yang memperoleh peluang pada berbagai sektor usaha ekonomi kelautan yang formal dan maju
(perusahaan perikanan, pelayaran, pertambangan, industry pariwisata, angkatan laut) karena
memiliki ijazah atau sertifikat pendidikan formal dan nonformal kejuruan kelautan dan
perikanan.
Dimungkinkan pengetahuan dan keterampilan formal dimilikinya, maka kelompokkelompok masyarakat maritime tersebut terakhir inilah yang berpandang dinamis dan bersikap
lebih terbuka dalam merespons unsur-unsur pengetahuan, kelembagaan, dan teknologi
kemaritiman modern dari luar, dari pada mereka yang berasal dari komnitas-komunitas pesisir
dan pulau-pulau yang hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan informal tradisional
warisan nenek moyang belaka.

C. Karakteristik Sosial Masyarakat Maritim


Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik
tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata
merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena struktur
8

masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang
merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur
masyarakatnya. Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai
sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan
sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat-sifat dari usaha perikanan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik
masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor lainnya.
Beberapa sifat dan karakteristik masyarakat pesisir diuraikan sebagai berikut :
a. Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan
Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua aspek,
yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a)
sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan ratarata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota, baik propinsi dan kabupaten) terletak di kawasan
pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06 % pada tahun 1998
dan (d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara
langsung.
Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting karena (a)
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu sekitar 81.000 km
(13,9 % dari panjang pantai dunia) dan ; (b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah
perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk ZEEI; (c) Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan (d) Dalam wilayah tersebut
terkandung potensi kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya yang terdiri atas
potensi sumberdaya alam pulih (renewable resources) seperti perikanan, ekosistem mangrove,
ekosistem terumbu karang) maupun potensi sumberdaya alam tidak pulih (non renewable
resources) seperti migas, mineral atau bahan tambang lainnya serta jasa-jasa lingkungan
(environmental services), seperti pariwisata bahari, industri maritim dan jasa transportasi.
Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal pembangunan yang dapat dikelola
untuk menyediakan barang dan jasa (goods & services) bagi kemakmuran masyarakat dan
bangsa. Dilihat dari potensi dan kemungkinan pengembangannya, wilayah pesisir memiliki
peranan penting dalam pembangunan nasional, apalagi bangsa Indonesia saat sekarang
sedang mengalami krisis ekonomi. Peranan tersebut tidak hanya dalam penciptaan
pertumbuhan ekonomi (growth), tetapi juga dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat
9

(social welfare) dan pemerataan kesejahteraan (equity). Namun demikian, peranan tersebut
tidak akan tercapai dengan baik apabila mengabaikan aspek kelestarian lingkungan
(environmental sustainability) dan kesatuan bangsa (unity).
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan
usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Keadaan ini mempunyai imlikasi
yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, terutama di
Indonesia. Kondisi masyarakat pesisir itu menjadi sangat bergantung pada kondisi lingkungan
sekaligus sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, karena
limbah-limbah industri maupun domestik dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosialekonomi masyarakat pesisir.
b. Ketergantungan Pada Musim
Karakteristik lain yang sangat mencolok di kalangan masyarakat pesisir, terutama
masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada musim
ini akan semakin besar pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan, para nelayan akan
sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang
sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.
Keadaan ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
pantai secara umumdan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli barangbarang yang mahal pada musim tangkap. Namun pada musim peceklik, pendapatan mereka
drastis menurun sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk. Belum lagi ditambah pola
hidup mereka yang menerapakan prinsip ekonomi yang tidak hemat, artinya saat hasil
tangkap memuncak, mereka cenderung tidak menyimpan hasil untuk menutupi kekurangan
ekonomi di saat kegiatan tangkap menurun sehingga banyak dari nelayan-nelayan tersebut
yang harus meminjam uang bahakan menjual barang-barang mereka untuk memenuhi
kebutuhannya.
Secara umum, pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
suatu hari, mungkin nelayan memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari
berikutnya bisa saja kosong. Hasil tangkapan dan pada giliranya pendapatan nelayan juga
dipengaruhi oleh jumlah nelayan operasi penangkapan di suatu daerah penangkapan. Di
daerah yang padat penduduknya, akan mengalami kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini
mengakibatkan volume hasil tangkap dari para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada
10

akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.


Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan masyarakat di kalangan nelayan maupun petani tambak, yakni pola
hubungan yang bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan
kecil, buruh nelayan, petani tambak kecil dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang
dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau dari para pedagang
pengumpul (tauke).
Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau
pedagang. Keterkaitan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada
pedagang atau juragan. Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah
berubah menjadi alat dominansi dan ekploitasi.
Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur sosial
yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam hubungan pasar pada usaha perikanan.
Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan
taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan utangnya sehingga bisnis tetap berjalan.
c. Terdapatnya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
adalah stratifikasi berdasarkan misalnya membedakan stratifikasi sosial menjadi tiga jenis yaitu
(1) strafikasi karena status ekonomi (economically stratified); (2) stratifikasi karena perbedaan
status politik (politically stratified) dan (3) stratifikasi karena perbedaan status pekerjaan
(occupationally stratified).
a.

Berdasarkan ekonomi dan penguasaan alat tangkap, yaitu jika dalam suatau

masyarakat terdapat perbedaan atau tidak ketidaksetaraan status ekonomi, pada masyarakat
nelayan umumnya terdapat tiga strata kelompok, yaitu :
1. Starata atas, yaitu mereka yang memiliki kapal motor lengkap dengan alat tangkapnya.
Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau modern. Biasanya mereka tidak
ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada orang lain. Buruh atau tenaga
kerja yang digunakan cukup banyak bisa sampai dua atau tiga puluhan. Seringkali
nelayan besar juga merangkap sebagai pedangang pengumpul. Namun demikian,
biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini
11

merupakan kelas tersendiri.


2. Strata kedua, adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel. Pada strata
ini, biasanya pemilik tersebut ikut melaut dan memimpin kegiatan penagkapan. Buruh
yang ikut mungkin ada tetapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.
3. Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan bisa juga merangkap
menjadi buruh, tetapi lebih banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana produksi
apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.
b.

Stratifikasi karena perbedaan status politik (politically stratified), yaitu jika terdapat

ranking sosial berdasarkan otoritas, prestise, kehormatan dan gelar. Misalnya seseorang yang
memperoleh gelar sebagai kepala desa dan pemimpin-pemimpin desa memiliki strata yang
lebih tinggi dibandingkan dengan warga-warga biasa.
c.

Stratifikasi karena perbedaan status pekerjaan (occupationally stratified), misalnya

stratifikasi pada petani tambak, yaitu :


1. Strata atas adalah mereka yang menguasi tambak yang luas.
2. Strata menengah yang memiliki luas tambak yang sedang/kecil.
3. Strata bawah adalah mereka yang tidak memiliki tambak, melainkan hanya mengelola
atau sebagai buruh.
d. Ketergantungan Pada Pasar
Karakteristik lain masyarakat pesisir ini adalah sifat ketergantungan terhadap keadaaan
pasar. Hal ini disebabkan karena hasil tangkap mereka itu harus dijual terebih dahulu sebelum
hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karakteristik tersebut
mmepunyai implikasi yang sangat penting, yakni masyarakat pesisisir sangat peka terhadap
harga. Perubahan harga produk perikanan sangat mmepengaruhi kondisi sosial ekonomi
masyarakat tersebut.
e. Aktivitas Kaum Perempuan dan Anak-Anak
Ciri khas lain dari suatu masyarakat pesisir adalah aktivitas kaum perempuan dan anakanak. Pada masyarakat ini, umumnya perempuan dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah.
Kaum perempuan (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang ikan
(pengecer), baik pengecer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga melakukan pengolahan
hasil tangkapan, baik pengolahan kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai
buruh pada pengusaha pengolahan ikan atau hasil tangkap lainnya. Sementara itu anak laki12

laki seringkali telah dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anakanak nelayan banyak yang tidak sekolah.
f. Rentan Terhadap Pengaruh Eksternal
Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang
terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah
tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan. Ditinjau dari aspek kepemilikan,
wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering tidak
mempunyai kepemilikan yang jelas (open access), kecuali pada beberapa wilayah di Indonesia,
seperti Ambon dengan kelembagaan sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-awig dan
Sangihe Talaud dengan kelembagaan Maneeh.
Dengan karaktersitik yang khas dan open access tersebut, maka setiap pembangunan
wilayah dan pemanfaatan sumberdaya timbul konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan
sumberdaya serta sangat mudah terjadinya degradasi lingkungan dan problem eksternalitas.
Selain itu penumpukan limbah-limbah dari daratan seperti limbah industri dan limbah domestik
sangat mempengaruhi kondisi mereka. Penurunan kualitas perairan dapat menurunkan hasil
tangkap mereka sehingga pendapatan mereka pun merosot. Jika hal ini terjadi maka kondisi
ekonomi mereka akan semakin terpuruk.
g. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan dan Ilmu Pengetahuan
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum
tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan
terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan pokoknya.
Sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermata pencaharian di sektor
pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti nelayan, petani ikan
(budidaya

tambak

dan

laut),

Kemiskinan

masyarakat

nelayan

(problem

struktural),

penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagai contoh : Kecamatan Kepulauan
Seribu, Jakarta Utara dengan penduduk 17.991 jiwa, sekitar 71,64 % merupakan nelayan
(Tahun 2001).
Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Sebagai contoh : penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara (Tahun 2001) sekitar
13

70,10 % merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan sejalan dengan tingkat tersebut, fasilitas
pendidikan yang ada masih sangat terbatas.
Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan
nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka
menggunakan rasi bintang.
h. Memiliki Kepribadian Yang Keras, Tempramental dan Boros
Masyarakat nelayan akrab dengan ketidakpastian yang tinggi karena secara alamiah
sumberdaya perikanan bersifat invisible sehingga sulit untuk diprediksi. Sementara masyarakat
agraris misalnya memiliki ciri sumberdaya yang lebih pasti dan visible sehingga relatif lebih
mudah untuk diprediksi terkait dengan ekspetasi sosial ekonomi masyarakat. Dalam kondisi
seperti ini maka tidak jarang ditemui karakteristik masyarakat nelayan yang keras, sebagian
temparemental dan tidak jarang yang boros karena ada persepsi bahwa sumberdaya perikanan
tinggal diambil di laut.
i. Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat
Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut
memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau
sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya
terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya
untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada umumnya, nelayan
bergolong kasta rendah

D. Dinamika Struktural Masyarakat Maritim


Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas nelayan
Bugis, Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal kelompok kerjasama
nelayan yang dikenal dengan istilah Punggawa dan Sawi, yang menurut keterangan dari setiap
desa telah ada dan bertahan sejak ratusan tahun silam. Meskipun kelompok PunggawaSawi juga digunakan dalam kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan pengelolaan tambak,
namun kelompok ini lebih eksis dan peranannya lebih kepada

aktivitas pelayaran dan

14

perikanan rakyat Bugis, Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di
Indonesia.
Struktur inti dari kelompok organisasi ini ialah P.laut atau Juragan dan Sawi. P.Laut
berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-alat
produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan ketrampilan manajerial,
sementara para sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/produksi
semata.
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan
mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh
seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan
dan eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses
produksi di laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelolah perolehan pinjaman
modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut, membangun
jaringan pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata
tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin
pelayaran

dan

aktivitas

baru untuk menggantikan

produksi

di

posisinya dalam memimpin

berkembang dan meningkat

jumlahnya.

laut, P.Darat merekrut juragan-juragan


unit-unit

Para P.Laut/Juragan dalam

usaha
proses

yang

sedang

dinamika

ini

sebagian masih berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi
kelompok nelayan. Para juragan yang direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga
dengan istilah P.Caddi, sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik
dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-client
memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal,
sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja
keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat dipahami
sebagai modal sosial).
Gejala perubahan sruktural paling mencolok dan terasa ketika berlangsung adopsi
inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin, peningkatan volume perahu, beberapa jenis
alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk
merespon difusi

inovasi

teknologi

eksploitasi

dan

sarana

penggerak

tersebut,

para

P.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa


mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di kota15

kota besar, teurutama Makassar, dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam
masyarakat nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula
dipasarkan

tangkapan. Pola

ini

sekaligus

sudah

menjadi

norma

pemasaran

yang

mengakar. Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara
berangsur-angsur mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital para pengusaha
lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula mereka menuntut hasil tangkap dijual kepada
mereka, kemudian banyak menentukan spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga,
dan jika ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin)
ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawanya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai
peminjam

pada

posisi

para P.Laut/Juragang dan

tengah

(peranannya

Sawi (nelayan)

sebagai

menyerupai
penyewa

produksi sematadari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo.

makelar),
atau

Keterlibatan

sementara

penyicil
dan

alat-alat

dominasi Bos

dalam hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di


antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan eksploitatif,
sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan dimantapkan antara para P.Darat
dan Bos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya relatif masih mempertahankan hubungan harmonis
yang terbangun sejak dahulu kala.
Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang seringkali merugikan bagi P.Laut/Juragan, yang
menyebabkan mereka sulit meningkatkan penapatan dan bergeser naik ke status pemilik alatalat produksi/pengusaha, mendorong sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba menempuh
cara berisiko, yaitu meminjam modal langsung kepada Bos di Makasar. Hingga sekarang, tidak
sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu menjadi nelayan
pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka

cenderung

membangun

kompetisi

dengan

dan mempersempit peluang usaha para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak lama.
Demikianlah tercipta suatu struktur kerjasama baru antara Bos dengan P.Laut/Juragan yang
secara langsung memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.
Sebetulnya, sejak awal tahun 1990-an sudah ada alternatif sumber pinjaman biaya
operasional dan biaya hidup keluarga nelayan pesisir dan pulau, yaitu para pengusaha kios
yang menjual berbagai kebutuhan pokok dan bahan pembuatan alat-alat penangkapan ikan.
Sebagian di antara pengusaha kios tersebut adalah keluarga P.Pulau juga.
Dengan adopsi inovasi teknologi tangkap dan perahu/kapal menjadi faktor terjadinya
perubahan aturan bagi hasil yang eksploitatif. Fenomena baru ini tidak dapat dihindari sebagai
16

dampak

dari

pergeseran

sistem

ekonomi

subsisten

ke

sistem

ekonomi

kapitalisme. Personifikasi komponen produksi modern (perahu, mesin, pukat/jaring, kompresor


dan lain-lain yang dikembangkan dengan investasi modal besar) dalam sistem bagi
hasil, karena peranannya dianggap lebih vital daripada peranan setiap anggota/anak buah,
maka bagian-bagian hasil diperuntukkan bagi komponen alat produksi ini meningkat
pesat. Sebaliknya, porsi

bagian

bagi

anak

buah justru

cenderung

merosot.

Alat-alat

produksi tentu saja jatuh ke tangan seorang pemilik. Diasumsikan bahwa perubahan struktural
ini sangat mempengaruhi meluasnya gejala kemiskinan di desa-desa nelayan hingga sekarang
ini.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konsep kelompok dicontohkan pada kelompok kekerabatan (keluarga inti, keluarga luas,
keluarga persepupuan, marga, dan lain-lain). Interaksi kontinyu yang menandai masyarakat
17

ialah sistem pergaulan dan hubungan kerja sama yang terus menerus menurut polar-polar
sosial budaya atau hubungan adat-istiadat yang dianut dalam berbagai bentuk kesatuan hidup
manusia tersebut.
Masyarakat maritime dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia berupa
kelompok-kelompok

kerja,

komunitas

sekampung,

kesatuan

suku

bangsa,

kesatuan

administratif, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggangtungkan kehidupan ekonominya


secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan
nonhayati) dan jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudyaan
baharinya. Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat maritim. Dikatakan demikian karena
penduduk Negara kepulauan ini pada umumnya memiliki wawasan dan gambaran dunia laut
yang luas, pulau-pulau besar dan kecil yang menaburi lautan tersebut, dan penduduk dengan
keragaman etnis menghuni pulau-pulau yang berjejer dari Sabang sampai Merauke.
Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai sifat-sifat
atau karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat
usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat-sifat dari usaha perikanan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik
masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami
perkembangan

jumlah

unit

perahu

dan

alat-alat

produksi

yang

dikuasai

oleh

seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Dengan adopsi inovasi
teknologi tangkap dan perahu/kapal menjadi faktor terjadinya perubahan aturan bagi hasil yang
eksploitatif. Fenomena baru ini tidak dapat dihindari sebagai dampak dari pergeseran sistem
ekonomi subsisten ke sistem ekonomi kapitalisme.

DAFTAR PUSTAKA

Himpunan Materi Kuliah WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM, Tim Pengajar WSBM
Universitas Hasanuddin
Anonim.2006.Dinamika Perubahan Sosial Maritim.http://www.crayonpedia.org.
Diakses Rabu 19 Maret 2014
18

Anonim.2013.Konsep Masyarakat Maritim. http://ahlikomputerisasi.blogspot.com.


Diakses Rabu 19 Maret 2014.
Anonim.2013.Karakteristik Masyarakat Pesisir. zafiraafriza.blogspot.com. Diakses Rabu
19 Maret 2014.

19

Anda mungkin juga menyukai