PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kepustakaan antropologi, terdapat tiga spesifikasi kajian (dengan konsep/item
masing-masing) berkaitan hubungan masyarakat manusia dengan laut. Pertama, ialah
antropologi maritim yang penekanannya pada aktivitas kepelayaran dan pengetahuan serta
teknologi dan infrastruktur berkaitan pelayaran. Kedua, antropologi marin yang kajiannya
menekankan pada aktivitas pemanfaatan sumber daya laut, terutama penangkapan ikan, serta
berbagai pranata yang berkaitan dengannya antara lain agama dan kepercayaan, mitologi dan
cerita rakyat, seni dan seremoni. Ketiga, antropolgi penangkapan ikan/perikanan yang
menekankan studinya pada aktivitas, pengetahuan, kelompok kerja, dan sarana prasarana
serta berbagai pranata berkaitan dengannya. spesifikasi kajian seperti ini mengikuti arah
pengembangan yang ditempuh oleh setiap bidang ilmu yang dimaksudkan untuk pedalaman
pemahaman pada fenomena yang dikaji serta penajaman pendekatan teoritis yang diterapkan
dan dikembangkan. Adapun konsep-konsep budaya maritim atau
unsur-unsur yang ada didalamnya perlu dikaji lebih dalam lagi, oleh karena itu kami menulis
makalah ini untuk mengkaji masalah kebudayaan maritim.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Pengertian Masyarakat
1
Kalau kita memperbincangkan masalah yang berkaitan dengan definisi masyarakat maka
sangat erat hubungannya dengan faktor yang ada di suatu wilayah mengenai kebudayaannya.
Dengan alasan apapun dalam sebuah perkumpulan atau komunitas pada manusia akan
melakukan aktivitas berupa interaksi antara satu sama lain yang nantinya pasti akan ada
kebudayaan yang dihasilkan dari kelompok itu. Berikut beberapa pengertian masyarakat dari
beberapa ahli :
1. Menurut Mac Iver masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tatacara, dari
wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari
pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keselurhan yang
selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan
hubungan sosial. Dan masyarakat selalu berubah,
2. Menurut Ralph Linton: Masyarakat merupakan setiap kelomok manusia yang telah
hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri
mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batasbatas yang dirumuskan dengan jelas.
3. Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Pada dasarnya, unsur-unsur yang mencakup masyarakat yaitu:
1.
2.
3.
4.
B. Pengertian Maritim
Maritim adalah sesuatu yang berkenaan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran
dan perdagangan di laut. didalamnya juga mengatur tentang dinamika struktural masyarakat
Pengertian kata maritim menurut KBBI adalah maritim berkenaan dengan laut;
berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut (Setiawan). Karena kajian kita
mengenai masyarakat maritim, maka salah satu aspek yang penting untuk dikaji
adalah daerah yang terdiri dari kepulauan dan perairan yang luas serta berkehidupan
melalui hasil laut.
Sebagai negara yang memiliki banyak pulau, baik yang memiliki nama maupun yang
belum memiliki nama, maka budaya kemaritiman telah menjadi pemandangan yang sering
disaksikan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Konsep Masyarakat
Konsep kelompok dicontohkan pada kelompok kekerabatan (keluarga inti, keluarga luas,
keluarga persepupuan, marga, dan lain-lain), kelompok kerja produktif (nelayan, petani,
3
pedagang, olahraga, neni, bela diri), dan lain-lain. Konsep golongan dicontohkan antara lain
pada golongan pemuda, golongan agamawan, dan seniman/budayawan.
Konsep komunitas mengacu pada kesatuan hidup manusia dengan jumlah anggota
besar dan keterikatan pada wilayah geografi tertentu seperti komunitas-komunitas petani,
nelayan, dan komunitas masyarakat kota yang hidup dari berbagai sektor ekonomi jasa,
industri, perdangan baik formal maupun informal. Akhir-akhir ini juga sudah sering digunakan
konsep komunitas akademisi, komunitas agama, dan lain-lain. Dalam hal ini, komponen ruang
tidak menjadi prasyarat lagi bagi konsep komunitas tersebut.
Konsep suku bangsa mengacu pada kestauan hidup manusia yang memiliki dan
dicirikan dengan serta sadar kesamaan budaya (sistem-sistem pengetahuan, bahasa,
organisasi sosial, pola ekonomi, teknologi, seni, kepercayaan). Contoh dari kesatuan hidup
manusia yang disebut suku bangsa seperti suku bangsa jawa, Sunda, Minangkabau Batak dan
lain-lain. Di Indonesia, menurut macam bahasa yang diucapkan, terdapat kurang lebih 600
buah suku bangsa. Bagian terbesar di antaranya terdapat di Irian, Sulawesi, Maluku, dan NTT.
Interaksi kontinyu yang menandai masyarakat ialah sistem pergaulan dan hubungan
kerja sama yang terus menerus menurut polar-polar sosial budaya atau hubungan adat-istiadat
yang dianut dalam berbagai bentuk kesatuan hidup manusia tersebut. Pola-pola sosial budaya
seperti tata cara secara alamiah, manusia lahir dan menjadi anggota atau warga masyarakat
dalam berbagai bentuk kesatuan hidup, kemudian pada akhirnya meninggal dunia, dan
demikian seterusnya. Sebaliknya, secara sosial (berkehidupan bersama), manusia dari
generasi ke generasi selalu mengikuti pola-pola budaya (pedoman kehidupan) yang sudah ada
dan bersifat relatif bertahan (persistent/continuety) yang tidak mudah berubah. Masyarakat dan
kebudayaan, karena itu, merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, meskipun dapat diuraikan
untuk dipahami kesatuan fungsionalnya. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusianya,
budaya adalah isi kesatuan hidup itu berupa pikiran dan perasaan sebagai pedoman hidup
bermasyarakat
dengan
kebudayaan,
maka
makhluk
manusia
menjadi
masyarakat
terhadap mereka. Dari sejak dahulu, hamper semua penduduk perkotaan dan pedalaman
mengkonsumsi ikan kering, terasi, dan garam yang dihasilkan oleh penduduk nelayan. Berikut
ketika sudah digunakan sarana pengawetan modern berupa es untuk hasil laut, tangkapan
nelayan terutama berupa ikan segar sudah menjangkau konsumen di pedalaman.
Jasa kemaritiman yang tak kalah pentingnya bagi masyarakat pedalaman ialah jasa
pelayaran antar pulau. Dari sejak dahulu para pengembara/perantau dan pedagang antar pulau
selalu memanfaatkan jasa perhubungan laut. Pada kenyataannya dari waktu ke waktu peranan
jasa pelayaran di Indonesia semakin penting dimungkinkan daya tampungnya lebih besar dan
tariff angkutan laut masih selalu lebih rendah dari pada tariff pesawat.
Pemanfaatan jasa perikanan dan pelayaran pada gilirannya melibatkan hubungan
fungsional yang timbal balik antara masyarakat pedalaman dan masyarakat bahari (nelayan
dan pelayar). Masing-masing pihak sadar akan fungsi atau peranan dari yang terhadapnya,
sebab bukan hanya penduduk desa dan kota pedalaman memanfaatkan jasa masyarakat
nelayan dan pelayar berupa hasil laut dan pulau-pulau memperoleh bahan pangan, sandang,
dan papan dari masyarakat petani dan industry di pedalaman dan kota. Pada pihak masyarakat
desa dan kota pedalaman, hubungan timbal balik yang intensif tentu memberi keluasan
pengetahuan dan kesadaran akan peranan penting sektor kehidupan kemaritiman bagi mereka.
Wawasan kelautan masyarakat pedalaman juga tumbuh dari kenyataan bahwa dari
waktu ke waktu semakin banyak pula orang pedalaman yang terlibat dalam sektor kebaharian
(pelayaran, perikanan, pertambangan, industry pariwisata bahari, angkatan laut) melalui
lembaga pendidikan di sekolah-sekolah kelautan dan perikanan.
anak buah kapal pelayaran dan perikanan besar, pekerja tambang, karyawan industry
pariwisata, angkatan laut, dosen dan peneliti, mahasiswa dan pelajar dari lembaga pendidikan
kejujuran. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa mereka dapat merebut peluang kerja
dan pendidikan tersebut karena berasal dari keluarga-keluarga berkecukupan.
Sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia dalam kelompok kerja, satuan tugas,
komunitas, departemen, dll, tentu memiliki sistem social budaya masing-masing (gagasan, nilai,
norma, keyakinan, moral, dan etika) yang berfungsi sebagai pedoman perilaku hubungan
kerjasama dan praktik pengelolaan pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa laut. Acuan sistem
social budaya inilah yang menentukan dan mencirikan adanya kesatuan-kesatuan social
manusia untuk disebut masyarakat, termasuk masyarakat maritim di mana-mana.
Melayu-Polinesia perintis dan pengembang kebudayaan maritim di Asia Tenggara sejak liburan
tahun silam (Horridge, 1986). Berikut menurut Adrian Horridge, muncul juga kelompokkelompok etnis lain, seperti komunitas-komunitas nelayan dari pulau-pulau Bawean,
Masalembo dan Sapudi (Jawa), pedagang-pedagang bonerate dan pulau polue di laut Flores,
pemburu paus di Lamalerap (Lomblen di Selat Timor, orang luang di sebelah barat daya), dan
berbagai koloni bugis di Nusantara (antara lain : Flores, Bima, Riau, Lampung) yang menguasai
jaringan perdagangan luas untuk berbagai jenis komoditi ekspor dan impor.
Sejak beberapa dekade terakhir bukan hanya kelompok-kelompok suku bangsa tersebut
dianggap sebagai masyarakat pewaris dan pendukung kebudayaan maritime di Indonesia,
tetapi tidak terkecuali bagi semua komunitas pesisir dan pulau-pulau dari Sabang sampai
Merauke yang telah menggagas dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi berkaitan sumber
daya dan jasa-jasa laur di sekelilingnya. Dari perspektif difusionisme komunitas-komunitas
nelayan dan pelayar Nusantara yang baru ini banyak meniru pada dan dipengaruhi oleh
kelompok-kelompok suku bangsa cikal bakal masyarakat maritime pendahulunya. Kelompok
dan komunitas maritime Indonesia baru bukan hanya berasal dari daerah pesisir dan pulaupulau kecil tetapi sebagian lainnya berasal dari penduduk perkotaan dan pedesaan pedalaman
yang memperoleh peluang pada berbagai sektor usaha ekonomi kelautan yang formal dan maju
(perusahaan perikanan, pelayaran, pertambangan, industry pariwisata, angkatan laut) karena
memiliki ijazah atau sertifikat pendidikan formal dan nonformal kejuruan kelautan dan
perikanan.
Dimungkinkan pengetahuan dan keterampilan formal dimilikinya, maka kelompokkelompok masyarakat maritime tersebut terakhir inilah yang berpandang dinamis dan bersikap
lebih terbuka dalam merespons unsur-unsur pengetahuan, kelembagaan, dan teknologi
kemaritiman modern dari luar, dari pada mereka yang berasal dari komnitas-komunitas pesisir
dan pulau-pulau yang hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan informal tradisional
warisan nenek moyang belaka.
masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang
merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur
masyarakatnya. Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai
sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan
sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat-sifat dari usaha perikanan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik
masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor lainnya.
Beberapa sifat dan karakteristik masyarakat pesisir diuraikan sebagai berikut :
a. Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan
Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua aspek,
yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a)
sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan ratarata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota, baik propinsi dan kabupaten) terletak di kawasan
pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06 % pada tahun 1998
dan (d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara
langsung.
Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting karena (a)
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu sekitar 81.000 km
(13,9 % dari panjang pantai dunia) dan ; (b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah
perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk ZEEI; (c) Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan (d) Dalam wilayah tersebut
terkandung potensi kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya yang terdiri atas
potensi sumberdaya alam pulih (renewable resources) seperti perikanan, ekosistem mangrove,
ekosistem terumbu karang) maupun potensi sumberdaya alam tidak pulih (non renewable
resources) seperti migas, mineral atau bahan tambang lainnya serta jasa-jasa lingkungan
(environmental services), seperti pariwisata bahari, industri maritim dan jasa transportasi.
Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal pembangunan yang dapat dikelola
untuk menyediakan barang dan jasa (goods & services) bagi kemakmuran masyarakat dan
bangsa. Dilihat dari potensi dan kemungkinan pengembangannya, wilayah pesisir memiliki
peranan penting dalam pembangunan nasional, apalagi bangsa Indonesia saat sekarang
sedang mengalami krisis ekonomi. Peranan tersebut tidak hanya dalam penciptaan
pertumbuhan ekonomi (growth), tetapi juga dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat
9
(social welfare) dan pemerataan kesejahteraan (equity). Namun demikian, peranan tersebut
tidak akan tercapai dengan baik apabila mengabaikan aspek kelestarian lingkungan
(environmental sustainability) dan kesatuan bangsa (unity).
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan
usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Keadaan ini mempunyai imlikasi
yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, terutama di
Indonesia. Kondisi masyarakat pesisir itu menjadi sangat bergantung pada kondisi lingkungan
sekaligus sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, karena
limbah-limbah industri maupun domestik dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosialekonomi masyarakat pesisir.
b. Ketergantungan Pada Musim
Karakteristik lain yang sangat mencolok di kalangan masyarakat pesisir, terutama
masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada musim
ini akan semakin besar pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan, para nelayan akan
sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang
sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.
Keadaan ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
pantai secara umumdan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli barangbarang yang mahal pada musim tangkap. Namun pada musim peceklik, pendapatan mereka
drastis menurun sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk. Belum lagi ditambah pola
hidup mereka yang menerapakan prinsip ekonomi yang tidak hemat, artinya saat hasil
tangkap memuncak, mereka cenderung tidak menyimpan hasil untuk menutupi kekurangan
ekonomi di saat kegiatan tangkap menurun sehingga banyak dari nelayan-nelayan tersebut
yang harus meminjam uang bahakan menjual barang-barang mereka untuk memenuhi
kebutuhannya.
Secara umum, pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
suatu hari, mungkin nelayan memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari
berikutnya bisa saja kosong. Hasil tangkapan dan pada giliranya pendapatan nelayan juga
dipengaruhi oleh jumlah nelayan operasi penangkapan di suatu daerah penangkapan. Di
daerah yang padat penduduknya, akan mengalami kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini
mengakibatkan volume hasil tangkap dari para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada
10
Berdasarkan ekonomi dan penguasaan alat tangkap, yaitu jika dalam suatau
masyarakat terdapat perbedaan atau tidak ketidaksetaraan status ekonomi, pada masyarakat
nelayan umumnya terdapat tiga strata kelompok, yaitu :
1. Starata atas, yaitu mereka yang memiliki kapal motor lengkap dengan alat tangkapnya.
Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau modern. Biasanya mereka tidak
ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada orang lain. Buruh atau tenaga
kerja yang digunakan cukup banyak bisa sampai dua atau tiga puluhan. Seringkali
nelayan besar juga merangkap sebagai pedangang pengumpul. Namun demikian,
biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini
11
Stratifikasi karena perbedaan status politik (politically stratified), yaitu jika terdapat
ranking sosial berdasarkan otoritas, prestise, kehormatan dan gelar. Misalnya seseorang yang
memperoleh gelar sebagai kepala desa dan pemimpin-pemimpin desa memiliki strata yang
lebih tinggi dibandingkan dengan warga-warga biasa.
c.
laki seringkali telah dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anakanak nelayan banyak yang tidak sekolah.
f. Rentan Terhadap Pengaruh Eksternal
Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang
terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah
tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan. Ditinjau dari aspek kepemilikan,
wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering tidak
mempunyai kepemilikan yang jelas (open access), kecuali pada beberapa wilayah di Indonesia,
seperti Ambon dengan kelembagaan sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-awig dan
Sangihe Talaud dengan kelembagaan Maneeh.
Dengan karaktersitik yang khas dan open access tersebut, maka setiap pembangunan
wilayah dan pemanfaatan sumberdaya timbul konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan
sumberdaya serta sangat mudah terjadinya degradasi lingkungan dan problem eksternalitas.
Selain itu penumpukan limbah-limbah dari daratan seperti limbah industri dan limbah domestik
sangat mempengaruhi kondisi mereka. Penurunan kualitas perairan dapat menurunkan hasil
tangkap mereka sehingga pendapatan mereka pun merosot. Jika hal ini terjadi maka kondisi
ekonomi mereka akan semakin terpuruk.
g. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan dan Ilmu Pengetahuan
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum
tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan
terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan pokoknya.
Sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermata pencaharian di sektor
pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti nelayan, petani ikan
(budidaya
tambak
dan
laut),
Kemiskinan
masyarakat
nelayan
(problem
struktural),
penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagai contoh : Kecamatan Kepulauan
Seribu, Jakarta Utara dengan penduduk 17.991 jiwa, sekitar 71,64 % merupakan nelayan
(Tahun 2001).
Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Sebagai contoh : penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara (Tahun 2001) sekitar
13
70,10 % merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan sejalan dengan tingkat tersebut, fasilitas
pendidikan yang ada masih sangat terbatas.
Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan
nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka
menggunakan rasi bintang.
h. Memiliki Kepribadian Yang Keras, Tempramental dan Boros
Masyarakat nelayan akrab dengan ketidakpastian yang tinggi karena secara alamiah
sumberdaya perikanan bersifat invisible sehingga sulit untuk diprediksi. Sementara masyarakat
agraris misalnya memiliki ciri sumberdaya yang lebih pasti dan visible sehingga relatif lebih
mudah untuk diprediksi terkait dengan ekspetasi sosial ekonomi masyarakat. Dalam kondisi
seperti ini maka tidak jarang ditemui karakteristik masyarakat nelayan yang keras, sebagian
temparemental dan tidak jarang yang boros karena ada persepsi bahwa sumberdaya perikanan
tinggal diambil di laut.
i. Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat
Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut
memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau
sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya
terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya
untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada umumnya, nelayan
bergolong kasta rendah
14
perikanan rakyat Bugis, Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di
Indonesia.
Struktur inti dari kelompok organisasi ini ialah P.laut atau Juragan dan Sawi. P.Laut
berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-alat
produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan ketrampilan manajerial,
sementara para sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/produksi
semata.
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan
mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh
seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan
dan eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses
produksi di laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelolah perolehan pinjaman
modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut, membangun
jaringan pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata
tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin
pelayaran
dan
aktivitas
produksi
di
jumlahnya.
usaha
proses
yang
sedang
dinamika
ini
sebagian masih berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi
kelompok nelayan. Para juragan yang direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga
dengan istilah P.Caddi, sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik
dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-client
memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal,
sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja
keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat dipahami
sebagai modal sosial).
Gejala perubahan sruktural paling mencolok dan terasa ketika berlangsung adopsi
inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin, peningkatan volume perahu, beberapa jenis
alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk
merespon difusi
inovasi
teknologi
eksploitasi
dan
sarana
penggerak
tersebut,
para
kota besar, teurutama Makassar, dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam
masyarakat nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula
dipasarkan
tangkapan. Pola
ini
sekaligus
sudah
menjadi
norma
pemasaran
yang
mengakar. Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara
berangsur-angsur mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital para pengusaha
lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula mereka menuntut hasil tangkap dijual kepada
mereka, kemudian banyak menentukan spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga,
dan jika ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin)
ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawanya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai
peminjam
pada
posisi
tengah
(peranannya
Sawi (nelayan)
sebagai
menyerupai
penyewa
makelar),
atau
Keterlibatan
sementara
penyicil
dan
alat-alat
dominasi Bos
cenderung
membangun
kompetisi
dengan
dan mempersempit peluang usaha para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak lama.
Demikianlah tercipta suatu struktur kerjasama baru antara Bos dengan P.Laut/Juragan yang
secara langsung memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.
Sebetulnya, sejak awal tahun 1990-an sudah ada alternatif sumber pinjaman biaya
operasional dan biaya hidup keluarga nelayan pesisir dan pulau, yaitu para pengusaha kios
yang menjual berbagai kebutuhan pokok dan bahan pembuatan alat-alat penangkapan ikan.
Sebagian di antara pengusaha kios tersebut adalah keluarga P.Pulau juga.
Dengan adopsi inovasi teknologi tangkap dan perahu/kapal menjadi faktor terjadinya
perubahan aturan bagi hasil yang eksploitatif. Fenomena baru ini tidak dapat dihindari sebagai
16
dampak
dari
pergeseran
sistem
ekonomi
subsisten
ke
sistem
ekonomi
bagian
bagi
anak
buah justru
cenderung
merosot.
Alat-alat
produksi tentu saja jatuh ke tangan seorang pemilik. Diasumsikan bahwa perubahan struktural
ini sangat mempengaruhi meluasnya gejala kemiskinan di desa-desa nelayan hingga sekarang
ini.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep kelompok dicontohkan pada kelompok kekerabatan (keluarga inti, keluarga luas,
keluarga persepupuan, marga, dan lain-lain). Interaksi kontinyu yang menandai masyarakat
17
ialah sistem pergaulan dan hubungan kerja sama yang terus menerus menurut polar-polar
sosial budaya atau hubungan adat-istiadat yang dianut dalam berbagai bentuk kesatuan hidup
manusia tersebut.
Masyarakat maritime dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia berupa
kelompok-kelompok
kerja,
komunitas
sekampung,
kesatuan
suku
bangsa,
kesatuan
jumlah
unit
perahu
dan
alat-alat
produksi
yang
dikuasai
oleh
seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Dengan adopsi inovasi
teknologi tangkap dan perahu/kapal menjadi faktor terjadinya perubahan aturan bagi hasil yang
eksploitatif. Fenomena baru ini tidak dapat dihindari sebagai dampak dari pergeseran sistem
ekonomi subsisten ke sistem ekonomi kapitalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Himpunan Materi Kuliah WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM, Tim Pengajar WSBM
Universitas Hasanuddin
Anonim.2006.Dinamika Perubahan Sosial Maritim.http://www.crayonpedia.org.
Diakses Rabu 19 Maret 2014
18
19