Anda di halaman 1dari 9

 - INDAH MELATI SUCI (D081171009)

 -ZULFIKAR (D081171010)
 -ARI RAJOAN (D081171011)
 -RAHMAT ALFIAN (D081171012)
 -JUMAINI (D081171013)
 -AULIA CITRA .AS (D081171014)
 -NUR RACHMI (D081171015)
 Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas nelayan
Bugis, Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal
kelompok kerjasama nelaya yang dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi),
yang menurut keterangan dari setiap desa telah ada dan bertahan sejalk ratusan tahun
silam. Meskipun kelompok P-Sawi juga digunakan dalam kegiatan pertanian,
perdagangan di darat dan pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis dan
menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan rakyat Bugis,
Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.
 Strukturinti/elementer dari kelompok organisasi ini
ialah P.lautatau Juragan dan Sawi. P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas
produksi dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan
kelautan, pengetahuan dan ketrampilan manajerial, sementara para sawi hanya
memiliki pengetahuan kelautan dan ketrampilan kerja/produksi semata.
 Strukturinti/elementer dari kelompok organisasi ini
ialah P.lautatau Juragan dan Sawi. P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan
sebagai pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan
ketrampilan manajerial, sementara para sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan
ketrampilan kerja/produksi semata.
 Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami
perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh
seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan dan
eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses produksi di
laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelolaperolehan pinjaman modal dari
pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut, membangun jaringan
pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi
dalam kelompok kerja nelayan yang disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin pelayaran dan
aktivitas produksi di laut, P.Darat merekrut juragan-
juraganbaru untuk menggantikanposisinya dalam memimpin unit-unit usaha yang sedang
berkembang dan meningkat jumlahnya. Para P.Laut/Juragan dalam proses dinamika ini sebagian
masih berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok
nelayan. Para juragan yang direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan
istilahP.Caddi, sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.
 Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik dalam
bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-client
memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal,
sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja
keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat dipahami
sebagai modal sosial).
 Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi
inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan volume perahu,
beberapa jenis alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern
(penggunaan es balok). Untuk merespons difusiinovasi teknologi eksploitasi dan
sarana penggerak tersebut, paraP.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai
kemampuan modal terbatas terpaksa mengusahakan bagian besar dari modalnya ke
pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di kota-kota besar, teurutama
Makassar,dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam masyarakat nelayan
tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula dipasarkan
tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang mengakar. Cara
seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara berangsur-
angsur mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital para pengusaha lokal,
yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula mereka menuntut hasil tangkap dijual
kepada mereka, kemudian banyak menentukan spesis-spesis tangkapan nelayan dan
tingkat harga, dan jika ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam
bentuk perahu dan mesin) ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.
 Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan
istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai peminjam pada posisi tengah (peranannya
menyerupai makelar), sementara para P.Laut/Juragang danSawi (nelayan) sebagai
penyewa atau penyicil alat-alat
produksi sematadari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan
dominasi Bosdalam hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan
hubungan patron-client di antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah
menjadi hubungan eksploitatif, sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun
dan dimantapkan antara para P.Darat danBos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya relatif
masih mempertahankan hubungan harmonis yang terbangun sejak dahulu kala .
 Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang seringkali merugikan bagiP.Laut/Juragan, yang menyebabkan
mereka sulit meningkatkan penapatan dan bergeser naik ke status pemilik alat-alat
produksi/pengusaha, mendorong sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba menempuh cara
berisiko, yaitu meminjam modal langsung kepada Bos di Makasar. Hingga sekarang, tidak
sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu menjadi nelayan
pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung membangun kompetisi dengan
dan mempersempit peluang usaha para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak lama. Demikianlah
tercipta suatu struktur kerjasama baru antara Bos dengan P.Laut/Juraganyang secara langsung
memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.
Sebetulnya, sejak awal tahun 1990-an sudah ada alternatif sumber pinjaman biaya operasional dan biaya
hidup keluarga nelayanpesisir dan pulau, yaitu para pengusaha kios yang menjual berbagaikebutuhan
pokok dan bahan pembuatan alat-alat penangkapan ikan. Sebagian di antara pengusaha kios tersebut
adalah keluarga P.Pulau juga.
 Dengan adopsi inovasi teknologi tangkap dan perahu/kapalmenjadi faktor terjadinya perubahan
aturan bagi hasil yang eksploitatif.Fenomena baru ini tidak dapat dihindari sebagai dampak dari
pergeseran sistem ekonomi subsisten ke sistem ekonomi kapitalisme. Personifikasi
komponen produksi modern (perahu, mesin, pukat/jaring, kompresor dan lain-lain yang
dikembangkan dengan investasi modal besar) dalam sistem bagi hasil, karena
peranannya dianggap lebih vital daripada peranan setiap anggota/anak buah, maka bagian-bagian
hasil diperuntukkan bagi komponen alat produksi ini meningkat pesat. Sebaliknya, porsi bagian
bagianak buah justru cenderung merosot. Bagian-bagian komponen-komponen alat produksi tentu
saja jatuh ke tangan seorang pemilik. Diasumsikan bahwa perubahan struktural ini sangat
mempengaruhi meluasnya gejala kemiskinan di desa-desa nelayan hingga sekarang ini.
 Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan (P3TKP) merupakan salahsatu satuan kerja di
bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (BalitbangKP) yang bergerak di bidang
pengkajian dan perekayasaan teknologi kelautan dan perikanan. Lembaga ini menghasilkan teknologi kelautan dan
perikanan yang telah diaplikasikan di beberapa daerah pesisir di Indonesia.
 Zero Water Discharge

 Salahsatu teknologi yang telah diaplikasikan yaitu Zero Water Discharge (ZWD). Ini merupakan teknologi pengolahan
air yang dimanfaatkan untuk budidaya. Konsep teknologi ZWD mempunyai keunggulan diantaranya dapat
meminimalisasi penggunaan air tawar, optimalisasilahan sempit, menjaga kondisi sistem yang stabil, produktivitas
yang tinggi, dan mitigasi kerusakan lingkungan hidup.
 Teknologi ini sangat cocok untuk daerah yang mempunyai ketersediaan air tawar yang terbatas. Konsep ZWD dapat
meningkatkan produktivitas panen setiap periode. Dalam penerapannya, teknologi ini sudah diaplikasikan untuk
budidaya udang galah di Pamarican, Ciamis dan telah dirasakan manfaatnya.
 Menurut pembudidaya, hasil panen mempunyai kualitas yang baik dan warna udang yang dihasilkan cerah. Hal ini
dapat mempengaruhi nilai jual udang galah menjadi lebih menguntungkan. Produktivitas panen juga meningkat,per
periode panen yaitu 25 % pada panen pertama dan panen selanjutnya meningkat menjadi 37% dan 50%.
 Penerapan teknologi ini diaplikasikan pada 6 kolam pendederan udang galah ukuran 3 x 5 meter dan 2 buah kolam
ukuran 5 x 6 meter. Padat tebar tiap kolam adalah 150 ekor/m2 dengan lama pendederan sekitar 6 – 8 minggu per
periode panen. Komponen teknologi ZWD meliputi penyediaan bakteri nitrifikasi, penyediaan mikro alga chlorella,
pembuatan shelter loster bata dan karpet, persyaratan benur(tepat ukuran dan jumlah tebar), persyaratan pakan
(tepat jumlah, jenis dan waktu pemberian pakan), serta waktu pemeliharaan, cara, dan selang waktu penambahan air.
 Ice Maker

 Lalu ada pula teknologi ice maker yang merupakan teknologi penyedia es Kristal untuk masyarakat pesisir. Saat ini
teknologi ice maker sudah dimanfaatkan oleh pedagang kuliner di Pantai Pandansimo Baru Kabupaten
Bantul.Sebelum diterapkannya teknologi ice maker, pedagang kuliner di Pantai Pandansimo Baru jika ingin
membeli es harus membeli ke rumah penduduk yang berjualan es dengan menempuh jarak sekitar 1,5 Km dengan
harga Rp 600/kg. Hal ini dirasakan pedagang kuliner sangat tidak efisien karena harus bolak-balik membeli es
yang tentunya memerlukan tenaga dan biaya operasional tambahan. Dengan diterapkannya teknologi ice maker
dirasakan sangat membantu hasil dilapangan.Menurut para pedagang kuliner, lokasi ice maker sangat mudah
untuk dijangkau karena berada di lokasi Pantai Pandansimo Baru dengan jarak sekitar 75 m dari tempat usaha,
sehingga tidak mengeluarkan biaya tambahan untuk menuju ke lokasi pembeli an es. Harga yang ditawarkan juga
lebih murah yaitu Rp 400/kg dengan bentuk es yang dihasilkan dalam kondisi yang baik. Spesifikasi teknologi ice
maker yang diaplikasikan diantaranya yaitu produksi es kristal dapat dilakukan per 30 menit dengan hasil
produksi sekitar 10 kg. Produksi es kristal membutuhkan alat seperti pompa,filter I ( pasir dan mangan), filter II (
karbon aktif), tower (penampung) air, dan mesin ice maker. Komponen diatas merupakan alat pendukung untuk
mensuplai air bersih menuju ke alat ice maker yang merupakan proses akhir dari teknologi tersebut sehingga
menghasilkan es kristal.
 Reverse Osmosis

 Kemudian ada teknologi reverse osmosis. Ini merupakan teknologi yang menggunakan prinsip perbedaan tekanan
antar konsentrasi zat yang berbeda. Penerapan teknologi Reverse Osmosis (RO) di Indramayu Jawa Barat ditujukan
sebagai penyedia air siap minum untuk masyarakat nelayan disekitar pelabuhan Eretan Kulon Indramayu. Teknologi
ini menggunakan membrane semipermeable sebagai medianya. Dalam reverse osmosis, air dipaksa melawan sifat
alamiahnya sehingga mengalir dari larutan pekatmenuju larutan encer melalui membrane semipermeable. Tekanan
osmosis yang lebih besar daripada tekanan osmosis biasa diberikan dengan bantuan pompa sehingga air murni
akan mengalir melalui membrane berlawanan arah dengan osmosis (sumber:Tim Iptekmas P3TKP 2011).Teknologi
reverse osmosis dioperasikanselama 3 – 4 jam dengan kapasitas produksi500 liter/jam. Dengan menggunakan
teknolog ini dapat memproduksi air siap minum 2.000 liter atau kurang lebih 105 galon (ukuran 19 liter)
 Menurut van Kampen (1909), teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan di kalangan masyarakat nelayan
Nusantara pada umumnya terdiri atas: (1) net atau jaring. Nelayan di Sulawesi Selatan menyebutnya dengan istilah
panjak, gae, lanra, atau panambe; (2) pancing, yang di kalangan masyarakat nelayan di Sulawesi Selatan dibedakan
menjadi pancing labuh, pancing rintak, pancing tonda, dan pancing kedo-kedo', (3) perangkap, yang oleh masyarakat
nelayan di Sulawesi Selatan disebut dengan nama bubu, sero, dan belle'; (4) alat tusuk, yang oleh nelayan di Sulawesi
Selatan disebut sebagai tombak, pattek, dan ladung; dan (5) peralatan lainnya, misalnya adaiah bahan peledak dan
obat bius ikan. Jenis-jenis peralatan tangkap yang telah disebutkan oleh van Kampen masih dapat dilengkapi
dengan (6) linggis dan parang; (7) menangkap atau memungut ikan dengan tangan; dan akhir-akhir ini nelayan di
Sulawesi Selatan juga telah melengkapi peralatan tangkap mereka dengan (8) alat selam yang terdiri atas tabung
dan kompresor .
 Berbeda dari nefayan di Sulawesi Selatan, alat tangkap yang digunakan nelayan Jawa dan Madura terutama adalah
pukat, Mereka mengenal berbagai jenis pukat yang berbeda. Sebagai contoh adalah perahu payang yang
dilengkapi dengan tujuh jenis pukat, yaitu: pukat besar, peperek, krakat. arad, kopek, dedang, dan banton. Sebagian
besar dari jenis-jenis pukat tersebut masih digunakan oleh sebagian besar nelayan di Jawa dan Madura hingga
sekarang.
 Berdasarkan uraian dr atas dapat dinyatakan bahwa elemen tradisional masih bertahan dalam budaya kebaharian
pada berbagai masyarakat nelayan di Indonesia dewasa ini. Sistem pengetahuan, kepercayaan, pranata atau
lembaga, dan teknologi eksploitasi tradisionat tetap terpelihara dan berfungsi. Fenomena ini bisa ditunjukkan antara
lain pada komunitas nelayan Liang-liang di Pulau Sembilan dalam pengelolaan sumberdaya kawasan karang. Mereka
tetap mempertahankan lokasi-lokasi dan sarang-sarang ikan yang dimiliki sejak dahulu dan tetap menggunakan
pancing labuh. Meskipun dikelilingi oleh kelompok-kefompok nelayan pengguna bahan peledak dan bius serta para
pengusaha dan agen eksportir ikan dan lobster segar dan hidup, namun mereka tetap mempertahankan sistEM-
sistem tradisionalnya.

Anda mungkin juga menyukai