Anda di halaman 1dari 11

Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan masyarakat

maritim, cepat atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut


meliputi wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistem-sistem
budaya kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya
dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan tatanan inti
(struktur elementer) bertahan, yang  dalam banyak hal justru ditopang oleh atau menopang
proses dinamika itu sendiri. Proses dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi
situasi dan kondisi sosial ekonomi serta lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.

Dalam masyarakat maritim, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor dan
subsektor ekonomi kemaritiman baru yang memunculkan segmen-segmen atau kategori-
kategori sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan wisata,
marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor
ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen masyarakat maritim tersebut memerlukan dan
diikuti dengan perkembangan dan perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah dan
regulasinya. Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor
ekonomi kemaritiman lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak dalamperkembangan
dan perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural, dan sistem-sistem budaya
kemaritiman (pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma/aturan). Gambaran tentang
fenomena dinamika sosial budaya maritim berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan
Bugis, Bajo dan Makasar di Sulawesi Selatan (sumber data/informasidiperoleh dari berbagai
hasil penelitian lapangan).

PEMBAHASAN

Motorisasi Perahu/kapal Nelayan

Seperti halnya di berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya,


motorisasi perahu dan kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru
mulai di tahun-tahun 1970-an. Mula-mula hanya beberapa orang nelayan berstatus ponggawa
(pengusaha danpemilik ala-ala produksi) mampu mengkredit motor dari pengusaha besar di
kota Makasar (Bos dalam istilah lokal).
Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut

Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang membutuhkan
biaya operasioanl secara terus-menerus, maka ini harus difungsikan dengan penggunaan alat-
alat tangkap produktif. Di Sulawesi Selatan, di antara sekian banyak alat tangkap tradisional
yangmasih digunakan nelayan, terdapat beberapa di antaranya lebih berasosiasi dengan motor
seperti pukat gae (Bugis) atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang, pancing sunu
(p.kerapu), pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam), dan lain-lain. Trawl (pukat
harimau) termasuk alat tangkap baru dan modern yang kemudian dilarang dan memang tidak
pernah disukai oleh nelayan lapisan bawah karena merugikan mereka, merusak sumberdaya
dan ekologi. Alat-alat tangkap tradisional tersebut di atas kemudian menjadi lebih produktif
berkat dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi
motor dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan kontinyuitas teknologi
tangkap tradisional tersebut, jadi bukannya memusnahkannya.

Dinamika Struktural

Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas nelayan


Bugis, Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal kelompok kerjasama
nelaya yang dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi), yang menurut keterangan
dari setiap desa telah ada dan bertahan sejalk ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-
Sawijuga digunakan dalam kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan pengelolaan tambak,
namun kelompok ini lebih eksis dan menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan
perikanan rakyat Bugis, Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di
Indonesia.

Struktur inti/elementer dari kelompokorganisasi iniialah P.lautatau Juragan dan


Sawi. P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-
alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan ketrampilan
manajerial, sementara para sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan ketrampilan
kerja/produksi semata.

Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan
mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh
seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan
dan eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses
produksi di laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelolaperolehan pinjaman
modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut, membangun
jaringan pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada
strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk
memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di laut, P.Darat merekrut juragan-juraganbaru
untuk menggantikan posisinya dalam memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang
dan meningkat jumlahnya. Para P.Laut/Juragan dalam proses dinamika ini sebagian masih
berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan.
Para juragan yang direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan
istilahP.Caddi, sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.

Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi
baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-
client memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan
informal, sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan
kepatuhan, kerja keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-
lain (dapat dipahami sebagai modal sosial).

Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi
inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan volume perahu, beberapa
jenis alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk
meresponsdifusi inovasi teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut,
paraP.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa
mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di
kota-kota besar, teurutama Makassar,dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam
masyarakat nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula
dipasarkan tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang mengakar.
Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara berangsur-angsur
mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital para pengusaha lokal, yang lemah
dalam faktor modal. Mula-mula mereka menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka,
kemudian banyak menentukan spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika
ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin) ditarik
kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai
peminjam pada posisi tengah (peranannya menyerupai makelar), sementara para
P.Laut/Juragang danSawi (nelayan) sebagai penyewa atau penyicil alat-alat produksi
sematadari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bosdalam
hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di antara
P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan eksploitatif,
sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan dimantapkan antara para P.Darat
danBos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya relatif masih mempertahankan hubungan harmonis
yang terbangun sejak dahulu kala.

Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang seringkali merugikan bagiP.Laut/Juragan, yang


menyebabkan mereka sulit meningkatkan penapatan dan bergeser naik ke status pemilik alat-
alat produksi/pengusaha, mendorong sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba menempuh
cara berisiko, yaitu meminjam modal langsung kepada Bos di Makasar. Hingga sekarang,
tidak sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu menjadi
nelayan pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung membangun kompetisi dengan
dan mempersempit peluang usaha para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak lama.
Demikianlah tercipta suatu struktur kerjasama baru antara Bos dengan P.Laut/Juraganyang
secara langsung memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.

Pengembangan Budaya Maritim

Untuk sekedar menyegarkan pemahaman, sekali lagi diungkapkan bahwa kebudayaan


tidak lain dari dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kebudayaan atau dunia kehidupan
manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur umum (cultural universal), yakni
pengetahuan (cognitive/ideational/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi,
teknologi, kesenian, religi dan kepercayaan. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga
tingkatan wujud/rupa, yakni sistem budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma,
moral, perasaan, intuisi, dan lain-lain), sistem sosial (tindakan dan kehidupan kolektif), dan
sistem alat peralatan/teknologi. Sudah dijelaskan pula bahwa sistem budaya (terkristalisasi
menjadi sistem nilai budaya) merupakan pedoman/acuan (preference/dominant) bagi sistem
sosial dan sistem alat peralatan, sebaliknya sistem alat peralatan dan sistem sosial menjadi
prasyarat/penentu (determinant) terhadap sistem budaya. Adapun sistem sosial sendiri
merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya dan penerapan sistem alat
peralatan/teknologi.

Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem sosial
(berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan penggunaan alat peralatan),
maka dalam rangka pengembangan atau pembangunan kebudayaan maritim ke depan tentu
tepatnya dimulai dari sistem nilai budaya maritim itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem
nilai budaya maritim yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan
bermasyarakat dan teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan baik dalam konteks
kristalisasi nilai dan moral budaya maritim yang mengakar dan rekayasa baru individu atau
kelompok potensial dari segmen-segmen masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders).
Termasuk dalam segmen-segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa unsur-
unsur budaya maritim baru yang ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan akademisi, ahli
dan pemerhati lingkungan, praktisi pembangunan, tokoh agama, LSM, dan sebagainya.

Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar disajian
sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya maritim yang dianggap
potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke depan sebagai landasan bagi
pembangunan budaya maritim di Indonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur
nilai dan norma budaya positif yang mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar
dari berbagai suku bangsa (ethnic groups) yaitu : Komunalisme, Arif lingkungan, Religius,
Berkehidupan bersama/kolektivitas, Egalitarian, Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya,
Saling mempercayai,   Patuh/taat norma, Bertanggung jawab, Disiplin, Kreatif-inovatif,
Teguh pendirian, Kepetualangan, Berani menanggung risiko, Adaptif dan kompetitif,
Berwawasan kelautan dan kepulauan, Multikulturalis, Nasionalis, Berpandangan
dunia/keterbukaan

Tentang nilai-nilai budaya maritim tersebut, tidak diasumsikan dianut dan


diaplikasikan oleh kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada umumnya dan berlaku
pada semua periode waktu atau masa. Sebaliknya, keberadaan sebagian besar unsur nilai
budaya maritim tersebut bersifat kontekstual. Misalnya, keberanian dan kepetualangan,
keketatan organisasi kerjasama, etos ekonomi yang tinggi, wawasan kelautan,
multikulturalisme, nasionalisme, dan sikap keterbukaan, banyak dimiliki nelayan dan pelayar
Bugis dan Makassar dengan kelembagaan P-Sawi; sikap hemat/efisien dalam pemanfaatan
uang dimiliki kebanyakan dimiliki komunitas nelayan Dufadupa (Ternate) dengan
kelembagaan arisan, menabung, ke-Dibodibo-an; sikap tolong-menolong antaranggota
kelompok nelayan dari unit-unit usaha yang berbeda dimiliki komunitas nelayan Bonebone
(Baubau --Buton) dengan kelembagaan rektur Kuli Jala; sikap kebersamaan dengan dan
melestarikan lingkungan ekosistem dan sumberdaya perikanan laut, dan pemanfaatan hasil-
hasil secara bersama dan adil dimiliki oleh komunitas nelayan Maluku, Irian, dan Aceh
dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan Panglima Laut); dan lain-lain.

Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kemaritiman tersebut
tumbuh berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi dengan laut, pekerjaan
berat dan rumit, ancaman bahaya dan ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya
masyarakat pengguna sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya.

Problem  Sosial - Ekonomi Masyarakat Maritim

a) Eksploitasi Sumber Daya Laut

Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya


ikan dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat
sedang, 65% dieskploitasi pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan tidak
lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno, 2001). Intensifnya pemanfaatan
sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan permasalahan akut kelangkaan
sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah
pantai.

Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara


nasional, hasil pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat
Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara
penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di kawasan barat mendapat tekanan yang
paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan yang tinggi terjadi pada dekade
1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai lebih dari 10% per
tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri perikanan.
Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan purse-seine)
melahirkan berbagai konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan
Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan
data FAOSTAT (2005) pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per tahun selama
periode 1999-2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan
tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini
tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi
nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat
yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan
jika Béné dalam Jurnal World Development (2003) menyebut perikanan yang sedang
berjalan seirama dengan kemiskinan.

Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk


menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha
berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang,
pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di
beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke
dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of
urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali
pengelolaan perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah
memasang berbagai target pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti
produksi perikanan 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28
kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap PDB
3,1%. Prioritas pada pengelolaan tidak hanya bermakna menjaga keberlanjutan
perikanan laut yang menyumbang 75% total produksi perikanan nasional, tetapi juga
menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan yang segara langsung tergantung padanya.

b) Kemiskinan
Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan
kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan
mereka sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak ditunjukkan secara positif
dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling dominan yang dihadapi di
wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat mengenai
jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil
penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa pesisir.
Hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia
menunjukkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500
per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per kapita,
angka tersebut rata-rata setara dengan Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita per
bulan (Anon, 2002). Angka tersebut masih di bawah upah minimum regional yang
ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini perlu menjadi perhatian
mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka
kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena
penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun
penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan.
Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak
masih sering terjadi di wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang
dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan.
Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000
sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan
pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem
pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu
sendiri.

c) Faktor Penyebab
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang
berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang
kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat.Sebagai suatu
proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam
mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat
(Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah
pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya
belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan
tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.
Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi,
namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau
teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil
penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan
dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya, kehidupan
ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik perahu
atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu untuk
berlayar.

d) Konflik Antar Nelayan


Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002) mengidentifikasi
paling tidak terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor
penyebabnya.Pertama, konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial
nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground), yang mirip
dengan kategori gearwar conflict-nya Charles (2001). Ini terjadi karena nelayan
tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat
perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti, konflik yang terjadi akibat
beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah
penangkapan nelayan tradisional.
Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang
memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara nelayan
yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah
lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan
pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium,
dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).
Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan
fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini
juga bisa terjadi antara nelayan dengan pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan
dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh
Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conflict.
Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan
identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik di atas
menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe tersebut terjadi
baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Perebutan sumberdaya ikan yang
semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut
kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Banyak kepentingan
nelayan terkalahkan oleh kepentingan non nelayan karena nelayan tidak memiliki
organisasi dengan posisi tawar yang kuat. Di era otonomi daerah ini lebih-lebih
adanya kecenderungan Pemda mengejar kepentingan jangka pendek dengan
mengedepankan proyek-proyek yang quick yielding yang seringkali bersebarangan
dengan kepentingan nelayan, kehadiran organisasi nelayan yang solid menjadi kian
mendesak.
Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting dalam
mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada peningkatan
ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan.  Berbagai bentuk praktek penangkapan
ikan secara destruktif ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Ketika
nelayan dengan alat tangkap yang sangat terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan
yang secara minimal, maka dorongan untuk melakukan praktik penangkapan secara
destruktif menjadi besar. Akibatnya konflik orientasi pun sering terjadi. Tentu aspek
ekonomi ini juga mesti diiringi dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan
pengkayaan pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya laut yang
di beberapa tempat sudah mulai bergeser.

Solusi Alternatif ; Pemberdayaan Alternatif

Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang
berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat
tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak
program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan
masyarakat.   Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi
masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan
kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan
masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak
kelompok kehidupan masayarakat yaitu :  Masyarakat nelayan tangkap,  Masyarakat nelayan
pengumpul/bakul, Masayarakat nelayan buruh, dan Masyarakat nelayan tambak, masyarakat
nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.

Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan


khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka.Dengan demikian
program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa
dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara
satu daerah dengan daerah pesisir lainnya.  Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah
bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri
yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan yang mungkin
harus dijawab adalah:  Bagaimana memberdayakannya?

Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).  Pada intinya program ini dilakukan
melalui tiga pendekatan, yaitu: Kelembagaan, Pendampingan dan Dana Usaha Produktif
Bergulir.

DAFTAR PUSTAKA

Anonima. 2010. Perubahan Sosial Budaya. http://www.crayonpedia.org. Diakses pada hari


Minggu, 18 Maret 2012.

Anonimb. 2006. Dinamika Perubahan Sosial maritim.http://www.crayonpedia.org Diakses


Selasa 12 Maret 2012 pukul  20.15 Wita

Anonimc . 2009. Mengatasi Perubahan Sosial Budaya. http://reza-andi.blogspot.com. Diakses


pada tanggal 19 April 2012 pukul 20.00 WITA.

Martono, Nanang. 2011. Perubahan Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Tim Pengajar. 2011. Wawasan Ssosial Budaya Maritim. Universitas Hasanuddin. Makassar

Anda mungkin juga menyukai