Dalam masyarakat maritim, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor dan
subsektor ekonomi kemaritiman baru yang memunculkan segmen-segmen atau kategori-
kategori sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan wisata,
marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor
ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen masyarakat maritim tersebut memerlukan dan
diikuti dengan perkembangan dan perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah dan
regulasinya. Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor
ekonomi kemaritiman lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak dalamperkembangan
dan perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural, dan sistem-sistem budaya
kemaritiman (pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma/aturan). Gambaran tentang
fenomena dinamika sosial budaya maritim berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan
Bugis, Bajo dan Makasar di Sulawesi Selatan (sumber data/informasidiperoleh dari berbagai
hasil penelitian lapangan).
PEMBAHASAN
Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang membutuhkan
biaya operasioanl secara terus-menerus, maka ini harus difungsikan dengan penggunaan alat-
alat tangkap produktif. Di Sulawesi Selatan, di antara sekian banyak alat tangkap tradisional
yangmasih digunakan nelayan, terdapat beberapa di antaranya lebih berasosiasi dengan motor
seperti pukat gae (Bugis) atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang, pancing sunu
(p.kerapu), pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam), dan lain-lain. Trawl (pukat
harimau) termasuk alat tangkap baru dan modern yang kemudian dilarang dan memang tidak
pernah disukai oleh nelayan lapisan bawah karena merugikan mereka, merusak sumberdaya
dan ekologi. Alat-alat tangkap tradisional tersebut di atas kemudian menjadi lebih produktif
berkat dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi
motor dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan kontinyuitas teknologi
tangkap tradisional tersebut, jadi bukannya memusnahkannya.
Dinamika Struktural
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan
mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh
seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan
dan eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses
produksi di laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelolaperolehan pinjaman
modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut, membangun
jaringan pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada
strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk
memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di laut, P.Darat merekrut juragan-juraganbaru
untuk menggantikan posisinya dalam memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang
dan meningkat jumlahnya. Para P.Laut/Juragan dalam proses dinamika ini sebagian masih
berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan.
Para juragan yang direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan
istilahP.Caddi, sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi
baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-
client memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan
informal, sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan
kepatuhan, kerja keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-
lain (dapat dipahami sebagai modal sosial).
Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi
inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan volume perahu, beberapa
jenis alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk
meresponsdifusi inovasi teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut,
paraP.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa
mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di
kota-kota besar, teurutama Makassar,dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam
masyarakat nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula
dipasarkan tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang mengakar.
Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara berangsur-angsur
mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital para pengusaha lokal, yang lemah
dalam faktor modal. Mula-mula mereka menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka,
kemudian banyak menentukan spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika
ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin) ditarik
kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai
peminjam pada posisi tengah (peranannya menyerupai makelar), sementara para
P.Laut/Juragang danSawi (nelayan) sebagai penyewa atau penyicil alat-alat produksi
sematadari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bosdalam
hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di antara
P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan eksploitatif,
sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan dimantapkan antara para P.Darat
danBos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya relatif masih mempertahankan hubungan harmonis
yang terbangun sejak dahulu kala.
Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem sosial
(berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan penggunaan alat peralatan),
maka dalam rangka pengembangan atau pembangunan kebudayaan maritim ke depan tentu
tepatnya dimulai dari sistem nilai budaya maritim itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem
nilai budaya maritim yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan
bermasyarakat dan teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan baik dalam konteks
kristalisasi nilai dan moral budaya maritim yang mengakar dan rekayasa baru individu atau
kelompok potensial dari segmen-segmen masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders).
Termasuk dalam segmen-segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa unsur-
unsur budaya maritim baru yang ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan akademisi, ahli
dan pemerhati lingkungan, praktisi pembangunan, tokoh agama, LSM, dan sebagainya.
Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar disajian
sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya maritim yang dianggap
potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke depan sebagai landasan bagi
pembangunan budaya maritim di Indonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur
nilai dan norma budaya positif yang mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar
dari berbagai suku bangsa (ethnic groups) yaitu : Komunalisme, Arif lingkungan, Religius,
Berkehidupan bersama/kolektivitas, Egalitarian, Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya,
Saling mempercayai, Patuh/taat norma, Bertanggung jawab, Disiplin, Kreatif-inovatif,
Teguh pendirian, Kepetualangan, Berani menanggung risiko, Adaptif dan kompetitif,
Berwawasan kelautan dan kepulauan, Multikulturalis, Nasionalis, Berpandangan
dunia/keterbukaan
Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kemaritiman tersebut
tumbuh berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi dengan laut, pekerjaan
berat dan rumit, ancaman bahaya dan ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya
masyarakat pengguna sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya.
b) Kemiskinan
Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan
kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan
mereka sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak ditunjukkan secara positif
dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling dominan yang dihadapi di
wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat mengenai
jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil
penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa pesisir.
Hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia
menunjukkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500
per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per kapita,
angka tersebut rata-rata setara dengan Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita per
bulan (Anon, 2002). Angka tersebut masih di bawah upah minimum regional yang
ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini perlu menjadi perhatian
mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka
kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena
penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun
penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan.
Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak
masih sering terjadi di wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang
dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan.
Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000
sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan
pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem
pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu
sendiri.
c) Faktor Penyebab
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang
berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang
kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat.Sebagai suatu
proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam
mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat
(Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah
pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya
belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan
tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.
Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi,
namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau
teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil
penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan
dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya, kehidupan
ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik perahu
atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu untuk
berlayar.
Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang
berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat
tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak
program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan
masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi
masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan
kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan
masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak
kelompok kehidupan masayarakat yaitu : Masyarakat nelayan tangkap, Masyarakat nelayan
pengumpul/bakul, Masayarakat nelayan buruh, dan Masyarakat nelayan tambak, masyarakat
nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.
Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada intinya program ini dilakukan
melalui tiga pendekatan, yaitu: Kelembagaan, Pendampingan dan Dana Usaha Produktif
Bergulir.
DAFTAR PUSTAKA