Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nelayan adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut. Di

Indonesia para nelayan biasanya bermukin di daerah pinggir pantai atau pesisir

laut. Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil

laut dan tinggal didesa-desa atau pesisir (Sastrawidjaya. 2002).

Nelayan di Indonesia termasuk dalam kategori masyarakat miskin karena

pendapatan (income) nya lebih kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi

kebutuhan hidup keluarga dan diri nya dalam kurun waktu tertentu. Sejauh ini

pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal

ikan komersial/modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1

juta/bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu.

Kemiskinan nelayan salah satunya juga diakibatkan sistem bagi hasil

sesuai aturan lokal dan kebiasaan masyarakat setempat yang telah mengakar

sangat kuat dalam kehidupan masyarakat perikanan diberbagai daerah dan

menjadi nilai sosial budaya.

Dengan adanya kasus inilah yang mendorong Pemerintah pada awal

tahun 1960-an mengambil inisiatif mendorong lahirnya Undang – undang Bagi

Hasil Perikanan (UUBHP), UUBHP tersebut kemudian ditetapkan menjadi UU

Nomor 16 tahun 1964. UUBHP mengatur tentang perjanjian bagi hasil yang

diadakan dalam usaha penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan dan

pemilik kapal/perahu atau pemilik tambak dengan pengarap tambak. Tujuannya

adalah untuk meningkatkan taraf hidup nelayan dan penggarap tambak serta

untuk meningkatkan produksi ikan, menghilangkan eksploitasi, dan menciptakan

keadilan. UUBHP mengusung nilai – nilai kebersamaan dan keadilan.


Fakta lain menunjukkan bahwa meskipun UUBHP sudah ditetapkan sejak

tanggal 23 September 1964 sebagai aturan formal yang mengatur penerapan

sistem bagi hasil untuk usaha perikanan tangkap dan usaha perikanan tambak

namun ternyata belum diketahui keberadaannya oleh sebagian besar

masyarakat perikanan maupun aparat pemerintah yang mengurus masalah

perikanan.

Kondisi ini secara teoritis dapat dilihat dalam perspektif kemiskinan

secara struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh

suatu golongan yang “build in” atau menjadi bagian yang seolah – olah tetap

dalam struktur suatu masyrakat. Dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu

golongan sosial yang menderita kekurangan – kekurangan fasilitas, modal, sikap

mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan

kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita kemiskinan

struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Dalam golongan ini banyak

terdapat orang – orang yang tidak mungkin hidup sejahtera hanya dari

penghasilan kerjanya, akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidupnya

terbelit hutang yang tak kunjung lunas yang mengakibatkan mereka

ketergantungan dan menyetujui aturan sistem bagi hasil lokal yang ditetapkan

oleh punggawa mereka.

Berdasarkan Uraian diatas penulis mengangkat topik “ Studi Sistem Bagi

Hasil dalam Dimensi Sosial Ekonomi Berbagai Alat Tangkap di Desa

Tamasaju, Kec. Galesong Utara, Kab. Takalar “

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan maka yang menjadi

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Bagaimana pendapatan dan sistem bagi hasil berbagai alat tangkap

kelompok nelayan di Desa Tamasaju ?

2. Bagaimana pola hubungan kerja ponggawa-sawi dalam dimensi sosial

ekonomi di Desa Tamasaju ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan berdasarkan rumusan masalah dan uraian – uraian di atas,

maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.

1. Mengetahui pendapatan dan sistem bagi hasil bebagai alat tangkap

kelompok nelayan di Desa Tamasaju.

2. Mengetahui pola hubungan kerja ponggawa-sawi dalam dimensi sosial

ekonomi di Desa Tamasaju.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak – pihak yang

membutuhkan. Antara lain :

1. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah sebagai pertimbangan agar

mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang dapat meningkatkan taraf hidup

nelayan, salah satunya kelompok nelayan Ponggawa-sawi.

2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti yang berminat mengadakan penelitian

selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Usaha Perikanan Tangkap

Pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut (tangkap),

sampai saat ini masih didominasi oleh usaha perikanan rakyat yang umumnya

memiliki karakteristik; skala usaha kecil, aplikasi teknologi yang sederhana,

jangkauan operasi penangkapan yang terbatas di sekitar pantai dan produktivitas

yang relatif masih rendah. Produktivitas nelayan yang rendah umumnya

disebabkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan

alat penangkapan maupun perahu yang masih sederhana, sehingga efektifitas

dan efisiensi alat tangkap dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya belum

optimal. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima

oleh nelayan dan akhirnya berpengaruh juga pada tingkat kesejahteraannya.

Agar pemanfaatan sumberdaya ikan dengan alat tangkap memperoleh hasil

yang optimum, maka perlu diperhatikan beberapa aspek, seperti aspek biologi,

teknis maupun ekonomi. Aspek biologi terkait dengan sumberdaya ikan,

termasuk factor lingkungan. Aspek teknis menyangkut peralatan dan teknologi

untuk memanfaatkan sumberdaya ikan, berupa alat tangkap, armada

penangkapan, alat pendeteksi ikan dan sarana penangkapan lain, sedangkan

aspek ekonomi menyangkut modal yang dikeluarkan dalam upaya

pengembangan perikanan tersebut (Kurniawati, 2005).

Alat tangkap adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya

yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Berbagai macam kepentingan yang

dapat “hidup” dan berkembang karena adanya alat penangkap ikan yang

diperankan oleh para nelayan di seluruh dunia adalah aspek ketenaga-kerjaan,

aspek ekonomi, aspek perdagangan/komersial, aspek sosial dan organisasi,

aspek pertahanan dan keamanan Negara, aspek kesehatan.


B. Nelayan

Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang menggantungkan kebutuhan

hidupnya di laut. mereka bermata pencaharian dengan memanen hasil laut,

seperti ikan,taripang, atau lainnya.untuk kegiatan itu,mereka menggunakan

berbagai cara.

Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang hidupnya tergantung

langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun

budidaya.mereka pada umum tinggal di pinggir pantai, sebuah permukiman yang

sangat di lakukan untuk orang-orang sedang menangkap ikan di laut, dan yang

harus dilakukan dengan mereka sangat melakukan tangkap ikan di laut,

Nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa

kelompok untuk melakukan penangkapan ikan di laut dan rumput laut, nelayan

dapat untuk melakukan dan menggunakan tangkap ikan. nelayan buruh, nelayan

juragan, dan nelayan perorangan. yang hanya dapat di gunakan untuk dapat

melakukan penangkapan ikan di laut, nelayan yang hanya menggunakan jaring

yang sedang menangkap ikan di laut, dan mereka dan dekat dengan lokasi

kegiatannya.dari segi mata pencahariannya nelayan adalah mereka yang segala

aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut.

Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap orang lain,

dan sebaliknya, meskipun pekerjaan nelayan adalah pekerjaan berat namun

pada umumnya mereka hanya memiliki ketrampilan sederhana. Kebanyakan

mereka bekerja sebagai nelayan adalah profesi yang di turunkan oleh orang tua.

Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang

dioperasikan oleh orang lain.

Perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan dan melakukan tangkap

ikan di laut dan sendiri dan dalam itu untuk pengoperasikannya tidak melibatkan

orang lain.
Masyarakat nelayan yang hanya berpendidikan rendah, tentunya pilihan

pekerjaannyan menjadi nelayan buruh, rendahnya pendidikan dan terbatasnya

kemampuan masyarakat nelayan dalam menggunakan teknologi alat tangkap

menjadikan masyarakat nelayan identik dengan masyarakat untuk mampu

menjadikan tangkap ikan di laut.

Nelayan orang yang melakukan penangkapan (budidaya) di laut dan di

tempat yang masih dipengaruhi pasang surut Jadi bila ada yang menangkap ikan

di tempat budidaya ikan seperti tambak, kolam ikan, danau, sungai tidak

termasuk nelayan. Penangkapan ikan dan pengumpulan hasil laut lainnya

merupakan mata pencaharian pokok nelayan.

Pada dasarnya penangkapan ikan yang di lakukan nelayan secara teknis

ekonomis merupakan suatu proses produksi yang bersifat ekstraktif, yakni

mengambil hasil alam tanpa mengambalikan sebagian hasilnya untuk keperluan

di kemudian hari.

C. Hubungan Ponggawa - Sawi

1. Aspek Sosial

Ponggowa-Sawi adalah pola kerjasama masyarakat nelayan yang ada di

Sulawesi Selatan. Pola tersebut telah melembaga dan merupakan organisasi

sosial masyarakat yang telah ada sejak dahulu. Menurut Mukhlis (1985) adanya

kelompok sosial tersebut sangat besar peranannya bagi masyarakat kawasan,

dimana ponggawa merupakan jalur perolehan modal dan pemasaran. Bagi

masyarakat kepulauan, para ponggawa sebagai satu – satunya pemodal yang

bisa diakses.

Organisasi Ponggawa – sawi yang terdapat dimasyarakat Sulawesi Selatan,

tata hubungan ponggawa – sawi mengacu pada tradisi dasar hubungan sosial

ekonomi menjadi hutang budi. Dengan demikian prinsip resiprositas masih


dipegang, yang memandang bahwa pemberian tidak akan ternilai dengan uang

melainkan dengan memberikan suatu barang walaupun dalam bentuk berlainan.

Faktor atau motif yang mendorong seorang nelayan mencari ponggawa ada

hasrat untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa alasan seorang nelayan memilih pekerjaannya karena ikut

orang tua atau kerabat atau tidak adanya keterampilan lain, sedangkan alasan

ponggawa melakoni pekerjaannya karena memberikan penghasilan yang besar

(Iwan,2005).

Hubungan ponggawa-sawi mengandung interaksi yang saling

menguntungkan dan keduanya saling membutuhkan. Ponggawa membutuhkan

hasil tangkapan yang dapat dijual, sedangkan sawi butuh modal. Kebutuhan

ponggawa akan tenaga kerja diperoleh dari sawi, sebaliknya kebutuhan sawi

akan pekerjaan diperoleh dari ponggawa. Keduanya terpaut dalam suatu sistem

hubungan yang dilakukan berdasarkan fungsi dan peranannya masing – masing

dalam rangka memperoleh hasil tangkapan.

Dalam perekrutan anggota biasanya dilakukan dalam lingkungan keluarga,

misalnya anggota yang telah berpengalaman dijadikan juragan sedangkan

anggota keluarga yang belum berpengalaman dan masih betul – betul baru

biasanya dijadikan sawi dan terkadang pula ada orang lain yang datang sendiri

kepada ponggawa untuk meminta menjadi sawi (Bachtiar , 1997).

Riyanto (2003) menggambarkan terjadinya hubungan kerja sama setelah

adanya perjanjian kerja antara ponggawa dan sawi. Suatu perjanjian dimana

pihak sawi mengikatkan diri untuk bekerja pada ponggawa dengan kesepakatan

– kesepakatan yang tertentu yang telah disetujui bersama. Oleh karena itu

sangat jelas, hubungan tersebut berasaskan kekeluargaan, kepentingan

bersama, kepercayaan, serta asas saling menghormati.


2. Aspek Ekonomi

Banyak nelayan yang terdesak kebutuhannya akan uang tunai datang

kepada ponggawa, hal ini menjadi sebab nelayan bergantung kepada ponggawa.

Meski menurut Soekartawi (2002), proses terjadinya hubungan kerjasama antara

ponggawa dengan sawi dapat berbeda – beda tergantung kepada pihak yang

mengadakan hubungan tersebut. Menurut Rehang (1991) kepribadian

kharismatik bukan lagi pertimbangan utama pemilihan nelayan bagi seorang

ponggawa karena lebih banyak dipengaruhi oleh aspek ekonomi. Dahulu nelayan

yang mendatangi ponggawa, tetapi kondisi kemudian menunjukkan bahwa

sekarang ini ponggawa yang mencari nelayan anggota.

Hubungan yang terjadi antara ponggawa-sawi merupakan tata hubungan

sosial ekonomi yang menjadi hutang budi. Sistem tradisi ini cukup mempunyai

peranan dalam pelestarian kehidupan nelayan dengan segala kelebihan dan

kekurangannya, jika dipandang dari segi pemerataan menurut sistem ekonomi

modern. Dengan demikian ponggawa merupakan patron dan sawi adalah

kliennya. Para sawi memandang ponggawa sebagai penyelamat, pelindung, dan

pemimpin yang mengayomi kehidupan mereka. (Riyanto, 2003).

D. Sistem Aturan Bagi Hasil

Sistem bagi hasil berdasarkan nilai investasi yang ditanam pada

pemanfaatan sumberdaya laut sebenarnya belum dikenal pada masyarakat yang

menganut pemikiran komunal. Sistem bagi hasil tangkapan yang

mempertimbangkan aset produksi dengan orang yang bekerja dalam proses

produksi mulai dikenal setelah mata pencaharian berkembang dan mengakui

adanya hak milik perorangan, serta mempertimbangkan investasi perorangan

dalam usaha penangkapan ikan (Wahyono, 2003).


Pada umumnya, model relasi antara pemilik modal dan buruh nelayan yang

saling menguntungkan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap

komunitas nelayan yang terkait dalam kepentingan ekonomi yang berlangsung

selama ini, bergerak dalam bentuk saling menguntungkan antara kedua belah

pihak, meskipun dalam kenyataannya di berbagai komunitas nelayan

memperlihatkan bahwa pihak anak buah (ABK) berada pada posisi yang kurang

menguntungkan. Hal ini terjadi karena pendapatan dari ABK sangat kecil

(Mulyadi, 2005).

Pola bagi hasil yang di kembangkan oleh masyarakat nelayan itu bertujuan

untuk mengurangi resiko. Adapun pola bagi hasil bagi komunitas nelayan

penangkapan adalah 50%-50% separuh untuk ponggawa dan separh untuk

nelayan (sawi) setelah biaya-biaya keluar. Bagian untuk nelayan bisa dibagi rata

atau perbedaan sedikit besarnya porsi menurut keterampilan dan karakter

perorangan. Juragan tertentu selalu memperoleh lebih besar dari pada yang

lainnya. Jika bagian untuk nelayan/anggota (termasuk juragan) memang merata,

maka pemilik atas nama usaha memberikan bonus kepada juragan sebagai

tambahan, ini berlaku untuk berbagai jenis usaha besar (ditandai dengan sarana

tangkap yang digunakan).

Menurut Arief (2005) sistem bag hasil dalam lembaga sosial ponggawa-sawi

menerapkan sistem bag tiga, yaitu satu bagian pemilik perahu (33,35%), satu

bagian pemilik alat tangkap (33,35%), semuanya dimiliki oleh ponggawa

sehingga jika dikomulatifkan bagian ponggawa menjadi 66,7% dan satu bagian

tenaga operasional (sawi) sebanyak 33,3% yang dibagi dengan delapan orang

(masing – masing mendapat 3,03%. Selanjutnya ponggawa mengeluarkan

sebanyak 6.06% dari bagiannya sebagai bonus kepada juragan (satu bagian

sawi = 3,03%) sawi pakkaca (setengah bagian sawi = 11,51%) dan Pa’bas

(setengah bagian sawi = 1,511%).


E. Pembagian Hasil Usaha Menurut UUBHP No. 16 Tahun 1964

Untuk mencapai tujuan secara konsideran dengan nilai kebersamaan dan

keadilan yang menjadi landasan filosopis dan sosiologis UUBHP ini, maka

terdapat banyak pasal – pasal yang mengandung norma operasional yang

mencerminkan tujuan dan prinsip tersebut. Beberapa diantaranya akan

dielaborasi berikut ini.

Pasal 2 mengatur perjanjian bagi hasil baik dalam usaha perikanan laut

maupun dalam perikanan darat harus diselenggarakan berdasarkan kepentingan

bersama nelayan pemilik ( juragan ) dengan nelayan penggarap, atau antara

pemilik tambak dengan penggarap tambak yang bersangkutan, sehingga mereka

masing – masing menerima bagian dari hasil usaha itu sesuai dengan jasa yang

diberikannya.

Perjanjian bagi hasil yang diadakan dalam usaha penangkapan atau

pemeliharaan ikan antara nelayan pemilik dan nelayan penggarap atau pemilik

tambak dan pengarap tambak ditetapkan dalam perjanjian bagi hasil dengan

ketentuan sebagai berikut [Pasal 3):

Perikanan laut. Nelayan akan mendapatkan porsi bagi hasil sebesar

minimum 75 % (tujuh puluh lima perseratus] dari hasil bersih apabila

menggunakan perahu layar. Sedang iika dipergunakan kapal motor. maka

nelayan memperoleh minimum 40 dari hasil bersih.

Perikanan Darat. Jika mengenai hasil ikan pemeliharaan. maka penggarap

mendapatkan porsi minimum 40 % dari hasil bersih. Sedang jika mengenai ikan

liar minimum 60 % dari hasil kotor.

Pembagian tersebut dilakukan setelah dikurangi dengan beban-beban

yang terdiri atas beban yang menjadi tanggungan penggarap tambak. seperti

biaya untuk menyelenggarakan pekerjaan sehari-hari yang berhubungan dengan

pemeliharaan ikan di dalam tambak dan penangkapannya pada waktu panen


(Pasal 4) . Tetapi apabila menurut kebiasaan setempat telah diatur pembagian

beban-beban yang lebih menguntungkan nelayan penggarap atau penggarap

tambak maka aturan menurut kebiasaan setempat itulah yang diterapkan (Pasal

5).

Selaniutnya dalam UU tersebut iuga dijelaskan pengertian mengenai hasil

bersih. Hasil bersih adalah penerimaan total setelah dikurangi dengan beban

usaha perikanan. Dalam usaha penangkapan, beban usaha dibagi menjadi dua.

yaitu pertama. beban yang menjadi tanggungan bersama nelayan pemilik dan

nelayan penggarap, yang meliputi ongkos lelang. uang rokok/jajan. dan biaya

perbekalan untuk nelayan penggarap selama di laut. biaya untuk sedekah laut

serta iuran-iuran yang disahkan oleh Pemerintah Daerah seperti untuk koperasi,

dan pembangunan perahu/kapal, dana kesejahteraan, dana kematian dan lain-

lainnya. Kedua. beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik. yang

meliputi ongkos pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta alat-alat lain

yang dipergunakan, penyusutan dan biaya eksploitasi usaha penangkapan

seperti pembelian solar, minyak, es dan lain sebagainya.

Sedang dalam usaha perikanan darat beban usaha dibagi menjadi tiga.

Pertama, beban yang menjadi tanggungan bersama pemilik tambak dan

penggarap tambak yang meliputi uang pembelian benih ikan pemeliharaan, biaya

pengedukan saluran (caren), biaya-biaya untuk pemupukan tambak dan

perawatan pintu air dan saluran yang mengairi tambak yang diusahakan. Kedua,

beban yang menjadi tanggungan pemilik tambak yang meliputi disediakannya

tambak dengan pintu air dalam keadaan yang mencukupi kebutuhan, biaya untuk

memperbaiki dan mengganti pintu air yang tidak dapat dipakai lagi serta

pembayaran pajak tanah tambak. Ketiga, beban yang menjadi tanggungan

penggarap tambak. yang meliputi biaya untuk menyelenggarakan pekerjaan


sehari-hari yang berhubungan dengan pemeliharaan ikan ditambak. dan

penangkapannya pada waktu panen.

F. Kerangka Pikir

Dalam hubungan ponggawa-sawi dikenal dengan kelompok – kelompok

nelayan yang dikendalikan oleh seorang punggawa. Kerjasama antara

ponggawa dan nelayan ( sawi ) telah berlangsung cukup lama sejak kegiatan

penangkapan berlangsung. Bahkan dapat dikatakan seumur dengan kehidupan

masyarakat pesisir. Keberadaan lembaga ponggawa-sawi sangat terkait dengan

kegiatan usaha perikanan tangkap, yang fungsi dan peranannya harus

berkembang sesuai dengan perkembangan jenis dan kebutuhan penangkapan.

Pola hubungan kerja sama yang terjalin menunjukkan bahwa masing –

masing pihak saling mendukung dan melengkapi dalam aktivitasnya. Operasional

penangkapan. Keterampilan dan pengetahuan menangkap oleh nelayan dibantu

oleh ponggawa dengan pemenuhan berbagai kebutuhan nelayan.

Peranan ponggawa menyediakan sarana penangkapan seperti perahu,

mesin, alat tangkap, selain itu ponggawa bertanggung jawab dengan kebutuhan

sehari – hari nelayannya atau memberikan pinjaman kepada sawinya.

Pembagian hasil dilakukan setelah satu siklus penangkapan, sistem bagi hasil

yang diterapkan oleh ponggawa ada yang bagi 2 yaitu 1 bagian untuk ponggawa,

1 bagian untuk sawi dan bagi 3 yaitu 1 bagian untuk kapal/alat tangkap, 1 bagian

untuk mesin, dan 1 bagian untuk sawi yang dibagi sesuai dengan jumlah sawi.

Pembagian ini dilakukan setelah perongkosan keluar semua. Hubungan ini terus

berlangsung hingga nelayan tersebut tidak lagi bekerja pada ponggawanya atau

hutang yang mereka punya lunas.


KERANGKA PIKIR

Usaha Perikanan Tangkap

Kelompok Nelayan

Ponggawa Sawi

Aspek Sosial Dalam Hubungan Kerja Aspek Ekonomi Dalam Hubungan


: Kerja :
1. Perekrutan Sawi Oleh Ponggawa 1. Sistem Bagi Hasil
2. Hubungan Kerja Dalam Kegiatan 2. Sumber Pendapatan
Penangkapan.

Kesejahteraan Masyarakat
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2018 di

Desa Tamasaju Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Lokasi ini dipilih

secara sengaja ( purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut

penduduknya sebagian besar nelayan dan ada hubungan kerja sosial ekonomi

antara ponggawa dan sawi yang menimbulkan aturan sistem bagi hasil.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan deskriptif

kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menggali

informasi secara mendalam, sehingga sangat baik untuk memperoleh data guna

mencapai tujuan dari penelitian ini dan pendekatan kuantitatif digunakan untuk

mengetahui pembagian atau sistem bagi hasil antara ponggawa dan sawi.

C. Teknik Pangambilan Data

Data hasil peneilitian diperoleh dengan tahapan sebagai berikut :

a. Studi pustaka yaitu mengumpulkan data dengan membaca literatur –

literatur, studi dokumentasi atau hasil – hasil penelitian yang dianggap

relevan dengan tema penelitian.

b. Pengamatan ( observation )

Pengamatan dilakukan dengan pengamatan biasa yang dimana data

dikumpulkan atau diamati tanpa keterlibatan secara langsung. Jenis data yang

diperoleh dengan cara ini adalah antara lain, keadaan permukiman penduduk,

jenis peralatan dalam aktifitas usaha, pola aktifitas dan kegiatan sehari – hari

penduduk.
c. Wawancara

Wancara dilakukan melalui sejumlah pertemuan dengan informan yang

didalamnya belangsung tanya jawab dan pembicaraan terlibat mengenai aspek

permasalahan yang akan dicari dalam penelitian.

d. Merancang Kuisioner

Merancang kuisioner sebagai panduan dalam melakukan wawancara

untuk mendapatkan informasi dari responden.

D. Populasi dan Pengumpulan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah nelayan (sawi) dan ponggawa yang

ada di Desa Tamasaju. Pemngambilan sampel dilakukan dengan menggunakan

metode Cluster Random Sampling yaitu dengan mengelompokkan sampel dalam

kelompok ponggawa dan nelayan (sawi) (Nasir, 2003).

E. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dilapangan melalui

observasi dan wawancara mendalam dengan resonden.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kantor Desa/instansi

pemerintah dan kepustakaan yang terkait penelitian.

F. Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk menjawab permasalahan agar tujuan

yang ditentukan dapat tercapai yaitu di analisis secara deskriptif kualitatif dan

kuantitatif ( Usman, 2009). Analisis kualitatif dilakukan untuk menggali informasi

mendalam mengenai aspek sosial berupa gambaran mengenai pola perekrutan

nelayan ( sawi ) dan ponggawa, bentuk – bentuk kerja sama antara ponggawa

dan nelayan (sawi) dalam kegiatan penangkapan dan analisis kuantitatif


dilakukan untuk mengetahui seberapa besar bagian yang diperoleh oleh

ponggawa dan sawi. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut :

π=TR−TC

π = Keuntungan

TR = Total Reveneu (Pemasukan)

TC = Total Cost (Pengeluaran)

G. Konsep Operasional

1. Hubungan Kerja adalah jalinan kerja sama antara ponggawa dan sawi yang

didalamnya terkandung maksud saling membantu sehingga kedua belah

pihak dapat memperoleh manfaat sesuai peranannya.

2. Ponggawa adalah orang yang mempunyai modal untuk melaut termasuk alat

tangkap, kapal, dan mesin yang mempekerjakan sawi sebagai tenaga

kerjanya.

3. Sawi adalah tenaga kerja dari kegiatan penangkapan dan mempunyai

hubungan kerja dengan ponggawa dalam kegiatannya.

4. Sistem bagi hasil adalah hasil bagi antara ponggawa dan nelayan yang

diperoleh setiap selesai dalam satu siklus penangkapan.

5. Nelayan Tangkap adalah Suatu Kelompok yang melakukan kegiatan

penangkapan ikan dilaut dalam jangka waktu tertentu.

6. Rekrutmen adalah proses mencari, menemukan dan menarik para sawi

untuk dipekerjakan pada proses kegiatan penangkapan.

Anda mungkin juga menyukai