Anda di halaman 1dari 27

Page | 1

Tugas : Laporan Hasil Penelitian


Mata Kuliah : Metode Penelitian Antropologi



PACATA SEBAGAI TULANG PUNGGUNG MANAJEMEN
NELAYAN PUNGGAWA DAN SAWI
(Di TPI LAPPA Kabupaten Sinjai, Kecamatan sinjai Utara, Desa Lappa)











OLEH:
MUHAMMAD ARMAN ALWI
P1900212007

JURUSAN ANTROPOLOGI
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Page | 2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara maritim merupakan negara yang dianggap peduli dan mempu untuk
mengolah sumber daya kekayaan dari dasar hingga permukaan lautnya dan malah jika perlu
hingga lautan samudra lainnya. Hal ini berbeda dengan konsep negara kepulauan yang
sebatas negara yang memang terlahir dengan banyak pulau.
Indonesia lahir dengan memiliki banyak pulau. Ketika Republik Indonesia
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah laut teritoral Indonesia menurut
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 adalah 3 mil laut dari pantai. Hal
ini menjadikan wilayah negara Indonesia terpisahkan oleh laut internasional. Wilayah laut
Indonesia seperti hukum tersebut hanya sekitar 100.000 km
2
. Tetapi setelah melalui
deklarasi Djuanda dan Konvensi PBB tentang hukum laut, wilayah perairan Indonesia
ditambah 3,1 juta km2, ditambah pula dengan 2,7 juta km
2
Zona Ekonomi Eksklusif.
Negara Indonesia memiliki letak geografis yang sangat strategis, yaitu terletak di antara
dua samudra di mana paling tidak 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur
Tengah, Asia Selatan ke wilayah pasifk dan sebaliknya harus melalui perairan Indonesia.
Wilayah laut yang sedemikian luas juga memberikan akses pada sumber daya laut seperti
ikan, terumbu karang dan kekayaan biologi yang lain yang bernilai tinggi, wilayah wisata
Page | 3

bahari, sumber energi minyak dan gas bumi, serta mineral langka yang semuanya dapat
dimanfaatkan untuk menunjang perekonomian negara.
Kepulauan Indonesia menjadi Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang
mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai
11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur
serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Posisi strategis ini
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi.
Lima pulau besar di Indonesia adalah : Sumatera dengan luas 473.606 km persegi, Jawa
dengan luas 132.107 km persegi, Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas
539.460 km persegi, Sulawesi dengan luas 189.216 km persegi, dan Papua dengan luas
421.981 km persegi.
Dalam sebuah daerah maritim yg kaya akan hasil perikanan laut seperti yang terjadi
disekitar dataran pinggiran kabupaten sinjai tepatnya didesa lappa, kecamatan sinjai utara,
terdapat sebuah Tempat Pelelangan Ikan (TPI LAPPA) yang sangat terkenal akan export
ikan cakalang serta sangat menarik untuk diteliti baik dari social ekonominya ataupun peran
masyarakat lappa ketika berada didalam ruang lingkup TPI lAPPA karna sebagian besar
masrakat lappa adalah nelayan yang setiap harinya beraktivitas bekerja sama sambil
mencari masin-masin propesi masyarakat lappa ketika sudah berada diTPI LAPPA itu
sendiri.
Page | 4

Dibeberapa titip saya melihat aktivitas nelayan yang amat unit dan ganjil karna ada
yang mengatakan dia adalah punggawa tetapi berperang juga sebagai tukang catat atau hasil
tangkapan nelayan dari laut dialah yang mengatur sampai hasil tangkapan nelayan habis
terjual, unitnya ada pula tukang catat yang saya temui yang bukan punggawa dan tidak
mempunyai kapal sama sekali tetapi karna dia menpunyai keahlian sebagai pecata maka
keahliannya sangat dibutuhkan oleh nelayan tangkap yang sudah berminggu-minggu
menangkap ikan dilautan.
Maka dari itu peneliti mencoba mengusulkan judul kepada dosen pembimbing, Pacata
Sebagai tulang punggung, Manajemen Para Nelayan Punggawa dan Sawi Di TPI
LAPPA Kabupaten Sinjai, Kecamatan sinjai Utara, Desa Lappa.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaiman posisi pacata dalam skema pendistribusian hasil tangkapan
nelayan diTPI LAPPA Kabupaten Sinjai, Kecamatan Sinjai Utara Desa
Lappa
b. Bagaimana Peran Pacata dalam membuka relasi untuk penjualan hasil
tangkapan nelayan diTPI LAPPA Kabupaten Sinjai, Kecamatan Sinjai
Utara Desa Lappa


Page | 5

C. Tujuan dan manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
a. Untuk menggambarkan pacata dalam sebuah skema pendistribusian hasil
tangkapan nelayan diTPI LA PPA Kabupaten Sinjai,
b. Untuk mendeskripsikan peran pacata dalam membuka relasi terkait hasil
tangkapan nelayan yang akan dilelang/dijual diKabupaten sinjai.
Manfaat Penelitian
c. Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan sebagai
bekal dalam mengaplikasikan pengetahuan teoritik terhadap masalah
praktis yang didapat pada bangku perkuliahan dengan praktek yang
diperoleh di lapangan baik bagi peneliti sendiri, bagi mahasiswa lain serta
para pengenyam ilmu pengetahuan, terkhusus lagi ilmu antropologi.
d. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi pemerintah dan instansi daerah setempat Dalam
mengambil kebijakan-kebijakan yang bersentuhan dengan nelayan di
TPI LAPPA Kabupaten Sinjai.


Page | 6

D. Kerangka Konseptual
Di dalam dunia modern ini, telah banyak sekali dijumpai kesenjangan sosial
ekonomi yang di alami oleh masyarakat. Tak lain halnya dengan kondisi masyarakat
nelayan yang berada di wilayah pesisir. Berdasarkan pada aspek geografisnya, masyarakat
pesisir merupakan masyarakat yang tumbuh dan berkembang di wilayah pesisir. Kehidupan
mereka sangat bergantung pada kondisi alam yang ada di wilayah pesisir yang ada di
sekitar mereka. Karena hidup mereka berada di wilayah pesisir, maka tak salah bila roda
ekonomi yang berjalan dalam kedupan mereka sangat bergantung pada bidang perikanan.
Masyarakat nelayan merupakan pelaku utama dalam menentukan dinamika
ekonomi yang ada di wilayah lokal. Sejak adanya modernisasi perikanan sejak awal 1970-
an. Ekonomi nelayan bergerak semakin tumbuh dan berkembang. Akan tetapi dengan
adanya hal demikian ternyata sangat berpengaruh juga pada bidang sosial, ekonomi,
hukum, budaya dan politik yang ada dalam masyarakat nelayan pesisir. Karena adanya
pertumbuhan produktivitas yang ada dalam masyarakat nelayan, beberapa masalah
bermunculan. Misalnya saja masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, kerusakan
lingkungan, pengelolan sumberdaya maritim yang kurang optimal. Padahal jika ditelisik
lebih lanjut, masalah demikian sangat memberikan dampak kurang baik untuk
kesejahteraan ekonomi sosial masyarakat nelayan.
Page | 7

Suatu karakteristik utama pranata-pranata social tradisonal, termasuk pranata
ekonomi ialah saling keterkaitan dan menguatkan dengan pranata-pranata social lainnya.
Bahwa perilaku dalam suatu pranata tertentu tertanam dan mengakar dalam pranata-pranata
social lainnya (Keesing, 1961:65). Jadi untuk memahaminya harus dianalisis dan dijelaskan
dalam konteks pranata-pranata social budaya lainnya. Keempat pranata yaitu, ekonomi,
politik, social kekerabatan (kemasyarakatan). Pranata social ini tetap bertahan dalam situasi
modern meskipun berbagai unsurnya telah mengalami proses modifikasi dalam rangka
dinamikanya.
Kearifan lokal dipahami sebagai perangkat pengetahuan milik suatu masyarakat
yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan atau kesulitan
yang dihadapi, serta diperoleh dari generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui
tindakan ( Rasyid, 2002:126). Dengan demikian, kearifan local sesungguhnya merupakan
mekanisme respon masyarakat atas terjadinya suatu ketidakpastian dalam interaksinya.
Dalam konteks pembangunan kawasan pesisir atau aplikasi program intervensi
pembangunan. Program pemberdayaan masyarakat pesisir , sikap mandiri nelayan
merupakan modal sosial-budaya yang sangat berharga untuk menunjang pencapaian tujuan
dari pembangunan. Bagi masyarakat nelayan atau bagi masyarakat miskin manapun, modal
sosial yang dimiliki dapat berupa nilai-nilai, menghargai diri sendiri dan sesama, agama
dan kepercayaan, etika sosial, komunikasi sosial, kerjasama dan gotong royong. Modal
Page | 8

sosial budaya merupakan kesatuan yang harus diidentifikasi dan dieksplorasi untuk
dijadikan sebagai basis dari pembangunan masyarakat nelayan. Di dalam modal sosial
budaya tercermin identitas dan harga diri suatu masyarakat, sehingga memiliki nilai
fungsional sebagai kekuatan internal pembangunan.
Struktur inti elementer kelompok organisasi ini ialah ponggawa laut dan sawi-sawi.
Ponggawa berstatus pemimpin pelayaran dan aktifitas produksi dan berbagai pemilik alat-
alat produksi. Mereka memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan keterampilan
manejerial, sementara sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja
produksi semata. Bentuk struktural lain terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami
perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh ponggawa laut
tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk mengembangkan mempertahankan
eksistensi usaha, maka ponggawa laut tidak ikut lagi mengikuti pelayaran melainkan tetap
tingggal di darat atau pulau mengusahakan perolehan pinjaman modal dari pihak lain,
mengurus biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain.
Disinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam
kelompok kerja nelayan yang disebut ponggawa darat. Untuk memimpin pelayaran dan
aktifitas produksi di laut, ponggawa darat merekrut juragan-juragan baru menggantikan
posisinya memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang atau meningkat jumlahnya.
Page | 9

Para ponggawa laut dalam proses dinamika ini sebagian lainnya masih berstatus
pemilik, sedangkan sebagian lagi hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan.
Para juragan yang merekrut sawi-sawi berbakat atau potensial dikenal juga dengan istilah
ponggawa caddi, sedangkan ponggawa besar disebut ponggawa lompo. Pola hubungan
(struktur sosial) menandai hubungan-hubungan dalam kelompok ponggawa-sawi baik
dalam bentuknya elementer (ponggawa-sawi) maupun yang lebih kompleks (eksportir-
Ponggawa pulau-sawi) ialah hubungan patron-client: dari atas bersifat memberi servis
ekonomi dan sosial, sedangkan dari bawah hubungan mengandung muatan moral dan
modal sosial.
Manusia adalah mahluk sosial. Apakah kita suka atau tidak, hampir semua yang kita
lakukan dalam kehidupan kita saling berkaitan dengan orang lain. Sedikit sekali yang kita
lakukan benar- benar soliter dan sangat jarang kita benar-benar sendirian. Jadi kajian
mengenai bagaimana kita dapat berinteraksi satu sama lain, dan apa yang terjadi ketika kita
berinteraksi, Adalah salah satu ikhwal paling mendasar yang menarik dalam kehidupan
manusia. Seperti yang terjadi dimasyarakat nelayan di TPI LAPPA Kabupaten Sinjai
Kecamatan Sinjai Utara, Desa Lappa berupa pengamatan tentang aktivitas sosial, ekonomi
dan kehidupan politik.


Page | 10

E. METODE PENELITIAN
a. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Seperti pada umumnya penelitian dalam ranah antropologi, pendekatan utama
dalam penelitian yang dlakukan dalam mengungkap masalah ini digunakan penelitian
kualitatif. Alasan penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dikarenakan dengan
menggunakan penelitian kualitatif penulis berupaya untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain secara holistik dan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah
(Moleong, 2000). Disamping itu, peneliti menjadi instrumen utama didalamnya untuk
mengelaborasi berbagai data yang akan didapatkan di lapangan. Hasil yang didapatkan
berupa data yang kemudian akan dibentuk secara deskriptif atau penggambaran mengenai
Pacata Sebagai Tulang Punggung, Manajemen Para Nelayan Punggawa dan Sawi di TPI
LAPPA Kabupaten Sinjai, Kecamatan Sinjai Utara, Desa Lappa.
b. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilangsungkan pada 25-27 Januari 2013 di TPI LAPPA Kabupaten
Sinjai, Kecamatan Sinjai Utara, Desa Lappa. Lokasi tersebut sengaja dipilih karena yang
penulis asumsikan merupakan daerah yang cukup banyak terdapat kelompok nelayan
sehingga penulis dapat memperoleh informasi mengenai masalah yang diteliti.
Page | 11

c. Teknik Penentuan Informan
Informan yang dijadikan subjek dalam penelitian digolongkan kedalam dua golongan
yakni, (1) Informan ahli yakni orang yang mengetahui dengan jelas kondisi daerah
penelitian dan mampu menunjukkan siapa-siapa saja yang dapat memberikan informasi
mengenai masalah yang akan diteliti. Biasanya yang bertindak sebagai informan ahli adalah
kepala desa ataupun tokoh masyarakat yang disegani dan berperan penting dalam
kelangsungan hidup masyarakat di desa dalam hal ini punggawa. (2) Informan biasa,
yakni orang yang mengetahui tentang masalah yang diteliti dalam hal ini sawi.
d. Teknik Pengumpulan Data
Pencarian data dalam menyusun penulisan ini digunakan beberapa teknik
pengumpulan data yakni:
1. Observasi, yakni teknik mengumpulkan data dengan cara mengamati fenomena-
fenomena yang terjadi di lokasi penelitian. Dengan cara observasi dapat ditemukan
data-data tentang bagaimana tingkah laku ataupun aktivitas keseharian masyarakat
desa yang berguna dalam mengkroscek kebenaran data nantinya. Menurut Alwasilah
(2003:211) mendefinisikan observasi penelitian sebagai pengamatan sistematis dan
terencana yang diniati untuk perolehan data yang dikontrol validitas dan reabilitasnya.
Teknik ini bertumpu pada indra yang dimiliki, yakni penglihatan, penciuman, peraba
serta pendengaran. Dengan melakukan observasi, maka data yang diperoleh meliputi
bagaimana aspek fisik dari daerah yang diteliti, apa saja kegiatan dan interaksi yang
Page | 12

terjadi, siapa pelaku yang terlibat dari aktivitas tersebut, serta berapa lama durasi serta
frekuensi terjadinya.
2. Wawancara Jenis data yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik
wawancara mendalam meliputi pengalaman, pendapat atau kepercayaan, pengetahuan
mengenai norma, nilai, sikap dan tanggapan.
Metode wawancara mendalam (depth interpiew) dimana peneliti pertama yaitu
menentukan waktu yang tepat untuk melaksanakan penelitian dilanjutkan dengan
perkenalan mendalam kepada informan kemudian mengajukan pertanyaan dari inti-
inti permasalahan kepada informan yang dipandang memiliki pengetahuan yang
banyak berkenaan dengan masalah studi, serta mampu memberikan informasi
tersebut dengan baik. Wawancara dilakuakan dengan mengacu pada instrumen
berupa pedoman wawancara (interview guide) yang telah dibuat sebelumnya, yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pelaksanaan wawancara ini
peneliti akan melaksanakannya pada saat peneliti melakukan observasi ke lapangan
peneliti, dimana peneliti mencoba untuk memulai berinterkasi dengan masyarakat di
TPI LAPPA Kabupaten Sinjai, Kecamatan Sinjai Utara, Desa Lappa.
Studi Literatur, merupakan teknik penelitian yang dilakukan dengan membaca dan
mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Studi
literatur ini dilakukan untuk membantu penulis memperdalam pengetahuan tentang
masalah yang diteliti dan pendekatan serta konsep untuk menganalisis permasalahan
Page | 13

dan juga sebagai penambah wawasan penulis. Salah satu yang perlu dilakukan dalam
persiapan penelitian adalah mendayagunakan sumber informasi yang di dapat di
perpustakaan.
F. Model Analisis Data
Analisis data penelitian menelaah seluruh data yang tersedia dari proses pengkajian
hasil wawancara, pengamatan, dan dokumentasi yang terkumpul (Suwardi Endraswara,
2006:174). Langkah menganalisis data adalah dengan menarik kesimpulan dan
verifikasi, yaitu sebagian dari suatu kegiatan konfigurasi yang utuh. Kesimpulan yang
diambil tentu saja berdasar pemahaman terhadap data yang telah disajikan dan dibuat
dalam pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan mengacu pada pokok
permasalahan yang diteliti. Cara yang diambil dalam analisis ini adalah setelah data
terkumpul semua baik itu wawancara, pengamatan yang sudah tertulis dalam catatan
harian di lapangan, hasil observasi dan lain sebagainya di tabulasi. Setelah itu peneliti
melakukan pengelompokan jawaban. Mengacu pada parameter yang telah ditentukan
dengan cara seperti ini diharapkan akan mempermudah penarikan kesimpulan dan
tidak dilakukan secara berulang-ulang. Kelengkapan data yang utuh juga memudahkan
di dalam menarik kesimpulan.


Page | 14

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pacata dalam sebuah skema pendistribusian hasil tangkapan nelayan di TPI LAPPA
Kabupaten Sinjai, Kecamatan Sinjai Utara desa Lappa.
Kabupaten Sinjai terletak di Jazirah Selatan bagian Timur Propinsi Sulawesi
Selatan dengan Ibukotanya Sinjai. Berada pada posisi 50 19' 30" sampai 50 36' 47"
Lintang Selatan dan 1190 48' 30" sampai 1200 0' 0" Bujur Timur.
Disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bone, di sebelah Timur dengan
Teluk Bone, di sebelah Selatan dengan Kabupaten Bulukumba, dan sebelah Barat
dengan Kabupaten Gowa. Luas Wilayah Daratan, Luas wilayah yang dimililki oleh
Kabupaten sinjai adalah 819, 96 km2 Luas Wilayah Pesisir, Kabupaten Sinjai
memiliki garis pantai sepanjang 28 km yang terdiri atas wilayah pantai daratan
panjang 17 km dan wilayah kepulauan dengan panjang garis pantai 11 km.
Tempat Pelelangan ikan LAPPA terletak di Desa Lappa yang berjarak sekitar 15 km
dari Kota Sinjai, secara administratif termasuk dalam Kecamatan Sinjai Utara. TPI
LAPPA merupakan Unit Pelaksanan Teknis Departemen Kelautan dan Perikanan di
bidang prasarana pelabuhan perikanan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. TPI LAPPA merupakan pelabuhan
Page | 15

perikanan yang diusahakan karena sebagian sarananya dikelola secara produktif dan
ekonomis oleh Perum. Landasan hukumnya adalah :
1. Undang-undang RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
2. Peraturan Pemerintah RI No. 11 Tahun 1983 tentang Pembinaan Kepelabuhan
3. Peraturan Pemerintah RI No. 23 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum)
Prasarana Perikanan Samudera
4. Peraturan Pemerintah RI No. 62 Tahun 2002 tentang Tarip PNBP
5. SK Menteri Perhubungan RI No. KM.35/AL.106/Phb.85 tentang Pelabuhan
Perikanan
6. SK Menteri Pertanian No. 1082/Kpts/OT-210/10/99 tentang Tata Hubungan Kerja
UPT Pelabuhan Perikanan dengan instansi terkait dalam pengelolaan Pelabuhan
Perikanan
7. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.26.1/MEN/2001 tanggal 1 Mei
2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan
8. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.10/MEN/2004 tentang
Pelabuhan Perikanan
Tempat Pelelangan Ikan Dilappa ini dilengkapi juga dengan fasilitas fungsional,
diantaranya adalah fasilitas pengemasan dan pengepakan ikan. Sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, maka semua hasil tangkapan ikan yang tidak dipergunakan sebagai lauk-
pauk, harus dijual secara lelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pada umumnya, ikan-
Page | 16

ikan yang didaratkan di TPI LAPPA dijual dengan melalui proses pelelangan. Harga
lelang di TPI LAPAA atas kesepakatan antara nelayan, Pacata dan pedagang. Para
pedagang akan membayar kepada Pacata melalui TPI secara 25tunai di loket kasir
pelelangan. Mekanisme pelelangan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pembongkaran
Setelah kapal merapat di TPI LAPPA, selanjutnya pacata melapor kepada pos
keamanan (polri, Syahbandar, ataupun Satpol). Kemudian kapal atau perahu tersebut
akan mendapatkan nomor urut dari petugas TPI LAPPA, yang selanjutnya ditulis di
papan tulis atau papan pengumuman.
2. Penimbangan
Sebelum ikan dilelang, dilakukan penimbangan terlebih dahulu. Penimbangan
dilakukan berdasarkan jenis ikan dan satuan (per keranjang atau basket). Selanjutnya
hasil timbangan dituliskan pada karcis timbangan yang diletakkan di atas ikan yang
dilakukan oleh pacata sebagi bukti jika ditanya oleh si punggawa darat.
3. Pelelangan
Di TPI LAPPA dimulai sejak sekitar pukul 06.00 WITA sampai dengan pukul 12.00
WITA kemudian berlanjut lagi 17.00 WITA sampai 21.00 WITA. Para pedagang yang
mengikuti kegiatan pelelangan ikan terdiri dari pedagang kecil (pengecer), menengah,
maupun pedagang besar. Para pedagang kecil (pengecer) dapat langsung mengikuti
kegiatan pelelangan atau membelinya melalui pacata yang diberikan tugas atau bentuk
Page | 17

kerja sama antara punggawa dan pacata sesuai hasil kesepakatan. Pelelangan dilakukan
berdasarkan urutan pembongkaran kapal dan berdasarkan jenis maupun satuan jumlah
yang telah dicatat oleh si pacata. Kegiatan pelelangan ini bersifat terbuka, daan dapat
diikuti oleh siapapun yang berkepentingan. Penentuan harga lelang ditentukan oleh
pacata adalah penawaran harga yang tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang, setelah
sebelumnya dilakukan pengulangan atas penawaran tertinggi tersebut sebanyak 3 kali.
Setelah proses pelelangan selesai, maka harga ikan, berat dan jenisnya akan dicatat.
B. Peran Pacata dalam membuka relasi untuk penjualan hasil tangkapan nelayan diTPI
LAPPA Kabupaten Sinjai
Kapal-kapal perikanan yang mendaratkan hasil tangkapannya tidak hanya berasal
dari Sinjai atau takalar saja, tetapi juga dari daerah Palopo atau Luwu Timur yang
tercatat sebanyak 200 kapal dari luar daerah ini yang mendaratkan ikan di TPI LAPPA,
sedangkan pada tahun 2004 tercatat sebanyak 300 kapal dari luar daerah, mengalami
penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah kunjungan kapal perikanan di TPI
LAPPA dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu kapal parengge TPI unit II dan kapal
pancing / Pagai untuk TPI unit I. Untuk jumlah kunjungan kapal parengge dari tahun ke
tahun cenderung meningkat dan tahun 1999 - 2001 terjadi penurunan karena terjadi
pendangkalan muara laut sinjai yang tinggi sehingga kapal parenggge yang berukuran
besar tidak bisa masuk di TPI LAPPA. Sedangkan untuk kunjungan kapal
Page | 18

pancing/pagae yang berukuran lebih kecil ditukar atau diganti kapal-kapal pancing yang
lebih besar.
Produksi ikan yang dominan didaratkan di TPI LAPPA adalah jenis-jenis ikan
cakalang, dan sebangsanya. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) LAPPA salah satu fasilitas
fungsional, digunakan untuk tempat melelang ikan hasil tangkapan nelayan, dan juga
tempat bertemunya Sulawesi-selatan. Lokasi TPI LAPPA terletak di depan dermaga,
sehingga memudahkan dalam proses pembongkaran dan pelelangan ikan Frekuensi
lelang dua kali per hari.
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di LAPPA berfungsi sebagai tempat pendaratan dan
pelelangan hasil tangkapan utama dari ikan-ikan pelagis besar seperti tuna dan
cakalang. Selain itu juga ikan-ikan hasil tangkapan sampingan seperti hiu, tenggiri, dan
hasil tangkapan dari golongan krustasea seperti udang. Pembongkaran kapal-kapal
umumnya dilakukan sekitar pukul 05.00-09.00 WITA. Sebelum hasil tangkapan
didaratkan, dilakukan pencatatan terlebih dahulu oleh pacata yang sudah ditemani kerja
sama oleh punggawa.
Kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di TPI LAPPA adalah mini purse seine
dengan ukuran 20 GT-30 GT. Kapal-kapal tersebut selain dari Takalar dan Palopo ada
juga yang berasal dari daerah luar lainnya. Fasilitas-fasilitas TPI yang semakin lengkap,
menyebabkan banyak nelayan yang memiliki kapal untuk mendaratkan hasil
tangkapannya di TPI. Frekuensi lelang adalah dua kali dalam sehari, berlangsung dari
Page | 19

pukul 08.00 dan berakhir pukul 17.00 WITA Namun apabila jumlah produksi sedikit
maka proses lelang selesai / berhenti sebelum pukul 17.00 WITA. Sementara itu proses
lelang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Dimulai dengan pendaratan ikan yang dibawa ke TPI, dengan menggunakan basket
kemudian ditimbang. Setelah itu basket berisi ikan disusun pada tempat lelang,
dikelompokkan berdasarkan jenis ikan.
b. Petugas mencatat jumlah produksi ikan yang telah tersusun dan menyerahkannya
kepada juru lelang. Setelah itu dilakukan pelelangan.
c. Sistem penawaran dimulai dari harga terendah sampai batas penawaran tertinggi oleh
bakul. Bakul yang berhak memperoleh ikan adalah bakul yang melakukan penawaran
tertinggi sampai tiga kali.
d. Setelah itu, nelayan mendapatkan struk lelang dari Pacata yang menyatakan jumlah
ikan yang dilelang untuk kemudian dicatat pada karcis lelang, yang selanjutnya
dimintakan SPU (Surat Pembayaran Uang) dari juru rekening dan selanjutnya nelayan
meminta uang pada kasir bayar dengan pungutan sebesar 3 %.
e. Untuk bakul pemenang lelang, setelah ikan dibawa keluar dari area lelang, maka
bakul tersebut harus membayar pada kasir dengan ditambah potongan 2 %. Kebijakan
pemberian dana paceklik dilaksanakan setiap 6 bulan, biasanya menjelang hari raya,
dan diberikan dalam bentuk beras dan uang simpanan nelayan (saving). Bagi hasil
antara nelayan dan juragan sebesar 60 : 40. Fasilitas kredit ada, diberikan Pemerintah
Page | 20

Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II. Kegiatan pengembangan nelayan
dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan secara berkala dilakukan, dengan mendatangkan
narasumber dari Dinas Perikanan Tingkat I maupun Tingkat II, dengan materi mengenai
alat tangkap, dan kegiatan keterampilan-keterampilan teknis lainnya bagi nelayan.
Paparan data hasil pengamatan yang dilaporkan adalah data tentang apa yang
diungkap oleh peneliti karena disini peneliti terjun langsung kelapangan jadi peneliti
dapat mengetahui apa yang terjadi dari pengamatan tersebut, berikut ini pengamatan
yang menggambarkan tentang aktivitas nelayan.
Pada pukul 15.30 WITA Jumat tanggal 25 Januari 2013 peneliti malakukan
pengamatan pertama dengan mengamati para nelayan datang dari aktivitas melaut,
dimana para nelayan berdatangan dari laut menuju pedagang ikan membawa hasil
tangkapan ikannya untuk dijual ke pedagang ikan hiruk pikuk penimbangan dan jual
beli ikan terjadi antara buruh nelayan dengan pedagang ikan kemudian pedagang ikan
membayar uang dari penjualan ikan itu sesuai dengan harga yang disepakati, tetapi
ketika proses jual beli berlangsung hubungan kerja juragan yang bernama bapak
Asmawi tidak ikut andil dalam aktivitas jual-beli pada waktu itu juragan cukup
menyuruh buruh nelayan membawa ikan hasil tangkapan, juragan tinggal menerima
seluruh total jumlah uang dari pacata sesuai hasil perolehan ikan tersebut, kemudian
buruh nelayan membawa bukti catatan transaksi dari pedagang ikan/tengkulak ke
Page | 21

juragan sebagai bukti dari jumlah uang yang diterima dari perolehan ikan dan uang
bayaran itu juragan langsung membagikan sesuai dengn sistem bagi hasil yang berlaku.
Berdasarkan pengamatan yang ditangkap peneliti ternyata pendapatan yang diterima
buruh nelayan (sawi) cukup kecil sekali, sistem bagi hasil yang diterapkan nelayan
berbeda dengan pekerjaan lain seperti pegawai negeri atau petani, yaitu sistem bagi
hasil yang berlaku dimasyarakat nelayan menggunakan sistem perhari dan itupun
penghasilan yang diterima buruh nelayan jauh sekali berbeda dengan yang diterima
punggawa, hubungan kerja masyarakat Lappa setiap kali memperoleh ikan mereka
bawa pulang untuk dijual ke pedagang ikan dari pengamatan peneliti, yang bekerja total
dari perolehan ikan adalah pandiga sedangkan juragan hanya menerima bayaran dari
hasil tangkapan ikan itu, adanya pinjaman yang mengikat mereka (sawi) tidak bisa
berbuat banyak kecuali bekerja dan terus bekerja terutama ketika memperoleh
tangkapan ikan, mereka memikul dan sebagian lainnya mencatat dengan semangat ikan-
ikan yang di tangkapnya untuk dibawa pedagang ikan, hal ini dilakukan supaya
menambah hasil bayarannya tersebut.
Pola hubungan kerja seperti ini terlihat adanya gap (ketimpangan) karena punggawa
sebagai pihak yang berkuasa sehingga punggawa bebas menyuruh dari kegiatan
transaksi jual beli ikan tersebut, buruh nelayan semangat dalam bekerja tak lain adalah
agar faktor penghasilan mereka bertambah, karena sistem yang berlaku yaitu ada
tambahan upah untuk bagian pikulan ikan.
Page | 22

Ada keterkaitan dari pendapatan ke hubungan kerja yang mereka bentuk antara
punggawa dengan sawi (pacata). Bayaran akan di kasihkan setelah uang terkumpul dari
penjualan ikan itu. Punggawa pula yang mengatur sistem pembagian uang tersebut
karena dia sebagai Patron yang mempunyai kekuasaan maka Klien (sawi) yang
statusnya mempunyai ketergantungan hanya pasrah menerima berapapun bayaran dari
penangkapan ikan tersebut, tetapi meskipun demikan tak jarang sawi hanya mendapat
20.000 dari kerja kerasnya bagitulah nasib kaum bawah, menjalani hidup sebagai
nelayan tidak mudah terutama bagi kaum buruh nelayan didalam bekerja mereka hanya
bermodal tenaga saja sehingga kedudukannya dimata masyarakat di anggap lapisan
bawah.
Pada tanggal 26 Januari 2013 waktu menunjukan pukul 16.00 WIB peneliti
melakukan pengamatan kedua dengan kejadian yang sama yaitu para nelayan
berdatangan dari aktivitas melaut membawa hasil tangkapannya, kemudian Punggawa
H.Zubairi selaku juragan perahu Mulya memberi perintah kepada buruh nelayan agar
perolehan ikan segera dibawa ketempat pedagang ikan dengan suara agak meninggi.
H. Zubairi memanggil salah satu anak buah kapal yang bernama Sali dan mengatakan
dari uang hasil tangkapan itu supaya segera dikasihkan kepadanya untuk segera di
bagikan kepada buruh nelayan sesuai dengan sistem yang berlaku. Juragan H. Zubairi
sebagai punggawa oleh masyarakat Lappa dianggap cukup terpandang karena
Page | 23

pendapatannya cukup tinggi dibanding buruh nelayan dan perahunya sering mendapat
hasil tangkapan ikan yang maksimal dibanding perahu lainnya.
Berdasarkan pengamatan peneliti posisi sebagai juragan mempunyai wewenang
penuh atas perahu, perlengkapan peralatan serta pola-pola yang berkaitan dengan
aktivitas penagkapan ikan mulai dari pembagian hasil sampai kepada bagaimana
mereka berinteraksi dengan bawahannya seperti buruh nelayan atau sawi. Contohnya
seperti H.Zubairi meskipun dia sebagai punggawa tetapi dia tidak ikut dalam
mengoperasikan aktivitas pengakapan ikan dilaut, dia hanya menunggu kabar dirumah
apakah perahunya mendapatkan ikan yang maksimal atau sebaliknya. Bahkan
karakteristik sikap dan watak mereka yang cenderung keras tidak jarang sering terjadi
perbedaan pendapat dalam bekerja antara buruh nelayan satu dengan yang lainnya.
Menurut pengamatan peneliti hubungan kerja yang demikian tidak jarang
menimbulkan konflik antar nelayan hal ini semakin diperkuat apa yang dikatakan bapak
Sali selaku pandiga dia mengatakan ketika proses aktivitas penangkapan ikan sedang
berlangsung sering beda pendapat dalam hal cara menangkap ikan menurut persepsi
mereka sendiri. Tetapi meskipun hal itu terjadi Berdasarkan observasi peneliti interaksi
yang terjalin antara keduanya cukup baik, dan hubungan kerja mereka saling
menguatkan satu sama lain, artinya sesama punggawa mereka saling membantu jika
ada keperluan. Contohnya mereka saling meminjami perlengkapan alat untuk melaut,
atau meminjami barang-barang yang lain. Mereka tidak segan untuk menjalin hubungan
Page | 24

sosial yang lebih baik karena mereka merasa berasal dari strata yang sama, artinya
sesama juragan mereka mempunyai kedudukan yang seimbang dimata masyarakat.


















Page | 25

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan dari analisis peneliti peranan Pacata dan makna suatu
pendapatan mempunyai arti yang sangat signifikan bagi penduduk desa Lappa, tinggi
rendanhya pendapatan berpengaruh dalam membentuk starata atau kedudukan dalam
masyarakat desa Lappa, bagi mereka yang mempunyai pendapatan tinggi (juragan)
berada pada starata atas karena juragan adalah orang yang mempunyai penguasaan alat
perlengkapan ikan sehingga bayaran yang diterima lebih tinggi, dan yang mempunyai
pendapatan rendah seperti buruh (sawi) berada pada starata bawah, realitas tersebut
tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat karena buruh nelayan sering tidak puas
terhadap bayaran yag mereka terima disebabkan perbedaan yang jauh dari jumlah bagi
hasil antara punggawa dan sawi.
Hubungan kerja yang mereka bentuk adalah berdasarkan pinjaman ikatan yaitu
Patron (punggawa) memberikan pinjaman kepada Klien (sawi) dengan jumlah tertentu
tanpa adanya bunga, ini suatu kontrak kerja terikat dan antisipasi agar sawi tersebut
tidak mudah pindah ke punggawa lain. Adanya kontrak tersebut sawi tidak bebas untuk
bekerja kepada punggawa manapun. Juragan merupakan pihak yang memiliki status
yang lebih tinggi karena mereka berkuasa dari segi modal dan perlengkapan ikan
lainnya, Dari sini terlihat adanya kesenjangan (gap) dan kedudukan yang tidak setara.
Page | 26

B. SARAN
1. Pengembangan dan peningkatan pemberdayaan masyarakat pesisir harus lebih di
perhatikan oleh pemerintah agar masyarakat pesisir mampu bersaing dengan
masyarakat kota sehingga masyarakat pesisir bisa terlepas dari belenggu
ketertinggalan dan mampu meningkatkan perekonomian daerahnya sendiri.
2. Perlunya pihak terkait dan semua lapisan masyarakat untuk mengadakan proses
pendampingan secara intensif dan berkelanjutan untuk memberdayakan masyarakat
nelayan.












Page | 27

DAFTAR PUSTAKA

Keesing, M. Roger (1961), Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer
(Jilid 1&2). Jakarta: Erlangga.
Moleong, L.J., (2000) Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosalakarya,
Bandung.
Putra, Heddy Shri Ahimsa (2007). Patron dan Klein di Sulawesi-Selatan. Sebuah
Kajian Fungsional Struktural. Yogyakarta: Kepel Press.
Rasyid, Achmad (2002), Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/06130072-aidil-fitriyah.ps
http://penerbit-ininnawa.blogspot.com/2010_01_01_archive.html.

Anda mungkin juga menyukai