Anda di halaman 1dari 34

PENGANTAR ILMU PESISIR&KEPULAUAN

“Karakteristik,social ,ekonomi dan budaya masyarakat pesisir dan

kepulauan”

DOSEN: Dr. Suhadi,SKM.,M.Kes.

DISUSUN OLEH:

CINTA PERMATA HATI

J1A122231

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HALUOLEO
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas Rahmat-Nya maka

kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Karakteristik,social ,ekonomi dan budaya masyarakat pesisir dan

kepulauan”

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Pengantar

ilmu pesisir kepulauan. Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk

menambah wawasan dan pengetahuan bagi yang membaca makalah ini.

Makalah in tentu jauh dari kata sempurna, oleh karena itu segala kritik

dan saran sangat kami harapkan, mengingat tidak ada yang sempurna

tapa saran yang membangun.

Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi

kemajuan bagi diri kita sendiri


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.................................................................

B. RUMUSAN MASALAH...........................................................

C. TUJUAN................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN WILAYAH PESISIR.......................................

B. BATAS WILAYAH ZONASI WILAYAH PESISIR......................

C. KARAKTERISTIK MASYARAKAT PESISIR............................

D. CIRI-CIRI MASYARAKAT PESISIR.......................................

E. KETERGANTUNGAN PADA MUSIM..................................

F. ASPEK BUDAYA................................................................

G. KARAKTERISTIK PEMUKIMAN NELAYAN..........................

H. KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN...................


BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN........................................................................

B. SARAN..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

 Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang secara

geografis terletak pada posisi strategis, yakni di persilangan antara dua

benua (Benua Asia dan Benua Australia), dan dua samudera (Samudera

Hindia dan Samudera Pasifik). Karena letak geografisnya yang strategis

dan besarnya luas perairan, Indonesia berbatasan langsung di laut

dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yakni India, Thailand, Malaysia,

Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor-Leste, dan

Australia.

Sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

1945), yakni dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan


seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, maka Pemerintah

Republik Indonesia perlu menetapkan garis batasnya di laut dengan

negara-negara tetangga untuk dijadikan landasan bagi negara untuk

melakukan pengaturan, pengamanan, dan pengelolaan wilayah perairan

Indonesia.

Sebagian besar wilayah Indonesia adalah terdiri dari lautan dan memiliki

potensi kelautan cukup besar, dengan potensi yang dimiliki tersebut

seharusnya dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan yang

menggantungkan hidup pada potensi kelautan (maritim) tersebut.

Namun kenyataannya, kehidupan masyarakat nelayan senantiasa

dilanda kemiskinan, bahkan kehidupan nelayan sering diidentikkan

dengan kemiskinan . Tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan

(nelayan) pada saat ini masih di bawah sektor-sektor lain, termasuk

sektor pertanian agraris. Nelayan (khususnya nelayan buruh dan nelayan

tradisional) merupakan kelompok masyarakat yang dapat digolongkan

sebagai lapisan sosial yang paling miskin diantara kelompok masyarakat

lain di sektor pertanian 


Berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan

Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan

antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah

laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah

laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat

batas administrasi kabupaen/kota.

Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan melakukan

aktifitas sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah

pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir

memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi

sumber daya pesisir dan lautan. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan

masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, dan lan-lain)

yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan

memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya

pada pemanfaatan sumber daya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk

masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal.

Selain itu banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang luar

tentang karakteristik masyarakat pesisir. Mereka mempunyai cara


berbeda dalam aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan

struktur sosialnya. Sementara itu dibalik kemarginalannya masyarakat

pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang

hadir. Ciri khas wilayah pesisir jika ditinjau dari aspek biofisik wilayah,

ruang pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya

bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah

tersebutdapat mengakibatkan perubahan yang signifikan, seperti

bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut

yang menghasilkan ekosistem yang khas. Ditinjau dari aspek

kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung

di dalamnya sering memiliki sifat terbuka.

Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir yaitu bahwa sebagian

besar pada umumnya masyarakat pesisir bermata pencaharian di sektor

kelautan seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan

transportasi laut. Dari segi tingkat pendidikan masyarakat pesisir

sebagian besar masih rendah. Serta kondisi lingkungan pemukiman

masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik

dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatyang

relative berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka


panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna

pemenuhan kebutuhan masyarakat pesisir.

Masyarakat di kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesi

sebagai nelayan yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek

moyang mereka. Karakteristik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti

sifat dinamis sumberdaya yang digarapnya, sehingga untuk mendapatkan

hasil tangkapan yang maksimal, nelayan harus berpindah-pindah. Selain

itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup

dalam suasana alamyang keras dimana selalu diliputi oleh adanya

ketidakpastian dalam menjalankan usahanya. Wilayah ini  merupakan

tempat menumpuknya berbagai bahan baik berasal dari hulu atau

setempat akibat berbagai macam aktifitas manusia. Oleh karena itu,

dengan adanya pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut secara

intensif, optimal dan terkendali dapat mendorong adanya pertumbuhan

ekonomi lokal yang tinggi serta dapat memberikan efek keuntungan yang

besar bagi kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun pada kenyataannya,

sampai sekarang wilayah pesisir dan laut belum menjadi prioritas utama

bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional dan belum dapat untuk

memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya, sehingga pada saat ini


dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat pesisir masih berada

dibawah garis kemiskinan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian diatas terdapat masalah yang akan dibahas adalah

“bagaimana karakteristik social,ekonomi dan budaya masyarakat

diwilayah pesisir dan kepulauan?”

C. TUJUAN

Untuk mengetahui bagaimana karakteristik social, ekonomi dan budaya

masyarakat diwilayah pesisir dan kepulauan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian wilayah pesisir


Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang dimaksud

dengan "Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat

dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut". Sedangkan

"Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi

perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan

yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan

dangkal, rawa payau, dan laguna". Adapun "Pulau Kecil ialah pulau

dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter

persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya".

Berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan

Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan

antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah

laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah

laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat

batas administrasi kabupaen/kota.


B. Batas wilayah dan zonasi wilayah pesisir

Setiap penggunaan pesisir pada wilayah pesisir memiliki pengelolaan

yang berbeda-beda, sehingga penentuan batas pesisir pun harus diliat

dari tujuan penggunaan pesisir tersebut. Menurut Dahuri,dkk (2013)

wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan

lautan. Apabila ditinjau dari garis pantas maka suatu wilayah pesisir

memiliki dua macam batas tegak lurus terhadap garis pantai. Sejauh ini

belum ada kesepakatan, hal ini karena setiap pesisir memiliki

karakteristik lingkungan, sumber daya dan sistem pemerintah tersendiri.

Kawasan Didefinisikan sebagai kawasan dimana aktivitas yang dilakukan

manusia ditekankan pada yang berhubungan dengan pemanfatan

sumberdaya (lahan). Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak terbatas

hanya pada satu aktivitas saja. Contoh aktivitas pemanfaatan yang timbul

di dalam zona ini adalah konsesi pemanfaatan hutan yang berkelanjutan,

usaha penangkapan ikan skala komersial, taman/kawasan industri yang

bergerak dalam pembangunan infrastruktur (misalnya: jaringan rel

kereta/jalan raya, fasilitas pengolahan limbah, penerangan listrik, dan

sebagainya), kegiatan di bidang pertanian (penanaman kelapa sawit, padi

sawah dengan sistem irigasi ekstensif, dan sebagainya). Sifat dan

intensitas aktifitas manusia di dalam wilayah ini dikontrol melalui sistem


perijinan.

Kawasan Konservasi. Didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki atribut

ekologi yang khusus atau luar biasa, karena memiliki biodiversity yang

tinggi, dan biasanya memiliki species-species endemik, langka maupun

yang terancam punah. Wilayah tersebut terdiri dari habitat yang belum

terjamah atau masih asli yang luas yang memiliki posisi yang penting baik

dalam skala lokal, regional, nasional atau bahkan dunia.

Seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Konservasi Alam

dan Ekosistem (UU No. 5, 1990), enam sub-zona telah ditetapkan

didalam klasifikasi umum Zona Konservasi. Daerah suaka laut, suaka

alam maupun daerah perlindungan ikan merupakan prioritas tertinggi

untuk diproteksi, sedangkan sub-sub zona yang lainnya mendapatkan

proteksi yang lebih rendah tergantung pada kondisi maupun kasusnya.

Dengan demikian memungkinkan pemanfaatan oleh manusia secara

terkontrol (misalnya: pengembangan wisata dan rekreasi yang ramah

lingkungan, kegiatan perikanan pada skala tradisional).

Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Kawasan yang dimanfaatkan untuk

zona pertahanan keamanan, situs warisan dunia, perbatasan dan pulau-

pulau kecil terluar.


Kawasan Alur. Kawasan ini khususnya diperuntukkan bagi perairan yang

wilayahnya merupakan alur pelayaran, alur sarana umum, alur migrasi

ikan, pipa dan kabel bawah laut.

Kedudukan Rencana Zonasi. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah

suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau

lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu

(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara

berkelanjutan. Dalam kontek ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi:

sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,

wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah

pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar

tingkat pemerintahan mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten,

propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration).

Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di

dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar

pendekatan interdisiplin ilmu yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi,

ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relefan.

Definisi Dokumen Rencana- Rencana Pengelolaan Pesisir (UU no 27


tahun 2007). Rencana Strategis: Rencana yang memuat arah kebijakan

lintas sektor untuk kawasan perencanaan pembangunan melalui

penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target

pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana

tingkat nasional.

Rencana Zonasi: Rencana yang menentukan arah penggunaan

sumberdaya tiap- tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan

struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat

kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan

yang dapat hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Rencana

Pengelolaan: Rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan,

prosedur,dan tanggung jawab dalam rangka rangka pengoordinasikan

pengambil keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah

mengenai kesepakatan penggunaan sumberdaya atau kegiatan

pembangunan di zona yang ditetapkan.

Rencana Aksi: Tindak lanjut rencana pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal

untuk satu atau beberapa yang diperlukan oleh instansi pemerintah,

pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai

hasil pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil di setiap


kawasan perencanaan.

C. Karakteristik masyarakat pesisir

masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan melakukan

aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir

dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki

ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi

sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat

pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara

spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka

memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi

sumberdaya pesisir dan lautan.

Masyarakat pesisir itu sendiri dapat didefinisikan sebagai kelompok

orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber

kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada

pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan

pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya,

pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan.

Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual


jasa transportasi dan lain-lain. Yang harus diketahui bahwa setiap

komunitas memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda-beda.

Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya

bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan

(marine resource based), seperti nelayan, pembudidaya ikan,

penambangan pasir dan transportasi laut. Penduduk Kabupaten

Kepulauan Seribu tahun 2010 berpenduduk 21.071 jiwa, sekitar 69,36 %

merupakan nelayan sedangkan sisanya terdiri dari pedagang, buruh,

PNS, swasta dan lain-lain. Tingkat pendidikan penduduk wilayah pesisir

juga tergolong rendah, dimana penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu

sekitar 6.800 jiwa hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD), 1.463 jiwa

tamat SMP dan 1.076 jiwa tamat SMA dengan fasilitas pendidikan yang

ada masih sangat terbatas.

Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan

masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi

sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat

kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap

sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan

masyarakat.
Masyarakat pesisir juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang

tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan

sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit

masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan

potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian,

secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai

masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa

mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi

yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.

Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat

agraris atau petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai

pendapatan yang dapat dikontrol karena pola panen yang terkontrol

sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat ditentukan

untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda halnya

dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya didominasi

dengan pelayan. Pelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan

penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa

dikontrol.

“Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan

beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti


nelayan cenderung memiliki karakter yang tegas, keras, dan terbuka”

Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan

berada dalam posisi marginal. Selain itu, banyak dimensi kehidupan yang

tidak diketahui oleh orang luar tentang karakteristik masyarakat pesisir.

Masyarakat pesisir mempunyai cara berbeda dalam aspek pengetahuan,

kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu,

dibalik kemarginalannya, masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak

cara dalam mengatasi masalah yang hadir.

D. Ciri-ciri masyarakat pesisir

Pada umumnya masyarakat yang hidup di daerah pantai bisa disebut

sebagai masyarakat pesisir. Sebagai masyarakat yang hidup dekat dengan

wilayah perairan maka mata pencaharian mereka pada umumnya adalah

nelayan. Karakteristik masyarakat pesisir pada umumnya adalah keras

dan bersifat terbuka.

Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan

berkembang di wilayah masyarakat atau wilayah pantai. Dalam

konstruksi sosial masyarakat di wilayah pesisir, masyarakat nelayan

merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari

bahwa tidak semua desa di kawasan peisir memiliki penduduk yang


bermata- pencaharian sebagai seorang nelayan.

Secara sosial budaya dijelaskan bahwa masyarakat pesisir tersebut

memiliki ciri-ciri yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya.

Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

A. Terdapat interaksi sosial yang intensif antara warga masyarakat, yang

ditandai dengan efektifnya komunikasi tatap muka sehinggga terjadi

hubungan yang sangat erat antara satu dan lainnya . Hal tersebut

membangun hubungan kekelaurgaaan yang berdasarkan atas simpati

dan bukan berdasarkan kepada pertimbangan rasional yang berorientasi

kepada untung dan rugi;

B. Dalam mencari nafkah mereka menonjolkan sifat gotong royong dan

saling membantu. Hal tersebut ditandai dengan mekanisme menangkap

ikan baik dalam cara penangkapan maupun dalam penentuan daerah

operasi.

E. ketergantungan pada musim

Karakteristik lain yang sangat mencolok di kalangan masyarakat

pesisir, terutama masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka

pada musim. Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar pada
nelayan kecil. Pada musim penangkapan, para nelayan akan sangat sibuk

melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi

berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.

Keadaan ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi

masyarakat pantai secara umumdan kaum nelayan khususnya. Mereka

mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal pada musim

tangkap. Namun pada musim peceklik, pendapatan mereka drastis

menurun sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk. Belum lagi

ditambah pola hidup mereka yang menerapakan prinsip ekonomi yang

“tidak hemat”, artinya saat hasil tangkap memuncak, mereka cenderung

tidak menyimpan hasil untuk menutupi kekurangan ekonomi di saat

kegiatan tangkap menurun sehingga banyak dari nelayan-nelayan

tersebut yang harus meminjam uang bahakan menjual barang-barang

mereka untuk memenuhi kebutuhannya.

Secara umum, pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari

ke hari. Pada suatu hari, mungkin nelayan memperoleh tangkapan yang

sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa saja “kosong”. Hasil

tangkapan dan pada giliranya pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh

jumlah nelayan operasi penangkapan di suatu daerah penangkapan. Di

daerah yang padat penduduknya, akan mengalami kelebihan tangkap


(overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkap dari para

nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan

mempengaruhi pendapatan mereka.

Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu

yang sangat umum dijumpai di kalangan masyarakat di kalangan nelayan

maupun petani tambak, yakni pola hubungan yang bersifat patron-klien.

Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh

nelayan, petani tambak kecil dan buruh tambak seringkali terpaksa

meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari

para juragan atau dari para pedagang pengumpul (tauke).

Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak

juragan atau pedagang. Keterkaitan tersebut antara lain berupa

keharusan menjual produknya kepada pedagang atau juragan. Pola

hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah

menjadi alat dominansi dan ekploitasi.

Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal

struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam

hubungan pasar pada usaha perikanan. “Biasanya patron memberikan

bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan taktik bagi
patron untuk mengikat klien dengan utangnya sehingga bisnis tetap

berjalan”.

Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan

petani tambak adalah stratifikasi berdasarkan misalnya membedakan

stratifikasi sosial menjadi tiga jenis yaitu (1) strafikasi karena status

ekonomi (economically stratified); (2) stratifikasi karena perbedaan

status politik (politically stratified) dan (3) stratifikasi karena perbedaan

status pekerjaan (occupationally stratified).

a. Berdasarkan ekonomi dan penguasaan alat tangkap, yaitu jika dalam

suatau masyarakat terdapat perbedaan atau tidak ketidaksetaraan status

ekonomi, pada masyarakat nelayan umumnya terdapat tiga strata

kelompok, yaitu :

1.Starata atas, yaitu mereka yang memiliki kapal motor lengkap dengan

alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau

modern. Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan

diserahkan kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan

cukup banyak bisa sampai dua atau tiga puluhan. Seringkali nelayan

besar juga merangkap sebagai pedangang pengumpul. Namun demikian,

biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga


pedagang ini merupakan kelas tersendiri.

2. Strata kedua, adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor

tempel. Pada strata ini, biasanya pemilik tersebut ikut melaut dan

memimpin kegiatan penagkapan. Buruh yang ikut mungkin ada tetapi

terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.

3. Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan bisa juga

merangkap menjadi buruh, tetapi lebih banyak pula buruh ini yang tidak

memiliki sarana produksi apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.

bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan

dengan daya jelajah neraka dalam melakukan penangkapan. Mereka

yang beroperasi dengan menggunakan kapal motor, misalnya dapat

melakukan penangkapan dan sekaligus pemasaran di daerah-daerah

yang sangat jauh. Sementara nelayan kecil yang menggunakan perahu

tanpa motor hanya mampu beroperasi di daerah yang dekat atau daerah

pantai/pesisir saja.

sifat usaha penangkapan juga menyebabkan kan munculnya pola

tertentu dalam hal kebersamaan antar anggota keluarga nelayan. Bagi

para nelayan kecil, misalnya sering kali mereka berangkat sore hari

kemudian kembali besok harinya. Ada juga yang berangkat pagi-pagi


sekali, kemudian kembali pada sore atau malam harinya. Sementara

mereka yang beroperasi dengan kapal motor bisa meninggalkan rumah

berminggu-minggu bahkan berbulan- bulan.

aspek lain yang perlu di perhatikan pada masyarakat pesisir adalah

aktivitas kaum perempuan dan anak-anak. Pada masyarakat ini,

umumnya perempuan dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah. Kaum

perempuan (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai

pedagang ikan (pengecer), baik pengecer ikan segar maupun ikan

olahan. Mereka juga melakukan pengolahan hasil tangkapan, baik

pengolahan kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai

buruh pada pengusaha pengolahan ikan atau hasil tangkap lainnya.

Sementara itu anak laki-laki

seringkali telah dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang

menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak sekolah.

F. Aspek budaya

Dalam kajian budaya atau masyarakay terdapat satuan yang disebut

sebagai sistem budaya, serta beragam konsep yang mendasari perilaku

dan hasil perilaku. Sistem budaya inilah yang mendasari seluruh


kehidupan manusia. Melakukan pengkajian terhadap perilaku dan karya

suatu komunitas masyarakat perlu dilakukan untuk memahami sistem

budaya yang dianut. Kajian perilaku meliputi pengenalan terhadap

semua komponen budaya, baik berupa peralatan dan hal lain yang

dipercaya membawa kebaikan untuk kelangsungan hidup.

Budaya dapat dipahami sebagai hasil kegiatan manusia dalam

hubungannya dengan kehidupan, karya, waktu, alam lingkungan,dsb.

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil

karya manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri

sendiri belajar.

Hampir semua tindakan oleh manusia adalah bentuk kebudayaaan,

karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat

yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar , yaitu hanya beberapa

tindakan naluri, tindakan refleks, dan kelakuan membabi buta.

Maran (2007) dalam Disnawati (2013) berpendapat bahwa kebudayaan

sebagai ciptaan manusia adalah ekspresi eksistensi manusia dis dunia.

Manusia dan kebudayaan memiliki interaksi dan menjadi pondasi atau a

dasar segala yang bersangkutan dengan proses kehidupan manusa.

Manusia yang menciptakan kebudayaan namun Kemudian kebudayaan


yang membentuk manusia.

G. Karakteristik pemukiman nelayan

Secara umum pemukiman nelayan dapat digambarkan sebagai suatu

pemukiman yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat

yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan pekerjaan nelayan

itu sendiri adalah pekerjaan yang memiliki ciri utama adalah mencari

ikan di perairan. Sedangkan menurut keputusan direktorat jendral Cipto

karya departemen pekerjaan umum nomor 43/KPTS/CK/1999 tentang

petunjuk teknis pembangunan perumahan nelayan, perumahan nelayan

merupakan kelompok rumah suatu kawasan dengan luas tertentu yang

dihuni oleh masyarakat yang sebagian masyarakatnya menangkap ikan.

Kawasan perumahan nelayan ini dilengkapi dengan prasarana dan sarana

yang memadai untuk kelangsungan hidup dan penghidupan para

keluarga nelayan.

Kawasan pemukiman nelayan merupakan bagian dari sistem

permukiman perkotaan atau perdesaan yang mempunyai akses terhadap

kegiatan perkotaan/perdesaan lainnya yang dihubungkan dengan

jaringan transportasi. Kawasan permukiman nelayan tersusun atas

satuan-satuan lingkungan perumahan yang dilengkapi dengan prasarana


dan sarana lingkungan yang sesuai dengan besaran satuan lingkungan

yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

kAwasan perumahan nelayan haruslah mempunyai ataupun memenuhi

prinsip-prinsip layak huni yaitu memenuhi persyaratan teknis,

persyaratan administrasi, maupun pesta ratna lingkungan sesuai undang-

undang Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman serta

biaya perumahan dapat dijangkau oleh masyarakat. Persyaratan

berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan keandalan

sarana serta prasarana lingkungannya. Persyaratan ekologis berkaitan

dengan keserasian dan keseimbangan baik antara lingkungan alam

maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya

bangsa yang perlu dilestarikan. Persyaratan administratif berkaitan

dengan pemberian usaha, izin lokasi dan izin mendirikan bangunan serta

pemberian hak atas tanah.

H. Kehidupan sosial masyarakat nelayan

Sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan

tradisional dan nelayan buruh. Mereka adalah penyumbang utama

kuantitas produksi perikanan tangkap nasional. Walaupun demikian,

posisi sosial mereka tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi yang
timpang dan eksploitatif sehingga sebagai pihak produsen, nelayan tidak

memperoleh bagian pendapatan yang besar. Pihak yang paling

beruntung adalah para pedagang ikan berskala besar atau pedagang

perantara. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menjadi penguasa

ekonomi di desa-desa nelayan. Kondisi demikian terus berlangsung

menimpa nelayan tanpa harus mengetahui bagaimana mengakhirinya.

Hal ini telah melahirkan sejumlah masalah sosial ekonomi yang krusial

pada masyarakat nelayan. Namun demikian, belenggu structural dalam

aktivitas perdagangan tersebut bukan merupakan satu-satunya factor

yang menimbulkan persoalan sosial di kalangan nelayan, faktor-faktor

lain yang sinergi, seperti semakin meningkatnya kelangkaan sumberdaya

perikanan, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta keterbatasan

kualitas dan kapasitas teknologi penangkapan, rendahnya kualitas

sumberdaya manusia, ketimpangan akses terhadap sumberdaya

perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan duakungan fasilitas

pembangunan untuk masyarakat nelayan masih menjadi faktor yang

menimbulkan persoalan.

Kondisi kesejahteraan sosial yang memburuk di kalangan nelayan sangat

dirasakan di desa-desa pesisir yang perairannya mengalami overfishing

(tangkap lebih) sehingga hasil tangkap atau pendapatan yang di peroleh


nelayan bersifat fluktuatif, tidak pasti, dan semakin menurun dari waktu

ke waktu. Dalam situasi demikian, rumah tangga nelayan akan

senantiasa berhadapan dengan tiga persoalan yang sangat krusial dalam

kehidupan mereka, yaitu (1) pergulatan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari, (2) tersendat-sendatnya pemenuhan kebutuhan

pendidikan anakanaknya, dan (3) terbatasnya akses mereka terhadap

jaminan kesehatan.

Ketiga akses diatas merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar

dalam rumah tangga nelayan, yang sering tidak terpenuhi secara

optimal. Dengan realitas kehidupan yang demikian, sangat sulit

merumuskan dan membangun kualitas sumberdaya masyarakat nelayan,

agar mereka memiliki kemampuan optimal dalam mengelola potensi

sumber daya pesisir laut yang ada. Ketiadaan atau kekurangan

kemampuan kreatif masyarakat nelayan untuk mengatasi sosial ekonomi

didaerahnya akan mendorong mereka masuk perangkat keterbelakangan

yang berkepanjangan sehingga dapat mengganggu pencapaian tuj uan

kebijakan pembangunan di bidang kelautan dan perikanan. Untuk itu,

perlu dipikirkan solusi strategi alternative untuk mengatasi persoalan

kehidupan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan.

Dalam hal ini, program jaminan sosial (sosial security) yang dirancang
secara formal merupakan salah satu strategi yang patut dipertimbangkan

untuk mengatasi kemelut sosial ekonomi yang menimpa kehidupan dari

masyarakat nelayan.

Sekalipun negara atau pemerintah telah mengimplementasikan sejumlah

kebijakan untuk membangun sektor perikanan tangkap dan

pemberdayaan ekonomi produktif dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai masih belum maksimal.

Kalau kita perhatikan, selama ini spirit kebijakan nasional dalam

pembangunan perikanan sejak awal 1970-an dan masih terus di

berlakukan hingga saat ini yang mengutamakan meningkatan produksi,

mengakibatkan kelangkaan sumberdaya perikanan, kerusakan ekosistem

pesisir laut, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Kebijakan demikian

tidak disertai atau di kawal dengan kebijakan pembanding tentang

bagaimana masyarakat nelayan harus menjaga keberlanjutan

sumberdaya kelautan. Sebenarnya, kebijakan ini member keuntungan

ekonomi bagi paranelayan bermodal besar yang secara kuantitatif

berjumlah sedikit, namun pda akhirnya semua nelayan dari berbagai

kategori usaha mengahadapi persoalan yang sama.

Demikian juga kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan


yang selama ini diterapkan. Kalau dianalogikan dengan orang

memancing, kebijakan tersebut hanya memberi ikan kepada nelayan,

tetapi tidak memberikan jaminan keberlanjutan bagaiaman seandainya

alat pemancing itu rusak. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lemahnya

dukungan kebijakan lembaga-lembaga perbankan resmi untuk

penyaluran kredit dengan bunga rendah kepada masyarakat nelayan

secara berkesinambungan dan konsisten.Pada dasarnya, dukungan ini

sangat dibutuhkan nelayan untuk menjaga kelanjutan usaha

perikanannya.

Gejala fluktual diatas mencerminkan belum adanya payung kebijakan

pemberdayaan yang bersifat nasional dan menjadi referensi para

penentu keputusan setingkat menteri sehingga hal demikian

memberikan rasa aman bagi lembaga perbankan untuk bekerja sama

dengan nelayan dalam transaksi bantuan kredit.

Disamping itu, tidak adanya pihak-pihak yang membantu secara total dan

bersungguh-sungguh dalam membangun masyarakat nelayan,

mendorong masyarakat nelayan mengembangkan strategi kemandirian

berdasarkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki untuk menyelesaikan

berbagai persoalan yang mereka hadapi Kemandirian ini membangkitkan

sikap-sikap otonom di kalangan nelayan merupakan modal sosial yang


sangat berharga sebagai basis kelangsungan hidup mereka.  Manifestasi

dari sikap-sikap otonom nelayan terwujud dalam konstruksi pranata

sosial, seperti perkumpulan simpan pinjam, arisan, dan jaringan sosial

berfungsi untuk menggalang kemampuan sumberdaya ekonomi kolektif

dalam relasi timbal balik sehingga eksistensi masyarakat nelayan tetap

terjamin

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Masyarakat pesisir juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang

tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan

sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit


masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan

potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian,

secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai

masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa

mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi

yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.

B SARAN

Makalah ini masih memiliki kekurangan oleh karena itu saran dan kritik

membangun sangat kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/496639280/Karakteristik-sosial-

ekonomi-dan-budaya-masyarakat-di-wilayah-pesisir-dan-kepulauan,

https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20170619-094342-
7273.pdf .

Anda mungkin juga menyukai